Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk manis sambil diceramahi dari atas panggung. Siapa yang menentukan siapa yang berbicara dan atas nama siapa?
Politik perwakilan para pimpinan gerakan mewakili para petani tak bersuara dengan menjadi, meminjam kata Soekarno, perpanjangan lidah mereka. Atas dasar apa mereka mengaku mewakili lidah lautan manusia yang kebanyakan tidak mengenal mereka? Mungkin pertanyaan yang diajukan salah. Untuk kepentingan siapa mereka berbicara atas nama buruh, tani, mahasiswa dan dimana perempuan dalam silsilah itu?
Mahasiswa–yang datang paling terlambat dengan spanduk paling besar, menunjuk diri sebagai pahlawan bersinar melayang di atas para kakek nenek petani. Kakek nenek yang sudah berjuang sebelum mereka lahir dan akan terus berjuang setelah mereka menjual diri. Sejak kapan dan atas dasar apa mahasiswa dijadikan kelas spesial tersendiri dalam teori perubahan sejarah? Mahasiswa hanya mereka yang sedang dibentuk menjadi buruh dan kelas manajerial. Memang paling banyak waktu luang dan paling ingin menjadi Che Guevara selanjutnya, jadi didihan darah muda tampil merajalela.
Berkelana di antara para anggota, salah satu bercerita. Dari kecil, dia penanam tembakau. Dia yakin yang berorasi tak pernah kerja di sawah. Kelihatan, katanya. Entah dari mana. Suara melengking orator pun buyar tak jelas terdengar. Kadang berbicara selayak ke anak TK. “Setuju tidak?” — “Setuju!” — “Benar tidak?” — “Benar!” — “Marah tidak?” — “Marah!” — anggota organisasi diperlakukan sebagai serdadu pendukung aspirasi pemimpin, bukan diberikan wadah dimana keputusan siapa yang berbicara dibahas secara demokratis.
Pemberdayaan kelas terjajah terlaksana saat mereka membahasakan dan menganalisa dan mencipta perlawanan bersama. Mereka sendiri, bukan pemimpin yang mengatasnamakan mereka. Kalaupun pemimpin, mana kotak suara untuk menunjuknya? Kalau tidak ada, bukankah lebih otoriter, lebih sepihak, dan lebih tidak mewakili daripada pejabat bajingan kita?
Salah satu pimpinan organisasi di hari tani sudah menjadi pemimpin selama 15 tahun. Bukan hanya salah satu: justru tak bisa dihitung banyaknya. Retorikanya, aktivis pro-demokrasi. Kenyataannya, raja seumur hidup. Siapa berbicara dan untuk kepentingan siapa?
Petani Rempang datang melewati samudra untuk meminta beberapa menit berbicara. Yang naik panggung, ketua serikat Jakarta untuk mewakili keluh kesah petani Rempang. Tidak ada satu pun serikat buruh yang bersolidaritas dengan perjuangan petani di Rempang. Solidaritas bukan berarti berbicara atas nama mereka yang terdiamkan – itu penjajahan pengetahuan dan media.
Andaikan ribuan petani partisipan aksi ikut merancang aksi itu sendiri. Apa yang akan terjadi? Seisi bis tumpanganku dari Gedung DPR RI ke Kantor Kementerian ATR bersahut untuk blokade jalan dengan kendaraan kita. Beberapa anggota KASBI spontan mencoba melakukan blokade jalur bis depan ATR. Aksi hari tani akan lebih dari festival masturbasi simbolis dan latihan massa mengambang baris berbaris sembari diceramahi.
Pemerintah tidak perlu mendengar orasi dan aspirasi rakyat. Mereka sudah tahu. Kalaupun tidak tahu dan mendengar, kepentingan mereka sejajar dengan kelas pengusaha. Jangan harap presiden mendengar orasi kalian, lalu terharu dan memberi kalian tanah ribuan hektar. Massa pun paham, maka mencoba melakukan tindakan yang menghentikan roda perputaran ekonomi politik kota. Aksi mogok, boikot, dan blokade strategis menekan kelas pengusaha dengan menghentikan siklus produksi dan reproduksi demi akumulasi kapital.
Aksi protes yang hanya mengemis agar pemerintah mengasihani rakyat tidak ada gunanya selain perhatian media. Memang perhatian media baik untuk membuka peluang politisi membela isu demi kepentingan elektoral sementara. Baik pula untuk menjilat donor demi pendanaan organisasi, atau lebih tepatnya pendanaan pimpinan organisasi. Tapi mengomando ribuan petani untuk menghabiskan uang, waktu, dan tenaga mereka demi ini semua, intinya mendorong petani menghabiskan nilai hasil keringat mereka demi akumulasi nilai dalam kompleks industrial LSM dan dukungan politik elektoral. Saat kita hampirkan topeng dan jubah para pemimpin gerakan Jawa, dinamika ekonomi dalam aksi hari tani sama saja dengan perampasan nilai tambah demi keuntungan pengusaha dan membeli dukungan politisi.
Bukan hanya petani yang terdiamkan di hari tani. Aksi harian Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak digubris festival hari tani. Salah satu organizer JALA PRT meminta waktu orasi dan ditolak juga. Padahal, kelas petani adalah pabrik reproduksi buruh migran PRT untuk melayani konglomerat di kota industri maju. PRT adalah istri, ibu, saudari, teman, dan pasangan para petani. Buruknya kondisi ekonomi petani juga menjadi motivasi utama PRT merantau ke belantara kejamnya dunia. Masalah PRT adalah masalah petani; masalah petani adalah masalah PRT.
Ada sesuatu yang sangat salah dengan mekanisme pembuatan keputusan dimana masalah petani tidak dibicarakan pada hari tani. Alhasil, protes PRT dan festival hari tani berlangsung sebagai dua acara terpisah, saling membelah perhatian media ketimbang saling memperkuat. Bukan menyembah protes PRT: strategi pergerakan moral dengan mogok makan dan melobi pejabat dengan media massa juga menghasilkan teori perubahan yang baru saja dikritisi. Namun, lebih sukar melakukan pertandingan ekonomi politik dengan kelas PRT yang sudah jatuh tertimpa tangga, terpeleset cucian, dan tertumpah makanan. Memang mogok PRT belum pernah dicoba. Yang lebih menarik lagi, mogok PRT sebagai bagian dari mogok buruh tani lebih luas. Gerakan moral dengan mogok makan bisa pula dikembangkan lebih lanjut dengan pembentukan rantai manusia mengelilingi DPR sehingga mereka tidak bisa keluar sebelum mengesahkan RUU PPRT. Pekerjaan mereka belum selesai, maka mereka tidak boleh pulang.
Rantai manusia adalah salah satu contoh perpaduan gerakan moral, blokade kota, dan mencari perhatian media. Kita perlu mengembangkan strategi perjuangan dengan lebih matang, kreatif, dan rinci. Kekalahan pergerakan selama ini datang dari berbagai kekurangan pergerakan itu sendiri, bukan hanya kondisi politik represif dan eksploitasi ekonomi para anggota pergerakan.
Balik ke masalah suara. Apa yang ingin disuarakan melalui aksi hari tani? Hampir semua poster yang berkibar mewakili nama organisasi, bukan tuntutan maupun slogan. Memangnya hari tani kompetisi mengukur panjang alat kelamin antar pimpinan organisasi, siapa yang kapasitas mobilisasi anggotanya paling besar dan militansinya paling keras? Lebih baik ke kamar mandi bersama dengan penggaris. Jangan malah memakai sumber daya terbatas kelas terjajah untuk merangsang rasa narsis dan gila kuasa raja kecil.
Poster paling besar di puncak mobil komando milik gerakan mahasiswa yang telat datang. Entah bagaimana bisa demikian. Aku tidak melihat bendera yang dibawa pimpinan gerakan. Logistik dibawa anggota. Pimpinan ceramah saja. Apa bedanya dengan acara partai politik, dimana pekerja partai mempersiapkan ini dan itu, sementara pimpinan hanya rapat dan berpidato menggurui massa? Masih lebih bermanfaat acara partai politik dimana rakyat diberikan uang sogokan untuk memilih calon penindas tertentu. Jika prinsip sama rasa sama rata hanya diterapkan secara selektif, sama rasa sama rata kecuali saat kita tidak sama, itu namanya tidak punya prinsip sama sekali.
Kemerdekaan datang saat yang terdiamkan berbicara, saat yang diperintah membuat keputusan, dan saat yang dipinggirkan teragungkan. Dalam kata lain, saat tidak ada kelas yang terdiamkan, diperintah, dan dipinggirkan.
Berbicara atas nama si terjajah, memerintah si terjajah kesana-sini, dan meminggirkan yang sudah terpinggirkan hanya memperparah masalah. Gerakan bukan kumpulan protagonis sejarah yang “turun bawah” dari dunia para dewa untuk mengintervensi dari luar kerangkeng penindasan. Kita semua manusia biasa yang terbiasa berhubung dengan batasan, kuasa, dan kompetisi. Bukankah perbatasan, negara, dan kapital itu sendiri pada dasarnya relasi sosial antar manusia? Ini bukan masalah moral. Gerakan sosial yang mereplikasi relasi sosial yang secara agregat ialah perbatasan, negara, dan kapital itu sendiri, tidak mungkin bisa melawan perbatasan, negara, dan kapital.
Lantas apa solusinya?
Internal organisasi dan pergerakan perlu dibangun secara demokratis, dengan partisipasi aktif dan pembuatan keputusan di tangan anggota, bukan manuver gelap pemimpin rahasia. Keuangan organisasi perlu rinci dan transparan dengan auditor bergilir. Pembangunan kesadaran perlu dilaksanakan sebagai pembangkitan benih aspirasi anggota dan penjahitan pengetahuan yang mereka sudah miliki. Buruh tidak perlu diteliti, tani tidak perlu diceritakan, perempuan tidak perlu dipimpin, rakyat tidak perlu digurui.
Kita sungguh melangkah menuju kemerdekaan saat petani menjadi peneliti pengembangan bibit tanpa GMO, saat buruh menjadi penulis kisah pemogokan pabrik, saat perempuan memimpin dirinya sendiri, dan rakyat mandiri membangun kesadaran atas derita dan mimpi hidup mereka sendiri. Dalam kata lain, saat “aktivis” sebagai kelas tersendiri terbasmi total, bersama halusinasi si “aktivis” sebagai malaikat jenius berhati emas pengorban diri, seorang revolusioner profesional. Prefigurasi adalah masalah strategi politik. Cara dan hasil tidak bisa dipisahkan. Menanam pohon durian, hasilnya pohon durian. Menindas massa petani, hasilnya menindas massa petani. Hari ini, hidup petani terkubur pada harinya sendiri.
***
Semua poin dalam tulisan ini bisa ada berkat diskusi dengan berbagai rekan perjuangan dan teman dekat. Juan sebagai penulis sebenarnya hanya ilusi saja. Yang berbicara adalah suatu kecenderungan sejarah dan campuran keresahan berbagai kelas. Penulis adalah juru tulis para dewa, kata Plato. Jadi, siapa yang berbicara?