“You pass the Law, We Start War”
Pernyataan di atas mencerminkan ketegangan yang muncul ketika kebijakan pemerintah dianggap mengancam nilai-nilai dasar sebuah republik. Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI, yang dapat melemahkan supremasi sipil.
Sebagai warga negara Indonesia, kita telah melewati banyak sejarah panjang untuk mencapai kemerdekaan dan berdiri sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Setiap warga negara, apapun status sosialnya, memiliki hak yang setara dalam menentukan arah bangsa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita dihadapkan pada ancaman yang nyata terhadap prinsip-prinsip tersebut, yakni munculnya UU TNI yang dapat memicu kembalinya dwifungsi ABRI. Fenomena ini seakan mengingatkan kita akan masa-masa kelam yang telah berakhir dengan Reformasi 98, saat militer memiliki peran yang sangat dominan dalam kehidupan sipil.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk merenung dan menggali lebih dalam mengenai potensi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh UU TNI, yang bukan hanya soal kebijakan militer semata, melainkan juga soal siapa yang seharusnya memegang kendali dalam negara republik ini. Apakah militer, yang sering kali mengutamakan kekuatan dan kontrol, ataukah rakyat sipil yang seharusnya menjadi aktor utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Republikanisme: Filsafat Politik Indonesia yang Diajukan oleh Robertus Robet
Republikanisme sebagai sebuah filsafat politik Indonesia, seperti yang digagas oleh Robertus Robet, merupakan dasar utama dari struktur negara kita. Pada intinya, republikanisme menekankan pada supremasi sipil, yakni peran rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. Dalam kerangka ini, negara bukanlah entitas yang dikendalikan oleh sekelompok elit atau militer, tetapi oleh rakyat yang memiliki hak setara dalam menentukan kebijakan negara.
Robet berpendapat bahwa Indonesia harus berpegang pada prinsip republik, yang artinya negara harus dibangun dengan dasar-dasar yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak, bukan sebaliknya, diserahkan pada kekuatan militer atau kelompok elit politik tertentu. Dalam pandangan ini, militer hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara yang harus tunduk pada kontrol sipil. Setiap keputusan yang diambil oleh negara harus berfokus pada kepentingan publik, dengan mendengarkan suara rakyat dalam setiap proses pengambilan keputusan politik.
Namun, saat ini, kita menyaksikan sebuah fenomena yang sangat mengkhawatirkan—ancaman terhadap supremasi sipil. UU TNI yang sedang hangat diperbincangkan publik menunjukkan bahwa militer semakin terlibat dalam urusan sipil, yang berpotensi merusak tatanan republik yang sudah dibangun dengan susah payah. Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan adalah ketentuan mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang memberikan kewenangan kepada militer untuk terlibat dalam urusan sipil seperti penanggulangan narkoba, pengawasan perairan, dan penegakan hukum. Hal ini bisa mengarah pada tumpang tindih tugas antara aparat sipil dan militer, yang pada gilirannya dapat menciptakan ketidakjelasan dalam pembagian kekuasaan dan menciptakan ruang bagi militer untuk semakin memperluas pengaruhnya.
Ancaman Supremasi Sipil dalam UU TNI
Salah satu kekhawatiran terbesar dari UU TNI adalah kembalinya dwifungsi ABRI, sebuah konsep yang sebelumnya menjadi simbol dominasi militer dalam kehidupan sipil di Indonesia. Dwifungsi ABRI adalah fenomena di mana TNI tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga memiliki peran besar dalam politik dan administrasi sipil. Konsep ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar republikanisme yang digagas oleh Robet, yang menekankan pemisahan yang tegas antara militer dan sektor sipil.
Pada masa Orde Baru, dominasi militer melalui dwifungsi ABRI membawa dampak buruk terhadap kebebasan sipil dan kehidupan demokratis. Militer terlibat dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari sektor pemerintahan, ekonomi, hingga sosial, yang pada akhirnya memperburuk ketidakadilan dan mengekang kebebasan rakyat. Setelah Reformasi 98, rakyat Indonesia berhasil menuntut agar militer kembali ke barak, dengan tujuan untuk membangun negara yang lebih demokratis dan berkeadilan. Namun, dengan adanya UU TNI ini, kita seakan dihadapkan pada ancaman kembalinya masa kelam tersebut.
Secara praktis, UU TNI memperkenalkan konsep Operasi Militer Selain Perang yang memungkinkan militer untuk terlibat dalam urusan-urusan yang seharusnya menjadi domain sipil. Contohnya, dalam penanggulangan narkoba, pengawasan perairan, hingga penegakan hukum. Hal ini sangat berpotensi tumpang tindih dengan tugas-tugas lembaga sipil seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Bakamla, dan kepolisian, yang selama ini sudah memiliki kewenangan untuk menangani masalah-masalah tersebut. Setelah Revisi UU TNI disahkan, tidak hanya akan mengaburkan pembagian tugas antara militer dan sipil, tetapi juga memberi ruang bagi militer untuk memperluas pengaruhnya dalam kehidupan sipil.
Kebijakan yang diterapkan oleh Menteri Pertahanan untuk memperbesar kekuatan militer juga semakin mengkhawatirkan. Prabowo telah memulai ekspansi besar-besaran dengan menambah jumlah Kodam (Komando Daerah Militer), yang akan membentuk 22 Kodam baru hingga tahun 2029, menjadikan Indonesia memiliki 37 Kodam. Begitu juga dengan pembentukan Komponen Cadangan (Komcad), yang pada awalnya direncanakan sebanyak 25.000 orang, namun baru berhasil membentuk sekitar 9.700 Komcad pada tahun 2024. Pembentukan batalyon tempur teritorial, seperti Brigade Pangan dan program Ketahanan Pangan yang melibatkan Babinsa dalam pengelolaan sektor pangan, semakin menunjukkan peran besar militer dalam sektor-sektor yang seharusnya menjadi ranah sipil.
Keterlibatan militer dalam berbagai sektor sipil, seperti ketahanan pangan, hanya mempertegas kekhawatiran kita terhadap militerisasi kehidupan sehari-hari. Misalnya, program seperti Brigade Pangan yang melibatkan Babinsa dalam mendampingi petani dan pengelolaan lahan pertanian, meskipun tujuannya untuk meningkatkan produksi pangan, namun secara tidak langsung memperkuat kontrol militer terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Begitu pula dengan program Ketahanan Pangan yang melibatkan Satgas BKO Ketahanan Pangan, yang diletakkan di bawah komando militer, semakin memperjelas dominasi militer dalam sektor-sektor vital negara.
Menghadapi Tantangan Militerisasi dan Kemunduran Demokrasi
Kebijakan yang mengedepankan peran militer dalam kehidupan sipil ini harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan. Negara Indonesia tidak boleh kembali ke masa di mana militer memiliki kekuasaan yang sangat besar atas rakyat sipil. Mengingat ketegangan yang muncul dari kebijakan-kebijakan militer ini, sangat penting untuk menahan laju militerisasi dalam kebijakan negara. Demokrasi yang kita perjuangkan sejak Reformasi 98 harus dijaga, dan peran rakyat sipil dalam menentukan kebijakan harus selalu diperkuat.
Dalam menghadapi tantangan ini, perlu adanya langkah-langkah untuk memperkuat desentralisasi kekuasaan dan memberikan lebih banyak ruang bagi partisipasi rakyat dalam setiap keputusan yang diambil. Selain itu, kita juga perlu menggali potensi ketahanan pangan berbasis pada prinsip keberlanjutan dan diversifikasi, bukan sekadar mengandalkan pendekatan militer yang dapat memperburuk ketimpangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya kolektif untuk menegakkan supremasi sipil dan mencegah kemunduran demokrasi.
Sebagai warga negara yang berdaulat, kita harus menyadari bahwa negara ini bukan milik segelintir orang atau kelompok, apalagi militer. Negara ini adalah milik kita semua, dan kita harus terus berjuang untuk memastikan bahwa prinsip republik, yang menempatkan rakyat sebagai pusat, tetap tegak. Karena pada akhirnya, kita adalah warga Republik Indonesia yang berhak menentukan masa depan negara ini tanpa campur tangan militer yang berlebihan.
Menjaga demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia adalah tanggung jawab kita bersama. UU TNI menjadi ujian besar bagi keberlanjutan prinsip-prinsip republik yang telah kita perjuangkan. Keterlibatan militer dalam urusan sipil yang berlebihan hanya akan mengancam kebebasan rakyat dan memperburuk ketidakadilan.
Kita harus menjaga dan memperkuat sistem republik yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu kita, agar Indonesia tetap menjadi negara yang adil, demokratis, dan berdasarkan kedaulatan rakyat. Karena kita, sebagai warga Republik Indonesia, tidak akan pernah rela melihat kebebasan dan kedaulatan kita dirampas oleh siapa pun, termasuk oleh militer.