MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Kemitraan Ojol: Akal-akalan Aplikator Mengeksploitasi Pengemudi Ojol

Saya seorang mahasiswi Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang berhasil memperoleh gelar tahun ini. Untuk mencapai hal tersebut tentunya saya harus melakukan penelitian skripsi sebagai syarat kelulusan. Kebetulan penelitian skripsi saya terkait dengan hubungan kemitraan pengemudi ojek online dengan penyedia aplikasi. 

Selama melakukan penelitian, saya mengalami kendala saat mencoba meminta wawancara dengan pihak PT. Gojek, penyedia aplikasi yang saya teliti. Saya berpikir perusahaan ini akan terbuka terhadap penelitian, terutama mengingat Nadiem Makarim sebagai pendirinya. Namun, ketika saya mengajukan surat penelitian dan proposal, pihak satpam menginformasikan bahwa belum pernah ada mahasiswa yang melakukan penelitian di kantor mereka. Pihak satpam mengarahkan saya untuk menghubungi melalui email, dan meski sudah berupaya sejak Oktober 2023, saya belum menerima balasan. 

Saya memutuskan untuk kembali mengunjungi kantor perusahaan secara langsung. Namun, satpam mencegat saya sebelum saya sempat masuk dan memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Saya kemudian mencoba meminta nomor handphone pegawai Gojek dari para mitra. Meskipun pegawai tersebut merespon dengan cepat, mereka enggan diwawancarai dan menyarankan agar saya menghubungi kantor pusat di Jakarta.

Meskipun demikian, wawancara saya dengan para pengemudi ojek online (Ojol) yang didefinisikan oleh perusahaan penyedia aplikasi sebagai mitra mengungkap berbagai masalah, terutama terkait dengan implementasi perjanjian kemitraan yang tidak proporsional. 

Dalam sistem kemitraan yang dilakukan perusahaan penyedia layanan aplikasi, mitra menyetujui perjanjian elektronik ketika mendaftar di aplikasi dengan meng-klik tombol “setuju”. Artinya mereka telah menyetujui isi perjanjian tersebut. Perjanjian ini memuat klausula baku yang memuat syarat-syarat, hak, kewajiban dan tata tertib yang harus ditaati oleh pengemudi Ojol dan PT. Gojek. Namun, perumusan isi perjanjian dibuat sepihak oleh penyedia aplikasi tanpa adanya proses negosiasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip kemitraan yang seharusnya saling memerlukan, saling memperkuat, dan menguntungkan. Ketidakterlibatan pengemudi Ojol dalam proses pembuatan kontrak perjanjian menyebabkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam hubungan kemitraan.  

Pengemudi Ojol bernama Gogor pernah mencoba melakukan negosiasi mengenai isi perjanjian, tetapi pihak perusahaan mengatakan hubungan keduanya adalah mitra. Sehingga, jika calon mitra tidak setuju, mereka dapat memilih untuk tidak mengakses aplikasi atau cukup dengan klik cancel atau back.  Sebagai mitra, pengemudi seharusnya memiliki kesempatan untuk bernegosiasi dalam kesepakatan secara timbal balik, bukan berdasarkan keputusan sepihak. Prinsip kemitraan mengharuskan adanya posisi yang setara antara pengemudi ojek online dan penyedia aplikasi. Jika memang perusahaan penyedia aplikasi memperlakukan pengemudi sebagai mitra seharunya memberikan ruang perundingan atau negosiasi dengan pengemudi sebagai calon mitra. 

Lebih lanjut, dalam isi perjanjian tercantum klausula yang menyatakan perjanjian dapat dilakukan perubahan tanpa adanya persetujuan dari mitra,  mengakibatkan pengemudi ojol tidak dapat menuntut haknya terhadap PT Gojek. Hal ini mencerminkan adanya perjanjian sepihak yang berpotensi merugikan para mitra Gojek. Misalnya, program-program seperti Gofood yang menawarkan tarif murah untuk jarak dekat dan GoRide Nego yang memungkinkan adanya negosiasi terhadap harga perjalanan dengan pelanggan. Program-program semacam ini dibuat dan diputuskan perusahaan aplikasi tanpa melibatkan persetujuan para pengemudi. Hal ini menekankan keuntungan perusahaan tanpa mempertimbangkan prinsip kemitraan yang seharusnya adil dan saling menguntungkan.

Melanggar prinsip bagi hasil kemitraan 

Hubungan kemitraan antara pengemudi dan penyedia aplikasi untuk penggunaan sepeda motor yang melibatkan sistem bagi hasil telah ditentukan oleh Menteri Perhubungan dengan perubahan sebanyak tujuh kali. Pada 7 September 2022, Menteri Perhubungan mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang digunakan untuk Kepentingan Masyarakat dengan Aplikasi. Aturan ini memberikan legitimasi hukum bagi perusahaan penyedia aplikasi mengenakan biaya sewa pengunakan aplikasi maksimal 15 persen.

Namun, aturan ini mengalami perubahan dua bulan kemudian, pada 22 November 2022, melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022. Perubahan ini mengubah Pasal kedelapan dari keputusan sebelumnya, menetapkan bahwa aplikasi paling tinggi 15% (lima belas persen) dan atau perusahaan aplikasi dapat menerapkan biaya penunjang berupa biaya dukungan sejahteraan mitra pengemudi paling tinggi 5% (lima persen) berupa: a) Asuransi keselamatan tambahan, b) Penyediaan fasilitas pelayanan mitra pengemudi, c) Dukungan pusat informasi, d) Bantuan biaya operasional dan e) Bantuan lainnya.

Asuransi keselamatan tambahan yang dimaksud dikelola oleh perusahaan atau badan swasta dan diberikan kepada mitra serta penumpang di luar Program Jaminan Sosial Kesehatan dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dengan menginformasikan terlebih dahulu kepada mitra dan penumpang untuk dimitai persetujuan. Fasilitas pelayanan mitra pengemudi, yang disediakan oleh perusahaan aplikasi mencakup: pelatihan, kesehatan, layanan informasi, dan pengaduan. Biaya operasional tambahan berupa voucher atau kupon bonus juga diberikan kepada pengemudi dalam situasi tertentu, mencakup pembelian bahan bakar, pulsa, telepon seluler, helm, jaket, atau komponen peralatan servis kendaraan. 

Namun, meskipun aturannya mengatakan demikian, implementasi di lapangan aturan ini menunjukkan ketidaksesuaian. Berdasarkan penjelasan pengemudi R, voucher atau kupon bonus, pulsa, dan telepon seluler hanya diberikan ketika pengemudi mencapai level tertentu, yang berbeda-beda. Sementara helm dan jaket harus dibeli oleh pengemudi dan dapat diangsur melalui potongan dari hasil pelanggan, sedangkan dukungan untuk servis kendaraan belum tersedia dari perusahaan aplikas. Pengemudi harus menanggung biaya tersebut secara mandiri.

Ketidaksesuaian ini mencerminkan ketimpangan antara peraturan yang ditetapkan dan implementasinya di lapangan, yang seringkali membebankan pengemudi dengan biaya tambahan yang tidak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan aplikasi. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam sistem dukungan dan pembagian biaya yang perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan.

Pengalihan tanggung jawab: Kesehatan dan keselamatan Ojol diabaikan

Para pengemudi Gojek saat ini menghadapi risiko tinggi tanpa adanya perlindungan yang memadai dari perusahaan. Dalam menjalankan tugas mereka, pengemudi harus menyediakan sarana dan prasarana pribadi seperti kendaraan, handphone, kuota internet, dan tenaga kerja, sementara perusahaan hanya memberikan platform untuk menghubungkan mereka dengan pelanggan. Sistem kemitraan ini mengakibatkan pengemudi menanggung seluruh risiko keselamatan dan kesehatan mereka sendiri, terutama saat berkendara, yang penuh dengan potensi kecelakaan bahkan kekerasan di jalanan.

Perjanjian kerja pengemudi dengan PT Gojek menyatakan bahwa perusahaan tidak akan bertanggung jawab atas kerugian tidak langsung, insidentil, khusus, atau konsekuensi yang mungkin dialami pengemudi. Ini mencakup kehilangan kendaraan, keuntungan, data, bisnis, peluang, serta cedera pribadi atau kerusakan pada properti. Menurut hukum perdata, klausula eksonerasi atau pembebasan tanggung jawab ini tidak diperbolehkan, karena membebaskan perusahaan dari tanggung jawab terhadap kerugian yang dialami mitra.

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022 mengatur bahwa pengemudi dapat mengikuti program asuransi atau BPJS Kesehatan dengan pemotongan otomatis dari pendapatan mereka. Namun, pengemudi seperti R mengeluhkan bahwa pemotongan otomatis ini sangat merugikan. Mereka harus membayar iuran BPJS secara mandiri di samping potongan bagi hasil yang sudah ada, tanpa adanya jaminan perlindungan dari perusahaan. Akibatnya, pengemudi harus menanggung biaya perawatan kesehatan, perbaikan motor, dan bahan bakar sendiri, sementara perusahaan hanya mengeruk keuntungan bersih dari hubungan kemitraan.

Gogor, salah satu pengemudi, mengungkapkan bahwa ia terpaksa mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan dengan potongan sebesar Rp16.800 per bulan dari pendapatannya. Ia merasa terbebani karena tidak ada jaminan keselamatan dari perusahaan jika terjadi kecelakaan saat bekerja. Dengan demikian, sistem kemitraan ini tidak hanya mengeksploitasi pengemudi tetapi juga gagal memberikan perlindungan yang layak bagi mereka.

Suspend: Kontrol dan Ketidakpasian kerja

Para pengemudi harus memenuhi target yang ditetapkan oleh perusahaan untuk menjaga status mereka dan mendapatkan orderan yang optimal dari aplikator. Fleksibilitas waktu kerja ini seringkali berdampak negatif pada pengemudi, karena tingkat keaktifan mereka memengaruhi jumlah orderan yang diterima. Untuk naik level dalam empat tingkatan, mitra diharuskan menerima dan menyelesaikan semua orderan serta memberikan pelayanan terbaik. Namun, tekanan untuk memenuhi target sering kali mengakibatkan pengemudi harus bekerja berjam-jam, yang berdampak buruk pada kesehatan mereka. 

Contoh nyata dari masalah ini adalah pengemudi R mengaku tidak pernah mematikan akun Gojek dan selalu menunggu orderan dari pagi hingga malam hari. Ia juga menambahkan bahwa performa pengemudi memengaruhi peluang mendapatkan penumpang, karena aplikator sering memberikan orderan lebih sedikit kepada pengemudi dengan performa buruk, bahkan dapat menyebabkan suspend atau pemutusan mitra. Selain itu, pengemudi sering mengalami suspend secara sepihak tanpa penjelasan dari pihak aplikator.

Perjanjian elektronik kemitraan Gojek pada angka 13 tidak mengatur secara spesifik alasan di balik pembekuan sementara atau permanen akun pengemudi ojek online. Dalam kasus ini, pengemudi yang terkena suspend harus mengajukan banding kepada penyedia aplikasi untuk menjelaskan situasi mereka agar suspend dapat dicabut. Sementara itu, Peraturan Menteri Nomor PM 12 Tahun 2019 hanya memberikan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) kepada perusahaan aplikasi, tanpa menetapkan kriteria yang jelas untuk pemutusan mitraan.

Pada 2019, PT. Gojek menetapkan peraturan mengenai suspend dengan membagi pelanggaran menjadi tiga pilar: ancaman keamanan, tindakan curang, dan layanan buruk. Masing-masing pilar ini memiliki konsekuensi yang berbeda untuk suspend pengemudi. Peraturan yang dikeluarkan pada 2013 ini dikenal dengan Tata Tertib Gojek (TarTibJek), yang  memiliki kemiripan dengan peraturan sebelumnya, namun diperbarui dengan jargon PADIMAN alias transparansi, keadilan, dan kenyamanan. Pelanggaran digolongkan menjadi lima tingkatan berdasarkan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pengemudi.

Pengemudi dapat mengembalikan tahapan sanksi jika mereka tidak melakukan pelanggaran dalam waktu 90 hari, kecuali jika mereka terkena putus mitra secara permanen yang tidak dapat diubah. Mitra yang terkena sanksi dapat mengajukan banding melalui aplikasi GoPartner dalam waktu paling lambat 14 hari. Namun, keputusan banding yang dikeluarkan oleh Gojek bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat, mencerminkan ketidakpastian dan kurangnya perlindungan bagi pengemudi dalam sistem kemitraan ini. 

Implementasi asas proporsionalitas dalam perjanjian kemitraan dengan PT Gojek sejak awal telah terabaikan. Hubungan ini seharusnya didasarkan pada prinsip kemitraan yang adil, namun penyedia aplikasi justru bertindak sebagai pihak dominan yang memegang kendali penuh atas seluruh perjanjian. Mekanisme suspend yang diterapkan tidak hanya gagal memberikan perlindungan yang memadai, tetapi juga memungkinkan perusahaan untuk menetapkan aturan sepihak yang merugikan pengemudi. Klausula perjanjian yang membebaskan perusahaan dari tanggung jawab atas kerugian yang dialami pengemudi serta proses banding yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini jelas mencerminkan ketidakadilan struktural. Situasi ini menempatkan pengemudi dalam posisi yang sangat rentan dan mencerminkan ketidakadilan mendalam dalam sistem kemititraan Gojek. Oleh karena itu perlu adanya evaluasi besar terhadap sistem kemitraan di industri ride hailing ini, dan patut dicurigai sistem kemitraan yang didorong sepihak oleh aplikator ini adalah untuk menghindari tanggung jawabnya terhadap pengemudi ojol.[]

Penulis

Nita Jepi Tamara