PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) merupakan salah satu kawasan industri terkemuka di Morowali, Sulawesi Tengah karena digandang-gadang sebagai kawasan pengolahan nikel dan logam di Asia. Pemilihan lokasi di Sulawesi Tengah didasarkan pada ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, terutama nikel. Ketersediaan cadangan nikel itulah yang menjadikan wilayah tersebut sebagai lokasi strategis untuk investasi industri.
Selain menjadi pusat pengolahan nikel, keberadaan IMIP dipercaya dapat memberikan dampak positif secara ekonomi bagi masyarakat, membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan. Sayangnya intensitas kecelakaan kerja yang tinggi di IMIP menandakan masih perlu meningkatkan pengawasan dan penerapan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)–guna menjamin dan melindungi buruh dari risiko kecelakaan kerja atau bahaya yang terkait dengan operasi industri.
Pada Desember 2023, indonesia dihebohkan oleh tragedi kecelakaan kerja tragis salah satu perusahaan smelter yang beroperasi di kawasan IMIP. Kecelakaan yang mengakibatkan 21 buruh meninggal dan 46 mengalami luka-luka tersebut memicu gelombang aksi protes buruh dan masyarakat sekitar. Mereka menuntut peninjauan mendalam terhadap penerapan standar (K3) di seluruh kawasan industri. Aksi protes mencerminkan kekhawatiran yang muncul sebelumnya, tentang potensi risiko terkait perubahan regulasi yang lebih longgar dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dikhawatirkan dapat mengorbankan perlindungan buruh demi investasi.
Undang-undang Cipta Kerja, yang diberlakukan pada 2020, dirancang untuk mengakselerasi proses investasi dan merangsang pertumbuhan ekonomi melalui deregulasi yang menyederhanakan proses bisnis, serta memberikan insentif kepada investor. Namun, di tengah janji kemudahan investasi, beberapa pihak mengangkat keprihatinan tentang potensi dampak negatif terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) buruh.
Kekhawatiran tersebut mucul karena dalam UU Cipta Kerja terdapat klausul-klausul yang berpotensi mengurangi perlindungan terhadap buruh, seperti pemangkasan hak-hak buruh, pembatasan kebebasan berserikat, dan pengurangan tanggung jawab perusahaan terhadap kecelakaan kerja.
Penetapan UU Cipta Kerja yang kontroversial tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah langkah-langkah deregulasi dalam undang-undang tersebut berpotensi mengorbankan aspek K3 demi pertumbuhan ekonomi yang cepat? Perdebatan sengit pun terjadi antara para pendukung dan kritikus undang-undang ini terutama dalam aspek ketenagakerjaan. Fokus utama perdebatan diletakkan pada pertanyaan bagaimana mencapai keseimbangan antara mendorong investasi dan melindungi hak serta keselamatan buruh?
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) hingga hari ini masih menjadi objek kritik yang tajam dari banyak serikat buruh karena potensi melemahkan posisi buruh. Salah satunya dalam konteks perlindungan buruh atas K3. Beberapa poin perdebatan meliputi beberapa aspek yang patut diperhatikan.
Pertama, UU Cipta Kerja dianggap melemahkan peran lembaga pengawas dengan menghapus kewajiban perusahaan untuk membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) di tempat kerja. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi pengawasan internal terhadap penerapan standar K3, serta menyebabkan penurunan dalam ketaatan terhadap aturan K3. Selain itu, ketidakjelasan dalam pengaturan sanksi terhadap pelanggaran K3 juga menjadi perhatian, karena dapat mendorong perusahaan untuk mengabaikan keselamatan buruh demi keuntungan.
Kedua, fleksibilitas jam kerja yang berlebihan dalam UU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan risiko kelelahan dan kecelakaan kerja buruh. Kemungkinan lembur yang lebih panjang tanpa istirahat dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental buruh, serta meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan di tempat kerja.
Ketiga, kemudahan dalam praktik outsourcing yang diperbolehkan oleh UU Cipta Kerja meningkatkan risiko penggunaan buruh outsourcing dengan standar K3 yang rendah. Kurangnya kontrol dan pengawasan terhadap buruh outsourcing dapat membahayakan keselamatan mereka di tempat kerja.
Keempat, pembatasan peran serikat buruh dalam memperjuangkan hak-hak K3 bagi anggotanya oleh UU Cipta Kerja dianggap dapat melemahkan posisi buruh dalam menuntut perusahaan untuk menerapkan standar K3 yang lebih baik. Hal ini mengurangi kemampuan buruh untuk bersuara dan berperan dalam memastikan keselamatan mereka di tempat kerja.
Terakhir, transisi dan ketidakjelasan regulasi terkait K3 dalam UU Cipta Kerja menimbulkan kekhawatiran akan adanya celah hukum yang memudahkan perusahaan untuk mengabaikan kewajiban K3 mereka. Ini mengakibatkan ketidakpastian bagi para buruh dan dapat mengurangi perlindungan mereka di tempat kerja.
Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa pemerintah masih terus menyusun peraturan turunan UU Cipta Kerja terkait K3, dan belum ada kesimpulan definitif tentang efektivitasnya dalam melindungi buruh. Evaluasi dan pemantauan yang lebih mendalam diperlukan setelah peraturan turunannya diberlakukan dan diimplementasikan.
Dalam prosesnya melibatkan berbagai pihak dalam penyusunan dan pelaksanaan peraturan turunan UU Cipta Kerja terkait K3, serta melakukan edukasi dan sosialisasi kepada buruh tentang hak-hak dan kewajiban mereka terkait K3 adalah langkah-langkah penting yang perlu diambil. Peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran K3 juga sangat diperlukan untuk memastikan perlindungan buruh yang optimal di tempat kerja.
Dalam karyanya (Burawoy, 1978), Burawoy mengkritik teori proses buruh Harry Braverman yang dianggap terlalu deterministik dan mengabaikan agensi buruh. Burawoy berpendapat bahwa buruh tidak hanya pasif dalam proses produksi, tetapi mereka memiliki strategi dan taktik untuk melawan kontrol manajemen. Dengan menggunakan kerangka kerja teori Burawoy, tulisan ini akan menganalisis kompleksitas persoalan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di PT IMIP. Terutama dalam konteks kemudahan investasi dan implementasi UU Cipta Kerja. Penelitian ini hendak membuka wawasan mendalam terhadap dinamika yang terjadi. Dengan mengintegrasikan berbagai metode dan teori, penelitian ini tidak hanya mengungkapkan akar permasalahan yang mendasari kondisi K3 di PT IMIP, tetapi juga menyoroti aktor utama serta kepentingan yang terlibat dalam implementasi regulasi baru ini.
Hasil wawancara penelitian di Morowali sudah dilakukan sebelum Covid-19 oleh seorang peneliti dari Inkrispena. Seorang aktivis dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) juga terlibat dalam penelitian ini. Selain itu, seorang peneliti dari Trend Asia, bersama dengan seorang advokat kampanye dari organisasi yang sama, turut berpartisipasi. Penelitian ini juga melibatkan seorang petani lokal dari PT morowali yang memberikan wawasan dan pengalaman lapangannya.
PT IMIP mengungkapkan beberapa aspek penting, termasuk proses rekrutmen, pemenuhan hak buruh, kondisi kerja, perhitungan upah, alasan buruh tetap bekerja, upaya pemenuhan hak buruh, dan hambatan dalam advokasi hak buruh.
Proses rekrutmen di PT IMIP terdiri dari dua jalur: resmi dan tidak resmi. Proses rekrutmen resmi dilakukan melalui pendaftaran online di website, di mana calon buruh mendapat nomor pendaftaran untuk menyerahkan berkas dan menunggu lowongan. Selain itu, rekrutmen dilakukan langsung dari perusahaan ke kampus-kampus di sekitar Sulawesi, serta melalui penawaran pekerjaan langsung kepada masyarakat lokal.
Di sisi lain, proses rekrutmen tidak resmi melibatkan tekanan sosial di mana calon buruh harus menyerahkan pendaftaran kepada calo dengan biaya yang berkisar antara Rp7-10 juta, tergantung pada posisi yang diinginkan. Ada kesaksian dari buruh bahwa sulit untuk melepaskan diri dari hubungan dengan calo, dan beberapa buruh direkrut melalui rekomendasi dari tokoh lokal atau dengan menukarkan lahan untuk mendapatkan pekerjaan.
Pemenuhan hak-hak buruh di PT IMIP terlihat formal sesuai undang-undang, namun terdapat beberapa masalah seperti sistem kerja “3 shift 3 regu” yang membuat buruh mengalami kelelahan kerja. Sementara itu, standar K3 yang seharusnya ada dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) baru diterapkan pada 2023 dan hanya ditandatangani oleh tujuh tenant. Terkait upah yang diterima buruh tidak cukup untuk menunjang kebutuhan sehari-hari karena banyaknya pengeluaran, dan tidak ada aturan mengenai K3 dalam kontrak kerja bersama di PT IMIP.
Penerapan sistem kerja “3 shift 3 regu” mengharuskan jam kerja ekstra panjang hingga 12 jam sehari. Hal ini menyebabkan kelelahan kronis pada buruh. setiap buruh diharuskan lembur dengan iming-iming insentif 45-50% dari UMP. Selain itu, di IMIP menggunakan sistem poin di mana jika buruh tidak ikut lembur, maka poin bertambah dan insentif hilang jika poin melebihi 100.
Fakta lainnya, di IMIP buruh kesulitan membentuk dan membangun serikat buruh karena tekanan pada pemimpin serikat dan diskriminasi terhadap anggota serikat. Buruh diorganisasikan melalui jalur kesukuan dan ketegangan antar etnis dipelihara. Ditambah lagi dengan praktik outsourcing yang menciptakan pasar fleksibilitas di mana buruh tidak memiliki kontrak tetap dengan satu perusahaan sehingga menghambat buruh untuk berserikat.
Beberapa informan menceritakan bahwa fasilitas kesehatan di PT IMIP tidak memadai dengan kurangnya Alat Pelindung Diri (APD), jumlah tenaga medis, klinik, dan ambulans desa, serta jalur evakuasi darurat yang tidak mencukupi. Ketika terjadi kecelakaan, pihak keluarga harus menanggung seluruh biaya.
Komponen upah buruh di IMIP terdiri dari upah pokok yang besarannya kurang dari UMK, tunjangan keluarga, tunjangan rumah, tunjangan jalan, dan upah lembur yang diatur oleh undang-undang. Namun, lembur seringkali diwajibkan secara tidak resmi. Sistem insentif diterapkan dengan nominal standar, tetapi juga menggunakan sistem poin yang dapat mengurangi insentif jika buruh dikenakan pelanggaran.
Alasan buruh terus bekerja di PT IMIP diantaranya adalah kurangnya informasi terkait kondisi kerja, pencemaran dan kerusakan lingkungan yang menurunkan nilai tukar petani, serta terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah tersebut. Upah yang ditawarkan relatif tinggi dibandingkan pekerjaan lain menarik banyak orang untuk mencari penghasilan dengan cepat. Hal lain yang mendorong buruh terus bekerja adalah munculnya gerakan-gerakan yang menuntut dan mendorong perbaikan kondisi kerja dan lingkungan. Beberapa serikat buruh dan kelompok masyarakat terus berupaya menyuarakan agar IMIP memperbaiki standar K3 di smelter melalui advokasi, kritik terhadap aspek yang lemah dalam hubungan buruh, fasilitas, dan jaminan sosial, serta menuntut pengurangan penggunaan tenaga kerja asing dan pertanggungjawaban perusahaan terhadap kerusakan lingkungan.
Beberapa hambatan dalam advokasi hak buruh yaitu kurangnya keengganan perusahaan untuk memenuhi hak buruh dan kebebasan berorganisasi yang belum diberikan. Kondisi despotisme rezim produksi membuat kesadaran umum buruh tidak berani menolak pekerjaan yang membahayakan mereka. Padahal, apabila rezim produksi di industri smelter Morowali memperketat pengawasan dan memastikan penerapan standar K3 yang ketat, IMIP dapat meningkatkan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi semua buruh, sehingga mendukung pertumbuhan industri yang berkelanjutan dan berkontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.[]
Referensi
Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lembaran
https://bisnis.tempo.co/read/1813868/investigasi-sistem-keselamatan-di-lokasi-ledakan-tungku-smelter-dilakukan-pt-imip-perusahaan-siap-lakukan-perbaikan
Lawahe, S. F. (2019). Analisis faktor risiko kecelakaan kerja pada pekerja bagian mesin di PT. Indonesia Morowali Ndustrial Park. http://repository.untad.ac.id/1629/
Refleksi Keselamatan Kerja di Bulan K3 di Kawasan industri IMIP (no date a) PT Indonesia Morowali Industrial Park. Available at: https://imip.co.id/news.php?slug=reflesi-keselamatan-kerja-di-bulan-k3-di-kawasan-industri-i mip (Accessed: 10 June 2024).
SULTENG, O.J. (2023) Jatam Sulteng Nilai Penerapan K3 Di pt IMIP Kurang, Jaringan Advokasi Tambang. Available at: https://jatamsulteng.org/jatam-sulteng-nilai-penerapan-k3-di-pt-imip-kurang/ (Accessed: 10 June 2024).
Burawoy, M. (1983). Between the Labor Process and the State: The Changing Face of Factory Regimes Under Advanced Capitalism. American Sociological Review, 48(5), 587–605. https://doi.org/10.2307/2094921
Sorongan, T. P. (2023, December 27). Tungku Smelter di Morowali RI Meledak, Pihak China Buka Suara. CNBC Indonesia. Retrieved June 10, 2024, from
Arman, R., & Grahadyarini, B. (2024, February 5). Iming-iming Upah Besar di Morowali Berujung Nestapa. Kompas, Ketenagakerjaan. https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/02/02/buruh-industri-nikel-berharap-upah-layak-untuk-hidup-layak
Penulis
-
Sufrijal H. Folasimo
-
Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia