Berdirinya Serikat Buruh Solidaritas Rakyat (SBSR) di Sukabumi berawal di PT Gunung Salak Sukabumi (PT. GSS)1, pada 2012. Saat itu para buruh menghadapi persoalan terkait BPJS Kesehatan yang tidak dapat digunakan karena masih tercatat di asuransi perusahaan. Ironisnya, asuransi perusahaan tersebut juga tidak dapat digunakan karena status BPJS mereka aktif. Akibatnya, ketika buruh akan menggunakannya untuk berobat ke rumah sakit, terpaksa harus membayar secara pribadi. Anehnya, meski ditolak, pihak rumah sakit tetap melakukan klaim biaya pengobatan buruh ke BPJS.
Situasi tersebut memicu kemarahan para buruh. Sebagai bentuk protes, mereka melakukan aksi demonstrasi dengan memblokade akses jalan menuju Jakarta. Aksi tersebut menjadi momentum penting yang menunjukkan kekuatan dan solidaritas buruh di PT. GSS. Puncak dari perjuangan itu terjadi pada 17 Mei 2012, ketika buruh-buruh di PT GSS berhasil mendeklarasikan Serikat Buruh yang kemudian menjadi bagian dari SBSR.
Pembentukan SBSR di PT GSS menjadi tonggak sejarah penting, karena merupakan basis pertama SBSR di Kabupaten Sukabumi, sekaligus simbol persatuan dan keberanian buruh dalam menghadapi ketidakadilan di dunia kerja. Pembentukan SBSR tersebut melalui musyawarah bersama anggota untuk menentukan program perjuangan bersama dan memilih kepengurusan serikat untuk periode 2012-2015. Proses musyawarah anggota tersebut mencerminkan prinsip demokrasi sebagai fondasi serikat buruh.
Ketua Umum terpilih SBSR di PT. GSS, dalam sambutannya menyampaikan, ”bahwa pembentukan serikat buruh di lingkungan PT. Gunung Salak Sukabumi, yang dilaksanakan pada hari ini adalah karena kesadaran, bahwa hanya buruh yang bisa melakukan perubahan nasib buruh dan keadaaan di dalam pabrik.” Ungkapan itu menggugah sekaligus menegaskan bahwa perubahan tidak bisa menunggu belas kasihan pengusaha, melainkan harus diperjuangkan oleh buruh sendiri secara kolektif.
Rapat umum pembentukan serikat juga dihadiri oleh tokoh pimpinan pusat SBSR, yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) SBSR dan Kepala Departemen Organisasi. Keduanya memberikan apresiasi yang tinggi atas kesadaran dan keberanian para buruh PT. GSS telah membentuk serikat buruh. Dalam Sambutannya, Sekjen SBSR menekankan bahwa kesadaran yang tinggi untuk merubah nasib sendiri memerlukan keberanian dan keteguhan hati tanpa bergantung pada pihak lain. Ia juga berharap SBSR PT. GSS dapat menjadi pendorong terbentukanya serikat-serikat buruh anggota SBSR di perusahaan lain di Sukabumi. Dengan begitu, menurutnya, SBSR dapat mengambil peran dalam gerakan perjuangan kesejahteraan kaum buruh di Kabupaten Sukabumi.
Dalam kurun waktu tigabelas tahun, SBSR Sukabumi telah berhasil memperluas keanggotaannya di enam perusahaan yang dikoordinasikan melalui Dewan Pimpinan Cabang (DPC) SBSR Sukabumi2. Elo Karaeng sebagai Ketua DPC SBSR Sukabumi. Berikut adalah enam serikat tingkat pabrik yang terafiliasi dengan SBSR di Sukabumi:
- SBSR PT. Young Hyun yang dipimpin Rino Alkafi
- SBSR PT. Gunung Salak yang dipimpin Dodi Murtadhi
- SBSR PT. Doosan Jaya Sukabumi yang dipimpin Wesang Irawan
- SBSR PT Star Comgistic dipimpin oleh Nandi Sunandi
- SBSR PT Longvin Indonesia dipimpin oleh Keke Meisaroh
- SBSR PT Hejo dipimpin oleh Rampak Komarudin
Salah satu perkembangan signifikan dari gerakan serikat buruh di Sukabumi adalah meningkatnya kesadaran buruh akan hak-haknya. Banyak buruh yang sebelumnya tidak memahami pentingnya serikat buruh, mulai bergabung dan aktif dalam organisasi SBSR. Kesadaran ini bukan hanya soal upah, tapi juga soal pentingnya berserikat untuk melindungi hak-hak buruh dan bagaimana memperjuangkannya secara kolektif. Untuk mendorong perkembangan ini, SBSR juga fokus pada program pendidikan dan pelatihan bagi buruh. Baik dalam hal berorganisasi maupun pemahaman tentang hak-hak buruh serta peraturan perundang-undangan terkait perburuhan. Inisiatif ini mendorong buruh di Sukabumi menjadi lebih kritis, terorganisir dengan baik dalam setiap perjuangannya menuntut hak.
Selain itu, SBSR Sukabumi berhasil terlibat dalam perundingan-perundingan bipartit dan tripartit sebagai bentuk advokasi, serta memperkenalkan jalur litigasi sebagai cara baru untuk menegakkan hak-hak buruh. Pendekatan ini mendorong perspektif yang lebih luas bagi para buruh: bukan hanya tentang bagaimana buruh dapat mempertahankan haknya, tapi juga tentang bagaimana mendesak pengusaha dan negara agar perusahaan menjunjung tinggi hak-hak buruh. Termasuk hak berserikat, karena sebelumnya banyak buruh yang hanya fokus bekerja untuk mendapatkan upah tanpa tahu peran penting serikat buruh dalam melindunngi hak mereka.
Membangun kesadaran dengan pendidikan
DPC SBSR Sukabumi secara rutin melakukan pendidikan di setiap basisnya, dengan frekuensi minimal satu kali dalam sebulan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman anggota mengenai hak-hak perburuhan.
Selain itu, SBSR memiliki program Sekolah Buruh Perempuan yang dirancang sebagai pendidikan alternatif bagi buruh perempuan. Program ini diharapkan dapat membekali anggota dengan kemampuan menganalisis persoalan ketidakadilan gender yang kerap terjadi di tempat kerja. Bagi SBSR, persoalan gender merupakan persoalan struktural yang harus menjadi perhatian serikat. Melalui program Sekolah Buruh Perempuan, SBSR berharap dapat mendorong perubahan keadilan gender di tempat kerja bagi buruh perempuan.
Pendidikan serikat buruh sangat penting karena menjadi pondasi utama dalam membangun kesadaran, solidaritas, dan kekuatan kolektif buruh. Melalui pendidikan, buruh tidak hanya memahami hak dan kewajibannya di tempat kerja, tetapi juga mengerti bagaimana cara memperjuangkan hak-hak tersebut secara kolektif, terorganisir, dan sesuai aturan hukum.
Tantangan perjuangan serikat buruh di Sukabumi
Strategi advokasi yang dijalankan SBSR tidak selalu berjalan mulus. Beberapa kasus buruh yang diadvokasi SBSR berakhir sulit karena perusahan kabur atau relokasi ke wilayah lain. Akibatnya, tuntutan buruh ke pihak pihak yang digugat tidak jelas (obscure libel). Masalah muncul ketika pihak tergugat yang berdomisili di luar Indonesia mengajukan eksepsi3 dengan argumen bahwa pengadilan Indonesia tidak memiliki kewenangan.
Kasus seperti itu mestinya bisa ditolak oleh hakim pengadilan Indonesia jika ada hubungan perikatan yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana pasal 100 Reglement op de Rechtvoddering (RV) yang menjadi dasar hukum pengajuan gugatan terhadap pihak asing yang tidak berdomisili di Indonesia. Namun dalam praktiknya, pembuktian dan implementasinya sangat sulit, serperti yang dialami SBSR pada kasus di PT. Tirta Mas Lestari.
Tulisan ini akan membahas bagaimana perjuangan SBSR di beberapa perusahaan di Sukabumi dan bagaimana tantangan-tantangan yang dihadapinya.
Perlawanan buruh PT Tirta Mas Lestari Sukabumi
PT Tirta Mas Lestari (TML) Sukabumi adalah perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) dengan merek Total dan Total 8+. Perusahaan yang berdiri sejak 2011 di Desa Babakan Pari, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi ini merupakan anak usaha dari PT Tri Bayan Tirta. Tbk (Alto). Selain di Sukabumi, PT Tirta Mas Lestari juga memiliki pabrik di Temanggung, Mojokerto, Pandaan dan Banyuwangi.
Pada April 2023, sebanyak 216 buruh PT. TML Sukabumi melakukan aksi protes terhadap kebijakan perusahaan yang berencana akan membayar Tunjangan Hari Raya (THR) dengan cara dicicil dua kali—Cicilan pertama sebanyak 50 persen pada bulan April, sisanya enam bulan kemudian. SBSR memandang kebijakan tersebut melanggar Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 tahun 2016 yang menegaskan bahwa THR harus dibayar penuh paling lambat tujuh hari sebelum Hari Raya Idulfitri.
Menyikapi hal tersebut SBSR kembali menunjukkan perannya sebagai serikat buruh yang memperjuangkan hak buruh di PT. TML. Saat itu SBSR mengorganisir aksi mogok kerja hingga mengupayakan mediasi ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dan pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi. Namun perjuangan itu menemui banyak tantangan. Manajemen PT. TML berdalih hanya menjalankan perintah dari manajemen pusat yang berada di Jakarta. Upaya mediasi oleh Disnaker dan DPRD Kabupaten Sukabumi pun tak membuahkan hasil. Perusahaan tetap pada rencana membayar THR dengan cara dicicil.
Tantangan lainnya, PT. TML yang merupakan anak usaha dari PT Tri Bayan Tirta. Tbk (ALTO), saat itu tengah digugat oleh PT Citra Global Karya dan PT Surindo Teguh Gemilang berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Kedua perusahaan tersebut merupakan pemasok utama PT. TML. Nilai tunggakan yang digugat sekitar Rp3,86 miliar. Proses hukum tersebut berakhir dengan kegagalan PKPU yang kemudian berimplikasi pada pengambilalihan seluruh aset perusahaan oleh kurator dan PT. TML dinyatakan pailit. Kondisi ini membuat buruh dalam situasi yang serba sulit. Di satu sisi mereka memperjuangkan hak-hak normatif seperti THR, namun di sisi lain harus berhadapan dengan kebangkrutan perusahaan.
Sebagai catatan, kasus ini menjadi refleksi penting dalam advokasi perburuhan. Di mana perjuangan buruh mempertahankan hak kerap dihadapkan pada kompleksitas hukum dan dinamika ekonomi yang tidak berpihak kepada buruh.
Situasi sulit ini menempatkan SBSR pada fase perjuangan yang berbeda. Fokus perjuangan dari penegakan hak normatif THR berubah menjadi upaya hukum dalam proses kepailitan perusahaan. Kini, SBSR tengah melakukan pendataan ulang terhadap kerugian yang dihadapi buruh PT. TML dan akan diajukan kepada kurator dan Pengadilan Niaga sebagai bagian dari proses pelunasan hak-hak buruh.
Perubahan strategi perjuangan yang dilakukan SBSR Sukabumi menunjukkan serikat buruh bukan hanya alat perlawanan, tetapi juga wadah pembelajaran dan advokasi, di mana buruh belajar memahami hukum, memperjuangkan keadilan, dan menjaga martabat mereka di tengah ketidakpastian industri.
Note: Tulisan ini merupakan bagian dari Karya Latihan Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Bandung Angkatan 30 yang dilakukan pada 2025. Seluruh nama buruh dan organisasi serikat buruh dalam tulisan ini sengaja disamarkan untuk alasan keamanan.