MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Kerentanan, Perjuangan, dan Harapan: Cerita Ojol Perempuan di Semarang

Di tengah situasi kerentanan yang dihadapi para perempuan pengemudi ojek online (Ojol), daya juang mereka begitu kuat. Alih-alih menyerah dengan keadaan, para Ojol perempuan terlibat aktif dalam membangun kekuatan bersama untuk mengatasi persoalan harian yang dihadapi.

Rina (nama disamarkan), 49 tahun, seorang Ibu yang bekerja sebagai pengemudi ojek online (Ojol). Sejak 2017 hingga sekarang, Rina hanya bekerja sebagai pengemudi Gojek di Semarang. Ia tidak pernah bekerja untuk aplikator lain. Hal ini tentu berbeda dari kebanyakan pengemudi Ojol yang bekerja lebih dari satu platform ride hailing.

Hari itu, sekitar pukul empat sore, Rina baru saja menyelesaikan perintah pekerjaan dari Gojek untuk mengantarkan pesanan makanan dari layanan GoFood. Total pekerjaan yang berhasil ia selesaikan hari itu sebanyak tigabelas order. Lima orderan dari layanan GoRide, dan delapan dari layanan GoFood. Total order tersebut ia dapatkan setelah menyalakan aplikasi (on bid)dan nongkrong di beberapa tempat dari pukul tujuh pagi hingga pukul empat sore. “Dulu ramai, sekarang sepi” kata Rina sembari menyeruput jahe rempah hangat yang dipesannya.

Rina bercerita, sebelumnya ia pernah bekerja sebagai buruh pabrik garmen di Semarang dan kemudian mengundurkan diri. Keputusan itu ia ambil karena sif kerja yang tidak menentu menyulitkan ia untuk merawat anaknya yang masih berusia dua tahun. Sementara suaminya, bekerja sebagai sopir trailer dengan jam kerja yang lebih tidak menentu. Bagi Rina, keputusan itu cukup berat. Di satu sisi ia membutuhkan pekerjaan untuk membiayai keluarga, namun di sisi lain ia juga harus merawat anaknya yang masih balita. Dengan pertimbangan anak yang masih membutuhkan pengasuhan yang intens, Rina pun memilih mengundurkan diri.

Beberapa tahun setelah Rina tidak lagi bekerja, ia merasa bahwa penghasilan suaminya sudah tidak mencukupi untuk membiayai pendidikan kedua orang anaknya, ditambah lagi harga-harga kebutuhan sehari-hari terus melambung. Karena situasi tersebut akhirnya, Rina memutuskan menjadi pengemudi Ojol.

Awalnya, Rina mendapatkan dua link pendaftaran kerja dari temannya, Gojek dan Grab.  Tak berfikir lama, Rina langsung mengisi kedua formulir tersebut. Persyaratannya cukup mudah. Rina hanya diminta untuk mengirimkan surat lamaran, fotokopi SIM C, fotokopi STNK motor, dan SKCK. Persyaratan lainnya, Rina diminta untuk berpenampilan menarik layaknya pekerja kantoran. Setelah berkas dikirim, Rina harus menunggu cukup lama. Saking lamanya, ia sempat merasa tidak diterima.

Dua bulan berselang, Rina mendapatkan panggilan untuk interview dari Gojek. Sementara Grab sama sekali tak memberi kabar.

Panggilan interview dari Gojek itu melalui pesan Whatsapp. Rina diminta untuk datang ke Kantor Gojek Semarang dengan membawa berkas asli persyaratan dengan jam yang sudah ditentukan. Panggilan interview tersebut  memberikan secercah harapan bagi Rina, setelah ia hampir putus asa karena terlalu lama menunggu.

Pada hari yang telah ditentukan untuk interview, Rina memenuhi panggilan interview. Ia tiba di kantor Gojek pukul enam pagi. Meski telah tiba sepagi itu, Rina menyaksikan antrean panjang pelamar kerja. Puluhan orang tengah berharap mendapatkan pekerjaan layaknya Rina. Setelah mengantre hampir 3 jam, akirnya Rina mendapatkan gilirannya.

Ketika di-interview, Rina hanya ditanyai seputar informasi yang sempat ia isi pada formulir pendaftaran yang dikirimkan sebelumnya. Petugas Gojek hanya mengkonfirmasi kelengkapan berkas aslinya, tanpa ada hal lain seperti tes kesehatan ataupun kemampuan mengemudi. Setelah itu, Rina diminta untuk menginstal aplikasi Gojek Driver di smartphone-nya dan dibantu petugas untuk registrasi akun. Setelah proses registrasi selesai, akun Gojek Rina langsung aktif dan bisa dipakai pada hari itu juga.

Selain registrasi akun, Rina pun diminta untuk mengisi dan menandatangani Surat Keterangan Sebagai Mitra. Surat tersebut berisi tentang keterangan yang menyatakan Rina sebagai Mitra Gojek dan Rina berkewajiban membayar cicilan helm, jaket dan jas hujan secara harian yang dipotong secara otomatis melalui saldo GoPay yang tersedia di aku Gojek-nya.

Cicilan yang harus Rina bayar  sebesar Rp25 ribu per hari dengan tenor 40 hari pemotongan. Selain itu, petugas Gojek juga menjelaskan secara singkat tentang cara mengoperasikan aplikasi Gojek tersebut. Menurut Rina, dari total kurang lebih duaratus orang pelamar hari itu, semuanya diterima.

Dengan berbekal akun Gojek, saldo GoPay, serta sepeda motornya yang baru saja di service dan terisi BBM full, Rina langsung memulai pekerjaan pertamanya pada hari itu juga. Di hari pertama ia on bid, Rina merasa kaku, namun seiring berjalannya waktu, Rina mulai beradaptasi dengan pekerjaannya sebagai pengemudi Ojol, hingga akhirnya berkenalan dengan pengemudi Ojol lainnya.

Di dua bulan pertama menjadi pengemudi Ojol, Rina selalu on bid dari pukul tujuh pagi hingga pukul sebelas malam. Hal itu ia lakukan karena harus melunasi cicilan helm, jaket dan jas hujan yang menjadi tanggungannya. Selain itu, ia berusaha untuk mengejar target poin untuk mendapatkan bonus atau insentif yang saat itu nilainya cukup besar bagi Rina. Namun, seiring berjalannya waktu, Rina mulai menyadari kerentanan-kerentanan yang dialaminya.

Rina merasakan kondisi kesehatannya menurun. “Saya itu setiap tahun di bulan Agustus atau September pasti tifus, kalau kata dokter sih kecapean” ucap Rina. Padahal, sebelum menjadi Ojol, ia tidak pernah mengalami hal tersebut. Saking fokusnya untuk mendapatkan orderan, berpindah dari satu tempat ke tempat lainya, atau terpaksa mengambil orderan yang jaraknya cukup jauh, membuat Rina telat makan atau bahkan tidak sempat makan sama sekali. Terkadang Rina hanya membeli satu bungkus es kopi atau Nutri Sari jika cuacanya sangat panas dan meminumnya sembari menunggu orderan masuk.

Hal lainnya, perintah pekerjaan melalui algoritma yang diterapkan Gojek membuat Rina mempertaruhkan kesehatannya untuk menjaga performa akunnya agar tetap stabil. Saya tidak pernah menolak orderan, soalnya nanti susah dapat orderan lagi”, tambah Rina. Hal itulah membuat Rina berpikir panjang untuk menolak orderan atau hanya sekedar off bid atau mematikan sementara aplikasi untuk makan.

Kian hari Rina juga menyadari pekerjaannya sebagai pengemudi Ojol sebenarnya “untung tidak untung” alias merugi. Potongan sebesar duapuluh persen setiap order yang diambil oleh perusahaan Gojek pun harus ia relakan. Belum lagi tidak ada jaminan kemanan dalam bekerja, apalagi dirinya sebagai seorang perempuan yang rentan mendapatkan kekerasan di jalanan.

Perusahaan menyediakan peluang bagi pengemudi Ojol untuk mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan dengan skema keanggotaan Bukan Penerima Upah (BPU) dengan iuran sekitar Rp16 ribu per bulan. Nominal tersebut akan dipotong langsung oleh Gojek melalui saldo GoPay. Tetapi, tak sedikit Pengemudi yang merasa keberatan dengan program tersebut, tak terkecuali Rina. Menurut Rina, nominal tersebut terlalu besar jika harus ditanggungnya, apalagi ia harus memiliki tanggungan kebutuhan yang cukup besar.

Sayang uangnya kan tidak balik lagi, itukan cuma kalau ada kecelakaan. Tapi nyuwun sewu semua sudah ada yang ngatur” jelas Rina memasrahkan hidupnya kepada Tuhan. Belum lagi, berdasarkan cerita yang didengar Rina, tidak seluruh biaya pengobatan dapat ditanggung oleh program tersebut.

Melihat tidak maksimalnya perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang diberikan dari pihak perusahaan aplikator, Rina memilih untuk tetap menjaga dirinya sendiri agar tidak terlalu lelah dalam bekerja. Salah satunya, dengan melakukan on bid dan off bid secara konsisten serta tetap berusaha untuk tidak melakukan penolakan kepada customer. Bahkan saat ini Rina hanya memabatasi diri untuk bekerja hingga pukul empat sore setiap harinya.

Rina juga bercerita tidak ada perlindungan khusus bagi perempuan. Semua harus diatur oleh pengmudi Ojol sendiri. Perusahaan memang menyediakan layanan pelaporan yang akan diterima oleh Satuan Tugas (Satgas). Namun, Satgas pun melayani pelaporan secara umum tidak dikhususkan bagi kasus yang dialami oleh pengemudi Ojol perempuan.

Ditambah dengan stigma bahwa perempuan dianggap lemah dan ketika membawa customer menjadi tidak aman. Sebisa mungkin Rina memberikan pelayanan terbaik, meskipun banyak beban yang diembannya. Hal itu ia lakukan hanya untuk menjaga performa akunnya tetap baik agar bisa mempertahankan pekerjaannya.

Sadar akan risiko kerentanan di jalanan yang tidak dijamin perusahaan, Rina melihat pentingnya solidaritas sesama Ojol di jalanan. Hal itu yang membuat Rina mulai bergabung dengan Komunitas Ojol bernama Biker Pinggir Rel (nama di samarkan) pada 2022 hingga sekarang.

Saat ini Rina dipercayakan sebagai ketua komunitas oleh anggota komunitasnya. Kuatnya rasa solidaritas dan persaudaraan menjadi salah satu alasan Rina terlibat aktif di komunitas. Bagi Rina, komunitas merupakan tempat atau wadah yang paling tepat bagi pengemudi Ojol perempuan. Ancaman dan risiko kerasnya hidup di jalanan, serta kerentanan-kerentanan lainnya membuat dirinya merasa membutuhkan teman yang setiap saat bisa membantunya. Terlebih, Gojek sebagai perusahaan tidak menyediakan jaminan perlindungan yang memadai bagi pengemudi Ojol.

***

Cerita lain datang dari Rumi (nama disamarkan). Pengemudi Ojol perempuan yang juga berdomisili di Semarang ini bekerja untuk Grab selama enam tahun. Pada awal menjadi pengemudi Ojol penghasilannya bisa mencapai Rp500 ribu untuk beberapa jam saja. Namun, ketiga strategi “bakar uang” perusahaan selesai, kondisinya berubah. Jangankan untuk mendapatkan Rp500 ribu, mendapatkan orderan saja dirasa semakin sulit. Butuh berhari-hari untuk menyamai pendapatannya pada saat awal menjadi Ojol. Padahal, saat ini akunnya telah berhasil mencapai level Jawara, level tertinggi dalam sistem Gojek. Masalah sulitnya order menurut Rina disebabkan karena Grab terus membuka rekrutmen pengemudi baru.

Selama menjalani pekerjaannya, selain pendapatan, Rumi merasa risiko kerentanan yang ia hadapi cukup tinggi. Beberapa diantaranya adalah risiko terkena suspend gegara customer memberikan penilaian jelek atau seringnya mendapatkan cancel order dari customer karena menolak diantar oleh pengemudi perempuan. Risiko lainnya adalah pelecehan seksual baik dari customer maupun dari pengguna jalan lainnya.

Sebagai respon dari kasus pelecehan yang dihadapi oleh pengemudi Ojol perempuan, pada 2019, Grab membentuk layanan Lady Grab. Layanan ini hanya bisa diikuti oleh pengemudi Ojol perempuan dan hanya diperuntukkan untuk jasa kurir barang dan makanan dan tidak bisa digunakan menerima orderan untuk mengantar penumpang. Setelah ikut dalam layanan Lady Grab, pengemudi Ojol perempuan sudah tidak dapat kembali mengaktifkan ke program reguler yang dapat menerima order penumpang maupun kurir. Alih-alih melindungi perempuan dari potensi kekerasan yang dilakukan customer, faktanya orderan pada layanan ini tidak seramai layanan reguler. Pendapatan pun berkurang dibandingkan dengan pendapatan sebagai pengemudi reguler.

Karena kerentanan-kerentanan tersebut, Rumi memutuskan bergabung di komunitas Ojol. Rumi pernah bergabung di beberapa komunitas, baik yang dibentuk oleh aplikator maupun yang dibentuk atas inisiatif pada Ojol. Saat ini, Rumi aktif di komunitas Tim Ojol Kali Kulon (nama disamarkan). Komunitas yang pembentukannya diinisiasi oleh pihak Grab dan beranggotakan para pengemudi Grab.

Rumi bercerita bahwa sebelumnya ia sudah tergabung dalam komunitas Ojol yang dibentuk oleh aplikator Grab, akan tetapi saat ini Rumi hanya bergabung di satu komunitas saja. Sepengetahuan Rumi, terdapat sekitar 20 komunitas yang dibentuk oleh perusahaan Grab di Kota Semarang. Komunitas-komunitas tersebut juga sering memiliki kegiatan bersama. “Dulu kalau masuk ke Grab, ada salah satu orang dari perusahaan Grab yang membentuk Komunitas dan kami diarahkan untuk bergabung” ujar Rumi ketika menjelaskan Grab menyarankan untuk bergabung dengan komunitas yang dibentuknya.

Rumi dan anggota lain dalam Tim Ojol Kali Kulon biasanya menggunakan momentum pertemuan rutin komunitas untuk membahas tentang permasalahan yang dihadapi oleh anggota. Pertemuan rutin tersebut biasa disebut dengan Kopdar (Kopi Darat).Saat ini ada 20 anggota, lima diantaranya perempuan termasuk sayajelas Rumi menjelaskan tentang komposisi gender di komunitasnya.

Tidak ada syarat khusus, masuk ke dalam komunitas. Semua komunitas terbuka bagi pengemudi Ojol Grab yang hendak bergabung, asalkan mengikuti kegiatan dan persyaratan yang telah ditentukan oleh komunitas. Baik secara lisan maupun tertulis dalam profil grup WhatsApp.

Tim Ojol Kali Kulon memiliki struktur kepengurusan seperti Ketua, Wakil Ketua dan Bendahara. Setiap bulan, para anggota menyetor iuran sebesar Rp20 ribu yang dipergunakan untuk dana sosial, uang meja, atau kopdar bersama.

Rumi juga bercerita, berkaitan dengan pendapatan dan adanya tarif yang terlalu kecil, dirinya pernah mengikuti aksi protes pada awal 2023 bersama dengan komunitasnya. Saat ratusan pengemudi Ojol yang ada di Semarang melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Gubernur Jawa Tengah. Setelah aksi, Tim Ojol Kali Kulon mendiskusikan langkah lain yang dapat dilakukan. Tim Ojol Kali Kulon kemudian memutuskan untuk melakukan lobi dengan pihak aplikator Grab. Namun, hasilnya nihil. Meski demikian, perjuangan belum usai dan hingga saat ini Tim Ojol Kali Kulon masih kerap menyuarakan protes tentang kenaikan tarif.

***

Adapula cerita dari Lita (nama disamarkan) yang menjadi menjadi pengemudi Ojol sejak 2017 akhir. Saat Lita memutuskan menjadi pengemudi, sebenarnya kondisi keuangannya masih cukup baik. Namun, lantaran sakit yang dialami suaminya kian parah dan harus melakukan berobat rutin, mengharuskan Lita mencari penghasilan tambahan. Lita pun bekerja sebagai pengemudi Grab. Namun, karena mengalami putus mitra (PM) dari Grab tanpa adanya alasan yang jelas, Lita kemudian bekerja sebagai pengemudi Gojek.

Setelah bekerja sebagai pengemudi Ojol, Lita kerap menyaksikan kecelakaan yang dialami oleh pengemudi lain yang diabaikan oleh pengemudi lain. Sangat jarang ada pengemudi yang membantu. Kenyataan pahit tersebut juga pernah dialaminya saat hendak mengantarkan penumpang. Karena hal tersebut, Lita memutuskan untuk menjadi relawan agar dapat membantu para pengemudi yang mengalami kecelakaan. Meskipun hal ini akan mengurangi orderan yang ia terima, namun karena kondisi keuangannya masih cukup stabil, Lita tidak terlalu berpikir panjang.

Suatu waktu, seorang temannya menyarankan agar Lita bergabung komunitas Ojol. Tujuannya agar lebih terkoordinasi ketika membantu pengemudi yang mengalami kecelakaan. Saran itu ia terima dan pada 2018 Lita bergabung dengan komunitas Unit Reaksi Cepat (URC) di Semarang. URC ini diikuti oleh beberapa komunitas Ojol dari berbagai aplikator, bahkan komunitas daerah, maupun dari aplikator. Dalam kesehariannya sebagai anggota URC, Lita lebih memprioritaskan untuk menolong pengemudi yang mengalami kecelakaan atau pengemudi yang  yang  membutuhkan bantuan cepat URC.

Dua bulan berkegiatan bersama URC, situasi berubah. Suami Lita meninggal. Karena itu, Lita harus memikirkan kebutuhan anak dan kebutuhan sehari-hari seorang diri. Pada saat suaminya meninggal, banyak sekali anggota komunitas yang datang berbelasungkawa dan mengawal jenazah suaminya untuk disemayamkan. Hal tersebut membuat Lita semakin meyakinkan Lita bahwa berkomunitas membuat ia tidak sendiri bahkan dapat memupuk rasa solidaritas sesama pengemudi Ojol.

Selain URC, sebenarnya Lita telah bergabung ke dalam puluhan grup media sosial komunitas. Dalam perjalanannya tersebut, Lita pernah mengajak pengemudi lain dari berbagai komunitas untuk melakukan aksi kenaikan tarif pada tahun 2018. Saat itu tarif dasar hanya sebesar Rp4 ribu. Lita menganggap tarif tersebut sangat rendah dan tidak sebanding dengan risiko yang dihadapi pengemudi di jalanan. Namun, ajakan tersebut tidak ditanggapi. Menurut Lita penjelasan Lita tentang tarif yang murah bisa diterima, namun ketika diajak melakukan protes para Ojol memiliki berbagai alasan yang bersifat doktrinatif. Misalnya, takut di putus mitra karena melawan aplikator, merasa bersyukur dengan adanya Ojol karena telah membuka peluang pekerjaan dengan persyaratan yang mudah, dan bahkan ada yang beralasan secara religius dengan mengatakan bahwa “rejeki ada yang ngatur yang penting lakukan yang terbaik, taati aturan dan bersikap ramah pada customer”.

Setahun lalu, Lita memutuskan untuk keluar dari URC, karena dirinya ingin mencari pengalaman yang lebih melalui komunitas. Tak lama berselang, dirinya bergabung ke Komunitas Relawan Semarang (KRS). Menurut Lita, KRS lebih fokus untuk menaungi pengemudi yang hanya berada di wilayah Semarang saja. Beberapa anggota komunitas KRS tidak hanya dari Ojol tapi juga ada yang berasal dari Kepolisian Daerah. Menurut Lita anggota kepolisian menjadi anggota komunitas diharapkan dapat membantu komunitas jika terjadi masalah-masalah di jalanan seperti berhadapan dengan Opang atau masalah-masalah lainnya.

Status Lita sebagai mitra, bukan pekerja, menimbulkan kerentanan lain bagi Lita. Dengan status tersebut, menurut Lita aplikator tidak memiliki kewajiban bertanggungjawab terhadap semua risiko yang dihadapi oleh pengemudi Ojol. Jangankan jaminan kesehatan, pemeliharaan kendaraan yang merupakan alat kerja saja tidak ada. Kesadaran itulah yang membuat Lita bersemangat untuk mengajak teman-teman sesama Ojol untuk berkomunitas. Selain bisa bersolidaritas ketika terjadi sesuatu di jalan, berkomunitas juga diperlukan agar Ojol semakin kuat untuk menyuarakan keluhan kepada aplikator dan pemerintah.

Namun, harapan Lita layu sebelum berkembang. “Banyak teman-teman Pengemudi yang saya ajak berkomunitas akan tetapi setelah bergabung kedalam komunitas, jadi berubah 180 derajat, tidak mau menyuarakan kerentanan komunitas lagi”, jelas Lita. Bahkan, ada pimpinan komunitas yang tidak mengizinkan anggotanya untuk ikut demonstrasi. Jika ada yang terlibat aksi demonstrasi justru harus membayar sejumlah uang, alih-alih sebagai pengganti off bid. karena keaktifan Lita di berbagai komunitas, Lita juga sempat ditegur oleh ketua-ketua komunitas dan diminta untuk mengikuti satu komunitas saja.

Dari pengalamannya terlibat di berbagai komunitas, Lita menjelaskan terdapat tiga karakteristik komunitas yaitu Komunitas yang dibentuk oleh aplikator, komunitas yang diinisiasi oleh pengemudi Ojol yang “fokus”, dan komunitas yang diinisiasi oleh pengemudi Ojol yang “santai”. Lita mengartikan komunitas yang “fokus” sebagai komunitas yang memiliki struktur, peraturan, iuran dan kegiatan tertentu. Sedangkan komunitas yang “santai” adalah komunitas yang hanya dijadikan sebagai tempat untuk berbagi keluh kesah, bahkan memiliki prinsip semua anggota adalah ketua.

Meskipun Lita cukup kecewa dengan dinamika berkomunitas yang dia alami, namun semangat Lita tak melemah. Untuk itu, Lita bersama beberapa Pengemudi lain membentuk Perempuan Ojol Lintas Semarang (nama disamarkan). Berdasarkan kategori yang Lita sebutkan di atas, komunitas ini merupakan komunitas yang “santai”. Komunitas ini dibentuk pada 2019 dengan jumlah anggota sekitar 20 orang. Akan tetapi saat ini hanya tersisa 8 orang.

Dulunya banyak dan kita sangat fleksibel jadi tidak membebankan anggota, bahkan kita menggunakan komunitas untuk sharing informasi dan menyelesaikan masalah. Tapi karena banyak yang di PM atau pindah komunitas jadi sekarang tersisa delapan orang,” jelas Lita.

Selain Lita, inisiator pembentukan Perempuan Ojol Lintas Semarang adalah Tini. Hal  yang sama juga dirasakan oleh Tini. Bahkan pengalaman berkomunitas Tini tak kalah banyak dengan Lita. Dirinya beranggapan sebagai pengemudi Ojol yang memiliki banyak kerentanan dan sangat penting bagi pengemudi Ojol untuk berkomunitas. Tini sendiri yang merupakan single parent merasa dirinya harus aman, salah satunya dengan berkomunitas.

Saat ini Tini menjadi kurir Shoppe Food, dimana sebelumnya pernah bergabung menjadi pengemudi Gojek. Tini beralih menjadi pengemudi Shopee Food karena terjadi PM dari Gojek. Tini sangat sadar bahwa menjadi perempuan Ojol memiliki banyak kerentanan di jalan, namun dirinya harus tetap bekerja untuk kebutuhan dirinya dan keluaraganya. Tini sangat menyayangkan meskipun aplikator telah membantu banyak orang memiliki kesempatan bekerja, namun pekerjaan yang disediakan memiliki risiko yang tinggi dan jauh dari kata kayak. Sebaliknya malah membuat kesehatan Ojol dipertaruhkan, pendapatan yang tak sebanding dengan pengeluaran untuk bekerja hingga banyak pengemudi Ojol terjebak utang. Bagi TIni untuk menyiasati situasi tersebut, Tini  harus rela bekerja sebagai jasa pengantar surat tilang dari salah satu Polsek di wilayah Semarang, meskipun hanya diupah Rp2 ribu per surat tilang.

Tini mengaku nyaman dengan komunitas Perempuan Ojol Lintas Semarang. Hal itu karena jika ada permasalahan dan informasi dapat dibagikan ke dalam komunitas. Misalnya, permasalahan tarif pada salah satu aplikator, karena mayoritas anggota yang tergabung di dalamnya juga memiliki komunitas di luar komunitas Perempuan Ojol Lintas Semarang. Di situlah terjadi pertukaran informasi. Meskipun jarang berkumpul dan tidak memiliki basecamp, namun kedekatan masing-masing anggota tetap terjaga.  Apalagi, dalam komunitas ini seluruh keputusan dibuat bersama. Tidak ada sekat diantara sesama anggota. Dari hal inilah ia berharap agar komunitas dapat semakin membesar dan solid untuk memperjuangkan perlindungan bagi Ojol perempuan.[]

Penulis

Tuti Wijaya
LBH Semarang