MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Mengabaikan Keselamatan Buruh Demi Untung: Kondisi Kerja Buruh Peleburan Baja (4)

Penyakit akibat kerja buruh peleburan baja

Pada artikel sebelumnya saya menuliskan kisah beberapa buruh yang bekerja di pabrik peleburan baja (seperti kisah KK, UJB, ABR dan RR) berhadapan dengan kondisi lingkungan kerja yang buruk. Mereka berhadapan dengan paparan panas, debu, dan kebisingan. Kondisi kerja tersebut berpengaruh pada kesehatan mereka, baik secara fisik maupun psikis. Pada bagian ini akan dijelaskan secara spesifik dampak penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh paparan panas, debu, bau dan kebisingan yang disebabkan dari proses produksi peleburan baja.

Paparan debu di pabrik baja

Kisah KK menunjukkan bagaimana paparan debu hasil pembakaran batubara menyebabkan KK mengalami batuk berdahak dan mengeluarkan darah serta mengalami nyeri dada disertai demam. Keluhan tersebut muncul setelah tahun keempat ia bekerja di perusahaan tersebut. Kesehatannya memburuk satu tahun sebelum KK dipecat.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa penggunaan batubara sebagai bahan bakar menghasilkan debu silika bebas SiO2 (Eryani, 2015). Saat dibakar, debu silika keluar dan tersebar ke udara bersama partikel lainnya. Seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam bentuk abu. Debu silika yang terhirup akan masuk ke paru-paru dan memiliki masa inkubasi sekitar 2 hingga 4 tahun. Secara spesifik, penyakit yang disebabkan oleh kondisi kerja seperti itu disebut Pneumoconiosis, yaitu penyakit kronis akibat menghirup partikel debu yang masuk ke paru-paru dalam waktu lama dan dengan intensitas tinggi. Salah satu jenis pneumokoniosis adalah Coal Workers Pneumoconiosis (CWP). Penyakit ini biasanya disebabkan oleh penghirupan partikel karbon dari batu bara, grafit, atau karbon hitam.

Diduga kuat KK menderita CWP akibat pekerjaannya. Selama 14 tahun bekerja, KK telah berhadapan dengan debu batubara. Setidaknya ini menjadi indikasi awal KK mengalami penyakit pneumokoniosis. Selain itu, perusahaan tidak menyediakan alat pelindung diri yang memadai, khususnya masker berstandar. Kondisi tersebut memungkinkan KK menghirup debu batu bara saat bekerja. Hasil pemeriksaan kesehatan KK menunjukkan paru-parunya terindikasi menderita bronkopneumonia atau infeksi paru akut. Hasil pemeriksaan kesehatan yang dilakukan secara mandiri, satu dari 6 Buruh dinyatakan menderita bronkopneumonia akut.

Gambar hasil pemeriksaan kesehatan salah satu buruh peleburan baja yang divonis mengalami penyakit pneumokoniosis (sumber: Istimewa)

Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1999 sebanyak 5% dari total 1,1 juta kematian penyakit akibat kerja disebabkan oleh pneumokoniosis. Sedangkan data ILO tahun 2013 sebanyak 30% hingga 50% Buruh di negara berkembang menderita pneumokoniosis, termasuk Indonesia.

Menurut laporan media, pada tahun 2018, ribuan orang di Shenzhen – salah satu kota industri di provinsi Guang Dong Tiongkok – menderita pneumokoniosis. Kebanyakan dari mereka bekerja di industri peleburan baja. Pabrik-pabrik ini banyak yang telah berdiri sejak awal tahun 1990-an. Hanya dalam waktu 10 tahun pertumbuhan industri di China menimbulkan berbagai permasalahan pencemaran lingkungan dan kesehatan Buruh akibat penggunaan energi batubara yang berlebihan.

Ledakan kasus buruh yang menderita pneumokoniosis di Tiongkok terjadi pada tahun 2015 dan mencapai puncaknya pada tahun 2018. Tak terhitung banyaknya orang yang meninggal akibat penyakit ini. Masalah pneumokoniosis merupakan masalah besar bagi buruh Tiongkok. Para korban melakukan aksi menuntut pemerintah membuat peraturan yang melindungi buruh dari dampak yang ditimbulkan oleh industri. Sejak tahun 2010 pemerintah Tiongkok telah memperketat kebijakan lingkungannya. Akibatnya sekitar 2000 pabrik terpaksa tutup dan direlokasi ke negara lain termasuk Indonesia. Relokasi pabrik smelter baja dari China ke Indonesia tidak hanya memindahkan alat produksi dari tempat lama ke tempat baru. Namun hal tersebut juga membawa praktik buruk dan kejam di tempat lama, termasuk berbagai pelanggaran terhadap hak buruh.

Dalam penelitian ini, kisah KK hanyalah salah satu kisah yang menggambarkan buruknya kondisi kerja pabrik peleburan baja di dua perusahaan China yang berlokasi di Indonesia. KK terpaksa mempertaruhkan paru-parunya karena buruknya praktik perusahaan dalam penanganan pengendalian debu pembakaran batubara. Pada tahun 2018, terdapat satu orang Buruh PT IBD yang meninggal dunia setelah mengundurkan diri karena sakit. Sebelum meninggal, Buruh tersebut sempat mengalami batuk darah seperti yang dialami KK. Dokter mendiagnosis kematian Buruh tersebut karena penyakit paru-paru akut. Diduga kuat penyakit paru-paru yang dideritanya merupakan penyakit akibat kerja. selama masih bekerja ia bertugas membersihkan tungku tempat asal debu hasil peleburan baja.

Debu yang tersebar di area peleburan mengandung berbagai macam partikel logam. Keadaan ini akan menambah daftar buruh menderita penyakit pneumokoniosis. Setidaknya ada beberapa jenis debu yang dihasilkan dari proses produksi baja-beton di kedua pabrik peleburan tersebut. Debu batubara yang dihasilkan dari tungku pemanas berbahan bakar batubara, debu terak, dan debu dari bahan mentah yang dihasilkan dari proses kimia pada saat proses peleburan dan pemanasan billet serta debu hasil pemuaian asbes pada atap pabrik.

Penamaan pneumokoniosis tergantung pada jenis debu penyebab penyakit saluran pernapasan. Sebuah penelitian menyebutkan ada lebih dari 10 jenis debu yang dihasilkan dari industri peleburan baja. Setiap jenis debu memiliki namanya sendiri untuk menggambarkan jenis pneumokoniosis:

Tabel 3. Jenis debu dan penamaan Pneumokoniosis

Sumber: Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Debu dengan ukuran terbesar yang terhirup melalui saluran pernapasan lebih dari 0,6 μ akan tertahan di saluran pernapasan bagian atas, sedangkan yang di bawah 0,3 μ akan mengikuti gerakan berwarna coklat, masuk dan keluar. Hanya yang berukuran 0,3 μ hingga 0,6 μ yang akan mencapai alveoli paru. Debu yang mengandung logam berat berpotensi menyebabkan fibrosis paru dan iritasi mukosa. Dampak paparan debu terhadap kesehatan Buruh tergantung pada kandungan kimianya seperti terlihat pada tabel 3 di atas.

Beberapa jenis debu yang dihasilkan dari proses peleburan baja mempunyai bau yang menyengat. Terutama debu yang ukurannya lebih besar berupa abu hasil pembakaran. Menurut beberapa Buruh, ada dua jenis abu yang mempunyai bau menyengat. Abu hasil sisa peleburan (slag) dan abu hasil pembakaran batubara. Paparan bau menyengat pada peleburan baja disebabkan oleh reaksi kimia hasil proses peleburan (smelter) dan pembakaran (batubara dan billet) yang menguap ke udara bercampur asap dan debu.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa bau menyengat dari pembakaran baja menggunakan batubara mengandung gas SOx yang dihasilkan dari Sulfur dioksida atau SO2 dan karbon dioksida. Dari sudut pandang medis, udara yang telah terkontaminasi SOx menyebabkan gangguan pada sistem pernafasan. Gas SOx yang mudah menjadi asam menyerang selaput lendir di hidung, tenggorokan, dan saluran pernafasan lainnya hingga ke paru-paru. Serangan gas SOx dapat menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena (Prayudi, 2005). Salah satu Buruh mengaku sempat mengalami pusing hingga pingsan saat mencium bau debu yang menyengat.

Paparan Panas

Di area peleburan, jika tungku sudah mencapai titik didih, suhu sekitar bisa mencapai 37,5 derajat Celcius. Pada suhu tersebut, Buruh berada di area tungku selama 2 jam untuk satu kali proses peleburan. Angka tersebut melebihi nilai ambang batas yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2011, dimana NAV iklim kerja yang diperbolehkan berdasarkan waktu kerja adalah 0-25 persen untuk suhu 30,5 derajat Celcius. Praktek yang terjadi di kedua smelter baja ini bekerja 8 jam bahkan lebih jika perusahaan memperpanjang jam kerja karena lembur.

Jika tempat kerja panas, maka suhu tubuh buruh juga akan mengeluarkan suhu panas, karena adanya proses metabolisme. Penyesuaian suhu tubuh terhadap panas di area kerja akan memicu terjadinya heat stress. Suhu yang panas ini akan berdampak pada kesehatan dan keselamatan Buruh baik secara fisik maupun psikis. Dampak fisik yang ditimbulkan pun beragam, mulai dari keluhan seperti ruam pada kulit, pingsan hingga situasi yang mengancam jiwa ketika keringat berhenti keluar dari tubuh Buruh. Kisah ABR merupakan salah satu kasus heat stress yang disebabkan oleh lingkungan kerja yang panas.

Beberapa buruh lainnya mengatakan, saat bekerja mereka merasakan gejala badan panas dan mengeluarkan banyak keringat. Beberapa orang yang bekerja di tungku batubara dan rolling juga sering merasa lemas, kram di bagian tubuh, mata pusing dan dehidrasi saat bekerja. Bahkan sampai pingsan, mual dan muntah saat bekerja sering terjadi, terutama pada tungku peleburan dan tungku pemanas batubara. Kedua area kerja tersebut merupakan sumber panas sebelum menyebar ke seluruh lingkungan kerja. Selain panas, kedua bagian ini juga memiliki intensitas debu yang tinggi. Seorang buruh mengungkapkan:

Selain bekerja dengan debu, kami juga bekerja dengan suhu panas tinggi. Kalo boleh diistilahkan panas neraka.”

Selain dampak fisik, bekerja di suhu panas tinggi juga memberikan dampak terhadap jiwa buruh sehingga menimbulkan stres. Sebuah penelitian menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan antara suhu di lingkungan kerja dengan tingkat stres kerja. Secara psikologis, lingkungan kerja yang panas membuat orang bekerja merasa tidak nyaman. Situasi psikologis seperti ini dapat mengganggu konsentrasi dan dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Ketidaknyamanan dalam bekerja juga dapat memperburuk emosi buruh. Hal ini menjelaskan betapa seringnya konflik antar buruh terjadi karena hal sepele.

Perubahan emosi yang tidak stabil di tempat kerja yang panas, selain berdampak pada hubungan dengan buruh lain di pabrik, juga akan berdampak pada hubungan buruh di luar tempat kerja, lingkungan sosial bahkan di lingkungan keluarga. Seperti yang dialami UJG yang kerap berselisih paham dengan istri dan keluarganya saat berada di rumah.

Paparan kebisingan

Usai dipecat, UJG menyadari pendengarannya tak sebaik sebelum ia bekerja di pabrik peleburan baja. Saat masih bekerja, UJG dihadapkan pada lingkungan kerja yang sangat bising. Suara mesin dan benturan besi panas pada mesin peleburan menyatu membentuk suatu kebisingan. Dia telah berada dalam situasi ini selama 13 tahun.

Bunyi berulang dengan intensitas tinggi yang dihasilkan dari peralatan produksi (mesin) dan bahan produksi baja yang menyebabkan kerusakan pada jaringan saraf sensitif di telinga UJG. Akibatnya, fungsi pendengaran berkurang. Rusaknya jaringan saraf pendengaran berpotensi menimbulkan gangguan pendengaran, baik bersifat sementara maupun permanen. Gangguan pendengaran merupakan penyebab kecacatan terbesar keempat di dunia yang disebabkan oleh paparan kebisingan di tempat kerja.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1995, diperkirakan hampir 14% dari total buruh di negara-negara industri terpapar kebisingan melebihi 90 dBA di tempat kerja. Hal serupa juga terjadi pada dua smelter baja dalam penelitian ini. Hasil pengukuran tingkat kebisingan mencapai 90-95 dBA. Angka tersebut melebihi batas NAV paparan kebisingan yang ditetapkan ILO sebesar 85 dBA selama 8 jam sehari. Seperti yang diungkapkan oleh seorang buruh ketika menggambarkan situasi kebisingan di pabrik baja:

Suara mesin dan baja di bagian rolling paling keras, suaranya seperti gemuruh terus menerus, sampai membuat telinga sakit

Kekelakaan kerja

Pada bagian ini akan diuraikan beberapa kasus kecelakaan kerja yang dialami di kedua pabrik peleburan baja tersebut. Terdapat tiga kategori akibat akibat kecelakaan kerja yang terjadi. Ringan, sedang dan berat.

Pertama, kecelakaan kerja ringan, yaitu kecelakaan kerja yang memerlukan perawatan pada hari itu juga dan dapat kembali bekerja atau istirahat kurang dari 2 hari. Kecelakaan kerja ringan yang sering terjadi adalah sebagai berikut:

  • Keseleo, sering dialami oleh semua buruh. terutama di rolling, dan gudang. Kecelakaan ini disebabkan oleh banyaknya barang yang berserakan di lantai.
  • Terkena cipratan besi panas. Sering dialami oleh para buruh di bagian peleburan, khususnya buruh yang bertugas melakukan pengecoran.
  • Terluka akibat benda tajam. Sering terjadi pada bagian scrap pada saat buruh memotong scrap.
  • Mata terkena debu. Sering dialami oleh buruh di bagian tungku peleburan dan tungku pemanas billet. Biasanya terjadi ketika buruh membersihkan debu batubara dan cor-an tungku. Sebuah penelitian menyatakan bahwa kecelakaan kerja akibat masuknya debu sering terjadi pada industri baja. Kecelakaan jenis ini menempati urutan pertama[1].

Kedua, kecelakaan kerja sedang. Merupakan kecelakaan kerja yang memerlukan perawatan lebih dari 2 hari, kecelakaan jenis ini biasanya mengakibatkan cacat fisik yang bersifat sementara. termasuk yang berikut ini:

  • Patah tulang. Beberapa kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan patah tulang hampir terjadi di seluruh bagian.
  • Luka bakar akibat terkena besi panas banyak dialami oleh buruh pada bagian rolling dan finishing.
  • Kaki terkena besi atau benda berat. Biasanya terjadi pada bagian scrap dan finishing serta gudang. Seperti yang dialami RR.
  • Mesin gulungan peras. Sering terjadi pada bagian rolling pada saat buruh.

Ketiga, kecelakaan kerja berat. Yaitu kecelakaan yang mengakibatkan amputasi dan kegagalan fungsi tubuh secara permanen sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa buruh. Kecelakaan berat rata-rata dialami oleh 10 buruh dalam setahun. Kecelakaan kerja bermacam-macam jenisnya. Mulai dari tersiram cairan besi panas, terbakar, ada bagian tubuh yang masuk ke mesin hingga tersengat listrik. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu buruh.

“Banyak sekali kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat fisik permanen dan cacat fungsi tubuh. Rata-rata, setidaknya 10 buruh per tahun. ada yang tersiram cairan, ada yang jari tangannya terpotong, jari kakinya putus, ada pula yang tangannya terbakar akibat ledakan listrik.”[2]

Berikut angka kecelakaan kerja yang masuk dalam kategori kecelakaan berat pada pabrik peleburan baja. Akibatnya, para buruh tersebut mengalami cacat tetap dan kematian.

Kasus Kecelakaan Kerja di PT JCAS

  • Pada tahun 2007, terjadi kecelakaan kerja pada beberapa buruh di bagian peleburan. Kejadian tersebut disebabkan oleh ledakan pada tabung kompresor. Diduga, kompresor meledak akibat tekanan panas yang tinggi di area peleburan. Kejadian tersebut mengakibatkan 1 orang buruh asal China meninggal dunia karena dadanya terkena tabung kompresor yang meledak. 3 buruh lainnya di sekitar tempat kerja terluka.
  • Pada tahun 2014 seorang buruh Indonesia di bagian scrap meninggal dunia saat memotong kawat baja yang masih berbentuk gulungan. Saat memotong, kumparan terlepas dan mengenai buruh.
  • Pada tahun 2015. Seorang buruh Tiongkok meninggal karena sengatan listrik. Sebenarnya buruh Cina tersebut bukanlah mekanik kelistrikan, melainkan buruh di bagian finishing (penghitungan besi). Majikannya menyuruhnya membantu mekanik listrik memperbaiki saluran listrik derek. Sayangnya, buruh asal Tiongkok tersebut tersengat listrik dan meninggal seketika. Jenazah buruh asal Tiongkok itu masih tergantung di atas kabel listrik yang diperbaikinya.
  • Pada tahun 2015, dua bulan setelah kematian seorang buruh Tiongkok yang tersengat listrik, kecelakaan kerja kembali dialami oleh seorang buruh Tiongkok karena tersangkut setrika panas. Peristiwa terjadi ketika setrika panas pada mesin rolling keluar jalur dan melilit buruh asal China tersebut.

Kecelakaan Kerja di PT IBD

  • Pada tahun 2012 salah satu buruh outsourcing meninggal dunia akibat kecelakaan kerja akibat terjatuh dari crane. Dia sedang memperbaiki derek.
  • Pada tahun 2018. Dua orang buruh mekanik mesin CCM mengalami kecelakaan kerja karena tersiram cairan besi panas yang meluap. Saat itu, kedua buruh tersebut sedang memperbaiki mesin yang letaknya tepat di bawah mesin penuang cairan besi panas. Cairan tersebut meluap dan mengenai 2 buruh di bawahnya. 90 persen jenazah buruh terbakar dan meninggal setelah 2 hari dirawat di rumah sakit.
  • Pada tahun 2019 tungku peleburan di PT IBD meledak sehingga menewaskan 2 buruh dan 5 buruh mengalami luka bakar berat. Ledakan tungku peleburan disebabkan oleh reaksi kimia bahan bekas.
  • Pada tahun 2020, dua orang tewas akibat tungku peleburan kembali meledak.
  • Dua tahun pasca ledakan tungku peleburan di IBD tidak menjadi bahan evaluasi keselamatan buruh oleh perusahaan. Kejadian itu terjadi lagi. Akhir Agustus 2021, tungku peleburan kembali meledak. Meski tidak ada korban jiwa, namun sekitar 6 orang mengalami luka bakar serius akibat terkena cairan besi panas.

Penanganan kecelakaan kerja yang dilakukan perusahaan sangat prosedural. Di PT JCAS misalnya, ketika terjadi kecelakaan kerja, korban akan dilarikan ke klinik. Mandor akan memberitahukan kepada staf manajemen yang merawat apabila terjadi kecelakaan. keputusan penanganan buruh yang mengalami kecelakaan kerja ditetapkan oleh kepala departemen. Apakah harus dibawa ke rumah sakit atau sekedar diberikan obat yang tersedia di klinik. Untuk mengakses obat, mandor harus mengurus administrasinya terlebih dahulu. Apabila korban hanya mengalami kecelakaan ringan dan masih dapat bekerja, maka buruh tetap diperintahkan untuk kembali bekerja. Kecuali bagi korban yang harus memerlukan pertolongan medis segera ke rumah sakit. Sebab, klinik yang tersedia belum memiliki tenaga medis. Dalam hal korban harus dibawa ke rumah sakit.

Foto Kecelakaan Kerja Tahun 2018 di PT IBD akibat meledaknya tungku peleburan. Sumber: www.beritasepekan.net

Kasus kecelakaan kerja seperti yang dialami KK menunjukkan bahwa pihak perusahaan (PT JCAS) juga tidak menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai. Tidak adanya tenaga kesehatan dan mobil operasional khusus untuk penanganan kecelakaan kerja membuat klinik di PT JCAS tidak berfungsi dengan baik. Klinik ini hanya menyediakan obat untuk luka ringan. Beberapa buruh mengaku kesulitan mendapatkan obat-obatan di klinik. Prosedur yang rumit seperti mekanisme pelaporan kepada atasan membuat buruh enggan mengaksesnya. Salah satu buruh berkata:

“Di JCAS ada klinik, tapi tidak ada dokter atau tenaga kesehatan. Hanya buka pada siang hari, jika terjadi kecelakaan kecil. Sulit untuk meminta obat. Kalau pun diberikan, hanya salep atau obat tetes mata bagi buruh yang matanya terkena debu. Jika tidak terlalu buruk, buruh harus bekerja lagi. Jika terjadi kecelakaan kerja harus menghubungi kantor terlebih dahulu dan itu terlalu prosedural. Kalau hanya kecelakaan kecil, biasanya cukup bertahan saja. kecuali serius banget, kita harus ambil jalur prosedural.

PT IBD yang paling parah dalam hal ini. Perusahaan tidak menyediakan fasilitas klinik bagi buruhnya. Apabila terjadi kecelakaan kerja yang memerlukan pertolongan medis, korban segera dibawa ke rumah sakit atau klinik terdekat. Perusahaan hanya menyediakan mobil khusus (bukan ambulans) untuk mengambil korban kecelakaan kerja. Penyediaan mobil khusus diminta oleh serikat buruh setelah kecelakaan itu. Seperti yang dituturkan salah satu buruh PT IBD.

“Terjadi kecelakaan kerja pada malam tahun baru sehingga memerlukan pertolongan segera ke rumah sakit. karena kaki buruh itu terbelah oleh potongan pelat. Saat itu ada mobil tapi tidak ada supirnya. Akhirnya saat itu juga penerjemah yang bisa membawa mobil tersebut akhirnya membawa buruh tersebut ke rumah sakit. Sejak itu kami meminta disediakan mobil dan sopir khusus.”

Salah satu buruh PT JCAS mengaku selama bekerja sejak tahun 2007 hingga saat ini, pihak perusahaan hanya memberikan layanan pemeriksaan kesehatan bagi pekerjanya sebanyak satu kali. Pelayanan tersebut diberikan pada saat perusahaan sedang dalam proses audit untuk mengurus sertifikat ISO. Hasil medical check up juga tidak diberikan kepada buruh. Serikat buruh beberapa kali meminta perusahaan melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk mengetahui kondisi kesehatan paru-paru pekerjanya. Sayangnya pihak perusahaan selalu menolak dengan alasan keterbatasan anggaran. Sebaliknya, perusahaan hanya menyediakan susu kotak per bulan. Perusahaan menyatakan susu dapat menjaga kesehatan paru-paru buruh karena bekerja di tempat yang berdebu. Faktanya, menurut beberapa ahli gizi, tidak ada hubungan antara konsumsi susu dengan kebersihan paru-paru[3]. Hal serupa juga terjadi di PT IBD, dimana perusahaan tersebut tidak pernah melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap para pekerjanya.

Bekerja di tempat yang panas memerlukan pasokan air dalam tubuh agar terhindar dari dehidrasi akibat paparan panas tinggi. Tubuh buruh mengeluarkan keringat terus menerus. Untuk mengembalikan cairan dalam tubuh buruh. Pelayanan air minum sangatlah penting. Salah satu buruh mengatakan bahwa air minum yang disediakan terkadang tidak mencukupi kebutuhan buruh. Perusahaan hanya menyediakan 2 hingga 4 galon per shift dari satu kelompok yang dipimpin oleh seorang mandor. Jumlah orang dalam suatu kelompok juga bervariasi dari satu bagian ke bagian lainnya.

Dampak lingkungan

Pencemaran udara akibat proses produksi peleburan baja berasal dari cerobong asap. Jumlah debu yang beterbangan ke pemukiman juga cukup tinggi karena proses produksinya menggunakan bahan bakar batu bara yang menghasilkan konsentrasi partikel debu yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia. Hal ini juga diperparah dengan adanya debu akibat mobilisasi kendaraan bermuatan besar yang membawa bahan baku atau produk jadi dari smelter baja.

Diperkirakan terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit terkait pencemaran udara di Jakarta pada tahun 2010, antara lain ISPA 2.450.000 kasus, jantung koroner 1.246.000 kasus, asma 1.211.000 kasus, pneumonia 336.000 kasus, dan bronkopneumonia 154.000 kasus. dan penyakit obstruktif kronik 154.000 kasus[4]. Polusi udara di Jakarta juga menjadi faktor ketiga penyebab kematian anak[5].

– Bersambung –

Baca tulisan sebelumnya tentang profil perusahaan di bagian 1; Bagaimana struktur dan alur produksi peleburan baja pada bagian 2; dan bagaimana kisah buruh bekerja berhadapan dengan paparan debu, panas dan kebisingan pada bagian 3 dari tulisan ini.


Catatan kaki

[1] Riyadina. Work Accidents Injuries experienced by industrial workers in the Pulo Gadung industrial area, Jakarta. Menkara Journal, vol. 11 of 2007.

[2] Wawancara March 2021.

[3] UN Environment, Ministry of Environment Republic of Indonesia. Cost Benefit Analysis for Fuel Quality and Fuel Economy Initiative in Indonesia | UN Environment. https://www.unenvironment.org/resources/report/cost-benefitanalysis- fuel-qualtiy-and-fuel-economy-initiative-indonesia (Accessed January 8, 2019)

[4] UNICEF Indonesia, Vital Strategies. Air Pollution: A Threat to Children’s Health in Indonesia. 2018. Diambil dari https://www.vitalstrategies.org/resources/airpollution- a-threat-to-childrens-health-in-indonesia/

[5] https://id.berita.yahoo.com/susu-bisa-bersihkan-paru-paru-030829251.html