“Mamah kerja dulu, ya. Adek tunggu di rumah sama kakak!” Kalimat itu sering diucapkan Marsha (bukan nama sebenarnya) kepada anak bungsunya sebelum berangkat bekerja. Marsha adalah pengemudi ojol. Anak bungsunya yang berusia empat tahun sering menangis tak mau ditinggal oleh ibunya.
“Jadi, bagaimana kalau anaknya nangis sebelum berangkat kerja?” tanya saya penasaran.
Marsha menundukkan kepala. Kemudian mengangkat kepalanya menatap saya dengan mata berkaca-kaca. Sembari tersenyum ia berkata, “Saya terpaksa menjanjikan sesuatu. Saya bilang, nanti mamah belikkan kue untuk adek kalau pulang”. Menurutnya, dengan iming-iming begitu anak bungsunya akan berhenti menangis dan membiarkan ia pergi bekerja.
Mendengarkan cerita Marsha, hati saya terenyuh. Sebagai seorang ibu, meninggalkan anak di rumah untuk bekerja bukan perkara mudah. Pengalaman sebagai seorang ibu, ketika saya akan pergi dan anak merengek membuat perasaan ibu menjadi sedih dan bimbang.
Ikatan ibu dan anak terjadi ketika mengandung, melahirkan hingga menyusui. Secara naluriah akan terbangun bonding atau kelekatan anak dengan ibu. Baik secara emosional maupun fisik. Apalagi Marsha adalah orang tua tunggal bagi ketiga anaknya.
Suami Marsha meninggal karena sakit pada 2020. Menurut dokter, suaminya mengidap penyakit liver akibat keseringan ngojol pada malam hari alias ngalong.[1] Untuk menghidupi ketiga anaknya Marsha terpaksa melanjutkan pekerjaan suaminya sebagai ojol dengan mengganti data akun ojol suaminya menjadi data diri Marsha.
Perasaan sedih selalu dirasakan Marsha ketika hendak bekerja. Meskipun ia tahu anaknya akan lebih aman di rumah daripada ikut bekerja bersamanya di jalan. Perasaan sedihnya selalu ditepis dengan kekhawatirannya ketika tak memiliki biaya untuk membelikan susu anaknya.
Ketika pulang dari ngojol malam hari, Marsha akan membawa kue seperti yang dijanjikan ke anaknya. Walaupun kue yang dibawa terkadang tidak seberapa, hanya seharga Rp5 ribu, namun itu cara Marsha menepati janjinya.
“Buat nyenengin anak biar dia mau ditinggal saya tiap hari,” terang Marsha dengan mata berkaca-kaca sembari meremas jari tangannya.
Algoritma Antiperempuan
Dalam banyak studi, ojol memiliki risiko kerja yang tinggi di jalanan. Selain risiko kecelakaan, tertabrak atau menabrak, ojol perempuan kerap mendapatkan kekerasan di jalanan, perampokan bahkan pelecehan di jalanan. Tak hanya itu, perusahaan aplikator pun sama sekali tidak memberikan jaminan atas perlindungan sosial dan jaminan pendapatan meskipun jam kerja panjang dan risiko di jalanan selalu mengancam keselamatan ojol perempuan.
Namun, yang jarang diperhatikan mengenai sistem kerja transportasi online. Saya berani mengatakan bahwa algoritma yang dibangun perusahaan-perusahaan transportasi berbasis aplikasi tidak ramah perempuan. Saya akan kasih tiga penjelasan.
Pertama, sekitar 80 persen pengguna ojol adalah perempuan. Sedangkan driver ojol perempuan hanya 20 persen dari total. Dengan perhitungan sederhana, ojol perempuan semestinya mendapat lebih banyak kesempatan mendapatkan order. Kenyataannya, ojol perempuan lebih banyak mendapatkan pelanggan laki-laki, yang berarti rentan mengalami canceling karena pengemudi perempuan dianggap tidak cakap mengendarai sepeda motor.[2]
Kedua, sistem gamifikasi algortima transportasi online mensyaratkan onbid secara terus-menerus dengan pengaturan waktu yang konsisten.[3] Penonaktifan aplikasi karena menstruasi atau hamil berpengaruh terhadap performa akun. Performa merupakan satu elemen penilaian untuk mendapatkan order. Tentu saja algoritma tidak peduli jika waktu onbid karena harus mengurus pekerjaan rumah tangga. Dengan demikian, fleksibilitas jam kerja bagi ojol adalah omong kosong.
Ketiga, upah per trip mengondisikan perempuan tidak dapat meninggalkan pekerjaannya. Meninggalkan pekerjaan karena menstruasi atau hamil maka secara otomatis tidak akan mendapatkan upah.
Cerita Marsha di atas menambahkan fakta bahwa sistem kerja ojol tidak hanya merampas waktu dan tenaga, namun juga melenyapkan sebagian momen kebersamaan dan perkembangan anaknya. Situasi seperti itu membuat Marsha terpaksa harus meninggalkan anak-anaknya di rumah.
***
Siang itu ruang kontrakan sekretariat ramai. Mereka datang untuk berdiskusi mengenai pengeluaran dan pendapatan ojol. Riuhnya percakapan dari teman-teman ojol pun menggema di ruangan: ada yang menanyakan kabar, membahas orderan hingga persoalan di jalanan.
Marsha salah satu ojol perempuan dari sebagian besar ojol laki-laki yang datang. Ia duduk di sebelah saya sambil tersenyum, pandangan matanya menatap penuh tanya ke orang-orang yang belum ia kenal. Ruangan yang berisi banyak orang. Kurang lebih ada 9 orang, belum termasuk yang di teras luar.
“Jadi saya ngojol tunggu anak pertama dan kedua pulang sekolah. Biar bisa jagain adeknya yang kecil di rumah. Semua keperluan udah saya siapkan,” kata Marsha menerangkan cara mengatur waktu.
Marsha hanya dapat onbid setengah hari, dari siang hingga malam, itu pun maksimal pukul 8 malam. Ia merasa tidak begitu tenang meninggalkan anaknya lama-lama di rumah, yang membuat bimbang adalah anak-anak menjaga anak. Menurutnya, itu tidak selayaknya dilakukan, walaupun juga tidak ada pilihan lain karena tidak ada sanak keluarga terdekat.
Waktu kerja (onbid) Marsha kurang lebih 7-8 jam setiap hari. Dengan 7-8 jam kerja itu ia hanya memperoleh pendapatan kurang lebih Rp70 ribu sehari. Berarti dalam sebulan kurang lebih Rp2,1 juta per bulan. Lagi-lagi, perhitungan itu dengan asumsi bahwa Marsha selalu onbid dan mendapatkan order selama 30 hari nonstop. Nyatanya, tidak setiap hari order gacor. Bukan karena tidak onbid, tapi tidak ada order yang masuk. Jadi, onbid tanpa dapat order seperti buang-buang kuota dan baterai handphone.
Jika Marsha menginginkan pendapatan lebih, ia pun harus bekerja lebih lama lagi, yang disebut dengan ngalong. Melihat posisi Marsha, sudah jelas ngalong tidak dapat dilakukannya.
Hasil survei pendapatan dan pengeluaran ojol di Sukabumi yang dikeluarkan oleh Komite Hidup Layak (KHL) menunjukkan bahwa dengan rata-rata kerja (onbid) ojol 14,8 jam per hari diperoleh pendapatan sebesar Rp95.272, yang artinya diperoleh sebesar Rp2.667.636 per bulan. Jika dibandingkan dengan upah minimum Kota Sukabumi tahun 2023 yaitu Rp2.747.774,[4] penghasilan ojol di bawah upah minimum. Meskipun selisih upah itu terlihat sedikit, namun upah yang diterima sebulan itu tidak sebanding dengan jumlah beban pengeluaran yang harus ditanggung oleh ojol.
Sepeda motor dan smartphone adalah syarat kerja yang harus dimiliki oleh para ojol. Perusahaan aplikasi menetapkan sejumlah syarat lain yang berkaitan dengan sepeda motor, seperti usia kendaraan maksimal 8 tahun, pembayaran pajak kendaraan bermotor, SIM, dan kelengkapan lainnya. Begitu pula dengan smartphone, yang harus compatible dengan aplikasi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut mengondisikan calon ojol atau ojol memiliki sejumlah uang. Uang tersebut tidak jarang harus diperoleh dengan cara meminjam atau terjebak pada sistem kredit barang.
Dengan penghasilan rata-rata sekitar Rp2,6 juta, para ojol harus berpikir keras agar uang tersebut cukup untuk menopang kebutuhan sehari-hari. Relatif berbeda dengan buruh manufaktur, yang mengandaikan kebugaran tubuh untuk berangkat bekerja, ojol harus memastikan kebugaran tubuh serta kendaraan sepeda motor dan kuota internet yang cukup. Dengan begitu, tiap hari pula mereka harus bergelut dengan persoalan bahan bakar kendaraan (BBM), pulsa/paket internet, makan dan minum selama berada di jalan menunggu orderan, menyisihkan uang untuk membayar utang/cicilan dan perbaikan motor yang secara tiba-tiba.
Siaran pers Komite Hidup Layak meunjukkan, pengeluaran bulanan terbesar ojol adalah biaya BBM dan cicilan kendaraan. Masing-masing sebesar Rp948 ribu per bulan dan Rp578 ribu per bulan. Jika rata-rata pendapatan bulanan ojol sebesar Rp2,6 juta dikurangi dengan pengeluaran cicilan kendaraan dan BBM, berarti keluarga buruh ojol harus bertahan dengan uang sisa sekitar Rp1 jutaan. Itu adalah perhitungan kasar bulanan.
Bagaimana keluarga buruh ojol bertahan hidup?
“Saya jarang beli makanan dan minuman di luar, biar hemat. Kalau pun beli paling habis Rp10 ribu saja sambil nunggu orderan,” kata Marsha menerangkan bahwa dirinya harus pandai mengatur pengeluaran karena pendapatan ojol tidak menentu.
Cerita yang sama dialami juga oleh Bela (nama samaran), perempuan paruh baya yang juga ngojol. Bela lebih sering makan siang di rumah. “Jadi ojol mah pendapatannya sedikit. Kerjanya lama. Jadi saya mah paling beli minum di warung sambil nunggu (order),” terang Bela sambil tertawa kecil.
Marsha dan Bela hanya mengandalkan pendapatannya dari pekerjaan sebagai ojol. Mereka selalu khawatir dengan masa depan keluarganya. Meskipun mereka berusaha hidup irit, pendapatannya tetap saja tidak dapat menutup kebutuhan sehari-hari. Karena harga kebutuhan sehari-hari mahal. Setiap bulan selalu saja terdapat item kebutuhan pokok yang naik. Itu belum termasuk biaya pendidikan dan tetek-bengeknya.
Seperti Bela, yang anaknya disekolahkan di pesantren. Ia beranggapan, jika berada di pesantren akan merasa tenang bekerja karena anaknya ada yang mengurus. Tapi pengeluaran sehari-hari di pesantren pun di luar dugaan.
“Ada aja yang harus dibeli tiap minggu. Minta sabun habis, kue habis, belum lagi uang untuk jajannya di sana,” jelas Bela menerangkan pengeluaran anaknya di pesantren.
Bela tidak memiliki pekerjaan sampingan. Ia sekuat mungkin agar tidak berutang. Dalam keadaan mendesak, Bela kerap meminta bantuan dari kakak anak-anak suaminya.
Jurus hemat juga dilakukan oleh Marsha. Ia memberikan pengertian kepada anak-anaknya agar tidak terlalu banyak jajan. Marsha pun berusaha agar tidak terjerat utang.
Marsha sedikit beruntung karena masih memiliki uang tambahan. Marsha memiliki toko yang telah disewakan kepada orang lain. Harganya Rp12 juta per tahun. Toko itu bekas dulu ia berjualan namun bangkrut pada 2017.
Tidak semua ojol memiliki sumber pendapatan lain selain pendapatan harian dari ngojol, seperti Marsha dan Bela. Jika tidak onbid hari ini sudah pasti tidak ada pemasukan untuk hari ini dan besok. Dengan begitu, mereka tentu harus memikirkan strategi lain yang dapat menambah penghasilan, seperti menjalani beberapa akun sekaligus, menambah pekerjaan sampingan, atau menerima order offline agar tidak mendapat potongan dari aplikasi.
Banyak yang berupaya untuk tidak terjerat dengan utang meskipun tidak jarang banyak juga yang terjerat utang. Perekonomian yang benar-benar sulit atau terjerat dengan berbagai macam iklan yang menawarkan kemudahan cicilan atau bunga kecil menjadi penyebabnya.
Dengan upah yang tidak pasti dan biaya hidup yang semakin tinggi, tidak jarang para ojol berutang-baik pinjaman online maupun pinjaman dengan keluarga. Sebab keberlangsungan hidup ojol tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga keluarga yang juga menjadi tanggung jawabnya.
Dalam hasil survei KHL pada ojol, sebanyak 22 orang dari 33 responden memiliki hutang, yang rata-rata harus dibayar Rp1.285.181 per bulan. Sebagian dari mereka pun memiliki lebih dari satu jenis utang, misal utang di Julo, Shopee Paylater, Adakami dan lain-lain. Tidak adanya jaminan pendapatan, perlindungan sosial, kesehatan hingga perawatan terhadap alat kerjanya sendiri menjadi beban berat yang harus ditanggung para ojol. Menjadi ojol dengan jam kerja panjang saja tidak dapat menjamin pendapatan cukup apalagi jika hanya bekerja setengah hari seperti Marsha atau Bella.
Gamifikasi Merampas Hak Keluarga Ojol
Status kemitraan yang disematkan pada ojol memberikan banyak kerugian terhadap kehidupan mereka, terutama ojol perempuan. Biaya reproduksi ojol tidak hanya tubuhnya agar sehat dan bugar, tapi memastikan sepeda motor dan handphone dapat berfungsi dengan baik.[5] Memelihara sepeda motor dan handphone merupakan jenis pengeluaran tambahan, yang nilai perawatannya lebih mahal ketimbang tubuhnya dan tidak dapat ditawar.
Pada cerita Marsha, ia tidak hanya kehilangan waktu untuk bermain dan melihat tumbuh kembang anaknya karena ditinggal bekerja namun juga sebaliknya. Anak-anak Marsha juga terampas haknya untuk dapat diasuh oleh orang tuanya. Marsha yang suaminya juga seorang ojol meninggal pada 2020 dan ia mulai merawat 3 anaknya seorang diri. Bahkan dua anak pertamanya terpaksa juga harus mengasuh adiknya yang kecil karena Marsha harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Anak pertamanya ketika itu masih duduk di bangku SMA, yang kedua di bangku SMP dan yang bungsu masih balita. Marsha pun harus berperan sebagai sosok ayah dalam proses perkembangan anak remajanya. Kemampuan untuk berdiskusi, membuat perencanaan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi anak-anaknya di masa remaja. Semua tantangan perkembangan itu membutuhkan kehadiran orang tua dalam keluarga.
Pengaturan algoritma yang membuat jumlah orderan tidak merata diperoleh oleh para ojol. Akibatnya, pengemudi ojol laki-laki maupun perempuan harus menghabiskan waktu lebih banyak di jalanan. Situasi seperti inilah yang merenggut hak anak mendapatkan pengasuhan dan waktu bermain bersama orang tua.
Tidak hanya itu, pendapatan yang tidak menentu berdampak pada proses pemenuhan gizi anak. Marsha mengatakan, jarang menyediakan makanan bergizi di rumah. “Paling beli tempe, tahu atau telur,” jelas Marsha.
Kondisi mirip dialami oleh Zoya (bukan nama sebenarnya). Anak perempuannya lebih banyak diasuh oleh neneknya (ibu Zoya).
“Jadi saya kasih uang ke ibu. Nanti ibu yang siapkan untuk makan di rumah untuk dia dan anak saya,” terangnya.
Zoya sendiri lebih sering berada di Base Camp (BC) daripada di rumah karena dia juga kadang ngalong. Zoya menjelaskan, sangat jarang mengonsumsi makanan bergizi, seperti daging sapi atau ayam.
Marsha atau perempuan ojol lainnya tidak seyogyanya mengalami hal-hal di atas, apabila pengurus negara dan aplikator memberikan perlindungan dalam pekerjaan mereka sebagai ojol. Penyelenggara negara seharusnya menyediakan layanan dukungan pada orang tua, khususnya jika mereka bekerja seperti tertuang pada pasal 18 Konvensi Hak Anak.[6] Layanan pendukung ini dapat berupa tempat penitipan anak gratis ataupun layanan perawat anak di rumah gratis. Dengan begitu akan lebih mempermudah dan menenangkan para ojol perempuan selama onbid.
Memberikan jaminan pendapatan pun menjadi langkah yang sudah selayaknya dilakukan oleh aplikator dan pemerintah. Anak berhak untuk mendapatkan asupan yang sehat dan bergizi untuk memastikan anak tumbuh sehat.[7] Dengan terjaminnya pendapatan maka ojol tidak mengalami kesulitan dalam mengatur keuangan dan tidak perlu pula menggunakan jurus hemat untuk pemenuhan gizi keluarga. Sayangnya, aplikator dan pemerintah melarikan diri alias tidak bertanggungjawab terhadap segala dampak buruk yang dialami oleh para ojol perempuan bahkan anak-anak dari ojol. Tidak adanya jaminan dan perlindungan terhadap para ojol menjadi penyumbang kerusakan hubungan dan tumbuh kembang anak dalam keluarga pada ojol.
Transportasi berbasis online berlindung dalam sistem fleksibilitas waktu untuk melepaskan tanggung jawabnya membayar tunjangan buruh, seperti waktu istirahat. Fleksibilitas jam kerja berupa memilih onbid dan offbid yang berpengaruh langsung terhadap pendapatan, sekaligus terhadap performa akun tidak lebih dari kedok aplikator melempar tanggung jawabnya kepada buruh-ojol. Pada akhirnya, perempuan ojol terpaksa mengaktifkan akun dalam kondisi apapun.
Dengan menggunakan sistem fleksibilitas waktu, kekayaan pengusaha transportasi online berlipat ganda ketika para ojol meningkatkan jam kerjanya, sekaligus terbebas dari tanggung jawabnya untuk melindungi hak reproduksi buruh-ojol ketika menggunakan waktu istirahatnya. Marsha memang tetap bekerja ketika sedang mengalami haid, namun ia memutuskan untuk tidak bekerja di hari libur. Baginya itu adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Ketika haid pun ia tetap bekerja selama ia merasa dapat menahan rasa sakit.
Onbid ketika haid tidak berlaku bagi Bela. Bela merasakan nyeri yang luar biasa hingga pernah pingsan ketika haid. Ia bercerita, suatu waktu ia mendapatkan haid ketika di jalanan. Sakit yang tidak tertahankan membuat ia tidak bisa mengendarai motor akhirnya ia diantar oleh teman sesama ojol untuk pulang ke rumah. “Periksa ke bidan. Kata Bidan, sakit haidnya berkaitan dengan kelelahan kerja,” ujar Bela. Sejak itu, Bela memutuskan untuk beristirahat penuh selama 2 hari di rumah karena tidak sanggup untuk ngojol.
Yang dilakukan oleh Bela tentu saja sudah benar yaitu beristirahat ketika masa haid tiba, terutama pada hari pertama dan kedua. Memang nyeri haid yang dirasakan tiap perempuan berbeda, namun efek yang dialami seringkali sama seperti perubahan emosi, merasa kelelahan, tidak konsentrasi dan produktivitas ketika bekerja menjadi menurun. Menjadi ojol memang tidak memerlukan izin untuk tidak bekerja selama haid seperti di pabrik. Sistem kerja ojol yang menuntut ojol bekerja lebih dari 14 jam sudah menguras tenaga dan membuat mereka rentan mengalami sakit, apalagi jika tetap onbid di kala sedang nyeri haid.
Pada kasus ojol perempuan jika tidak bekerja karena sakit haid mereka tidak mendapatkan pendapatan pada hari itu. Apa jadinya apabila ojol perempuan itu seperti Marsha yang menjadi tulang punggung keluarga? Atau mengalami nyeri haid seperti Bela? Untuk tidak bekerja tentu menjadi sebuah pergulatan batin, jika bekerja ia tidak mampu karena sakit namun jika di rumah ia tidak mendapatkan pemasukan. Meskipun banyak dijumpai perempuan ojol di luar sana yang menyampingkan rasa sakit untuk tetap onbid agar pemasukan tetap ada setiap harinya.
Selain siklus haid, perempuan juga mengalami masa kehamilan dan menyusui. Dalam sistem kerja ojol hak reproduksi ini yang tidak dipikirkan oleh aplikator. Masa kehamilan dan menyusui paling tidak memerlukan waktu lebih dari tiga bulan untuk tidak bekerja. Selama tidak bekerja itu pula mereka membutuhkan persiapan biaya untuk melahirkan hingga tetek bengek yang berkaitan dengan kelahiran anak. Pontang-panting para ojol mencari penghasilan dan mempertahankan akun untuk tetap aktif. Sebab beberapa platform menerapkan akun diputus mitra (PM) apabila tidak digunakan selama tiga bulan berturut-turut. Tidak adanya jaminan terhadap pekerja ojol terhadap ojol membuat segala hak maternitas ini menjadi hilang yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab aplikator terhadap ojol perempuan.
Terlalu banyak tanggungan yang dibebankan kepada para ojol. Mereka menanggung segala risiko dan dampak buruk dari sistem kerja ojol. Ojol perempuan tidak hanya harus berpikir tentang kesejahteraan dirinya dan bagaimana mengatur perekonomian keluarga, namun juga membelah diri untuk dapat bekerja sebagai ojol, membereskan pekerjaan domestik, pengasuhan dan perawatan anak-anaknya di rumah. Di balik berat dan menekannya situasi ojol perempuan seperti Marsha, Bela atau Zoya, atau ojol perempuan lainnya, mereka dipaksa untuk tetap waras secara psikologis dalam menjalani kehidupan di keluarga. Dalam situasi ini aplikator dan pemerintah tidak hanya lepas tangan terhadap kesejahteraan hidup para ojol itu sendiri namun juga merampas kesejahteraan seluruh keluarga ojol.[]
Catatan Kaki
[1] Menurut ilmu kesehatan bekerja pada malam hari atau begadang dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki jam biologisnya sendiri. Ketika seseorang melakukan kerja pada malam hari, organ-organ tubuh terganggu jam biologisnya. Jam biologis seseorang digunakan untuk mengatur proses metabolisme sewaktu tidur. Jika dilakukan setiap hari, kondisi ini bisa merusak fungsi hati. Baca: https://www.halodoc.com/artikel/begadang-bisa-ganggu-fungsi-hati-kenapa
[2] Diskusi kelompok dengan ojol perempuan di Sukabumi, Serang dan Tangerang, pada 25 Juli 2024.
[3] Gamifikasi adalah sistem kerja game yang diadopsi dalam sistem transportasi seperti rating, performa, jumlah order/misi yang diselesaikan, reward, dan sebagainya.
[4] https://money.kompas.com/read/2023/03/30/115622226/gaji-umr-sukabumi-kota-dan-kabupaten-sukabumi-2023
[5] Tithi Bhattacharya (10 September 2013) menyebutkan tiga wilayah ruang reproduksi, yaitu kegiatan regenerasi buruh di luar proses produksi dan pemulihan untuk kembali bekerja, memelihara dan meregenerasi golongan nonburuh di luar proses produksi, dan menyiapkan buruh baru.
[6] https://www.unicef.org/indonesia/id/konvensi-hak-anak-versi-anak-anak
[7] Ibid.