MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Kondisi Kelas Pekerja di Kepulauan Aru dan Laut Arafura (WPP 718)

Tidak banyak yang mengetahui keberadaan Kepulauan Aru. Padahal, letaknya di tengah-tengah Laut Arafura mengundang pemodal industri perikanan tangkap dari Jawa, Bali, Sulawesi, hingga Tanjung Pinang untuk meraup untung dari potensi perikanannya. Diperkirakan totalnya mencapai Rp10 milliar per tahunnya.

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, terdapat 1884 kapal perikanan yang berlayar di Laut Arafura, yang merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan 718 (WPP-718).  Hasil tangkapan ikannya kemudian diolah menjadi makanan laut yang kita santap sehari-hari atau diekspor ke pasar global.

Kekayaan sumber daya perikanan juga membuat WPP 718 menyumbang 13% dari total produksi perikanan di Indonesia.

Organisasi Pangan Dunia (FAO) mencatat Indonesia menyumbang 27% dari total produksi perikanan dunia, atau peringkat kedua setelah China dan merupakan sepuluh besar eksportir makanan laut. Sektor perikanan juga berkontribusi pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan sebesar Rp1,62 trilliun pada 2023. Tidak luput dari UU Cipta Kerja, liberalisasi pasar perikanan juga tengah terjadi melalui Program Ekonomi Biru yang mendorong hilirisasi industri perikanan demi peningkatan produksi perikanan Indonesia.

Di balik penggenjotan produksi perikanan, terdapat buruh perikanan yang harus menanggung produksi perikanan di Laut Arafura dan Kepulauan Aru. Organisasi Buruh Dunia (ILO) mendefinisikan buruh perikanan sebagai setiap orang yang dipekerjakan oleh organisasi agen, manajer, atau pemilik kapal untuk melakukan kegiatan penangkapan dan pengolahan ikan.

Dalam industri perikanan tangkap, buruh perikanan dapat meliputi Awak Kapal Perikanan yang menangkap ikan di kapal-kapal perikanan, buruh di pabrik pengolahan dan pembekuan, hingga nelayan-nelayan yang menangkap ikan dengan jarak yang dekat dan alat tangkap sederhana.

Serial artikel ini akan menjawab siapa mengeksploitasi apa, untuk mendapat apa, demi kepentingan siapa di industri perikanan tangkap. Khususnya, terdapat lima pertanyaan yang dapat membimbing kita dalam memahami bagaimana akumulasi kekayaan beroperasi:

  1. Kenapa kegiatan penangkapan ikan dilakukan?
  2. Sumber daya apa yang ditangkap dan apa nilainya?
  3. Siapa yang harus menanggung beban?
  4. Siapa yang mendapat keuntungan dari proses penangkapan?
  5. Bagaimana keuntungan didapat?

Dimulai dengan cerita tentang sejarah sosial Kepulauan Aru, tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana industri perikanan tumbuh dan berkembang serta aktor-aktor binaan pemerintah yang mendorong keberadaannya. Kemudian, series tulisan ini akan dilanjutkan dengan elaborasi atas alur produksi perikanan di Kepulauan Aru mulai dari Laut Arafura hingga pabrik-pabrik pengolahan di Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa, dan akan ditutup dengan komposisi kelas di industri pengolahan ikan.

Sejarah Sosial Kepulauan Aru

Ramainya kapal perikanan di Kepulauan Aru bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Seperti halnya industri di sektor darat, campur tangan pemerintah Orde Baru mewarnai perkembangannya, memaksa penduduk asli untuk meninggalkan cara hidup lama dan mendorong ketergantungan terhadap industri. Untuk memahami sejarah industrialisasi di Kepulauan Aru, saya berkunjung ke Pulau Benjina, tempat yang ramai diperbincangkan akibat kasus perbudakan manusia dan perdagangan orang yang melibatkan buruh dari Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Indonesia. Pulau Benjina, berjarak tiga jam dari Dobo, merupakan sentra industri perikanan tangkap selama lebih dari lima dekade. Pulau ini dijadikan sentra industri dikarenakan lokasinya sebagai Pelabuhan alam sehingga memudahkan kapal-kapal dari Aru Selatan dan Tengah untuk memasuki Pelabuhan dengan mudah tanpa terkendala cuaca dan menghemat bahan bakar. Hal ini berbeda dengan Pelabuhan di Kabupaten Kepulauan Aru, Dobo, yang membutuhkan kondisi cuaca tertentu agar dapat diakses.

Gambar 1. Dermaga Ikan Hiu di Pulau Benjina (Foto: Miftahul Choir)

Pulau Benjina terpisah oleh Laut Arafura. Sebelah timur pulau ini adalah bekas Pelabuhan tempat terjadinya perdagangan orang sebelum akhirnya ditutup pada 2015. Masih tersisa kapal-kapal besi berukuran ribuan GT asal Thailand yang sudah berkarat, berlumut dan ditumbuhi tanaman liar. Dibandingkan Pelabuhan perikanan pada umumnya, dermaga di Pelabuhan Benjina terbagi berdasarkan hasil tangkapan seperti hiu, tuna, udang, serta fungsi masing-masing dermaga. Selain itu, juga terdapat kantor perusahaan, pabrik pengolahan, hingga kantor bea cukai untuk mendukung ekspor langsung dari Benjina menuju Thailand dan China. Sementara itu, di sebelah barat terletak pemukiman penduduk tempat buruh di industri perikanan menetap.

Gambar 2. Kantor Pelayanan Bersama untuk urusan bea cukai, imigrasi dan karantina serta kantor Syahbandar. (Foto: Miftahul Choir)

Sebelum kedatangan industri perikanan, warga Kepulauan Aru menangkap ikan, menanam singkong, sagu, pisang, dan berburu (O’Connor, Spriggs, & Veth, 2011). Pada masa ini, ikan-ikan dapat ditemukan tidak jauh dari pemukiman, sehingga warga menggunakan alat pancing sederhana dan sampan. Hasil tangkapan seperti ikan tenggiri, bawal, kerapu, dan ikan layang didapat dalam jumlah sedikit sehingga langsung dijual ke pasar. Apabila masih ada jumlah ikan yang tersisa, ikan hasil tangkapan akan didistribusi kembali ke lokasi asal.

Gambar 3. Kondisi Dermaga Ikan di Pulau Benjina (Foto: Miftahul Choir)

Industrialisasi di Kepulauan Aru dimulai ketika PT Daya Guna Samudera (DGS) didirikan di Pulau Benjina pada 1979. Perusahaan ini dimiliki oleh Burhan Uray, pengusaha kayu asal Sarawak, Malaysia yang memulai usaha kayu di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Dalam perkembangannya, sepupu Presiden Soeharto, Sudwikatmono memegang saham sebesar 10% di Djayanti Group, bersama Bambang Trihatmodjo, Mantan Direktorat Jenderal Perikanan HR Soeprapto, Mantan Menteri Perumahan Cosmas Batubara, Mantan Menteri Transmigrasi Soegiarto dan Mantan Gubernur Irian Jaya Isaac Hindom (Aditjondro, 2007). Anak Wakil Presiden Tri Sutrisno, Isfan Fajar Satryo juga menjadi komisioner di salah satu anak perusahaan Djayanti Group (Hirsch & Warren, 1998). Industri perikanan mulai digeluti oleh Burhan setelah mencapai kesuksesan di industri kayu.

Di Benjina, DGS menginvestasikan USD100 juta untuk membangun rumah, klinik kesehatan, dan sekolah. Untuk mengoperasikan bisnisnya, DGS memiliki 21 kapal kayu yang mampu mengangkut 30 ton hasil perikanan. Jumlah kapal yang dimiliki DGS bertambah hingga berjumlah 150 kapal pada 1996 dan mampu meraih keuntungan hingga Rp417,2 trlliun.

Buruh di PT DGS didapat melalui kerjasama perusahaan dengan pemerintah Orde Baru melalui kebijakan transmigrasi. Pemerintah menargetkan 500 kepala keluarga selama lima tahun (1990-1995) untuk menempati Desa Benjina dan Desa Maijuring (Parliamentaria, 1993, p. 50). Warga asal Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan dipindah ke Kepulauan Aru untuk mengisi pos-pos kerja di DGS mulai dari posisi ABK perikanan magang, petani plasma hingga buruh industri pengolahan. Di Benjina, warga transmigrasi mendapatkan rumah tinggal yang dibeli PT DGS dari warga-warga lokal di Benjina dengan skema Hak Guna Usaha (HGU) hingga 2016.

Setelah kedatangan PT DGS, warga-warga asli Benjina yang sehari-hari melakukan pertanian dan perikanan subsisten harus tergusur dari wilayah sendiri dan memilih usaha perdagangan atau merantau ke daerah lain. Pihak perusahaan dianggap tidak tertarik untuk merekrut warga lokal dikarenakan warga transmigrasi memiliki kemampuan dan kedisiplinan yang dibutuhkan.

Pada 2006, PT DGS pailit dan Pelabuhan Benjina dikelola oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang melakukan ekspor produk-produk perikanan ke Thailand. Perusahaan ini mempekerjakan 260 orang dan menangkap jenis-jenis ikan seperti kurisi, layang, kembung, lencang, kembung, mayung dan belusik (Sustainable Fisheries Partnership, 2012). Pada 2015, PT PBR ditutup oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akibat tindak pidana perdagangan orang dan kerja paksa.

Ditutupnya perusahaan raksasa PBR memberikan kapal-kapal industri dari Pulau Jawa ruang untuk mengakses Kepulauan Aru hingga membuka pabrik-pabrik pengolahan. Dua tahun setelah ditutupnya PBR, perusahaan pengolahan perikanan PT Rejeki Samudera Abadi (RSA) didirikan di Selatan Pulau Dobo. Perusahaan ini memiliki 180 buruh yang mengolah hasil-hasil tangkap, kapal penangkap ikan, serta kapal-kapal penampung yang membawa hasil tangkapan menuju Pelabuhan Juwana. Selain RSA, juga terdapat PT Laut Timur Utara (LTU), perusahaan perikanan yang memiliki pabrik pengolahan ikan di Juwana, Jawa Tengah, berdiri sejak 2018 di Dobo.

Selain ketiga perusahaan tersebut, perikanan Kepulauan Aru setelah PBR juga ditandai dengan berdirinya perusahaan cold storage yang berlokasi di Pantai Tanjung, Pulau Dobo, serta satu perusahaan di Benjina. Menurut data dari Syahbandar Perikanan Dobo, hingga 2023 terdapat 20 perusahaan cold storage di area Kepulauan Aru. Perusahaan skala kecil ini umumnya dimiliki oleh kelompok pendatang serta keturunan Cina-Dobo.

Berkembangnya usaha perikanan di Kepulauan Aru juga mendorong perusahaan-perusahaan forwarder untuk menyediakan layanan angkutan hasil-hasil perikanan ke kota-kota di Jawa. Perusahaan pengolah perusahaan perikanan membeli hasil tangkapan dari nelayan-nelayan tradisional dan langsung membawanya ke pembeli di Jawa.

Perusahaan sebagai “Bapak Angkat

Ketika tiba di Pulau Benjina, hal yang cukup mengejutkan bagi saya adalah penduduk di pulau ini fasih berbahasa Jawa atau Sunda, serta hampir tidak ditemukan warga asli Benjina. Situasi ini merupakan dampak dari kebijakan transmigrasi Orde Baru yang membawa buruh-buruh dari Jawa dan Sumatera untuk bekerja di industri perikanan PT DGS.

Rika dan Erwin (bukan nama sebenarnya) merupakan pasangan transmigran yang telah menetap di Pulau Benjina sejak 1993. Awalnya, mereka menetap di Tasikmalaya dan bekerja sebagai pedagang sembako. Erwin mendapat tawaran oleh petugas perekrut transmigrasi yang sedang berada di desanya terkait peluang untuk pindah ke Bengkulu. Dikarenakan asal keluarganya dari Bandar Lampung dan dekat dengan Bengkulu, Erwin menyepakati ajakan tersebut. Hanya selang satu hari setelah ajakan tersebut, Erwin diminta untuk segera mempersiapkan kepindahannya dan diberitahukan bahwa dirinya akan dipindah ke Maluku. Meskipun menolak tawaran tersebut, Erwin tidak punya pilihan selain meninggalkan tempat asalnya. Bersama 15 kepala keluarga, Erwin dan Rika dikirim ke Pulau Benjina.

Pemerintah transmigrasi menjanjikan Erwin, Rika dan keluarga lainnya mendapatkan rumah, pekerjaan, dan sekolah yang baik untuk anak-anaknya. Selama satu minggu Erwin dan Rika ditempatkan di Banjar dan Surabaya tanpa mengetahui destinasi akhir mereka.

Sesampai di Kepulauan Aru, Erwin mendapat pekerjaan sebagai ABK magang di kapal-kapal trawl penangkap udang milik PT DGS. Durasi magang berjalan selama satu tahun di mana Erwin mempelajari tata cara menarik dan mengikat jaring. Setelah selesai magang, Erwin bersama rekan-rekannya mendapat kesempatan untuk mengelola kapal trawl udang mereka sendiri dan menjual hasil ikannya ke PT DGS. Hingga PT DGS pailit dan digantikan oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR), Erwin menjalani keseharian sebagai ABK kapal hingga menjadi kapten kapal. Istrinya membuka toko kebutuhan pokok sementara anaknya melanjutkan kerja sebagai AKP ketika pendidikannya selesai.

Menurut Rika dan Erwin kapal-kapal industrial berukuran besar, berbadan besi, menggunakan alat pancing trawl dan berbendera China, Taiwan, dan Thailand memasuki wilayah Kepulauan Aru setiap harinya. Per harinya, jumlah kapal bahkan yang memasuki Aru mencapai ratusan hingga ribuan memadati perairan petuanan. Perusahaan juga membangun fasilitas-fasilitas di Benjina dari listrik, pasar, sekolah, jalan, hingga tempat hiburan. Pembangunan tersebut membuat perputaran ekonomi di Benjina berjalan dengan cepat yang ditandai dengan meningkatnya intensitas kapal angkutan Dobo-Benjina serta pasar-pasar di Dobo dan Benjina memasok kebutuhan perbekalan dan solar kapal-kapal penangkap ikan PT DGS. Berkat bantuan-bantuan yang diberikan, PT DGS dianggap sebagai ‘bapak angkat’. Kehadiran PT DGS juga mengundang kapal-kapal besar dari Pulau Jawa, Tanjung Pinang, Bitung, hingga Sumatera untuk menangkap di wilayah Kepulauan Aru yang dikenal kaya akan sumberdaya perikanan.

Keberadaan perusahaan juga menciptakan pemilik modal baru di Kepulauan Aru. Ketika awal datang ke Kepulauan Aru, Syamsul dan Arif merupakan buruh di PT DGS sebagai ABK yang kemudian merangkak menjadi kapten, mengurus kapal, dan akhirnya mampu membeli kapal-kapal sendiri. Saat ini, keduanya memiliki belasan kapal dengan Kerjasama operasional bersama perusahaan pengolahan dan mempekerjakan warga-warga lokal Kepulauan Aru sebagai AKP.

Salah satu anak dari Erwin merupakan ABK yang bekerja di kapal milik Syamsul. Selain itu, kepemilikan kapal juga menjadi penanda status sosial bahwa seseorang telah dianggap ‘berada’. Berbeda dengan Syamsul dan Arif, Erwin dan Rika enggan untuk memiliki kapal dikarenakan tidak memiliki modal serta sulit dalam mengurus kapal. Erwin dan Rika memiliki sikap ulet, rajin, dan kemauan kuat yang membedakan mereka dengan Syamsul dan Arif.

Sejak ditutupnya PBR, aktivitas di Benjina mulai melesu. Kapal-kapal yang berlabuh hanyalah kapal industrial yang sekedar melewati Benjina, listrik tidak mengaliri setiap perumahan, toko-toko yang semula memasok perbekalan untuk kapal perusahaan kini semakin sulit mendapatkan pembeli. Sebagian dari warga-warga transmigran yang memiliki dana kembali ke daerah asal mereka sedangkan sebagian lainnya beralih profesi menjadi nelayan lokal, kuli bangunan di Dobo, atau berdagang. Sementara itu, warga asli Benjina yang semula Bertani kini tidak dapat lagi mengembalikan aktivitasnya akibat lahan pertanian sudah menjadi perumahan dan lahan yang  tersisa hanyalah lahan gambut.  Warga transmigran di Pulau Benjina menganggap PBR sebagai ‘nelayan kecil’ dan ‘perusahaan nasional’. Pemerintah khususnya KKP dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab karena mematikan penghasilan nelayan-nelayan kecil penangkap trawl tanpa adanya pelibatan masyarakat dan solusi.

Sejarah industri perikanan tangkap di Kepulauan Aru menunjukan adanya pergesaran definisi nelayan dan bagaimana warga asli memandang relasi dengan ekologi laut. Sebelum kedatangan industri, nelayan dimaknai dengan kegiatan penangkapan ikan untuk kehidupan sehari-hari tanpa ada intensi untuk mencari nafkah. Selama menggantungkan hidup di laut dan mencari ikan, maka seseorang dapat dianggap sebagai nelayan. Kini, pemilik kapal industrial yang tidak memiliki pengalaman dan relasi dengan laut dianggap sebagai nelayan dan yang semula menjadi nelayan dianggap sebagai buruh. Sementara itu, industrialisasi memaksa warga-warga Kepulauan Aru menganggap relasi dengan laut bersifat kapitalistik atau menganggap laut sebagai wilayah untuk mendapatkan upah.[]

Penulis

Miftahul Choir