MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Diganggu Algoritma: Dinamika Pembentukan Komunitas Ojek Online di Semarang

Layaknya wilayah industri pada umumnya, Semarang “menjanjikan” kesempatan kerja yang besar bagi siapapun yang membutuhkan. Para ekonom pendukung neoliberal menyatakan bahwa akan ada efek ganda (multiplier effect), yaitu meningkatnya peluang kerja yang semakin luas (di luar industri utama) seiring dengan berkembangnya industri. Contonya: Penjual makanan di sekitar pabrik; jasa pangkas rambut; dan laundry pakaian. Contoh lainnya –sebagaimana yang akan dibahas dalam tulisan ini- adalah driver ojek online dan kurir yang kian hari makin ramai.

Jika dilihat dari permukaan, tentu semua itu terlihat baik. Namun seringkali, “kesempatan kerja” tak seiring sejalan dengan “pekerjaan serta penghidupan yang layak”. Artinya, tak semua orang bekerja yang berhasil mendapati hidup layak. Bahkan sebaliknya, beberapa orang yang sebenarnya tidak benar-benar bekerja, hidupnya tampak berkelimpahan harta.

Kembali ke persoalan driver ojek online, saat menggunakan jasa ojek online, tak jarang driver mengenakan atribut dengan ciri khas tertentu dengan tetap mempertahankan warna dasar dari atribut yang disediakan aplikator. Misalnya, model jaket khusus atau emblem yang disematkan pada bagian lengan jaket driver. Ada pula logo khusus yang dibuat dalam bentuk stiker yang ditempel pada helm atau pada body motor. Seringkali, hal tersebut merupakan tanda bahwa driver yang bersangkutan mengikuti komunitas driver ojek online tertentu.

Di Semarang, sebagaimana juga di kota lain, terdapat banyak komunitas ojek online. Salah satunya adalah Seafront Gate (nama disamarkan), sebuah komunitas driver ojek online Maxim. Seafront Gate (SG) merupakan sebuah komunitas yang didirikan pada awal 2023. Pemilihan nama SG dikarenakan basecamp komunitas ini yang terletak tak jauh dari pinggiran pantai, sekitaran Kawasan Industri Lamicitra, Semarang.

Awalnya, basecamp yang terbuat dari bambu dan tripleks tersebut hanya digunakan untuk tempat beristirahat para driver. Driver yang sering berkumpul di basecamp tersebut, merupakan driver yang sering melakukan antar-jemput buruh pabrik di Kawasan Industri Lamicitra. Bahkan, sebagian besar anggota SG merupakan suami dari buruh pabrik di kawasan tersebut. Karena itu, basecamp menjadi berguna untuk beristirahat setelah mengantar maupun saat menunggu jam pulang buruh.

Seiring waktu berjalan, para driver memutuskan untuk membentuk komunitas dan dipilihlah struktur komunitas seperti ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan admin. Saat ini, SG telah beranggotakan 20 orang yang berasal dari Semarang, Demak, Kendal bahkan Rembang. Sebelum menjadi driver ojek online, anggota SG berasal dari latar belakang yang beragam: buruh pabrik yang dipecat saat Covid-19, buruh bangunan, nelayan, penjaga toko mesin jahit, dan pengangguran. Rata-rata, semuanya menjadi driver karena merasa tidak ada pilihan lain. Terlebih, semuanya telah berkeluarga.

“Seduluran” menjadi prinsip utama dalam komunitas ini. Untuk memastikan prinsip ini menjadi prinsip bersama, admin SG bertugas untuk melakukan screening atau seleksi terhadap anggota-anggota yang hendak bergabung ke dalam komunitas. Menurut anggota SG, meskipun ada proses screening tersebut, sebenarnya syarat untuk menjadi anggota tidaklah sulit. Tidak baperan menjadi kunci utama.

Tak lama setelah terbentuk, SG berinisiatif untuk memberitahukan pembentukannya ke Maxim sebagai aplikator. Hal ini ditujukan agar ke depan komunitas bisa “dianggap ada” oleh aplikator, sehingga minimal informasi mengenai titik keramaian dapat diketahui secara cepat. Selain itu, sama dengan permasalahan rata-rata driver ojek online, SG berharap dengan pemberitahuan komunitas ini akan ada perhatian yang memadai dari aplikator saat terjadi kecelakaan lalu lintas yang dialami para anggota.

Prinsip “seduluran” dinilai oleh anggota SG sangat cocok dengan banyaknya kerentanan yang dihadapi para driver di jalanan misalnya, kecelakaan, ban bocor, motor mogok dan lainnya. Di sisi lain, belum ada perlindungan –baik dari aplikator maupun negara- yang memadai terhadap hal tersebut. Dengan prinsip seduluran di komunitas, diharapkan masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat.

Dalam rangka merekatkan solidaritas anggota dan koordinasi komunitas, secara bergilir SG melakukan pertemuan bulanan. Pertemuan ini diadakan mengikuti sebaran daerah asal anggota. Untuk itu, disamping iuran bengkel, juga terdapat iuran bulanan sebesar Rp10.000 yang digunakan untuk kegiatan solidaritas ke sesama anggota. Pun jika terdapat anggota yang mengalami musibah atau akan menyelenggarakan hajatan, anggota SG akan menunjukkan prinsip seduluran dengan memberikan berbagai dukungan.

Upaya lain yang diinisiasi oleh SG adalah mendirikan bengkel yang dikelola sepenuhnya oleh anggota komunitas. Bengkel ini hanya buka pada Sabtu dan Minggu, saat orderan lebih sepi karena tidak terlalu banyak aktivitas buruh di pabrik pada hari tersebut. Pengelolaan bengkel dilakukan anggota yang cukup mengerti tentang mesin motor. Untuk pengadaan perlengkapan bengkel, para anggota diharuskan menyetor iuran sebesar Rp10.000 setiap bulan. Kemudian, bagi anggota yang hendak menservis motor, cukup membeli sparepart yang dibutuhkan tanpa membayar jasa. Bagi anggota SG, selain jauh lebih murah, hal ini dinilai lebih dapat dipercaya ketimbang bengkel resmi.

Sebenarnya, terdapat promo diskon dari aplikator untuk reparasi kendaraan seperti ganti oli, ban dan service mesin, akan tetapi anggota SG belum pernah menikmati atau mengikuti promo tersebut. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan promo tersebut, driver diharuskan memiliki semacam tabungan di akun masing-masing dan tidak ada kepastian kapan promo tersebut akan didapatkan. Terlebih, jika dibandingkan dengan bengkel yang dikelola oleh SG, promo yang disediakan aplikator tersebut masih terbilang mahal di tengah terbatasnya pendapatan.

Pembangunan Solidaritas Komunitas dan Aturan Main Aplikator

Rata-rata anggota SG mengaktifkan aplikasi dari 12 hingga 15 jam setiap hari. Pendapatan yang rendah tentu saja menjadi alasan utamanya. Terlebih hingga saat ini Maxim masih membuka peluang untuk pendaftaran driver baru yang mengakibatkan orderan semakin sepi. Para anggota SG sangat merasakan orderan di sekitar basecamp SG berkurang drastis. Namun, tak jarang para anggota SG mendengar narasi bahwa orderan semakin sepi itu hanya merupakan faktor “sugesti”.

Di sisi lain, SG tidak pernah mengeluhkan hal ini secara organisasional kepada aplikator. Latar belakang anggota SG sebagai orang-orang yang pernah disisihkan dalam persaingan pasar tenaga kerja, membuat anggota SG berusaha memahami semakin banyaknya driver yang mengantar-jemput buruh di sekitar basecamp mereka.

“Dengan adanya basecamp ini awalnya kami pikir notif order lebih cepat masuk pemberitahuannya karena kami penunggu di sini. Ternyata itu di luar dugaan. Kami tidak bisa bertindak apa-apa atas keputusan aplikator yang terus membuka pendaftaran driver. Tidak heran jika banyak ojol keluar masuk di kawasan industri. Kami tidak bisa melarang mereka untuk tidak narik di sini karena mereka cari makan sama seperti kami,” ungkap salah satu anggota SG yang bertugas menjaga bengkel.

Tujuan SG melakukan pemberitahuan pembentukan komunitas kepada aplikator agar bisa ada kemudahan dalam mendapatkan orderan, bertolak belakang dengan kenyataan. Belakangan para anggota SG mengetahui bahwa algoritma Maxim hanya akan memberikan kemudahan mendapatkan orderan bagi driver yang memiliki riwayat jangkauan lokasi yang luas. Artinya driver dituntut untuk sesering mungkin berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya dalam satu hari.

Agar dapat memenuhi kebutuhan, mau tidak mau para anggota SG mengikuti algoritma yang diterapkan oleh Maxim. Konsekuensinya, para anggota SG menjadi lebih jarang bertemu secara fisik, baik untuk membicarakan kemajuan komunitas maupun untuk sekadar melepas lelah. Seringkali, para anggota SG hanya bertemu saat jam antar-jemput istri mereka yang bekerja di Kawasan Industri Lamicitra. Namun, pertemuan bulanan masih secara rutin diadakan.

Saat mendatangi beberapa lokasi yang berbeda, beberapa anggota SG mencoba berbaur dengan komunitas Maxim lainnya. Selain sebagai tempat melepas lelah, tentu saja untuk bertukar informasi mengenai dinamika sebagai driver Maxim. Dari cerita-cerita yang diperoleh, para anggota komunitas lain mengeluhkan hal yang sama dengan apa yang menjadi pendiskusian di SG: bagaimana tidak memadainya jaminan yang mereka peroleh sebagai driver (utamanya saat terjadi kecelakaan) serta algoritma yang kian hari kian menyulitkan. Lebih-lebih, Maxim –berbeda dari Grab ataupun Gojek- tidak mengakomodir segala bentuk keberatan jika driver mengalami Putus Mitra (PM). Tidak ada mekanisme “banding” sebagai ruang membela diri bagi driver terhadap keputusan PM dari Maxim. Komunitas pun tidak diberikan hak khusus untuk hal ini.

Di tengah situasi komunitas yang masih baru berdiri dan tuntutan algoritma Maxim, para anggota juga dihadapkan pada tantangan lain. Kawasan Industri Lamicitra yang menjadi “target” utama para anggota SG –sebelum adanya algoritma baru yang menuntut para driver berpindah- sekaligus tempat istri para anggota SG mencari nafkah semakin hari semakin sepi. Selain persoalan banjir rob yang tidak kunjung terselesaikan di sekitar kawasan tersebut, “alogritma” proinvestasi Jawa Tengah telah membuat pabrik-pabrik di kawasan tersebut memilih untuk pindah ke lokasi lain di Jawa Tengah. Upah yang lebih murah dibanding Kota Semarang serta kemudahan mendapatkan lokasi usaha telah membuat pabrik-pabrik di Kawasan Lamicitra semakin ditinggalkan. Ditinggalkan dengan ribuan buruh pabrik menjadi pengangguran, tentu saja, para anggota SG –serta manusia-manusia lainnya yang diklaim sebagai imbas “multiplier effect”- yang harus kembali memperbaharui strateginya dalam menjalankan komunitas maupun untuk sekadar bertahan hidup.

Meski aplikator cerdik mengeruk untung dari Ojol, dari sudut-sudut basecamp lain para driver Ojol terus berupaya membangun komunitas yang demokratis dan independen untuk melawan aplikator.[]

Penulis

Tuti Wijaya
LBH Semarang