“… salah satu perbuatan saja kepada massa ialah … selalu saja
katakanlah dengan perkataan apa-apa jang tidak benar. Saja iming-iming massa. …
Ambil Hitler, kataku, – wah Hitler itu bukan main pandainja …”
–Soekarno, Ilmu Pengetahuan Sekedar Alat Mentjapai Sesuatu
Fasisme berkarat di Indonesia sejak penjajahan Belanda hingga masa kini, tak pernah berhenti mandi darah rakyat dan merampas keringat kita. Kitab suci sejarah penjajahan sudah ditulis ulang dengan tambahan masa emas terbaru. Legendanya demikian: Soekarno menyatukan Indonesia tanpa darah, lalu memimpin perjuangan melawan penjajahan manusia atas manusia, dan negara atas negara sebelum dibantai oleh militer fasis Soeharto dengan dukungan negara penjajah dunia. Selayak kisah Pararaton[1], pihak yang didukung dewa, menang. Oh, negara penjajah asing, para dewa jahat yang mahabisa dan mahatahu!
Zaman emas selalu diciptakan oleh suatu bangsa pada titik terlemahnya. Selayak individu yang hanya hidup dalam keindahan masa lalu. Kegagalan berpikir dan kelarutan jiwa dalam halusinasi masa emas adalah kecenderungan fasis, yang marak dalam pergerakan sekarang. Apakah kita lupa tentang kejayaan bangsa Arya yang dijeritkan Hitler di Jerman?
Berbagai kebengisan periode Soeharto dimulai oleh periode Soekarno atas nama kemerdekaan melawan penjajahan. Daftar singkat pengakuan dosa mereka berdua: menjilat modal asing, mengekang serikat buruh dan alat produksi dengan negara militer, kontrol diktator atas partai politik, penghancuran kebebasan sipil, genosida di Papua Barat, ideologi kolaborasi kelas, golongan karya, menjadikan orang Tionghoa kambing hitam, dan penjajahan daerah luar Jawa.
Kesalahan strategis, taktis, dan ideologis kaum revolusioner Indonesia selama periode Soekarno adalah tindakan bunuh diri. Penulisan ulang sejarah menjadi mitologi, hanyalah hobi masturbasi bersama gaya lelaki Jawa yang takut menghadapi kenyataan.
Sejarah tidak pernah mati. Yang terdiamkan berbicara dengan caranya sendiri. Manusia yang ingin berkembang perlu bercermin untuk mengenal dirinya dan pendaman terdiamkan dalam dirinya sendiri. Kalau tidak, segala usaha, nyali, dan pikiran akan tumpul tanpa guna. Maka tugas seorang penulis adalah membongkar kesadaran suatu dunia yang tidak memahami dirinya sendiri. Dalam kata lain, terasingkan dari suara dan tubuh dan namanya sendiri. Penyembahan berhala sejarah dengan pendewaan pimpinan karismatik, biasanya lelaki Jawa, bertolak belakang dengan kerja menulis.
***
Lelaki Jawa terbiasa hidup dibalik kumpulan ulangan naskah yang diputarnya selayak radio rusak. Gunanya untuk membangkitkan dalam orang lain, tameng gambar seorang sosok paling satria, paling brahmana, paling segala. Dalam kata lain, lelaki Jawa adalah bayi besar yang harus membesarkan diri untuk menutupi kekecilannya. Demikian kesan Kartini, dalam suratnya yang tidak pernah dibaca para penyembahnya. Sebaliknya, Soekarno melahirkan pidato Ilmu Pengetahuan Sekedar Alat Mentjapai Sesuatu secara spontan, tanpa skrip. Maka inilah salah satu jendela langka ke dalam jiwa telanjang seorang lelaki Jawa. Pidato Soekarno tersebut memuji kemampuan Hitler menghipnotis rakyat. Secara terbuka, Soekarno berkata, dia membohongi rakyat dan mengikuti resep propaganda Hitler. Soekarno kemudian meniru gaya bicara dan perkataan Hitler.
Seorang diplomat Eropa keluar dengan gelisah, teryakinkan bahwa Soekarno adalah seorang penipu gila nan berbahaya. Soekarno memanggil dirinya seorang murid Hitler dalam perihal menggerakan massa. Dari judul pidatonya, Soekarno membuka dirinya sebagai seorang pribadi yang tidak acuh pada ilmu pengetahuan, selain sekedar alat mencapai sesuatu. Benar dan salah, jujur dan bohong, mulia dan bengis, tampaknya tidak ada dalam otak seorang fasis. Yang penting hanya tujuan akhir. Dan tujuan itu bernama: sesuatu! Dalam kata lain, apapun selama dirinya duduk di puncak gunung.
Soekarno terkenal sebagai pencipta slogan ulung. Memang, salah satu prinsip propaganda Mein Kampf adalah pengulangan terus menerus istilah sederhana, ketimbang pemahaman dan organisasi. Berbagai slogan Soekarno diambil dari tradisi fasis, antara lain “djangan ‘banyak bicara, bekerdjalah!’, tetapi ‘banyak bitjara, banyak bekerdja!’” karya Hitler.
Judul pidato Soekarno lainnya, “Tahun Vivere Pericoloso”, menjiplak vivere pericolosamente dari pidato Mussolini pada Kongres Nasional Partai Fasis. Asal usul istilah yang artinya hiduplah dengan berbahaya itu ada dalam filsafat Nietzsche, atas nama gefährlich leben. Lebih kurang berarti haus pengetahuan, hidup dalam masa kini, dan keberanian menghidupi hidup sepenuhnya. Mussolini memelintirnya menjadi memandang kesulitan secara romantis dan kesiapan melakukan apapun untuk mempertahankan fasisme. Dengan semangat seorang Mussolini, Soekarno memanggil rakyat untuk siap berkorban dengan “tegak kepala” dan “mulut tersenyum” demi revolusi seiring inflasi kronis 1964. Seperti Bapak yang memukuli anak, semakin marah saat anaknya menolak tersenyum. Taat bahagia sembari kepala diinjak, demikian kewajiban seorang serdadu.
Pada 1940, Soekarno mencatat propaganda ilusi atas dasar “asal ikut, asal bergerak, asal mengalir, asal tertarik!” lebih penting daripada organisasi. Mirip teori fasis yang dihidupi Hitler dengan “cara mengagumkan”. Terinspirasi oleh Hitler, Soekarno menjadi propagandis kerja paksa dan perbudakan seksual bagi fasisme Jepang. “Pengaruhku terhadap rakyat sudah tumbuh sedemikian, sehingga kalau aku berkata ‘Makan batu’, mereka akan memakannya.”[2] Wong cilik dilatih pergerakan nasionalisme menjadi taat pada Paduka Yang Mulia. Persis kuli dambaan penjajahan Belanda dan serdadu ideal penjajahan Jepang.
Pembangunan massa mengambang berjiwa budak dimulai oleh Soekarno, bukan Soeharto. Sjahrir sendiri mengkritisi agitasi propaganda pergerakan nasionalisme. Menurutnya, tumbuh dari ideologi fasisme Jepang, dimana “jiwa pemuda dibentuk untuk dapat menerima perintah saja, untuk tunduk dan mendewa-dewakan, seperti orang Jepang tunduk kepada Tenno[3] dan mendewa-dewakannya. Demikian pula pemuda kita hanya diajar tunduk pada pemimpin dan mendewa-dewakannya. Tidak diajar untuk cakap bertindak dengan bertanggungjawab sendiri.”[4] Hingga kini, fasisme tumbuh subur dalam alam bawah sadar Indonesia, dari kesenangan sadis anak kecil membunuh cicak hingga anggota serikat daerah yang hanya mengikuti perintah dewa tak dikenal dari serikat pusat.
Setelah kemenangan pergerakan nasionalisme, Soekarno mengajukan sistem partai tunggal dan pembentukan PNI-Staatspartij. Penggabungan partai dengan negara untuk menciptakan monopoli politik sebelumnya dilakukan oleh fasisme di Jerman dan Italia. Beberapa bulan sebelum kemenangan pergerakan nasionalisme, fasisme di Jepang juga ikut mendirikan sistem partai tunggal. Ya, kemenangan nasionalisme dan bukan kemerdekaan Indonesia.
Rakyat Indonesia belum pernah merdeka. Nama staatspartij sendiri datang dari partai fasis di Belanda, Roomsch-Katholieke Staatspartij, yang mendukung penjajahan kolonial Hindia Belanda. PNI-Staatspartij sendiri jiplakan mentah struktur organisasi dan keanggotaan Hōkōkai[5] bentukan tentara Jepang. Sjahrir mengkritisi PNI-Staatspartij sebagai partai fasis dan berperan besar dalam penghancurannya. Fasisme gaya nasionalisme Indonesia hanya menjiplak penjajahnya sendiri: menjilat lawan rakyat, dan menjual puing kehancuran revolusi.
Ratusan tahun lamanya peradaban Jawa dipaksa hanya konsumsi, bukan mencipta. Alhasil, bahkan dalam menggilas bumi manusia, fasisme di Indonesia menelan ludah penjajah. Soekarno yang telapak kakinya disembah sebagai pahlawan gerakan Asia Afrika menulis bahwa benua Afrika “belum beradab, liar, dan tidak dapat dijinakkan”, pandangan yang sama dengan para penjajah pertama Afrika. Dalam paragraf yang sama, dia mengatakan bahwa perempuan paling baik adalah yang “paling baik dalam memuaskan laki-laki”.[6] Penulis sungguh kagum dengan kemampuan peradaban Jawa yang secara rutin menghasilkan kumpulan paragraf paling menjijikan sepanjang sejarah bumi manusia. Tepat sekali analisa tajam Kwame Nkrumah, presiden Ghana dan penulis Neokolonialisme, Tahap Terakhir Imperialisme, bahwa Soekarno patut dibandingkan dengan Hitler.
Sjahrir dipenjara tanpa pengadilan oleh fasisme di Indonesia dari 1962 hingga 1965 oleh pemerintahan Soekarno, para “pengkhianat perjuangan” yang “sudah menjual jiwa dan kehormatannya kepada fasis”.[7] Jauh sebelum itu, Tan Malaka dan para tokoh penting Persatuan Perdjuangan ditahan tanpa pengadilan oleh pemerintahan Sjahrir. Tan Malaka dibunuh untuk memuluskan kerjasama pergerakan nasionalisme dengan Belanda. Saling berpesta mandi darah sesama, demikian sejarah peradaban Jawa.
Artikel kritis anonim dalam Kedaulatan Rakyat membandingkan tindakan pembunuhan oleh negara Indonesia dengan polisi penjajahan Jepang dan Belanda. Justru lebih buruk dari penjajahan Belanda! Setidaknya makanan dan perawatan medis tahanan politik dijamin dalam kamp Digul. “Semasa kolonial, 3 hari ditahan tanpa perkara jelas sudah bisa menuntut ganti rugi. Dibunuhi pula, malah tanpa ada komisi penyelidikan.” Ratapan tulisan Pramoedya atas kamp konsentrasi Buru sebenarnya cocok dengan nasionalisme Indonesia yang begitu dia cintai.
Dalam fasisme, politik menjadi masalah teknis. Lihat saja sama persisnya tujuan dan kepentingan partai politik di Indonesia hari ini. Indonesia tidak memiliki partai politik oposisi. Politik itu sendiri punah di bawah jeruji fasisme. Masalah politik menyembunyikan diri sebagai masalah kebudayaan dan teknis sehingga menjadi tidak bisa dicerna. Pramoedya mempelajari Jawanisme sebagai ideologi fasis yang dilahirkan dari mitologi, teater, dan musik keseharian yang melahirkan ketaatan mutlak pada atasan. Hasilnya, pembodohan rakyat agar terus bekerja dan berkembang biak selayak hewan ternak.
Kritik Pramoedya menyerang fasisme sebagai masalah kebudayaan, bukan sebagai keutuhan ekonomi politik yang diperlukan alur akumulasi kapital, keseimbangan kekuatan kelas, negara militer di belahan terjajah, dan arus sejarah tertentu. Maka, nyanyian bisu seorang Pramoedya berakhir dengan terbakar dalam amarah sendirian. Fenomena ini bisa dipanggil ‘pembudayaan politik’. Gerakan musik punk, gaya hidup anarko, toleransi beragama, dan menolak berbicara tentang SARA adalah beberapa contoh lain pembudayaan politik.
Fasisme di Indonesia berasal dari keperluan ekonomi dunia. Rendahnya komposisi teknik kapital di Jawa menjadi penyerap proses kejatuhan produktivitas kapital dan kemahalan mesin perang kerajaan Belanda. Alhasil, rasionalitas ilmiah tidak pernah mengikis budaya bawahan kerajaan alias sendiko dawuh.
Ekspor tentara dan kuli dari Jawa diperparah oleh kematian industri gula Jawa dan pemindahan pusat pendapatan mata uang asing ke industri ekspor luar Jawa setelah depresi besar 1930an. Maka, sebaran geografis fasisme Jawa memperluas diri bersama dengan ekspansi kapital dalam mencari aset produktif serta buruh baru saat krisis. Pada periode inilah, muncul Perindra (Partai Indonesia Raya), pergerakan nasionalisme yang katanya melawan fasisme sembari mengagumi fasisme gaya Hitler dan menggunakan salutan sieg heil dari fasisme Jerman.[8] Ciri kemunafikan tragis mengutuk fasisme sembari menjalankan fasisme kemudian diteruskan oleh Soekarno. Yang dipermasalahkan, sebenarnya, adalah mereka sedang diinjak dan mau menginjak, bukan ada tidaknya injak menginjak antar manusia. Bahkan salah satu tokoh Perindra, pahlawan nasional M. H. Thamrin, dimakamkan dengan Hitlergruß[9].
Mengikuti jejak leluhurnya di Perindra, Prabowo menamakan partainya Gerindra. Penguatan militer dan polisi hanyalah titik mula dari banjir yang akan datang. Biarlah Prabowo mengakui dosanya sendiri: “Indonesia belum siap untuk demokrasi. Indonesia membutuhkan rezim otoritarian baik. … Apa saya siap dipanggil diktator fasis?” Naiknya Prabowo mengulangi, sekali lagi, lingkaran setan fasisme Indonesia. Prabowo mengakui dengan terbuka bahwa dia akan menjadi diktator fasis dan menamakan partainya untuk mengenang pergerakan fasisme di Indonesia. Anehnya, masih saja dipilih oleh kebanyakan rakyat. Bayangkan saja jika seorang mantan tentara di Jerman bertindak segila Prabowo dan menamakan partainya untuk mengenang para Nazi. Jangankan memenangkan kursi presiden. Perilaku demikian seharusnya dijadikan tindakan pidana.
Foto: Penghormatan ala Hitler Nazi oleh anggota Perindra saat pemakaman MH Thamrin di Karet, Januari 1941. Sumber: Hilters-Griff nach Asien
Penjajahan fasisme Jepang memperkuat kecenderungan fasis dalam pergerakan nasionalisme di Indonesia. Kecocokan peradaban Jawa dengan ideologi fasis Jepang membentuk tengkorak fasisme di Indonesia. PETA dibentuk, menurut propaganda Jepang, berdasarkan surat permohonan dengan tinta darah mistik. Dalam pidato Sudirman tentang semangat spiritual, hemat penderitaan, dan taat pada sosok Bapak, tampak perkawinan biadab antara satria Jawa kuno dengan etika militer Jepang. Memang hampir semua sosok pergerakan kemerdekaan di Indonesia berasal dari kelas atasan feodal di kota besar Jawa, demografi pribumi yang paling berkepentingan mendukung fasisme.
Melalui kerjasama antara fasisme di Indonesia dengan proyek penjajahan Barat yang mendukung pembasmian komunisme dan penindasan buruh tani oleh negara militer, revolusi dari bawah dikhianati oleh pemimpin dari atas. Novel Larasati karya Pramoedya adalah suatu ratapan panjang atas bagaimana revolusi Indonesia menghancurkan dirinya sendiri. Di awal buku, Larasati bergejolak menghidupi kemanusiaan api revolusi. Mendekati akhir buku, Larasati menjadi budak seks seorang atasan.
Cerita pendek Surabaya karya Idrus lebih tajam lagi dari Pramoedya. Idrus mengkritik revolusi Indonesia sebagai fenomena fasis yang membusuk dari petualang paling bawah hingga komandan paling atas, didukung oleh agresi lelaki Jawa yang tertekan secara seksual. Ya, segala dipersembahkan untuk menyenangkan para komandan Barat, dari penghancuran gerakan komunis, bentuk demokrasi terwakilkan gaya Barat, kompromi atas jangkauan wilayah negara, pembubaran tentara rakyat melalui program Hatta yang berujung pada monopoli militer bekas penjajahan kolonial atas alat senjata, penerimaan pelatihan militer Amerika Serikat, tidak dikirimnya konsul Indonesia ke negara komunis, hingga kebijakan peminjaman uang wajib oleh pemerintah. Secara lebih luas, demikianlah pola gerak nasionalisme dunia ketiga secara umum, memenuhi prediksi Mussolini bahwa abad ke-20 adalah abad otoritas, abad negara, dan abad fasisme. Memang fasisme paling lezat bagi kecenderungan rakyat yang terjajah selama ratusan tahun dan baru mulai muncul kembali. Dari Modi di India, Marcos di Filipina, hingga Prabowo di Indonesia, pergerakan nasionalisme di seluruh dunia ketiga melahirkan jamur fasisme.
Negara Indonesia hampir identik persis dengan militer Indonesia. Kata seorang sahabat karib rezim Soeharto:“Karakteristik paling mencurigakan revolusi Indonesia adalah kondisi kepemimpinan ganda – militer dan politik.” Berbeda dengan revolusi Vietnam, Amerika, Yugoslavia, dan Algeria, dimana pimpinan militer dan politik tersatukan, dwifungsi militer Indonesia terciptakan oleh politik fasis dan kompromis elit pergerakan nasionalisme. Sembari para atasan pergerakan menyerah pada agresi militer, antara lain Soekarno yang berjanji ikut perang gerilya, tentara Indonesia dibawah Sudirman terus bergerilya. Maka Jawa berada di bawah pemerintahan militer dengan sistem teritorial sisa periode Jepang.
Hingga hari ini, pemerintahan militer berjalan di bawah permukaan negara Indonesia dalam bentuk institusi serupa dari kodam hingga koramil. Musyawarah pimpinan dalam setiap pemerintahan daerah, contohnya, melibatkan tidak hanya pejabat sipil namun juga polisi dan militer. Dalam setiap kabinet pemerintahan Soekarno, militer menentukan anggaran belanja kementerian pertahanan dan beberapa kementerian lainnya. Alhasil dengan pengecualian tahun 1951, setiap tahunnya pemerintahan Soekarno menderita defisit keuangan. Semasa demokrasi terpimpin, Soekarno juga memberi 42 kursi pada tentara sebagai golongan fungsional di DPR-GR. Keanggotaan DPR-GR lebih banyak terisi perwakilan golongan fungsional daripada partai politik. Dominasi ideologi golongan fungsional tampak dalam keanggotaan DPR-GR: 130 wakil partai dan 153 anggota golongan fungsional. Ideologi golongan karya periode Orde Baru dibangun atas fondasi ideologi periode Soekarno.
Terbalik dari fantasi bualan Pramoedya bahwa Indonesia disatukan tanpa darah oleh Soekarno, pandangan kaum militer bahwa “satu-satunya grup yang bisa menjalan Indonesia adalah ABRI” sebagai pemersatu negara Indonesia lebih jujur. Dari pembunuhan pergerakan komunis pada tahun 1948, penindasan pemberontakan rakyat di Maluku Selatan pada tahun 1950, genosida G30S pada tahun 1965, genosida di Timor Leste, hingga genosida di Papua Barat atas nama ideologi fasisme “NKRI harga mati” hari ini, hanya peluru militer yang menyatukan Indonesia. Atas nama konsistensi akal, mengayomi persatuan negara Indonesia entah identik dengan memaklumi kekerasan militer fasisme Indonesia, atau hanya harapan kosong yang tidak berdasarkan kenyataan. Bukankah Pramoedya hanya bisa minta maaf sebelum diam dan lari ke kamar kecil saat ditanya tentang kemerdekaan Papua?
Indonesia dibangun atas pertumpahan darah untuk menekan perang kelas. Indonesia bukan suatu kesatuan geografi alam, bukan ciptaan “kehendak Tuhan”, bukan jejak sumpah seorang Gajah Mada, apalagi fantasi konyol Soekarno bahwa anak kecil yang diberi peta dunia saja akan dengan sendirinya menggambar perbatasan Indonesia, dimana dua puluh juta orang menjadi satu. Indonesia adalah kondisi peperangan kelas abadi, selama Indonesia masih ada dan menghancurkan dirinya sendiri.
Nasionalisme Indonesia muncul sebagai perlawanan atas penjajahan dalam batasan Hindia Belanda. Sebelum penjajahan Hindia Belanda, tidak ada Indonesia, hanya ribuan keping perbedaan bahasa, budaya, politik, ekonomi, dan perkembangan sejarah. Demikian pula dengan perkembangan nasionalisme Timor Leste dan Papua Barat. Sebelum penjajahan dengan bahasa Indonesia, ada lebih dari tiga ratus suku di Papua Barat dengan bahasanya sendiri. Bahkan tidak ada suku yang mengetahui keberadaan semua suku lainnya dan tidak ada budaya Papua Barat. Yang menyatukan identitas nasionalisme dalam koloni adalah pengalaman penjajahan koloni itu sendiri. Dalam kata lain kekerasan militer dalam demarkasi batasan oleh sistem monopoli kapital internasional. Bahkan kata “nasion” itu sendiri datang dari Barat! Upaya membangun kemerdekaan atas dasar penjajahan rakyat oleh negara dan penjiplakan wasiat penjajah asing adalah tindakan bunuh diri.
Kebijakan periode Soekarno di Papua Barat begitu ekstrim hingga dikutuk sebagai ekspansionis dan imperialis oleh Hatta, seorang komprador. Tidak ada partisipasi Papua dalam persetujuan New York, yang dihasilkan oleh tekanan ancaman Amerika Serikat menarik dana dari Belanda. Amerika sendiri berkepentingan mengincar minyak: perusahaan Standard Oil sedang bersaing melawan perusahaan Shell hasil kerjasama Belanda dan Inggris.
Imperialisme muncul sebagai hasil perkembangan monopoli kapital. Sama persis pola perubahannya dengan bantuan dewa Amerika Serikat dalam mengancam kesehatan ekonomi Belanda, yang mengubah pengakuan wilayah Belanda atas Indonesia dalam 12 jam. Terus menerus menjilat modal asing. Sehari setelah transfer kedaulatan pada Indonesia, menteri kebudayaan datang ke Papua Barat untuk membakar artefak kebudayaan, buku pelajaran, dan bendera asli Papua dihadapan 10,000 penonton. Pejabat terpilih dibubarkan dan digantikan oleh sistem demokrasi terpimpin: golongan karya, pimpinan militer, dan pemuka agama. Tentara Indonesia juga merampok fasilitas medis, AC, dan apapun komoditas yang bisa mereka rampas. Dekrit Presiden No. 8 Tahun 1963 melarang segala kegiatan politik tanpa izin pemerintah dan Dekrit No. 11 mengancam hukuman mati untuk aktivitas kontra-revolusioner. Referendum dibatalkan sepihak. Bahkan Gerakan Wanita Indonesia ikut memperkenalkan kebaya sepanjang pesisir untuk menjawakan Papua!
Fasisme di Indonesia dilahirkan oleh kontradiksi antara hubungan kapital dan tenaga produksi. Negara yang mengejar keterbelakangan industrialisasi memiliki keperluan militerisme. Tanpa institusi memadai, kapital menghadapi masalah koordinasi dalam mengejar proyek yang menguntungkannya sebagai kelas, namun merugikannya sebagai individu, antara lain pembangunan jalan, pembangkit listrik, akumulasi primitif, penciptaan buruh ideal, dan penelitian teknologi produksi. Contohnya, negara Indonesia pasca-kemerdekaan tidak memiliki disiplin finansial dan kekurangan pekerja akuntan, maka anggaran belanja meledak berkat hampir tidak adanya hubungan antara budget institusi dengan pengeluaran nyata dan tidak adanya pemeriksaan oleh bendahara lepas.
Dengan tingginya inflasi dan rendahnya gaji pegawai sipil, korupsi merajalela dan memperparah kerugian kapital. Pelatihan akuntan tidak terjadi karena kekurangan institusi kolektif dan tidak rasional pada tingkat individu: pekerja akuntan terlatih akan putar haluan ke institusi lain yang belum punya akuntan dan karenanya menawarkan gaji tinggi. Maka kerugian kapital atas keterbelakangan industrialisasi mendorong negara menjadi arsitek dan pendana institusi untuk pengembangan relasi produksi baru, dalam kata lain memperluas jangkauan kenegaraan dalam kehidupan, sementara militer terdorong untuk menggunakan kekerasan untuk membentuk kelas pekerja ideal bagi akumulasi kapital: pendiam, penurut, pasif, terlepas dari sejarah, dan tidak berpolitik. Demikian landasan ekonomi dibalik multifungsi ABRI.
***
Kontradiksi ekonomi dengan kecenderungan menuju fasisme ini diperparah dalam kondisi spesifik Indonesia. Sebelum direbut serikat buruh, 25% pendapatan negara di industri besar berada di tangan Belanda dan Inggris, sementara perusahaan Belanda mengontrol 60% impor dan seluruh perbankan ada di tangan lima perusahaan Belanda: Borsumij, Internatio, Jacobson van Den Berg, Lindeteves Stokvis, dan Geo Wehry. Militer Indonesia di bawah Nasution merampas alat produksi dan kapital asing yang direbut gerakan buruh, kemudian terjadi nasionalisasi di bawah Badan Pimpinan Umum (BPU). Kontrol negara militer atas aset produktif dan pembentukan badan kolaborasi kelas BPU memperkuat genggaman besi pada kelas buruh. Memang, sejak tahun sebelumnya, militer Indonesia sudah mulai menekan perayaan hari buruh.
Tabel konflik perburuhan sepanjang 1956 – 1963
Alasan utama turunnya jumlah konflik buruh dan kapital adalah pengalihan penyelesaian konflik kelas dari lembaga perburuhan P4P ke komando militer KOTOE yang dipimpin Soekarno. Kontrol militer atas kelas buruh dimulai oleh pemerintahan Soekarno, bukan Orde Baru.
Represi perang kelas dalam pembentukan BPU atas dasar ideologi hubungan kerja kekeluargaan antara buruh dan kapital di UUD 1945 bertolak belakang sepenuhnya dengan sosialisme. Kelas buruh dan pengusaha berada dalam perang berkat pencurian nilai tambah hasil kerja buruh oleh pengusaha. BPU menolak mempertimbangkan sama sekali konflik pekerja dan berfungsi hanya sebagai kerjasama birokratis untuk memaksimalkan produksi dalam tempat kerja harmonis.
Pertemuan BPU hanya bisa dipanggil oleh pihak pengusaha, sementara pihak serikat buruh hanya datang saat dipanggil. Perwakilan serikat buruh hanya berpartisipasi dalam BPU jika 30% buruh dalam sektor industri terorganisir dalam serikat buruh tersebut; perwakilan serikat buruh diajukan dan diseleksi oleh kementerian relevan. Pihak pengusaha berhak memberikan informasi sesuka hatinya, termasuk informasi terbatas yang menipu pihak buruh. Kolaborasi kelas per industri dalam BPU mirip dengan korporatisme fasis di Italia yang dimulai pada tahun 1927. Sekali lagi Soekarno mencontek Mussolini. Buruh melarat dan negara militer ngakak.
Kebijakan ekonomi periode Soekarno bertujuan menjilat pendanaan asing, terutama Amerika Serikat, untuk menutup defisit pengeluaran negara yang kebanjiran pegawai sipil. Rencana ekonomi 1961-1968 demokrasi terpimpin mengandalkan industri petroleum yang dikontrol kapital Amerika Serikat untuk pasokan 70% mata uang asing. Deklarasi ekonomi yang dipengaruhi permintaan badan imperialis IMF memulai peran aktif militer dalam modernisasi ekonomi negara, terutama di luar Jawa. Model modernization theory ciptaan RAND Corporation mendukung diktator militer di negara dunia ketiga untuk menekan komunisme dan membawa kemajuan ekonomi. Dalam kata lain ideologi Orde Baru dan berbagai rezim fasis negara bekas koloni, mulai diterapkan di Indonesia oleh Soekarno sembari menjilat Amerika Serikat.
Sebaliknya, Amerika Serikat disogok monopoli minyak: di 1963, pemerintahan Kennedy merancang kontrak perjanjian Indonesia dengan Caltex, Stavac, dan Shell untuk kontrol produksi selama 20 tahun. Banting setir ke ekonomi berdikari setelah kebijakan Konfrontasi berujung pada dipotongnya dana asing Barat juga terinspirasi menjilat dana asing. Indonesia mencoba memenuhi syarat berdikari ekonomi dalam kriteria pendanaan internasional Tiongkok. Sebagaimana kata Hitler, guru besar Soekarno: “sifat dasar teori ekonomi kami adalah kami tidak memiliki teori sama sekali.”
Penciptaan ideologi baru diperlukan dalam penguatan negara dan militer untuk mengembangkan tenaga produksi, agar rakyat sigap menerima penderitaan luar biasa. Perubahaan kebutuhan ekonomi membentuk ideologi dan terus sebaliknya. Salah satu ideologi paling populer untuk mengejar keterlambatan industrialisasi adalah sosialisme revolusioner. Jejak pertamanya adalah industrialisasi Perancis dengan ideologi sosialisme Saint-Simonian. Di Uni Soviet, revolusi buruh bercorak Marxisme-Leninisme meningkatkan produksi industri sebesar enam kali lipat sementara gaji riil buruh turun atas nama pembebasan kelas buruh. Buruh migran Tiongkok bunuh diri dalam perbudakan tak berbayar di tambang nikel Sulawesi demi sosialisme dengan karakteristik Tiongkok. Tanah petani adat direbut negara militer Vietnam demi industrialisasi rasis gaya pemikiran revolusioner Hồ Chí Minh.
Di Indonesia, romantisme revolusi dipimpin presiden seumur hidup yang meminta rakyat untuk tutup mata dan maju terus sambil kelaparan sebagai serdadu kapital, negara, dan partai politik. Gerakan buruh dimusnahkan pemerintahan militer. Persetan omong kosong partai politik dan Soekarno tentang keberpihakan pada buruh tani. Mantan tokoh besar PRD dan penjilat menjijikan, Budiman Sudjatmiko sudah memuji industrialisasi gaya Soekarno dan kebutuhan persiapan ideologi jauh sebelum dia mendukung kampanye fasis Prabowo-Gibran.
Mussolini sendiri memulai karir politiknya di Partai Sosialis Italia sebagai seorang sosialis revolusioner, organiser buruh, dan jurnalis koran perjuangan kelas selama sepuluh tahun sebelum bermutasi menjadi pemimpin fasis. Dalam pembicaraan dengan komite politik Partai Buruh, mereka mengungkapkan niat mengikuti jejak Tiongkok mengejar industrialisasi berdasarkan kontrol partai politik dan negara atas alat produksi. Kenapa masih terkejut dengan masuknya pimpinan Partai Buruh ke lingkaran kepolisian dan Prabowo-Gibran?
Indonesia terus mengulang sejarah Jawa: klimaks sembari mandi darah saudara sendiri. Mencampur sosialisme dengan nasionalisme adalah upaya mencampur perbudakan dengan kebebasan, dua hal yang bertolak belakang dan saling mengecualikan. Nazi itu sendiri adalah singkatan dari nasional sosialis. Disini sosialisme nasionalis memerankan fungsi yang sama dengan agama sebagai keluhan makhluk tertindas, hati dunia tak berhati, dan jiwa kondisi tak berjiwa. Ialah candu penawar rasa sakit rakyat. Ah, kemuliaan revolusi dijadikan narkoba para budak.
***
Krisis ekonomi memperparah rasisme pada komunitas Tionghoa. Dari awal, fasisme di Indonesia bersikap rasis: orang Tionghoa dilarang mendaftar menjadi anggota Partai Nasional Indonesia ciptaan Soekarno. Sepanjang pemerintahan Soekarno, berbagai menteri dan politisi mengulangi propaganda Belanda bahwa rakyat miskin karena dihisap darah hidupnya oleh pedagang Tionghoa. Revolusi Indonesia, seperti pembunuhan massal 1965 dan kerusuhan 1998, meliputi pemerkosaan perempuan Tionghoa dan perampasan harta benda kami. Sebelum era Soeharto, Pramoedya sudah dipenjarakan tanpa pengadilan oleh fasisme Indonesia karena mengkritik kekejaman Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959 (PP10) yang mengusir setengah juta orang asing (baca: Tionghoa) dari pedesaan dan kota kecil. PP10 disusul dekrit yang mengizinkan militer untuk menendang orang asing dari rumahnya sendiri. Alasan membangun modal bercorak progresif hanya pengulangan dongeng tak berdasar. Sumber utama pendanaan PKI justru datang dari sumbangan pengusaha Tionghoa. Lautan massa Tionghoa kabur dari fasisme Indonesia ke tanah Tiongkok, hanya untuk dijajah oleh negara komunis disana. Sisa orang Tionghoa di Indonesia sekarang adalah keturunan mereka yang tidak sempat berlayar kabur, kami eksil dari para eksil, terasing dari pengasingan, dan terbuang di rumah sendiri.
Sekali lagi, fasisme di Indonesia sedang menjilat modal. Sebelumnya, monopoli negara militer diperluas ke 75% sektor impor sehingga jumlah importir turun dari 4,000 ke hanya 100 pengusaha. PP10 dikeluarkan untuk melarang pengusaha Cina berdagang di daerah desa dan kota kecil. Berkat PP10, pengusaha importir yang baru ditendang negara militer bisa mengambil alih vakum perdagangan. Pembentukan ras di Indonesia dihasilkan kontradiksi hubungan dan tenaga produksi dalam rangka memperkuat kepentingan negara penjajah. Sekali lagi, fasisme Indonesia meniru penjajahan negara asing. Fasisme Indonesia terlalu penuh dengan kompleks inferioritas dan mentalitas budak untuk menindas dengan gayanya sendiri, bahkan dalam menginjak kepala orang Tionghoa, fasisme Indonesia hanya bisa mencontek kebijakan Hindia Belanda sebelum 1910. Alhasil, menulis tentang kebijakan fasisme di Indonesia lama-kelamaan membosankan, hampir semua isinya pengulangan dan penjiplakan tak berotak.
Mitos keragaman identitas dalam ke-Indonesia-an hanya masuk akal bagi pikiran Jawa sebagai pembenaran penindasan rasial. Jawa disini adalah ideologi Jawanisme, bukan konsepsi rasial: orang Jawa bisa melawan Jawanisme dan orang luar Jawa bisa mendukung fasisme Jawa. Idealisme Surat Kepercayaan Gelanggang bahwa ke-Indonesia-an datang dari “wujud pernyataan hati dan pikiran” terlepas dari ras berbau fantasi hampa.
Ras bukan hanya identitas, ras adalah proses sejarah yang dilahirkan kontradiksi dalam sistem ekonomi dan negara. Bhinneka tunggal ika, terlepas dari ras, kecuali untuk Papua Barat, Timor Leste, Maluku, Aceh, Bangka Belitung, Tionghoa, dan lain seterusnya. Penghapusan keberagaman bahasa, budaya, seksualitas, sistem ekonomi, dan sejarah di luar Jawa, atas nama terlepas dari ras dan seringkali Islam garis keras, adalah proses pembunuhan perbedaan itu sendiri dalam rangka menciptakan buruh terbaik bagi kapital, yang bisa diperintah dalam satu bahasa, bisa dihipnotis dalam satu budaya, dan tidak mengenal dirinya sendiri karena tidak mengenal sejarah.
Ke-Indonesia-an hanya identitas fasis tak berharga, pencipta kesadaran ganda sebagai serdadu upacara penyembah bendera penindasannya sendiri. Orang Indonesia hidup dengan kesadaran ganda, indra ganda, dan pribadi ganda: kesadaran atas diri sendiri diredam oleh pengawasan komando pikiran yang memerintah kita mencerna dunia sebagai orang Indonesia dengan nilai, kesopanan, estetika, seksualitas, sejarah, keseluruhan cara hidup orang Indonesia. Dalam kata lain serdadu fasisme Jawa.
Bhinneka tunggal dibegal! Terlepas dari ras, terlepas dari seks, terlepas dari kelas, bahkan terlepas dari perbedaan gaya rambut, terlepas dari segalanya kecuali pengabdian pada nusa dan bangsa, serdadu fasis sempurna untuk mati demi penjajahannya sendiri. Tugas orang Indonesia adalah berhenti menjadi orang Indonesia dan mekar sebagai anak semua bangsa.
Konfrontasi melawan Malaysia dan Singapura adalah candu ideologi revolusioner untuk menambal krisis internal. Inflasi naik hingga 167% di tahun 1962 berkat meledaknya suplai uang untuk menutupi defisit perbelanjaan negara. Defisit tahun sebelumnya sebesar tujuh miliar rupiah dan meledak melebihi dua kali lipatnya di 1962. Menurut budget, 48% pengeluaran negara masuk kantong militer. Dengan tidak adanya badan kebendaharaan independen dan kontrol militer atas beberapa kementerian di samping pertahanan, angka sebenarnya jauh lebih tinggi, walaupun mustahil dianalisa persis. Utang luar negeri melebihi satu miliar dollar AS. Hanya sekitar 30-40% kapasitas produksi dipergunakan dan angka produksi terjun bebas di bawah kontrol negara militer. Contohnya, produksi tembakau turun dari 13,786 ton di tahun 1938 hingga 2,833 ton di tahun 1957. Setelahnya negara terlalu malu untuk menerbitkan statistik. Akar masalahnya adalah kekurangan pekerja teknis sejak nasionalisasi industri oleh negara militer Jawa. Sentralisasi pembuatan keputusan pada birokrasi rumit di Jakarta menghasilkan keputusan tertunda oleh tentara yang sama sekali tidak mengenal seluk beluk kebutuhan industri di luar Jawa.
“Ekonomi nasional Indonesia sedang membusuk secara dramatis … Soekarno mengalihkan perhatian rakyat dari kondisi ekonomi mencekam dengan kebijakan Konfrontasi.” Demikian penilaian Partai Komunis Tiongkok.
Malaysia dan Singapura menjadi target empuk atas dasar keinginan pemerintah menekan perdagangan gelap yang memakan 30% porsi perdagangan. Perdagangan gelap terpusatkan di berbagai pelabuhan Malaysia dan Singapura yang dilewati setengah aliran ekspor Indonesia. Sebenarnya, perdagangan gelap di luar Jawa timbul dari upaya kapital menghindari pemerasan nilai tambah untuk negara militer di Jawa. Fasisme Indonesia mengikuti jejak kebijakan perdagangan agrikultur Belanda. Petani dipaksa menjual komoditas dengan harga jauh lebih rendah daripada harga pasar. Contohnya Yayasan Kopra dalam periode Soekarno, kelanjutan Het Coprafonds buatan Hindia Belanda, hanya membeli kopra dengan harga sedikit di atas setengah harga pasar nasional, sementara sisa keuntungannya dirampok negara militer Jawa.
Sampai sekarang harga timah dimonopoli negara militer. Buruh tani diperas hingga sekarat untuk mendanai mesin perang di Papua Barat dan kampanye pembangunan dinasti politik baru. Namun, hasil pemotongan hubungan dagang dengan Singapura dan Malaysia, ditambah macetnya upaya penetapan perdagangan langsung dengan pelabuhan lain, terutama di industri karet, memperparah krisis ekonomi nasional yang awalnya memotivasi Konfrontasi. Fasisme Indonesia terus menggali kuburnya sendiri.
Menurut Mussolini, fasisme adalah “demokrasi otoriter dan terpusatkan” dimana “segala di dalam negara, tiada di luar negara, tiada melawan negara”. Demokrasi terpimpin muncul hampir seperti jiplakan teori Mussolini. Fasisme di Indonesia meletakkan dasar pelaksanaan G30S dan pemerintahan Orde Baru. Kedua dekrit presiden yang digunakan untuk menjajah Papua Barat dijadikan basis hukum genosida G30S. Struktur ekonomi, politik, ideologi, psikologi, negara, dan pergerakan Orde Baru berasal dari Orde Lama. Lebih dalam lagi, berbagai hal dapat dilacak ke era fasisme kolonial. Dalam memuja Paduka Yang Mulia, kebenaran lenyap.
Memang kata “nurani” tidak ada dalam bahasa Jawa. Kebenaran dan kebohongan itu sendiri hilang. Soekarno bukan seorang pembohong. “Terkadang aku percaya apa yang kuucapkan, terkadang tidak. Terkadang aku hanya mencoba untuk menyalakan api dibawah semangatku sendiri.” Baginya pribadi dan fasisme secara umum, tidak ada fakta dan mitos, tidak ada kebenaran dan kebohongan, yang ada hanya semangat dan kekuasaan.
Berbagai peradaban mengenal sejarah, sementara Jawa mengenal pujasastra sejenis Nagarakretagama, pesta perayaan perampasan gadis, pembakaran hutan, dan pembunuhan rakyat jajahan oleh raja bersama prajuritnya. Singa dalam naskah menyarankan – siapa lagi kalau bukan pembaca? – untuk menunggu mati saja sebelum dibunuh dewa raja. Raja berkuasa atas hidup dan mati, dialah penghapus segala dosa. Salah satu karya sastra paling menjijikan yang pernah penulis baca. Dan itulah lingkaran setan yang sedang kita ulangi: perbudakan seksual perempuan, penghancuran lingkungan hidup, pemerasan buruh tani, dan genosida setelah genosida setelah genosida setelah genosida oleh negara militer Jawa, sementara mayoritas rakyat duduk manis menunggu mati. Ah, hidup tanpa kesadaran dan keberanian sama saja dengan mati setiap hari. Kemerdekaan hanya datang bagi mereka yang berjuang untuknya.
***
G30S 1965 adalah puncak proses bunuh diri perlahan revolusi Indonesia. Fasisme disembah atas nama revolusi. Demikian kegagalan gerakan kiri di Indonesia, kegagalan yang ditulis ulang sebagai zaman emas pergerakan kemerdekaan dalam pesta kemunafikan. Justru baru setengah sadar dan mengutuk pemerintahan fasis setelah mereka sendiri menjadi korban, itupun tanpa menyadari peran raksasa ratu adil Soekarno dan masa emas nasionalisme Indonesia dalam penghancuran dirinya sendiri.
Sadar tidak sadar, sembari seumur hidup bersembunyi dibalik topeng, wajah fasisme melebur dengan topengnya sendiri. Fasisme hanya dipanggil fasisme saat taring mautnya berputar balik untuk menikam tenggorokan para penjajah. Serupa dengan sudut pandang orang kulit putih. Saat Leopold menguliti perempuan dan membunuh sepuluh juta orang di Kongo, orang kulit putih acuh tak acuh. Saat Hitler menguliti orang kulit putih dan memperbudak orang kulit putih, peradaban Barat panik dan berteriak: fasisme! Sebelumnya sistem yang sama dipanggil otoritarianisme, kolonialisme, imperialisme, dll. Pramoedya sendiri memanggil perkawinan kolonialisme Belanda dengan feodalisme Jawa suatu gabungan “feodal-fasistik”.
Indonesia sekarang masih melihat sejarahnya dari mata pengalaman Jawa. Yang dipermasalahkan bukan tindakan biadab pada manusia, kebiadaban itu sendiri, apalagi akar penyakit kebiadaban, namun kebiadaban pada pemuja taat kebiadaban Soekarno. Tabir fasis mewarnai pemahaman kita atas sejarah fasis Indonesia.
Dalam menatap jurang kuburan massal, mata Indonesia melihat hal asing. Padahal di bawah gunung mayat G30S terdapat kejutan mandi air dingin: wajah dirinya sendiri. Fasisme hidup dalam Monumen Nasional, tugu mahal hasil overkompensasi ukuran alat kelamin lelaki penguasa yang didanai oleh modal penjajah Jepang. Fasisme hidup dalam kemerdekaan semu Istana Merdeka, bekas tempat tinggal lelaki kulit putih terkuat di Hindia Belanda. Fasisme hidup dalam kolaborasi kelas dan rasisme 212 pimpinan Partai Buruh yang mengatasnamakan kelas buruh. Fasisme hidup dalam kerjasama binatang korban penculikan dengan tangan berdarah Prabowo. Sudah saatnya kita mengupas sisik berlendir kesadaran palsu dan bercermin apa adanya.
Berdasarkan perkembangan produktivitas kapital Barat dan perkembangan fragmentasi politik dunia dalam dekade terakhir, kita menghadapi kesempatan emas menyambut babak kritis sejarah. Tinggalkan bangkai membusuk nasionalisme di seluruh bekas koloni. Revolusi total! Dalam kata lain, perombakan ekonomi agar alat produksi dikontrol rakyat; penghancuran negara militer; pembubaran angkatan bersenjata profesional; penggantian keluarga borjuis dengan komunitas kekeluargaan; pembangunan hubungan saling menghidupi dengan alam, sesama manusia, dan dunia internasional; semua atas dasar ideologi sosialisme ilmiah, berdasarkan kondisi spesifik wilayah yang sekarang kita panggil Indonesia. Mari musnahkan fasisme dari permukaan bumi dan jurang hati kita sendiri.[]
Catatan Kaki
[1] Pararaton bahasa Jawa Kawi yang berarti ‘para raja’.
[2] Soekarno, 1936, Penyambung Lidah Rakyat.
[3] Tenno adalah Gelar resmi untuk Kaisar Jepang
[4] Sjahrir, 1945, Perjuangan Kita.
[5] Hōkōkai (奉公会) merupakan organisasi perkumpulan yang dibentuk oleh Jepang pada 18 Januari 1944 sebagai pengganti Pusat Tenaga Rakjat (Putera), sebuah organisasi propaganda yang dipimpin Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan Kiai Hadji Mas Mansoer untuk membantu militer Jepang dalam perang dunia kedua melawan pihak sekutu.
[6] Soekarno, 1936, Penyambung Lidah Rakyat.
[7] Sjahrir, Perjuangan Kita.
[8] Lengkeek, “Staged glory : the impact of fascism on ‘cooperative’ nationalist circles in late colonial Indonesia, 1935-1942”.
[9] Hitlergruß adalah sebuah isyarat yang dipakai sebagai sebuah penyambutan di Jerman Nazi. Hormat tersebut ditampilkan dengan mengangkat tangan kanan dari leher ke udara dengan tangan melencang.