MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Wajah Kolot Serikat Buruh

Pendiskusian mengenai buruh muda yang semakin hari semakin menurun ketertarikannya kepada serikat buruh beberapa tahun terakhir ramai dibicarakan. Jumlah buruh yang menjadi anggota serikat  buruh sekitar 4 juta, jumlah yang sangat minim dibanding jumlah penduduk bekerja 139,95 juta. Buruh muda di Indonesia diyakini semakin enggan bergabung sebagai anggota serikat buruh.

Beberapa aktivis serikat buruh yang saya temui di Jabodetabek menuding karena anak-anak muda lebih senang bermain gadget dibandingkan berorganisasi. Tudingan yang diajukan mungkin tidak fair, ketika situasi buruh muda sekarang, tumbuh dan berkembang bersama teknologi digital. Buruh muda yang saya maksud adalah angkatan Gen Z yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, bukan buruh angkatan milenial yang lahir di rentang 1980-an hingga pertengahan 1990-an.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai hubungan buruh Gen Z dan serikat buruh, saya hendak mengingatkan bahwa teori tentang perbedaan generasi yang bermula dari Karl Mannheim (1952) lebih banyak dipergunakan oleh ahli pemasaran perusahaan ketimbang teori pengorganisasian. Karena itu, teori tersebut cenderung menempatkan problem generasi sebagai objek penjualan barang ketimbang problem kelas. Meski demikian, saya menganggap perlu menengok teori tersebut agar organisator serikat buruh tidak bersikap jadul dengan angkatan buruh muda di sektor-sektor industri.

Di setiap generasi mengalami perbedaan karakteristik, pola pikir, dan kebutuhan yang berbeda. Seperti halnya buruh muda dewasa ini. Mereka hidup dengan peralatan digital sekaligus berhadapan dengan hubungan kerja yang fleksibel dan kondisi kerja yang semakin buruk. Walaupun tidak dipungkiri generasi sebelumnya pun mengalami kondisi kerja yang buruk, namun kapital selalu berganti wajah untuk mengeruk keuntungan. Hanya pengurus serikat buruh busuk yang tidak pernah berganti wajahnya. Tidak meng-upgrade diri untuk menjawab tantangan zaman.

Untuk mendapatkan persepsi tentang serikat buruh, saya berdiskusi dengan sepuluh buruh kelahiran akhir 1990-an dan 2000-an di Jabodetabek dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda, yaitu sektor industri ritel, manufaktur, gig economy. Dari sepuluh anak muda tersebut hampir semuanya memiliki hubungan kerja kontrak dan ‘kemitraan’ dengan perusahaan.

Terdapat dua penanda industri di seputar Jabodetabek, yaitu industri yang dibentuk di periode 1970-an hingga 1980-an dan di periode 2000-an dan 2010-an.

Industri periode 1970-an dan 1980-an merupakan industri manufaktur ringan seperti garmen, tekstil, otomotif, elektronik dan sepatu, yang secara perlahan pabriknya meluas ke kota dan kabupaten lain di pulau Jawa. Buruh-buruh yang dipekerjakan di periode ini didatangkan dari perdesaan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera. Mereka tinggal di asrama pabrik atau di rumah kontrakan di sekitar pemukiman warga, yang tidak terlalu jauh dari pabrik. Di periode ini, negara dan kapital membutuhkan pasokan tenaga kerja dan produksi yang stabil untuk memastikan peningkatan investasi dan ekspor. Jadi, meskipun secara global telah muncul tren tenaga kerja fleksibel, pasar kerja Indonesia di periode ini masih memperlihatkan hubungan kerja tetap. Dengan begitu, hubungan kerja di periode Soeharto yang relatif stabil bukan karena rezim berbaik hati, apalagi prorakyat. Tapi, rezim fasis Soeharto sedang memancing investasi dengan mengumpankan buruh murah dan patuh.

Di periode 2000-an dan 2010-an, selain perluasan dan pengukuhan industri periode sebelumnya, muncul industri di bidang akomodasi, transportasi, ritel dan gig economy. Di periode ini calon tenaga kerja adalah keluarga dari buruh lama atau yang ‘datang bersama buruh lama’, sepulang mudik. Peristiwa datangnya calon tenaga kerja baru tersebut seringkali jadi bahan kebingungan pemerintah daerah yang mendapati meningkatnya penduduk di perkotaaan. Tentu saja kedatangan calon tenaga kerja baru tersebut beriringan dengan perampasan lahan di desa oleh korporasi dan negara. Ciri lain dari periode ini adalah pasar tenaga kerja mulai diisi oleh tenaga kerja ‘lokal’. Lagi-lagi penjelasan tenaga kerja ‘lokal’ ini adalah berkaitan dengan perampasan lahan di perkotaan yang berubah menjadi pusat bisnis atau perluasan industri. Jika buruh periode 1970-an dan 1980-an ditempa oleh program Sekolah Rakyat periode 1940-an dan SD Inpres periode 1970-an, buruh di periode 2000-an disiapkan melalui program Wajib Belajar 9 Tahun pada 1994 dan Wajib Belajar 12 Tahun pada 2015.

Karakteristik Buruh Periode 1980-an dan 2000-an

***

Dari sepuluh orang yang saya temui, semuanya mengetahui mengenai serikat buruh. Mereka mengenal serikat buruh dari orang-orang terdekatnya baik keluarga atau teman.

Dari sepuluh buruh tersebut menyatakan tidak berminat menjadi anggota serikat buruh dengan alasan yang beragam. Mereka tidak berminat menjadi anggota serikat buruh dengan alasan-alasan sebagai berikut: menganggap serikat buruh kaku, hanya kumpulan dan kegiatan bapak-bapak, takut dipecat jika masuk serikat, dan merasa percuma jika masuk serikat karena jika terkena persoalan di tempat kerja pengurus serikat buruh tidak berbuat apapun. Jawaban yang paling mengejutkan, dua di antara sepuluh orang buruh tersebut menyebutkan bahwa serikat buruh hanya menarik iuran untuk kepentingan para pengurus.

Situasi keengganan berserikat buruh muda memang menjadi tantangan bagi serikat buruh untuk beradaptasi dalam pengorganisasiannya. Keanggotaan serikat buruh terus menurun karena dihadapkan dengan situasi perburuhan yang memperburuk keadaan seperti pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja. Di sisi lain, jumlah buruh muda merangsek mengisi dunia kerja namun jauh dari wacana serikat buruh. Jika keadaan tersebut dibiarkan bukan tidak mungkin jika serikat buruh menjadi organisasi para pengurus, bukan lagi organisasi yang bertumpu pada kekuatan massa. Kini persoalannya bukan lagi sekadar kesenjangan pengurus dan anggota, tapi serikat buruh yang jauh dari massa.

Selain itu, ada pula fakta, beberapa kali mengikuti aksi massa baik isu besar seperti penolakan UU Cipta Kerja, kenaikan upah minimum di tingkat nasional maupun daerah, saya melihat anak-anak muda mengenakan seragam serikat buruh. Dengan begitu, masih ada juga anak-anak muda yang terlibat dalam serikat buruh. Ketika saya bertanya kepada peserta aksi yang berusia muda tersebut, jawaban mereka beragam.

Di antara mereka menjawab, serikat tempatnya bergabung bisa mengakomodir kemarahannya kepada perusahaan atau negara. Ada pula yang menjawab bahwa serikat buruh yang mereka ikuti mewakili aspirasi kaum buruh muda. Menurut mereka baik aksi massa maupun penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh serikat buruh selalu menarik untuk diikuti. Dalam hal ini, saya tidak menghitung jumlah buruh muda yang terlibat dalam serikat buruh melalui skema keanggotaan otomatis. Keanggotaan otomatis merupakan praktik yang memalukan, sekaligus melanggar prinsip kebebasan buruh untuk berserikat atau tidak berserikat. Keanggotaan otomatis ditambah iuran check off system adalah konsep serikat buruh yang dibangun di periode 1980-an demi menyenangkan para investor. Lagi-lagi, di periode itu, umpan investasi bukan hanya upah murah tapi serikat buruh tunggal. Serikat buruh bukan sekadar alat kontrol untuk meredam dan menindas protes buruh. Tapi untuk menutupi kebusukan rezim.

Tidak Semua Anak Muda Enggan Berserikat

Ketika anak-anak berkumpul, melakukan pembagian kerja dan memiliki tujuan yang sama, itulah bukti mereka berserikat. Jangan menyempitkan arti berserikat dengan mencatatkan diri di Disnaker.  

Fakta-fakta di lapangan menjadi menarik bahwa tidak semua anak muda enggan berserikat. Masih banyak anak muda yang ingin belajar berorganisasi. Namun menjadi tantangan tersendiri bagi serikat-serikat buruh yang sudah besar dan berskala nasional maupun daerah untuk mengembangkan minat dan bakat anak-anak muda untuk bergabung dan bergerak di serikat buruh.

Banyak juga anak-anak muda yang sudah bergabung di serikat tingkat pabrik yang berafiliasi dengan serikat tingkatan nasional kebingungan harus berbuat apa di organisasinya, bahkan tidak bisa mengeksplorasi kemampuannya di organisasi. Lebih parah lagi tidak bisa berpendapat atau mengusulkan sesuatu untuk organisasinya. Apalagi sekadar anggota biasa dan nyaris tidak tersedia kesempatan untuk menambah kapasitas. Kemunculan kader baru di serikat buruh seringkali dicurigai akan menyaingi pimpinan yang telah bercokol. Biasanya, para anggota biasa hanya bisa mengikuti instruksi para pengurusnya. Hubungannya dengan serikat hanya dicerminkan melalui iuran serikat, baju serikat dan kartu anggota. Bahasa kasarnya hanya ikut perintah atasan dan anggotanya hanya menjalankan roda organisasi dengan ‘izin perintah’, ‘izin instruksi’, dan ungkapan-ungkapan yang lumrah beredar di birokrasi perusahaan dan pemerintahan.

Walaupun banyak yang bilang bahwa administrasi diperlukan untuk memudahkan alur kerja dan kepengurusan, nyatanya, semakin besar keanggotaan serikat buruh semakin besar potensi birokratisisme di serikat buruh. Serikat buruh yang sentralistik dan birokratis memiliki konsekuensi munculnya oligarki. Setelah itu serikat buruh akan menempuh jalan ibarat organisasi perusahaan dan pemerintah, bukan lagi asosiasi buruh yang memupuk kesadaran kelas buruh. Bahkan, muncul kecenderungan ownership di serikat buruh, karena ‘si paling aktivis’ dan ‘si paling berjasa’, yang berhak menentukan langkah-langkah organisasi.

Padahal serikat buruh merupakan asosiasi anggota yang berdasarkan kepentingan bersama. Walaupun memang di sisi yang lain serikat buruh merupakan organisasi formal dengan kewajiban prosedural yang harus dilakukan oleh setiap orang di dalamnya. Kadang administrasi serikat buruh menjebak para anggotanya dalam ritual birokratisisme. Karena serikat buruh adalah bentuk organisasi yang berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, semestinya hirarki organisasi akan berbeda dengan instansi manajemen perusahaan atau pemerintahan. 

Dengan begitu, di dalam organisasi memang diperlukan orang yang dipilih sebagai penanggung jawab atau ditugaskan untuk menangani suatu kasus. Karena berjuang secara kolektif tidak berarti semua orang harus mengerjakan pekerjaan secara bergerombol.  Dalam hal ini yang harus dilakukan beramai-ramai adalah merencanakan kegiatan-kegiatan serikat dalam garis besar, mendanai kegiatan-kegiatan itu, dan memperhatikan perkembangan kegiatan-kegiatan dalam setiap prosesnya. Prinsip-prinsip itu adalah mandiri, transparan, dan demokratis.

Teriak Oligarki di Tubuh Sendiri

Jika prinsip-prinsip organisasi hilang maka serikat buruh akan berubah menjadi organisasi pelayanan. Hubungan antara pengurus dan anggota tidak jauh berbeda dengan organisasi manajemen pabrik, ada bawahan dan ada atasan, bahkan seperti layanan asuransi. Dengan begitu anggota dan pengurus bukan lagi seperti ‘ikatan sapu lidi’ atau ‘tubuh’ tapi pengurus melayani anggota. Para anggota pun hanya ingin selamat karena merasa sudah membayar iuran organisasi. Sudah jelas organisasi yang seperti ini pun tidak memiliki agenda pendidikan yang progresif apalagi partisipatif.

Serikat pelayanan masih sering kita jumpai. Makanya, tidak salah jika sepuluh anak muda di atas memberikan jawaban negatif mengenai peran dan makna serikat buruh. Ironisnya, beberapa serikat pun menjelma menjadi oligarki. Konsep oligarki, di mana segelintir orang menjalankan organisasi untuk kepentingan mereka, yang bersikap tegas kepada anggota atas nama konstitusi namun membiarkan pelanggaran tersebut jika dilakukan oleh kelompoknya. Dalam praktiknya, oligarki serikat buruh kerap mengontrol dan mencurigai anggotanya yang akan merongrong kekuasaan. Karena pengurus serikat buruh memiliki kekuasaan dan hak yang berlebihan dan tidak lagi memiliki hubungan organik dengan anggota sebagai kolektif.

Pemimpin-pemimpin serikat tersebut terus memupuk power-nya melalui pengalaman, jaringan politik dan pengetahuan khususnya advokasi perburuhan. Hal ini menjadi memungkinkan mereka terus-menerus dipilih oleh para anggotanya untuk terus duduk sebagai pengurus.

Sayangnya serikat-serikat buruh yang menuju oligarki seperti ini adalah serikat buruh dari tingkat nasional, daerah hingga tingkat pabrik. Bahkan, kita bisa mendapati kepengurusan serikat buruh di berbagai level yang tidak berganti bertahun-tahun.

Dalam serikat buruh pelayanan, anggota biasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bahkan para pengurusnya tidak perlu mendengarkan pendapat dan kelurahan para anggotanya. Para anggota tidak lebih dari para penonton orkestrasi para pemimpin, yang sibuk menangani kasus, menghadiri pelatihan, melobi dan berunding dengan manajemen atau pemerintah dan berorasi di atas Mokom.

Ada cerita dari kota kecil di Jawa Tengah. Sebuah pabrik yang baru mengoperasikan pabrik barunya menerapkan jam kerja panjang. Marah dengan kekejaman pabrik, para buruh kelahiran 1990-an dan 2000-an membangun organisasi berdasarkan pengetahuan mereka. Setapak demi setapak organisasinya dibangun dengan susah payah.

Sekali waktu mereka dipertemukan dengan sebuah organisasi tingkat cabang. Para pengurusnya mengaku berpengalaman membangun serikat buruh dan memiliki jaringan perburuhan di luar Jawa Tengah. Organisasi muda tersebut pun diajak untuk bergabung ke organisasi tersebut.

Mulanya para buruh merasa senang karena mendapat pengetahuan baru dari ‘orang pintar’ dalam berorganisasi. Seiring waktu, para buruh muda itu mendapatkan keanehan karena mereka tidak lagi diajak berdiskusi untuk merumuskan program organisasi. Mereka hanya mendapatkan perintah untuk menjalankan keinginan para pengurus tingkat cabang. Mereka diminta iuran untuk mendanai kegiatan-kegiatan seremonial para pengurus cabang.

Pada akhirnya serikat tingkat pabrik tersebut berhadapan dengan manajemen yang kejam. Mereka melawan pencurian upah dan kekerasan berbasis gender. Manajemen melawan balik.

Namun, mereka tidak memiliki bekal yang cukup untuk menyelesaikan persoalannya. Disnaker yang mereka asumsikan dapat menolong mereka ternyata lebih berpihak kepada perusahaan. Sementara ‘si paling pintar’ berorganisasi hanya bisa berceramah tentang perjuangan. Dia berjanji akan melakukan kampanye ini dan itu, tapi tidak berbuat apapun.

Berjalannya waktu, kasus pun tidak selesai. Satu per satu pengurus serikat buruh dipecat. Para anggota pun tercerai berai. Akhirnya serikat buruh tersebut perlahan bangkrut.

Mendobrak Oligarki di Serikat Buruh

Di salah satu pabrik manufaktur dengan serikat buruh yang berafiliasi ke serikat buruh Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (RTMM). Di pabrik tersebut ada serikat buruh yang cukup tua, yang melaksanakan pemilihan ketua. Beberapa bulan sebelumnya, para anggota merasa muak dengan tingkah laku para pengurusnya yang korup. Tanda korupnya adalah tidak adanya kegiatan pendidikan rutin dan cenderung menjadi corong perusahaan. Kebijakan perusahaan yang merugikan buruh nyaris tanpa ada protes dari para pengurus serikat buruh. Sementara iuran secara otomatis dipotong tiap bulan.

Para anggota biasa merasa benci dengan para pengurus tersebut. Mereka berinisiatif mengorganisir buruh lainnya. Saat pemilihan ketua pun tiba. Seperti telah diperkirakan, para pengurus lama kembali mencalonkan sirkel mereka untuk bergantian menjabat sebagai ketua. Mereka mengajukan dua kandidit. Tentu saja dua-duanya berasal dari lingkaran mereka. Siasat itu, dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa kepengurusan seperti hasil kocokan arisan dan tidak dianggap sebagai calon tunggal.

Para anggota biasa mengeluarkan strategi dengan mencalonkan salah satu kawan di antara mereka. Ternyata, mereka berhasil memenangkan pemilihan. Ketua baru yang diajukan oleh anggota biasa memperoleh 80 persen dari total suara.

Setelah buruh biasa terpilih, ia bersama kawan-kawannya menyusun kepengurusan sedemokratis mungkin. Secara perlahan mekanisme-mekanisme yang mencegah partisipasi anggota dihilangkan. Secara tergopoh-gopoh, para pengurus baru dengan pengalaman baru melaksanakan pendidikan rutin, melaporkan keuangan organisasi secara terbuka dan mengajak seluruh anggota agar memberikan saran dan kritik terhadap serikat buruh.

Tidak hanya itu, para pengurus yang baru pun memulai kebiasaan baru. Mereka membentuk kelompok-kelompok belajar dan mendanai pembelian Mokom untuk kebutuhan bersama. Para anggota tampak senang dengan kegiatan baru tersebut. Menurut para anggota, bertahun-tahun mereka menjadi anggota serikat buruh tapi tidak pernah merasakan keriuhan serikat buruh. Tentu saja, para pengurus baru tersebut belum selesai. Mereka sedang bertarung dengan para oligark modal di dalam pabrik dan negara.

Penutup

Gen Z bukan tidak ingin berserikat. Dalam diskusi kecil maupun terbuka, angkatan muda buruh tersebut menunjukkan keingintahuan yang besar untuk membangun serikat buruh yang demokratis. Mereka membutuhkan wadah yang dapat menyalurkan kemarahan, wadah yang membentuk kesadaran tentang kelas buruh. Bukan serikat buruh oligarkis.[]