MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Mengabaikan Keselamatan Buruh Demi Untung: Kondisi Kerja Buruh Peleburan Baja (5)

Bagian akhir dari artikel berjudul “Mengabaikan Keselamatan Buruh Demi Untung: Kondisi Kerja Buruh Peleburan Baja” ini memperlihatkan bagaimana perusahaan peleburan baja melakukan pemberangusan serikat dan mengabaikan tuntutan atas perbaikan kondisi kerja, demi mempertahankan keuntungan perusahaan.

Perlawanan Buruh Pabrik Peleburan Baja

Kesadaran untuk berserikat buruh di PT JCAS mulai muncul pada 2009. Dipicu oleh kebijakan sepihak perusahaan yang mengalihkan status kerja kontrak menjadi buruh outsourcing. Perusahaan melanggar dan mengingkari janji akan mengangkat buruh kontrak menjadi buruh tetap setelah 2 tahun bekerja. Seluruh buruh kontrak yang telah bekerja lebih dari 2 tahun memprotes kebijakan tersebut. Beberapa buruh mulai berkumpul dan berencana menyewa pengacara untuk mendampingi mereka bernegosiasi dengan perusahaan. Itulah moment pertama buruh PT JCAS melakukan negosiasi dengan perusahaan. Sayangnya negosiasi tersebut gagal. Perusahaan tidak memenuhi tuntutan buruh[1]. Sebaliknya, beberapa buruh yang memprotes keras kebijakan tersebut malah dipecat. Peristiwa pemecatan tersebut menjadi teror bagi buruh lainnya karena takut kehilangan pekerjaan.

Di penghujung 2012 terjadi aksi besar-besaran di kawasan industri di Indonesia. Aksi tersebut menuntut penghapusan sistem kerja outsourcing, penolakan upah murah dan penerapan jaminan sosial. Aksi yang melibatkan ratusan ribu buruh se-Indonesia ini diprakarsai oleh tiga konfederasi besar serikat buruh yang tergabung dalam MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia). MPBI memobilisasi massa dengan menggerudug perusahaan-perusahaan menghentikan produksinya dan membiarkan buruhnya terlibat dalam aksi mogok. Para buruh di PT JCAS berhasil diajak terlibat dalam aksi mogok tersebut. Kesamaan isu yang disuarakan massa aksi kembali menyemangati para buruh PT JCAS untuk melakukan perlawanan. Seperti yang dikatakan seorang buruh:

Pada aksi besar-besaran tahun 2012, perusahaan kami terhanyut oleh aksi massa. Mereka meminta kami melakukan mogok kerja untuk menuntut pemerintah menghapuskan sistem outsourcing. Dari sana, kami mengenal beberapa orang dari serikat buruh dan kami bersemangat untuk melawan perusahaan” Buruh JCAS.

Aksi Mogok Nasional dan pertemuan dengan serikat buruh menginspirasi beberapa buruh PT JCAS untuk membentuk serikat buruh di perusahaan. Dua bulan setelah terlibat aksi mogok, sekira awal 2013, sekitar 70 buruh PT JCAS mendeklarasikan pembentukan serikat buruh di perusahaan tersebut. Mereka berafiliasi dengan Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI).

Satu bulan setelah serikat buruh terbentuk, pihak perusahaan melakukan praktik pemberangusan serikat buruh dengan memecat 14 pengurus serikat. Berbekal pengalaman sebelumnya, para buruh menanggapi pemecatan tersebut dengan melakukan mogok kerja. Mereka menuntut perusahaan untuk mempekerjakan kembali pengurus serikat buruh yang dipecat karena mendirikan serikat buruh. Aksi mogok yang berlangsung selama 2 hari tersebut berhasil memaksa perusahaan mempekerjakan kembali 14 pengurus serikat buruh yang dipecat. Kemenangan pertama serikat buruh ini juga berhasil menambah jumlah buruh PT JCAS yang bergabung dalam serikat buruh. Saat itu, hampir seluruh buruh Indonesia di PT JCAS menjadi anggota FPBI.

Pertengahan Maret 2013 buruh PT JCAS kembali melakukan aksi mogok. Mereka menuntut agar seluruh buruh diangkat menjadi buruh tetap. Perusahaan juga memenuhi tuntutan buruh. Seluruh buruh outsourcing diangkat menjadi buruh tetap, sedangkan buruh harian yang telah bekerja lebih dari 1 tahun diangkat menjadi buruh kontrak. Aksi mogok tersebut berhasil menghilangkan buruh outsourcing di PT JCAS. Selain tuntutan atas status kerja, tuntutan yang berhasil diperjuangkan serikat buruh adalah upah. Salah satu buruh berkata:

Pada bulan Desember 2013 kami melakukan perundingan pengupahan, dan berhasil menuntut perusahaan untuk menerapkan UMSP dan struktur skala pengupahan. Itu diterapkan tahun 2014. Gaji kami UMSP ditambah skala upah tahun 2014 sampai Mei 2020

Setelah memperjuangkan status dan upah, perjuangan lainnya adalah menuntut perbaikan K3. Sayangnya, beberapa kali serikat buruh meminta perusahaan melakukan negosiasi mengenai K3, di tolak oleh perusahaan dengan berbagai alasan. Berikut beberapa tuntutan terkait K3 yang dilakukan serikat buruh.

Tabel respon perusahaan ketika Serikat Buruh menuntut perbaikan kondisi kerja

Dari beberapa alasan penolakan di atas, indikasi perusahaan peleburan baja tidak pernah serius dalam meningkatkan K3 atau bahkan sengaja membiarkan situasi lingkungan kerja semakin memburuk. Klaim perbaikan K3 yang diberikan oleh perusahaan, biasanya karena hal tersebut telah memicu angka kematian. Tuntutan perbaikan K3 selalu direspon dengan kerugian finansial oleh perusahaan. Dalam konteks ini, perusahaan menempatkan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan buruh berdasarkan pendekatan bisnis/finansial. Mereka tidak melakukannya atas dasar kemanusiaan, bahwa buruh adalah manusia yang setiap hari menghirup debu dan paru-parunya bisa rusak.

Kasus terbaru terjadi pada Juni 2020. Perusahaan menurunkan standar upah dari Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) menjadi Upah Minimum Provinsi. Kasus ini membuat serikat buruh melakukan mogok kerja selama 5 hari dan mengakibatkan 25 orang anggota dan pengurus serikat dipecat dengan alasan efisiensi. Alih-alih kondisi force majeure akibat pandemi covid 19, pemecatan justru terjadi setelah serikat buruh menggelar perundingan upah yang berakhir deadlock.

Kebuntuan dalam perundingan menggerakkan serikat buruh pada 9 – 10 Agustus 2020 melakukan aksi mogok kerja, mereka kembali menuntut perusahaan membayar upah sesuai dengan Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta Tahun 2020 beserta tunjangan lainnya sesuai dengan struktur dan skala upah yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan. Kedua, mengharuskan perusahaan mempekerjakan kembali 26 buruh yang dipecat dengan posisi dan jabatan semula. Alih-alih memenuhi tuntutan buruh, pihak perusahaan malah memecat sekitar 50 buruh yang terlibat aksi mogok. Selain itu, pemogokan juga tidak berhasil menghentikan produksi karena buruh asal Tiongkok tetap bekerja dan perusahaan mulai mempekerjakan kembali buruh harian. Pihak perusahaan berdalih mogok kerja yang dilakukan serikat buruh tidak sesuai aturan dan mengabaikan tuntutan buruh. Akibat tekanan ekonomi di tengah pandemi, sebagian buruh yang mogok akhirnya menerima pesangon yang ditawarkan perusahaan. Saat penelitian ini berlangsung, serikat buruh sedang memperjuangkan beberapa anggotanya yang dipecat di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta.

Penutup

Investasi China pada Industri Baja di Indonesia berada dalam urutan kedua setelah sektor energi. Namun kondisi kerja buruhnya sangat buruk. Upah murah, jam kerja panjang, dan membiarkan tempat kerja yang busuk menjadi cara bagaimana perusahaan baja mendapatkan keuntungan.

Temuan dalam penelitian ini menunjukkan perusahaan peleburan baja asal China di Indonesia menerapkan standar ganda dalam pemperlakukan buruhnya. Meskipun terdapat perbedaan diantara keduanya, namun sama-sama merugikan buruh Indonesia maupun Buruh China. dan lagi-lagi perusahaan mendapat keuntungan dari keduanya.

Para buruh dipaksa bekerja di tempat yang panas, bau, berdebu dan bising tanpa perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan buruh. Akibatnya, kecelakaan kerja kerap terjadi. Tidak jarang buruh yang mengalami kecelakaan kerja mengakibatkan cacat tubuh secara permanen hingga kematian.

Dalam hal kesehatan, setidaknya ada tiga hal buruh mengalami Penyakit Akibat Kerja (PAK) karena kondisi kerja yang buruk. Pertama paparan debu yang berdampak pada penyakit saluran pernapasan akut. Satu dari tujuh orang buruh yang di cek kesehatan di laboratorium didiagnosa menderita penyakit Bronkopheunomia karna paparan debu pembakaran batubara. Kedua, paparan terhadap panas menyebabkan buruh mengalami heatstrain. Beberapa kasus yang ditemukan buruh mengaku  pernah mengalami pinsan saat bekerja. Ketiga, paparan terhadap kebisingan mengakibatkan beberapa buruh mengalami gangguan pendengaran.

Kondisi kerja yang buruk di pabrik peleburan baja inilah yang menjamin keuntungan perusahaan dengan cara memotong biaya produksi. Yaitu dengan perusahaan beroperasi di bawah standar perburuhan dan lingkungan. Sebagaimana uraian di atas, perusahaan membiarkan lingkungan kerja yang buruk dan pencemaran lingkungan dari aktifitas produksinya.

Karakter dari investasi China selain membawa modalnya ke Indonesia juga membawa buruh China. Hal ini mempermudah perusahaan untuk melakukan labor extraction dan control terhadap buruh China. Perusahaan memanfaatkan status orang asing dari buruh migran China yang tidak punya daya dukung dan jaringan di Indonesia. Hal ini yang melegitimasi perusahaan mengisolasi buruh China. Selain itu, buruh China yang direkrut dari berbagai provinsi berbeda di China memungkinkan mereka tidak saling kenal. Perlakuan-perlakuan perusahaan terhadap buruh China ini cukup untuk mengatakan perusahaan melakukan praktik perbudakan yang dilarang oleh undang-undang nasional maupun internasional.[]

***

Baca tulisan sebelumnya tentang profil perusahaan di bagian 1; Bagaimana struktur dan alur produksi peleburan baja pada bagian 2; dan bagaimana kisah buruh peleburan baja bekerja dengan paparan debu, panas dan kebisingan pada bagian 3; dan dampak kesehatan yang ditimbulkan dari paparan debu, panas dan kebisingan pada bagian 4 dari tulisan ini.


[1] Menurut penuturan salah satu buruh, pengacara yang disewa oleh buruh tersebut disuap oleh perusahaan untuk menghentikan bantuan yang diberikan kepada buruh tersebut.

Penulis

Sugeng Riyadi
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane