Kerja paksa atau forced labour adalah pelanggaran hak asasi yang berat. Kerja paksa memiliki kaitan erat dengan kondisi kerja yang buruk, tingginya angka kecelakaan, dan angka kematian di tempat kerja. Hal ini terjadi karena kerja paksa secara sistematis meniadakan hak, suara, dan keselamatan buruh. Sifat eksploitatif dan memaksa inilah yang menjadi akar dari praktik berbahaya yang mengancam jiwa, sebagaimana didefinisikan oleh organisasi buruh internasional (ILO).
ILO mendefinisikan kerja paksa sebagai “segala pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada seseorang di bawah ancaman hukuman apapun dan di mana orang tersebut tidak menawarkannya secara sukarela. “Ancaman dan ketiadaan kesukarelaan adalah dua elemen kunci yang mendasari lingkaran setan ini, memaksa buruh menerima kondisi yang tidak akan mereka toleransi dalam keadaan normal. Ancaman tersebut dapat muncul secara halus, contohnya seperti paksaan untuk lembur atau bekerja penuh beberapa shift dengan konsekuensi tidak mendapat upah yang memadai atau menerima tunjangan jika menolak. Atau jika perusahaan menawarkan lembur rutin, meski bukanlah suatu keharusan, tetapi karena upah yang ada tidak mencukupi untuk hidup layak, maka lembur tersebut dapat disebut paksaan secara halus.
Keterkaitan antara kerja paksa dan kondisi kerja (K3) yang buruk bersifat langsung dan sistematis. Pemberi kerja yang menerapkan kerja paksa cenderung memiliki motivasi kuat untuk menekan biaya operasional dengan mengorbankan kesejahteraan buruh. Bagi mereka, buruh dipandang sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi sepenuhnya, bukan manusia yang perlu dilindungi.
Praktik Kerja Paksa: Kondisi dan Modus Operandi
Praktik kerja paksa merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, ditandai oleh beberapa kondisi dan modus operandi yang merugikan buruh. Berikut adalah poin-poin utama yang menggambarkan kondisi kerja paksa:
1. Kondisi Kerja dan Hidup yang Tidak Manusiawi:
Akomodasi: buruh sering kali ditempatkan di akomodasi yang tidak layak, seperti tempat yang penuh sesak, kotor, dan tidak higienis. Dalam beberapa kasus, fasilitas akomodasi bahkan tidak disediakan, memaksa buruh untuk mencari tempat tinggal seadanya. Mereka dihadapkan pada situasi menyewa kos yang tidak layak karena upah yang tidak memadai.
Lingkungan Kerja: buruh terpapar bahaya di tempat kerja, seperti bahan kimia berbahaya tanpa perlindungan memadai, ventilasi yang buruk, atau kondisi fisik yang tidak aman.
2. Jam Kerja Berlebihan (Lembur Paksa):
Durasi Kerja: Korban dipaksa bekerja melebihi batas waktu legal, tanpa istirahat yang cukup. Kelelahan ekstrem yang diakibatkannya, tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan kerja.
Tanggung Jawab Kecelakaan: Perusahaan sering mengklaim kecelakaan kerja sebagai “human error”. Namun, kecelakaan sering kali disebabkan oleh kelelahan dan hilangnya konsentrasi buruh, yang seharusnya dapat dicegah dengan sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang baik. Jadi, tuduhan “human error” hanya upaya perusahaan mengelak dari tanggung jawab memperbaiki sistem K3.
3. Penahanan Upah dan Jeratan Utang (Perbudakan Utang):
Alat Kontrol: Penahanan upah atau jeratan utang adalah bentuk kontrol psikologis yang kuat. Hal ini membuat buruh tidak berdaya untuk menolak atau mengeluhkan kondisi kerja yang berbahaya karena takut kehilangan penghasilan atau terbebani utang yang semakin besar.
Modus Operandi: Di beberapa industri, seperti Morowali, bank-bank sering dimobilisasi untuk menawarkan pinjaman kepada buruh, terkadang bekerja sama dengan bagian HRD perusahaan (IMIP). Pinjaman online (pinjol) juga menjadi bentuk jerat utang, yang secara sistematis menjadi bagian dari upaya kerja paksa yang dilakukan oleh perusahaan terhadap buruh.
4. Isolasi dan Pembatasan Gerak:
Pembatasan Fisik dan Sosial: buruh sering diisolasi dari dunia luar, baik secara fisik (misalnya, dikurung di lokasi kerja) maupun sosial (misalnya, paspor atau ponsel disita, terutama dalam konteks buruh migran Tiongkok).
Tujuan Isolasi: Isolasi ini bertujuan untuk mencegah buruh mencari bantuan, melaporkan praktik berbahaya, atau menyadari bahwa hak-hak mereka sedang dilanggar.
Penyebab Kematian di Tempat Kerja Akibat Kerja Paksa
Kondisi kerja yang mengerikan dalam praktik kerja paksa secara langsung berkontribusi pada tingginya angka kecelakaan fatal. Buruh yang terperangkap dalam sistem ini berada dalam posisi yang sangat rentan karena beberapa alasan utama:
- Minimnya Pelatihan K3: Pemberi kerja enggan menginvestasikan pelatihan keselamatan yang memadai bagi buruh yang mereka anggap “sekali pakai”. Riset FPE bahkan menunjukkan mentalitas di IMIP Morowali: “pake-pake aja dulu”.
- Ketiadaan Alat Pelindung Diri (APD): Penyediaan APD seperti helm, sarung tangan, masker, atau sepatu keselamatan dianggap sebagai biaya yang tidak perlu dan memangkas keuntungan. APD yang disediakan seringkali berkualitas sangat rendah dan tidak nyaman dipakai, menyebabkan buruh enggan menggunakannya. Situasi ini kerap dijadikan dalih “human error”, padahal akar masalahnya ada pada kualitas APD itu sendiri.
- Pemaksaan Penggunaan Mesin Berbahaya: Standar perawatan dan keamanan mesin sering diabaikan demi mencapai target produksi. Buruh dipaksa mengoperasikan peralatan yang rusak atau tidak layak pakai, sebuah kondisi yang sering dikeluhkan oleh buruh di IMIP, di mana atasan sering menyuruh mereka untuk tetap menggunakan mesin sampai benar-benar rusak.
- Rasa Takut untuk Bersuara: Ini adalah faktor paling krusial. Berbeda dengan buruh bebas yang akan melaporkan bahaya seperti kabel terkelupas, mesin rusak, atau ban bocor, korban kerja paksa yang mencoba bersuara akan menghadapi ancaman intimidasi, kekerasan, atau pemecatan. Akibatnya, mereka terpaksa diam dan terus bekerja dalam bahaya.
Kombinasi mematikan dari berbagai faktor ini membuat kecelakaan yang seharusnya dapat dicegah menjadi tidak terhindarkan.
Kerja paksa bukan hanya masalah perampasan kebebasan atau upah yang tidak dibayar, melainkan ancaman langsung terhadap nyawa dan kesehatan buruh. Situasi dan dinamika pemaksaan dalam kerja paksa inilah yang menciptakan lingkungan di mana keselamatan diabaikan, sehingga kematian menjadi akibat yang tragis, namun sebenarnya dapat diprediksi dan dicegah. Pencegahan dan penghukuman bagi perusahaan yang nakal harus ditegakkan.
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!