“Wsshhh…,” suara tak beraturan air putih bercampur dan cairan bening kekuningan menyeruak dari gelas ukuran 200 mililiter. Tiga perempat gelas terisi. Atasnya berbuih. Semuanya telah aku persiapkan sejak matahari menyembunyikan diri di pekat malam. Sisa cairan kekuningan dalam kemasan pouch seharga Rp17.300 aku buang ke tempat sampah. Bau pestisida memenuhi ruangan kamarku.1
Di luar kamar, suara angin dan air hujan yang membentur tanah. Langit membisu seperti tidak memiliki masa depan. Nada jarum jam di atas meja belajar menjemukan: tok-tok-tok-tok. Tekadku bulat. Aku menggerakkan tangan kananku menggenggam gelas berisi cairan pembasmi nyamuk. Mataku memindai seluruh isi kamar. Sarang laba-laba di langit-langit kamar seperti membalut isi kepalaku: masa depanku hancur. Mataku berhenti di meja rias. Aku menatap lama foto berbingkai hitam: aku dengan toga kebangganku di antara bapak dan ibuku, tersenyum merekah.
“Hiks… hiks… hiks…,” tangisku pecah. Sekuat tenaga, aku menahan agar tangisku tidak mengeluarkan suara malah menyesakkan dada. “Ibu, bapak maafkan Lisna. Lisna sudah mengecewakan ibu dan bapak. Selamat tinggal, Bu. Selamat tinggal, Pak. Selamat tinggal, Dek!”
Jarum jam dinding menunjukan angka 02.20 WIB. Dahi dan telapak tanganku dibasahi keringat. Gerimis telah menggantikan guyuran hujan. Detak jantungku berpacu dengan gerakan detik jarum jam. Aku memejamkan mata. Aku menarik napas panjang sambil mendekatkan bibir gelas ke mulutku. “Kreeeek… sreet… sreet,” suara pintu dibuka. Suara langkah kaki yang begitu berat. “Astagfirullah,” ucapku seolah menyadarkan diri. Refleks aku menyimpan kembali gelas yang sudah menempel di bibirku. Dari celah pintu yang terbuka aku lihat bayangan bapak menuju ke arah kamar mandi. Di sepertiga malam bapak biasa ke kamar mandi untuk wudhu dan melaksanakan salat malam. “Pak, terima kasih sudah menyelamatkan Lisna dari dosa besar ini.”
Aku segera mengangkat tubuhku. Menyimpan jauh gelas yang berisi air campuran pestisida itu. Aku pun mengikuti langkah bapak ke kamar mandi, mengambil air wudu dan salat malam. Malam itu, aku pasrahkan semua jasad, hati dan masa laluku kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi: Ya Allah, aku pendosa. Maafkan aku.
***
Namaku Lisna, usiaku memasuki 25 tahun. Aku sulung dari dua bersaudara. Aku lahir dan besar di salah satu desa di salah satu kabupaten incaran para investor garmen, tekstil di Jawa Tengah. Aku adalah salah satu sosok manusia ringkih yang menopang pertumbuhan ekonomi daerah agar investor asing tidak kabur. Bapak dan ibuku petani. Dari hasil bertani dan berkebun-lah mereka membesarkan dan menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. Bukan dari kebaikan negara.
Ketika SMA aku sempat mondok di salah satu pesantren. Aku pun sempat menyelesaikan kuliah jurusan pendidikan agama Islam. Ketika kuliah, aku pun aktif di organisasi kampus dan berbagai organisasi lainnya. Saat ini di belakang namaku ada gelar S.pd.I. yang menjadi kebanggaan bapak dan ibuku. Sebagai anak tertua bergelar sarjana, besar sekali harapan mereka kepadaku. Ibuku berharap, aku menjadi PNS dan bersuami PNS. Harapan bapak, aku menjadi guru dan bersuami yang satu suku.
“Kamu itu sarjana, cari suami yang pegawai negeri ya, Nduk. Kamu PNS, suamimu PNS. Di kampung kita jarang yang sama-sama sarjana dan pegawai negeri. Ibu bangga punya anak sukses.” Demikian nasihat ibu yang berpuluh-puluh kali disampaikan kepadaku maupun ke saudarku yang lain.
Tidak jauh beda dengan ibu, bapakku menaruh harapan yang besar. “Tidak pegawai negeri ndak apa-apa. Lisna pantas jadi guru. Buat bapak suamimu PNS atau bukan, yang penting satu suku.”
Sejujurnya aku merasa terbebani dengan nasihat dan harapan-harapan itu. Tapi, aku hanya mengiyakan.
Hidup memiliki jalan sendiri. Walaupun aku tinggal di kota kecil dengan gelar sarjana, tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Ternyata gelar sarjana tidak menjamin aku mudah menjadi guru, apalagi dengan status PNS. Aku pernah mengikuti seleksi PNS namun gagal. Aku mencoba peruntungan lain dengan melamar ke kantor-kantor perusahaan. Entah sudah berapa lamaran aku kirimkan. Semuanya nihil.
“Nduk, kowe nek kerjo sik tenanan. Kowe ki sarjana kowe kudu dadi pegawai negeri nek ra kerjo kantoran. Welinge ibuku sik men ben dino tak rungokne (Nak, kamu yang serius cari kerja. Kamu sarjana, kamu harus jadi pegawai negeri atau kerja kantoran).” Kurang lebih demikian permintaan ibuku yang hampir setiap hari aku dengar. Aku merasa bersalah karena menganggur. Menjadi beban keluarga.
Di saat hampir frustasi mendapatkan pekerjaan aku bertemu dengan Mbak Mei, dia kakak tingkatku di kampus. Kami aktif di organisasi mahasiswa yang sama. Kami bertemu di Kantor Dinas Tenaga Kerja ketika aku mengantar adikku membuat surat kuning.
“Lisna, apa kabar? Tambah cantik deh kamu,” ujarnya.
“Mbak Mei, apa kabar? Ih aku kangen banget Mbak,” jawabku.
Sambil menunggu proses pembuatan kartu kuning, kami mengobrol. Mbak Mei bekerja di salah satu pabrik di kota G, pabrik pembuat tas dan dompet yang terkenal di kalangan para pendaki gunung. Mbak Mei juga aktif di organisasi buruh. Saat itu, Mbak Mei ke Disnaker karena sedang menyelesaikan kasus di tempatnya bekerja.
“Ada lowongan gak Mbak? Aku udah ngelamar kemana-mana tapi gak ada panggilan,” tanyaku.
“Kalau di tempatku gak ada. Nanti aku tanya temanku ya,” jawabnya menenangkan.
Singkat cerita, dari pertemuanku dengan Mbak Mei itu, akhirnya aku diterima bekerja di pabrik X, perusahaan pembuat pakaian merek tersohor di kalangan kelas menengah ke atas. Aku dipekerjakan di bagian QC (Quality Control).
Ternyata dunia kerja tidak seperti bayanganku. Menjadi buruh pabrik terasa seperti budak. Setiap hari aku berangkat dari rumah pukul 05.15 WIB, pulang pukul 15.00 WIB. Setiap hari kami harus mencapai target yang telah ditentukan manajemen pabrik. Jika tidak mencapai target kami harus memperpanjang jam kerja satu hingga dua jam. Kelebihan jam kerja itu tidak dianggap sebagai lembur yang harus dibayar. Tiba di rumah sekitar pukul 19.30 WIB dengan badan terasa ringsek.
“Ayo lek kerjo sek cepat, goblok, pego kerjo sek tenanan. Nek le kerjo alon pie arep olah target (Ayo kerja cepat! Kamu bego! Tolol! kerja yang benar. Kalau kerja lambat bagaimana dapat target).” Begitu teriakan yang setiap hari aku dan kawan-kawan dengar di tengah riuhnya suara mesin. Begitulah, pakaian yang dikenal stylish, terjangkau, dan trendy itu dibuat.
“Mbak Mei, aku gak tahan kerja di sana. Aku nyerah deh. Gila banget mandornya galak-galak banget Mbak,” curhatanku ke Mbak Mei di suatu hari ketika kami bertemu di tempat makan setelah aku terima upah pertama.
Makan-makan di tempat makan setelah menerima upah, semacam hadiah buat diri sendiri. Membayar lelah bekerja selama satu bulan. Setengah upahku aku berikan sama Ibu. Setiap bulan ibu membelikan emas buatku. Semenjak kerja, dua buah cincin menghiasi jari-jariku, gelang dan kalung menghiasi tangan dan leherku.
Bagi kami, orang desa, perhiasan merupakan standar keberhasilan. Ketika orang tahu kita bekerja tetapi tidak memakai emas atau perhiasan, akan muncul komentar, “Kerja tapi ndak menghasilkan”.
“Nduk, setiap bulan sisihkan upahmu buat beli perhiasan ya. Malu sama tetangga kalau kamu polosan.” Demikian pesan ibu ketika aku mulai bekerja.
Dari curhatku dengan Mbak Mei berujung dengan rencana pembentukan serikat buruh di tempat kerjaku. Mbak Mei mengenalkanku dengan teman-teman di organisasinya.
Seminggu setelah aku curhat, Mbak Mei mengajak aku ke sekretariat mereka. Mbak Mei mengenalkanku dengan kawan-kawannya. Sekretariat tersebut akhirnya menjadi rumah keduaku.
Sekretariat itu rumah kayu berbentuk persegi. Luasnya kira-kira 9 meter x 9,5 meter. Terdapat empat kamar dengan empat tiang utama. Di daerahku tiang itu disebut soko guru. Halamannya luas, biasanya kami pergunakan untuk nongkrong sambil gitaran, berdiskusi dan membicarakan hal-hal lain. Aku telah memiliki teman baru di sekretariat.
“Kenalkan ini Mas Andi. Dia ketua DPC-ku,” kata Mbak Mei sambil menunjuk laki-laki berperawakan kecil dengan rambut golden brown. Warna rambut agak kontras dengan kulitnya yang tidak putih. Mas Andi menyapaku dengan ramah.
Mas Andi aku memanggilnya. Kelak dialah yang memegang kendali organisasiku. Walaupun perawakannya paling kecil di antara temannya tapi aku melihat dia yang paling dihormati di antara teman-temannya. Dia memiliki banyak pengetahuan dan fasih bicara mengenai dunia perburuhan dari persoalan hukum, politik, hingga pergerakan buruh.
Selain Mas Andi aku juga dikenalkan dengan Mas Hilmi dan Mas Dika. Mas Hilmi berbadan tinggi dengan gaya bicara yang kalem sekilas mirip vokalis Kangen Band Andika. Dia orangnya ramah, setiap ke sekre aku selalu melihat dia sedang membaca buku. Mas Himi juga yang selalu mendampingi dan melayani Mas Andi: membuatkan kopi, membelikan makan, dan hal-hal remeh lainnya. Aku cukup dekat dengan Mas Hilmi ketimbang Mas Andi. Aku lebih sering curhat dan diskusi dengan Mas Himi.
Mas Dika, berkulit putih. Usianya sekitar 28 tahun, perawakannya sedang. Model sisiran rambut belah samping, gerakan tubuhnya teratur. Mas Dika terlihat manis kekanakan. Kesan pertama dari perkenalanku dengan Mas Dika: lembut, perhatian dan berwibawa. Ditambah dia sedang menyelesaikan kuliah, menambah nilai plus Mas Dika di mataku. Sejak pertama bertemu ada rasa khusus di hatiku kepada Mas Dika. Sebagai perempuan aku menyimpan rasa khusus itu. Kadang aku sering mencuri pandang dengan tingkahnya. Jika tidak sengaja berpapasan aku sering salah tingkah. Padahal dia biasa saja.
Dengan bantuan mereka aku dan 30 orang kawan akhirnya berhasil mendirikan serikat buruh. Kami mendeklarasikan pendirian serikat buruh X. Aku terpilih menjadi ketua.
“Jangan akulah yang menjadi ketua, aku gak paham,” tolakku ketika pertemuan pembentukan serikat
“Udah maju aja, Nduk. Nanti kita belajar, yang penting kamu siap,” ujar Mas Andi meyakinkan.
“Lisna, kamu pasti bisa. Tenang aja aku nanti dampingi kamu. Iya, kan Dik?!” celetuk Mas Himi di sudut ruangan sambil menggerakkan mata ke Mas Dika.
“Siap Ndan, goyang,” sambut Mas Dika. Kata-kata Mas Dika seperti meyakinkanku.
Hari itu aku menjadi ketua, Dewi Sekretaris, Indang bendahara dan 8 lainnya kepala divisi. Semua perempuan. Dari 30 orang yang hadir terdapat tujuh orang laki-laki, tetapi mereka menolak menjadi pengurus dan hanya mau menjadi anggota saja.
Satu tahun kami mendirikan serikat. Dari anggota 30 orang, dengan pendampingan dari kawan-kawan Mas Andi dalam waktu satu tahun anggotaku bertambah menjadi 240 orang. Aku merasa senang dengan pertambahan anggota ini.
Hampir setiap hari sepulang kerja aku mampir ke sekretariat. Di hari libur kerja, Sabtu dan Minggu, kegiatanku sepenuhnya di serikat. Pertemuan-pertemuan, diskusi dan pendidikan baik di sekretariat maupun di luar kota aku ikuti. Karena agendaku padat akhirnya aku putuskan untuk ngekos di dekat tempat kerjaku.
Semakin hari semakin bertambah kekagumanku kepada Mas Andi dan kawan-kawan. Di mataku mereka orang-orang yang mengabdi dengan tulus, menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membimbing dan membantu kami: buruh-buruh, yang sedang belajar dan berjuang.
Walaupun serikat sudah berdiri satu tahun, namun belum ada perubahan berarti pada situasi kerja di tempatku bekerja. Mandor masih sering teriak-teriak mengeluarkan kata-kata kasar, mandor laki-laki juga masih sering melakukan pelecehan kepada teman-temanku status kami buruh kontrak per tiga bulan atau per enam bulanan.
Dari hasil diskusi dan pendidikan aku dan teman-temanku mulai memiliki keberanian untuk melawan. Setiap hari aku dan kawan-kawan pulang telat hampir satu jam, apalagi lini produksi yang tidak mendapatkan target. Kami harus lembur tanpa dibayar karena harus memenuhi target.
Suatu hari aku ada agenda diskusi di sekre. Sekitar pukul 16.30 WIB aku bergegas beres-beres tempat kerjaku berniat untuk pulang. Ketika mengambil tas dari bawah meja tiba-tiba, “Lisna, kamu mau kemana sudah beres-beres?” lengkingan suara mbak Ulfa, membuat jantungku hampir copot. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba dia sudah ada di belakangku. Suaranya seperti ingin memperlihatkan kekuasaannya atas tubuhku.
“Mau pulang Mbak. Aku ada diskusi di sekre,” jawabku sambil terus membereskan isi tas.
“Kamu tahu ‘kan kita belum dapat target. Enak sekali kamu mau pulang. Teman-temanmu masih kerja buat ngejar target. Kamu tahu line kita masih kurang 78 pasang?” tagihnya dengan suara yang hampir mengalahkan bisingnya mesin.
“Tahu Mbak. Tapi ini ‘kan bukan lembur jadi saya dan kawan-kawan lain juga bisa pulang tepat waktu. Hampir setiap hari kami lembur tidak dibayar, rugi dong Mbak, kami!” sahutku sambil meninggalkan Mbak Ulfa diiringi tatapan teman-teman line-ku. Mata Mbak Ulfa hanya melotot melihat aku yang pergi meninggalkan dia.
Hari itu pertama kalinya aku memberontak. Aku tidak tahu bagaimana besok kerja. Mungkin aku akan dipanggil atau dimaki-maki. Tekadku jelas: aku harus mengajak teman-temanku berani.
Sesampainya di sekretariat hanya ada Mas Dika, Mbak Mei, Mas Hilmi dan kawan-kawan dari pabrik lain. Aku ceritakan kejadian di pabrik tadi, “Mantap Lis, kamu sudah mulai berani. Tinggal selangkah lagi kamu mulai ajak kawan-kawanmu untuk berani juga,” puji Mas Dika dengan suara dan senyum khasnya. Ah, senyum itu selalu membuat jantungku berdetak kencang.
Sejak melawan perintah lembur aku mulai menjadi perhatian di pabrik. Organisasi kami juga mulai dikenal buruh lainnya. Pihak perusahaan pun mulai melibatkan kami ketika ada kebijakan-kebijakan baru. Sebagai tambahan, di tempatku bekerja sebenarnya telah berdiri serikat buruh lain, yang berafiliasi ke federasi di tingkat nasional. Hanya dua hal yang mereka perbuat: menarik iuran dan menyetujui kebijakan manajemen.
Aku semakin larut dalam kesibukan organisasi. Kami mengajukan berbagai perbaikan di tempat kerja ke manajemen, seperti penghapusan lembur tidak dibayar, hubungan kerja, dan lain-lain. Walaupun tidak digubris. Mas hilmi dan Mas Dika seolah tidak pernah lelah membimbingku dan kawan-kawan. Tapi, tanpa aku sadari aku dan kawan-kawan jadi bergantung sama mereka. Walaupun aku ketua di organisasi, tetapi karena pengalaman kami yang masih baru, kami selalu minta pendapat Mas Andi, Mas Dika, dan Mas Hilmi. Mereka juga yang mengatakan bahwa serikat buruh kami harus begini dan begitu.
Belakangan aku merasa seperti boneka. Hal ini juga yang menjadi persoalan internal organisasi di kemudian hari. “Lisna, ini organisasi kita sendiri jangan apa-apa kamu obrolin sama orang lain, apa gunanya aku dan pengurus lain,” protes Dewi, salah satu pengurus saat kami mengadakan rapat pengurus.
Dengan protes Dewi, aku malah tersinggung. Aku merasa tidak ada yang salah dengan apa selama ini terjadi. Aku dan Dewi pun cekcok. Akibat hal itu kami jadi renggang, Dewi dengan posisinya sebagai sekretaris harusnya tetap sejalan denganku. Tapi sayang, Dewi akhirnya memilih mundur. Aku pontang-panting dengan pekerjaan organisasi dengan pengurus yang seumur jagung. Sebenarnya, protes Dewi beralasan. Karena organisasi kami tidak berafiliasi ke organisasi Mas Andi. Kami hanya berkawan sesama organisasi. Posisi mereka bukan penentu arah organisasi. Tapi mereka begitu dominan mengatur kami.
“Wis Yen Dewi arep mundur, ayo wae. Mengko tak rewangi gawean,” kata Mas Dika ketika aku cerita persoalan internal organisasi. “Tapikan kamu sibuk ngurus pabrik lain, Mas,” ujarku segan karena aku paham bagaimana kesibukan kawan-kawan di sekretariat. “Tenang aja, aku bisa atur waktu. Yang penting kamu tetap semangat ya,” ujarnya menyejukan.
Bencana di Taman Kota
Taman kota yang menjadi tempat wisata gratis masyarakat di kotaku. Taman Kota yang bersih, rapi dan adem menjadi tempat janjian aku dan Mas Dika.
“Aku mau input data anggota, Mas. Jangan lama-lama ya?!” balasan pesanku ketika Dika mengajakku bertemu di Taman Kota sehari sebelumnya.
“Tenang Dek, nanti mas bantu sampai selesai,” balasnya meyakinkan. Terang saja aku tidak menolak ajakan Mas Dika di Taman Kota. Toh, selama ini kami berteman baik.
“Betul ya. Aku cape kalau pulang kerja harus menginput,” balasku meyakinkan.
“Iya, manis. Mas pasti bantu kerjaannya!” Aku tersenyum membaca pesan di media perpesanan itu. Hatiku berbunga-bunga. Jantungku berdetak kencang. Wajahku memerah.
Pukul 12.30 WIB kami sudah berada di kedai bakso di Taman Kota. Semangkuk mie ayam tanpa bakso dan es teh manis pedas, manis, asem menjadi pilihanku. “Jangan terlalu pedas, nanti sakit perut,” ujarnya sambil mengembalikan sendok sambal ketiga yang belum sempat aku tuangkan. Aku memang penyuka makanan pedas. Tapi sejak mengenal lebih dekat Mas Dika, ia selalu mengingatkanku dengan berbagai hal. Aku membiarkan Mas Dika memasuki ruang-ruang pribadiku. Larangannya tidak aku anggap sebagai pembatasan kebebasan.
“Jangan terlalu pedas”, “Cepat tidur”, “Istirahat ya!”, “Sudah makan belum?” “Apa kabar hari ini?” adalah beberapa pesan rutin yang mengisi hari-hariku. Isi pesannya biasa saja tapi aku merasa istimewa. Sejak lebih banyak di organisasi, aku lebih mengenal Mas Dika.
“Ayo!” kata Mas Dika.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Aku ngantuk banget, semalam tidur jam 5-an. Mas Andi nginep di sekre. Kami diskusi persoalan internal organisasimu,” jelasnya ketika dia mengajakku pergi dari kedai bakso. Terlepas dari kekagumanku terhadap Mas Dika, sedikit pun aku tidak menaruh curiga dengan ajakan Mas Dika. Dalam pandanganku Mas Dika orang yang baik. Dia pun selalu menyediakan waktu dan tenaganya untuk membantu serikat buruhku berhadapan dengan manajemen. Apalagi malam sebelumnya dia dan kawan-kawannya bersusah payah mendiskusikan masa depan serikat buruh kami. Sebagai ketua, aku merasa bersalah telah merepotkan orang lain.
Pukul 14.25 WIB kami sudah berada di Hotel P, hotel yang letaknya dekat taman kota dan alun-alun kotaku. Sejujurnya aku bingung kenapa aku dibawa ke hotel. Aku ingin menolak tapi tidak dapat mengatakan apapun. Perasaan campur aduk. Aku mau menolak, takut Mas Dika tersinggung. Lagi pula dia sudah menjelaskan maksudnya.
Kami menuju sebuah kamar. “Kamu ndak usah takut. Aku tidur, kamu nginput. Nanti aku beresin inputannya deh,” ujarnya menghapus keraguanku. Aku percaya. Toh selama ini, Mas Dika selalu membantuku.
“Yo wis, aku nginput. Mas tidur sana,” kataku berusaha meyakinkan diri. Khawatir Mas Dika tersinggung dengan sikapku, aku pun membuka laptop di kursi depan meja rias.
Dari kaca rias aku lihat Mas Dika menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Tubuhnya agak membungkuk dengan gerakan bahunya tak beraturan. Terasa panas mukaku ketika mata kami bertatapan di cermin, jantungku berdetak lebih kencang. Aku mengalihkan perhatian dengan menatap laptopku. Namun belum lima menit aku mengetik, tiba-tiba Mas Dika sudah berada di sampingku. Napasnya tersengal-sengal, “Istirahat dulu, jangan dipaksakan,” rayunya sambil menarik tanganku.
Aku tidak tahu bagaimana ceritanya, semua terjadi begitu saja. Aku tidak dapat berpikir jernih. Alasan beristirahat karena kurang tidur tidak terjadi. Data pun tidak terinput. Ibarat singa, Mas Dika menerkam mangsanya yang telah dijinakkan selama berbulan-bulan. Seperti di film-film tahun 1990-an, perempuan desa yang berhadapan dengan laki-laki ‘bijak dan penolong’ kemudian menjerumuskannya ke dalam lembah dosa. Hanya saja tidak ada adegan si perempuan menangis terseguk-seguk di pojok kasur dan si lelaki berdiri memperbaiki kancing baju dengan berkata, “Tenang saja, aku pasti akan menikahimu.”
Sekitar pukul 17.00 WIB kami keluar Hotel P. Aku masih dengan kebingunganku. Sepanjang perjalanan kami tidak banyak berbicara. Mas Dika pun tampak tenang, tampak tidak bersalah, dan tidak berusaha memecahkan kebingunganku. Sepanjang perjalanan aku hanya merasakan sakit dan tidak nyaman di area vaginaku.
Tiba di Taman Kota Mas Dika masih terlihat santai. Tidak sepatah kata pun dilontarkan. Aku menarik dan menyalakan sepeda motorku. Aku langsung pulang. Tiba di kostku, aku mandi membersihkan semua badanku sambil menangis tersedu-sedu. Apa yang aku tangisi? Aku tidak tahu, aku juga tidak tahu harus berbuat apa: marah, sedih atau apa.
Dua hari aku tidak keluar kamar. Aku juga tidak bekerja. Aku mematikan telepon genggamku. Aku tidak berhenti menangis. Aku sangat menyesal dengan apa yang aku lakukan. Aku malu dengan diriku sendiri. Aku jijik dengan diriku.
Hari ketiga aku memberanikan diri menghubungi Mas Dika. Kami sepakat bertemu di tempat biasa. Hari itu, aku mengenakan T-Shirt polo warna navy dipadukan dengan celana warna krim dan sepatu kets putih. Padu-padan yang pas. Tidak dapat dipungkiri di tengah penyesalan dan kemarahanku, aku menyimpan rasa kangen. Aku berdamai dengan diriku. Hari itu kami kembali melakukan hal yang seharusnya tidak boleh kami lakukan. Lagi-lagi Mas Dika seperti singa lapar.
“Mas, aku tidak mau seperti ini terus. Kamu harus nikahi aku Mas,” tagihku sebelum pulang.
“Lis, kamu ‘kan tahu aku punya Ayunda. Aku juga masih harus selesaikan kuliahku,” jawabnya ringan dengan wajah datar menghindari kontak mata denganku. Ketika mendengar nama Ayunda, terbayang gadis manis berambut panjang dengan kulit sawo matang. Ayunda pernah dikenalkan padaku waktu awal-awal aku datang ke sekretariat.
“Degh!” Namun terasa perih dadaku. Mulutku terkunci. Sekuat tenaga aku menahan diri agar air mataku tidak keluar. “Lalu yang kamu lakukan kemarin dan barusan maksudnya apa? Kamu tahu ini pertama buatku. Aku berikan kesucianku sama kamu Mas?!” Suaraku tertahan antara marah dan tangis yang akhirnya pecah.
“Lisna, tenang ya. Kamu tenangin diri dulu. Kita nanti ngobrol ya,” bujuknya. Mas Dika berusaha memperlihatkan dirinya sebagai laki-laki bertanggung jawab. Tapi, di mataku sosok Mas Dika telah berubah jadi hewan pemangsa yang tidak bernyali.
Selepas pertemuan itu Mas Dika sulit dihubungi.
“Mas kamu di mana? Kita harus ketemu.”
“Mas jangan diam saja. Tolong balas chatku”,
“Mas bagaimana masa depanku, kamu harus nikahin aku”
Pesan-pesan yang aku kirim seperti menulis di tembok. Berlalu begitu saja tanpa balasan.
Akhirnya aku memberanikan diri datang ke sekretariat setelah sebelumnya aku janjian dengan Mas Andi. Sekitar pukul 13.00 WIB aku tiba di sekretariat. Kebetulan sekali di sekre hanya ada Mas Andi dan Mas Himi.
Dari kedatanganku aku merasa Mas Andi agak beda. Biasanya ramah menyambutku. Kali ini Mas Andi bersikap dingin. Ia pun hanya menjawab pertanyaanku dengan singkat. Ruangan yang biasa dijadikan ruang pertemuan ini memiliki luas sekitar 75 meter terasa lenggang. Dengan penerangan yang tidak terlalu terang terasa menambah kesepian hatiku. Aku merasa sendiri.
“Mas ada yang aku ingin bicarakan. Masalah pribadiku dan Mas Dika,” ucapku setelah agak lama terdiam.
“Bicaralah,” jawab Mas Andi sambil menghisap rokoknya dengan mata bergerak-gerak seolah tidak peduli. Mas Himi asyik dengan gawainya. Dia tidak seperti laki-laki yang aku kenal di awal pertemuan.
Meluncurlah ceritaku dengan Mas Dika. Tidak ada yang aku kurangi maupun tambahkan.
“Hampir seminggu aku didiamkan. Tolong Mas, aku butuh kepastian dari dia,” ucapku di sela-sela isak tangis yang tidak bisa aku tahan.
“Lisna, kamu tahu ‘kan Dika punya pacar? Kamu juga tahu Dika masih harus selesaikan kuliahnya? Organisasi butuh orang seperti Dika, dia ngambil hukum agar bisa mengabdi di organisasi. Dan sekarang kamu meminta dia nikahin kamu?!”
“Dika, organiser kami yang banyak mengajak buruh-buruh perempuan masuk organisasi kami. Jangan sampai ceritamu merusak organisasi kami ya Lisna,” tegas Mas Andi.
Tanpa tedeng aling-aling Mas Andi menganggap masalahku sepele. Mas Andi, sosok laki-laki yang dihormati, berwibawa dan disegani di lingkungan temannya, hari itu seperti seekor kucing yang sedang menerkam anak tikus. Dia menyalahkanku. Aku dianggap perusak organisasi. Aku berharap Mas Andi yang serba mengetahui tentang dunia pergerakan dapat berpihak padaku. Begitu pula, Mas Hilmi yang selalu membaca buku dan selalu bijak hanya diam seribu bahasa. Sejak itu hilang sudah harapanku.
“Kamu datang kesini buat berorganisasi atau buat menggoda kawan-kawanku di sini,” kata-kata terakhir Mas Andi yang aku dengar dan terngiang terus. Kata-kata itu ibarat garam yang ditaburkan ke dalam luka di tubuhku. Perih dan sakit.
***
Keluar dari sekre. Aku seperti dikutuk oleh seisi bumi dan langit. Aku menyalakan sepeda motor. Aku menarik handle gas sepeda motorku dengan kecepatan penuh. Aku tidak peduli dengan kendaraan lain. Isi kepalaku ramai seperti pasar. “Usiamu mendekati 30 tahun”, “Kamu perusak organisasi”, “Cari pacar yang serius mau nikahin kamu”, “Calon suamimu harus PNS”, “Kamu penggoda”, “Mas Dika organiser yang dibutuhkan organisasi”, “Kamu minta nikah?” “Bagaimana masa depanku, apakah ada laki-laki yang mau menikahiku? “Bagaimana kalau orangtuaku tahu aku sudah tidak perawan?” “Bagaimana kalau aku hamil?” Sesekali tebersit dalam pikiranku untuk menabrakkan sepeda motorku dengan kendaraan lain. Suara klakson kendaraan lain tidak aku hiraukan.
Sepeda motorku berhenti di minimarket.
“Semuanya Rp17.300. Ada yang lain lagi Mbak?” ucap kasir berseragam biru, kuning dan merah sambil memasukan obat anti nyamuk cair kemasan pouch yang aku beli.
Kulajukan kembali sepeda motorku ke arah rumah orangtuaku. Jarum jam menunjukan pukul 18.45 ketika aku tiba rumah. Langit gelap. Bapak masih di masjid. Ibu di kamarnya menunggu waktu salat isya.
“Nduk, kok tiba-tiba pulang? Kamu sakit?” tanya ibu setelah menjawab salamku.
“Gak Bu! Aku kangen ibu sama bapak aja. Bapak masih di masjid ya?” tanyaku sambil mencium tangan ibu.
“Iya. Salat dulu Nduk,” perintahnya menyiram pikiranku yang kacau-balau. “Nanti setelah bapakmu pulang kita makan bareng,” ujar ibu sambil masuk kembali ke kamarnya.
Bobor bayam, tempe bacem dan ikan cue menu malam ini terasa nikmat. Aku melahap makan malamku bersama ibu dan bapak. Sambil makan benakku berkata, “Nanti selesai makan aku harus bersujud meminta maaf. Aku gagal menjadi anak yang berbakti. ‘Maafkan Lisna Pak, Bu.’” Makan malam selesai. Aku melihat gerak dan sorot mata bapak dan ibu yang bersahaja. Dunia mereka begitu tenang. Mereka seperti bahagia melihatku pulang. Rencana dan kalimat yang terus aku lapalkan dalam hati buyar.
Aku masuk kamar. Sambil berbaring, aku membuka media perpesanan di telepon genggamku. Aku pencet nama Mas Dika. Aku membuka chat-chat lama kami: terasa indah kalimat-kalimat penyemangatnya. Pelan-pelan aku baca pesan-pesan itu di antara air mata dan kilasan kenangan kami. Semakin sesak dadaku membaca pesan-pesannya: perasaan suka, kagum, marah, kecewa, kehilangan harapan, bercampur jadi satu. Jarum jam menunjukan angka 02.00 pagi. Perlahan aku keluarkan pouch yang aku beli di mini market sore tadi.
“Ibu bapak maafkan Lisna. Lisna sudah mengecewakan ibu dan bapak. Selamat tinggal Bu. Selamat tinggal, Pak. Selamat tinggal, Dek!”
#Tulisan ini merupakan bagian dari peringatan Hari Pemogokan Perempuan Internasional, yang diperingati tiap 8 Maret, yang disebut dengan HPI (Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD). HPI bermula dari pemogokan 15.000 buruh perempuan menuntut kenaikan upah dan pengurangan jam kerja di New York Amerika Serikat, pada 1908. Sejak 1910, konferensi perempuan internasional menetapkan setiap 8 Maret sebagai hari peringatan menuntut pemenuhan dan peningkatan hak buruh perempuan di berbagai negara. Kami mengundang para buruh, aktivis maupun pengamat perburuhan menulis dengan bebas dan kreatif seputar pemenuhan dan pemajuan hak-hak perempuan.