MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Kerentanan Buruh Platform Transportasi Daring

Komitmen Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mendorong kebijakan ketenagakerjaan yang koheren dan inklusif untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, patut dikritik. Pernyataan ini dicetuskan saat Indonesia bergabung ke Koalisi Global untuk Keadilan Sosial dalam International Labour Conference (ILC) ke-112 yang digelar oleh International Labour Organization (ILO) di Jenewa.

Faktanya, komitmen tersebut hanyalah janji manis. Kondisi kerja rentan selama ini dialami oleh buruh platform seperti taksi online, ojek online (ojol) dan kurir bekerja dengan pendapatan yang semakin menyusut.

Berdasarkan kajian Litbang Kompas terhadap pengemudi ojek daring pada 2019, ditemukan penurunan pendapatan yang signifikan selama 2014 hingga 2019. Rata-rata pendapatan pengemudi ojol pada 2019 sebesar Rp 3,9 juta per bulan. Nominal ini sangat timpang dibandingkan pendapatan pengemudi ojol pada 2014 yang rata-rata bisa menerima penghasilan sebesar Rp 10,9 juta per bulan.

Temuan tersebut selaras dengan hasil survei Balitbang Kementerian Perhubungan tahun 2022.  Hasilnya ditemukan bahwa pendapatan rata-rata driver ojek daring di bawah Rp 3,5 juta per bulan.

Kerentanan yang dialami buruh diterjemahkan ke dalam istilah prekariat oleh Guy Standing.  Dalam bukunya The Precariat (2011), Standing menyatakan bahwa prekariat mengalami kondisi ketiadaan atas tujuh unsur jaminan pekerjaan.

Pertama, Jaminan Pekerjaan Layak (labour market security) berupa kesempatan kerja dalam memperoleh pendapatan. Pengemudi ojol menjadi rentan karena ketidakpastian di dalam hubungan kemitraan yang sewaktu-waktu dapat membuat dirinya kehilangan pendapatan bahkan pekerjaan. 

Kedua, Jaminan Keberlangsungan Kerja (employment security) berupa perlindungan terhadap pemecatan sewenang-wenang. Pengemudi ojol dengan mudah terkena sanksi hingga pemecatan melalui mekanisme suspend dan putus mitra (PM) secara sepihak oleh aplikator.

Ketiga, Jaminan Karir Kerja (job security) berupa kesempatan dalam melakukan mobilitas kerja, dalam hal status dan pendapatan. Di sini kondisi justru sebaliknya, buruh platform malah tidak diangkat statusnya sebagai buruh tetap dan pendapatannya juga semakin menurun.

Keempat, Jaminan Keamanan dan Kesehatan Kerja (work security) berupa perlindungan atas kecelakaan kerja dan sakit yang diakibatkan karena pekerjaannya. Khususnya buruh platform perempuan tidak terlindungi, karena tidak mendapatkan haknya seperti cuti haid, cuti melahirkan dan kesempatan untuk menyusui. Termasuk kerentanan akan pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami pengemudi ojol perempuan.

Kelima, Jaminan Peningkatan Keterampilan Kerja (skill reproduction security) berupa kesempatan memperoleh keterampilan kerja dan kompetensi kerja. Para buruh platform tidak mendapatkan pelatihan berbasis kompetensi yang dapat meningkatkan statusnya sebagai buruh tetap.

Keenam, Jaminan Pendapatan (income security) berupa kepastian pendapatan layak berupa upah minimum dan jaminan sosial.  Dalam hal ini buruh platform tidak mendapatkan upah minimum karena status mitra yang menghitung upah berdasar hasil kerja, bukan berdasar waktu kerja. Begitu pula dengan jaminan sosial yang hanya mendapatkan tiga dari lima aspek perlindungan sosial.

Ketujuh, Jaminan Keterwakilan (representation security) berupa kepemilikan suara kolektif melalui serikat buruh. Para buruh platform tidak mempunyai hak untuk berserikat karena status mitra. Begitu pula halnya dengan aspirasi dan demonstrasi kolektif yang juga dilarang untuk mengkritik aturan aplikator.

Keberpihakan Pemerintah?

Saat ini Kemnaker sedang membuat rancangan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tentang perlindungan buruh berbasis aplikasi. Dalam prosesnya, Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) turut dilibatkan. Namun dalam beberapa kali forum yang diselenggarakan oleh Kemnaker, kami menolak usulan yang ada karena masih berpihak kepada kepentingan aplikator.

Forum tersebut selalu mengarahkan opini untuk menerima model luar hubungan kerja sebagai solusi bagi buruh berbasis aplikasi. Tentu hal ini ‘setali tiga uang’ dengan hubungan kemitraan yang diciptakan oleh perusahaan aplikator.

Faktanya, hubungan kerjalah yang sesungguhnya terjadi antara buruh platform dengan aplikator, karena di dalamnya terdapat unsur pekerjaan, upah dan perintah. Ketiga unsur itu terdapat di dalam aplikasi yang diciptakan aplikator untuk memberi perintah kepada buruh platform dalam melakukan setiap pekerjaan, berikut upah yang telah dipotong untuk biaya sewa aplikasi.

Maka, untuk menghasilkan kebijakan ketenagakerjaan yang koheren dan inklusif, sudah saatnya Kemnaker menetapkan buruh platform sebagai buruh tetap di dalam Permenaker.  Sebagai dasarnya di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur hak-hak perburuhan.[]

Penulis

Raymond J. Kusnadi
Koordinator Advokasi, Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI)