MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Beras Mahal: Kenapa Hanya Perubahan Iklim yang Disalahkan?

Di depan mataku, melayang-layang kalimat “Beras diserahkan ke pasar, lahan diserahkan ke perampasan.”

Pertengahan Oktober 2023 Ibuku menelpon dan mengatakan harga beras mahal. Ibuku seorang petani di kampung. Sama seperti petani kecil lainnya, Ibuku menanam padi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian—dari dua kali masa tanam, gabah yang dihasilkan cukup untuk persediaan pangan rumah tangga selama setahun.

Di kampungku, tradisi datang ke acara seremonial pernikahan, khitanan dan melayat ke rumah duka jika ada tetangga meninggal biasanya membawa beras. Beras memiliki fungsi kultural dalam acara seremonial semacam itu.

Ketika harga beras naik pada Oktober tahun lalu, acara seremonial semacam itu  sedang ramai di kampungku. Kata Ibuku, di bulan ramai seremonial itu, keluargaku telah membeli beras satu kwintal untuk dibawa menghadiri acara pernikahan dan melayat. Tabungan gabah menipis. Keluargaku memutuskan tidak menggunakan sisa gabah hasil panen untuk keperluan seremonial, dan mencadangkannya untuk kebutuhan harian dan benih masa tanam berikutnya. Keputusan itulah yang menjadi alasan Bapakku terpaksa membeli beras untuk kegiatan kultural. Pembelian beras untuk acara seremonial cukup fantastis, satu kwintal. Betapa banyak dan padat kegiatan hajatan saat itu.

Ketika menelpon Ibuku, aku mendengar suara bibi bertanya padaku, apakah di Bogor hujan? Setiap hari Bogor hujan, jawabku. “O, di sini sudah lama tidak hujan, kemarau”, balasnya. Aku mendengar jawaban bibiku dengan nada kecewa—tapi semoga aku salah.

Pertanyaan tentang hujan kemudian kerap muncul setiap aku menelpon keluarga di kampung. Ibu bercerita bahwa orang-orang di kampung bingung dan panik. Satu hari hujan turun, dan orang-orang berbondong menanam padi. Tapi, hari-hari berikutnya, dan itu sangat panjang, tak ada sama sekali hujan datang. Padi di sawah mengering, dan beberapa sudah pasrah menanggung gagal panen. Beberapa orang yang belum menanam padi tetap memilih menanam padi meski dengan cara melubangi tanah sawah. Aku tidak tahu itu pilihan putus asa atau suatu harapan pada keajaiban.

Semua orang, kata Ibu, mengeluh. Cuaca sulit ditebak. Dan orang-orang kampung kerap salah menebak. Aku ingat dulu ketika aku kecil. Setiap kali berhadapan dengan anomali cuaca, orang-orang bertanya kepada Kyai kapan baiknya mulai menanam. Memang petunjuk-petunjuk itu lebih sering benar. Namun, beberapa tahun belakangan menebak cuaca lebih mirip perjudian.

Aku bersyukur sepanjang awal tahun 2024 hujan datang lebih sering dan Ibuku mengatakan padi selamat. Kabar itu melegakan, apalagi Maret memasuki bulan puasa. Kok ya pas.

Namun, bencana lain datang: harga beras tiba-tiba sangat mahal. Ini memang tidak terlalu berdampak bagi Ibuku dan orang-orang kampungku yang punya cadangan gabah. Tetapi, ini menghajar ketahanan keluargaku di Bekasi dan kawan-kawan buruh yang bekerja di wilayah industri dan metropolit.

Mendekati pemilu 2024 lalu, beras mengalami kelangkaan, harganya sangat mahal di pasaran. Melambungnya harga beras pun diikuti dengan kenaikan harga bahan pangan lainnya.

Seorang kawan yang kesehariannya bekerja sebagai buruh pabrik bercerita tentang cara dia mengatasi harga beras mahal dengan memaksa keluarganya  mengurangi pengeluaran untuk pangan. Mengkonsumsi makanan dengan kandungan gizi yang minim terpaksa ia lakukan agar upahnya cukup untuk mengatasi kenaikan harga.

Upah bulanannya berbading terbalik dengan biaya kebutuhan dan tagihan wajib yang mesti ditanggung. Menunggak tagihan wajib akan mempersulit pembayaran berikutnya, dan menurut kawan tersebut itu bukan pilihan terbaik. Satu-satunya pilihan yang mungkin dilakukan adalah dengan menurunkan kualitas kebutuhan konsumsi keluarganya.

Sebenarnya ketika harga beras normal, pengurangan kualitas makan dan gizi semacam itu kerap dilakukannya. Bagaimana jika harga beras mahal? Entahlah, aku tidak bisa membayangkan bagaiamana kawanku dapat bekerja di pabrik dengan intensitas tenaga yang tinggi setiap hari, lalu tenaganya dipulihkan secara biologis dengan makanan yang minim gizi, agar esok ia bisa bekerja lagi. Baginya, dalam situasi upah minim dan kebutuhan hidup makin tinggi, soal gizi nomor sekian, yang penting perut terisi. Kenaikan harga beras ini tentu saja mencekiknya yang setiap hari menjalani hidup layaknya orang bunuh diri.

Salah Urus Di Sepanjang Rantai Perberasan

Kenapa harga beras mahal? pertanyaan itu yang muncul di kepalaku. Beberapa isu liar mencurigai program Bantuan Sosial (Bansos) besar-besaran menjelang pemilu. Bansos memicu kelangkaan beras di pasar. Sebagaimana hukum pasar kelangkaan beras akan menaikkan harga. Tapi, dari cerita ibuku di kampung, harga beras sudah naik sejak Oktober. Jadi, apa sebenarnya yang menyebabkan kenaikan harga beras belakangan?

Untuk mencari jawaban itu aku mengikuti sebuah diskusi dengan tema “Di Balik Lonjakan Harga Bahan Pokok” yang diadakan secara daring oleh salah satu media perburuhan pada Kamis, 29 Febuari 2024. Diskusi tersebut menghadirkan Khudori, penulis buku Bulog dan Politik Perberas (2002) dan Ali Paganum, Ketua Aliansi Reforma Agraria (AGRA) sebagai narasumber. Dari diskusi itu aku mulai mengerti hal-hal apa saja yang menjelaskan harga beras dan bahan pokok naik.

Dalam diskusi tersebut, penulis buku , Khudori, menyampaikan beberapa pengamatannya terkait masalah ini. Beras telah menjadi bahan pangan pokok nyaris 100 persen penduduk Indonesia, sekitar 98,35 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi beras, sementara produksi padi pada 2023 terpusat di Jawa (55,8 persen) dan kondisi ini tak jauh bergeser dari tahun 1993 (58,79 persen), dan pada saat bersamaan, distribusi beras ke ke wilayah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) atau daerah dengan infrastruktur buruk perlu waktu dan biaya tinggi. Amatan ini menyajikan betapa beras memainkan peran vital bagi konsumsi pangan harian penduduk Indonesia. Tentu saja, bila beras langka atau harga melonjak, ini akan segera memantik keributan.

Beberapa data statistik dan kajian ilmiah sebetulnya telah memberi peringatan tentang ketergantungan pada beras membahayakan ketahanan pangan rakyat. Pemaksaan agar piring kita diisi nasi dari beras ini memiliki sejarah panjang. Kebijakan Revolusi Hijau dalam konteks politik berasisasi pada masa Orde Baru menggeser sumber pangan lain seperti jagung, sagu, jenis umbi-umbian dan padi-padian lokal.

Kemudian beginilah sekarang. Kini, pangan kita berada di babak ketergantungan sangat tinggi pada beras. Salah satu masalahnya, produktivitas padi menurun karena luas panen turun. Dari 2018 ke 2023 luas panen turun 1,17 juta hektar dan produktivitas padi stagnan di angka 0,22 persen. Produktivitas padi tidak menghasilkan surplus, alias minus bila dibandingkan dengan produksi sebelumnya. Sedangkan konsumsi beras tidak berkurang dari 3 juta ton per bulan, bahkan mungkin bertambah.

Penurunan produktivitas adalah satu faktor dari sekian banyak keruwetan lain perberasan. Faktor lain adalah perubahan iklim. Perubahan iklim memicu gagal panen dan yang terakhir berdampak pada ketersedian beras di pasar.

Beberapa data memang menunjukkan hubungan gagal panen dengan perubahan iklim berpengaruh pada kenaikan harga beras.

Tahun 2023, pergeseran musim hujan akibat El Nino mengubah masa tanam dan mengancam keberhasilan panen. Tempo melaporkan bahwa di Jambi, pada musim tanam Oktober 2023 hingga Maret 2024, banjir menggenangi 4.700 hektar lahan dan 559,5 hektar mengalami gagal panen; di Sumbawa, banjir dan tanah longsor menggagalkan panen seluas 25 hektar; dan di Demak, hingga 23 Februari 2024, banjir telah merendam 3.427 hektar sawah dan mengakibatkan 1.975 tanaman padi gagal panen.

Tidak berhenti di sini, ancaman perubahan iklim berpotensi terus berlanjut hingga April 2024. Dalam presentasinya, Khudori menyatakan:

“Produksi padi pada 2024 masih terpengaruh El Nino. Peluang La Nina meningkat dan bisa muncul di Musim Hujan 2024/2025. Diprediksi mulai muncul indikasi La Nina di akhir tahun 2024. Amatan visual menunjukkan di Indonesia intensitas hujan mulai meningkat dan merata awal Desember. Ini peluang untuk percepatan tanam padi. Namun di beberapa daerah saat ini juga menunjukkan intensitas hujan mulai berkurang, sehingga petani yang awalnya sudah olah tanah dan semai terancam gagal.”

Penjelasan Khudori menambah pemahaman saya bahwa kelangkaan beras tak hanya disebabkan oleh faktor iklim semata. Dalam banyak pemberitaan di media, narasi yang dibangun oleh pemerintah menjawab kelangkaan beras cenderung hanya menyalahkan faktor perubahan iklim. “Ada yang namanya perubahan iklim, perubahan cuaca sehingga banyak yang gagal panen,” begitulah kata Jokowi.

Tentu saja menimpakan masalah kelangkaan dan kenaikan harga beras pada perubahan iklim semata adalah bentuk dari penyederhanaan masalah yang sebenarnya, alias tidak serius mengatasi masalah pangan karena perubahan iklim.

Lembaga pemantau cuaca seperti BMKG sudah mengingatkan akan potensi El Nino, potensi banjir dan sebagainya. Tetapi, pemerintah tidak melakukan apa-apa untuk mengantisipasi atau menyiapkan rencana matang agar pertanian padi tak terganggu secara signifikan. Pemerintah hanya berhenti dengan mengeluarkan imbauan dan tentu itu tidak cukup.

“Pemerintah kita tidak pernah belajar. Sudah tahu banjir bisa terjadi setiap tahun, tapi tidak ditanggulangi untuk melindungi pertanian. Peringatan BMKG sudah jelas, tapi tak ada tindakan nyata apa pun dan Pemerintah selalu salah urus.” Khudori dalam diskusi pada 29 Februari 2024 itu.

Perbandingan Penurunan Luas Lahan Pertanian Tahun 2023-2024 dengan Tahun 2015-2019 dalam Bulan Oktober-Februari (Sumber: Presentasi Khudori)

Beras Diserahkan Ke Pasar, Lahan Diserahkan Ke Perampasan

Aku gumun sendiri setelah ikut diskusi Khudori. Sudah diberi banyak peringatan tentang kondisi perberasan, pemerintah tak banyak melakukan upaya berarti. Atau pemerintah kita memang ahli soal salah urus dan ahli mengambil jalan termudah. Tentu jelas lebih gampang bagi pemerintah menyalahkan perubahan iklim ketimbang mengoreksi monopoli perusahan besar atas peredaran beras; ketimbang menunjuk tata kelola dan kebijakan produksi-distribusinya yang buruk; ketimbang mengevaluasi bagaimana pemerintah mengurus pertanian.

Anehnya, jika terjadi kelangkaan beras, kita akan mudah menemukan beras bermerek tertentu di pasar modern ketimbang di pasar trasdisional. Harga beras  bermnerek di ritel tentu saja lebih mahal dibandingkan di pasar modern. Di sisi lain, jika kita berkeliling di pedesaan-pedesaan jawa, kita selalu mendengar keluhan betapa biaya produksi-reproduksi pertanian kian mencekik petani. Sementara harga gabah tak mengembalikan ongkosnya alias petani selalu merugi.

Penelusuran Kompas di sejumlah sentra padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten, April hingga Juni 2024, menemukan jaringan perantara menguasai distribusi gabah. Laporan dengan judul “Perantara Menguasai Rantai Pasok Gabah Petani” ini menjelaskan kepada kita siapa untung dan siapa buntung dari rantai perberasan!

Di sisi lain, kita juga menyaksikan fakta alih fungsi lahan pertanian rakyat di Indonesia makin brutal dan represif. Konsorsium Pembaruan Agraria melaporkan fakta-fakta brutal dan represif tersebut dalam Catatan Akhir Tahun 2023 dengan judul Dekade Krisis Agraria: Warisan Nawacita dan Masa Depan Reforma Agraria Pasca Perubahan Politik 2024. Organisasi ini melaporkan bahwa terjadi 241 konflik agraria di atas lahan seluas 638.188 hektar dan 346 desa terdampak.

Data konflik agraria di Indonesia tahun 2023. Sumber: Dekade Krisis Agraria: Warisan Nawacita dan Masa Depan Reforma Agraria Pasca Perubahan Politik 2024

Di samping itu, terjadi guremisasi petani. Dari 14.25 juta jiwa pada 2013, sedekade kemudian petani gurem meningkat menjadi 17.24 juta. Sebaliknya, pada 2023 jumlah petani menurun jadi 29.34 juta dari 31 juta pada sepuluh tahun sebelumnya. Itu pun 19.49 juta orang berusia di atas 45 tahun.

Data Peningkatan Petani Gurem di Indonesia dałam Satu Dekade (2013-2023). Sumber: Dekade Krisis Agraria: Warisan Nawacita dan Masa Depan Reforma Agraria Pasca Perubahan Politik 2024

Ketika membaca laporan KPA tersebut angka-angka itu mencederai emosiku. Perasaanku tak lagi sanggup melanjutkan tulisan ini dan penalaranku tiba-tiba mampat. Di depan mataku, melayang-layang kalimat “Beras diserahkan ke pasar, lahan diserahkan ke perampasan.”

Aku ingat. Aku pasti tidak keliru. Esok hari usai diskusi bersama Khudori, seorang kawan bertanya, dan nadanya pahit betul: “Apakah kita sedang menghadapi kelaparan nasional?” Ia melidahkan bahasa Indonesia sesuai ejaan disempurnakan. Lalu dia mengomel-ngomel.

Aku tahu arahnya. Dia tipe kawan yang lancar mengatakan bahwa negara menyiapkan kita untuk tidak terlalu lapar dan tidak terlalu kenyang. Kelaparan akan membunuh kita semua, dan pabrik-pabrik kehilangan budak beliannya. Begitupun jika kita selalu kenyang (apalagi punya tanah), pabrik-pabrik akan kehilangan buruh murahnya.

Aku rasa dia mau mengatakan demikian. Tapi, dia justru mengajukan pertanyaan lain. Itu menyusutkan kesanggupanku menulis. “Kenapa harga dari produksi ke konsumsi beras gagal distabilkan, saat diserahkan pada mekanisme permainan pasar? Apakah harga bisa stabil kalau komunitas petani yang mengatur dan mengendalikan stok gabah dan beras?” Bagiku ini pertanyaan berat.

Pertanyaan kawan itu bisa menjadi pertanyaan penelitian, dan bisa juga menjadi undangan aksi-politik.

Beruntung aku punya kawan Seorang Bung di Bekasi—kawan baikku. Dia memiliki imajinasi hebat. Dia membayangkan serikat buruh dan serikat petani bekerjasama. Buruh dan keluarganya membeli beras langsung dari petani, tanpa perantara, tanpa pasar.

Kapan impian ini akan terwujud dan bagaimana caranya menjadi perkara kita bersama.[]