Pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025, Presiden Prabowo berorasi di depan para buruh anggota KSPI, KSPSI Andi Gani, KSPSI Jumhur Hidayat dan KSBSI. Kemudian mengucapkan salah satu pernyataan yang membawa ‘angin segar’ kepada kaum buruh, yakni penghapusan sistem outsourcing. Para buruh bersorak gembira, kalau bahasa gaulnya mereka dibuat “syur” oleh Presiden. Mengetahui bahwa ada sedikit harapan mengenai sistem kerja outsourcing, yang selama ini dikeluhkan tidak adil oleh buruh di Indonesia.
Permasalahan mengenai sistem outsourcing yang buruk sudah bukan pengalaman kasus di sebagian perusahaan. Praktik outsourcing telah menjadi keadaan normal yang dialami oleh seluruh buruh di berbagai daerah Indonesia. Tidak heran, setiap buruh yang bekerja dan mendapat status outsourcing menemui banyak keluhan dan kekurangan dalam pemenuhan haknya. Termasuk hak-hak dasar seperti gaji pokok, tunjangan dasar, hingga pemenuhan hak sistem jaminan sosial yang tidak diurus oleh perusahaan tenaga alih daya.
Buruh yang telah terjerumus dalam sistem ini menjerit. Sementara para jobseeker lulusan sekolah atau perguruan tinggi mewaspadai, jangan sampai dirinya terjebak melalui mekanisme outsourcing dengan hubungan kerja kontrak.
Kenyataan di lapangan, bahkan banyak sekali praktik yang membuat buruh terjebak dan dibuat cemas karena sistem outsourcing. Mereka direkrut dengan mekanisme outsource, namun ketika bekerja melihat di sekelilingnya ada banyak rekan yang sama. Lalu mereka menyimpan harapan: bila ada kesempatan, mendapatkan penilaian perform baik oleh atasan serta perusahaan maka mereka suatu saat “akan diangkat” menjadi buruh tetap.
Permasalahan ini, menurut saya, membuat buruh outsourcing tidak punya pilihan selain berlomba merebut hati perusahaan dengan segala cara agar diangkat menjadi buruh tetap. Hal Ini terjadi, dan saya melihat sendiri, terlepas kita bisa berdebat mengenai praktik outsourcing ini apakah baik atau tidak. Tentu pembedaan definisi perbedaan buruh tetap dan outsourcing dapat kita ketahui melalui suara tuntutan buruh outsourcing.
Jika Presiden Prabowo memberikan ‘angin segar’ kepada para buruh melalui itikad penghapusan sistem outsourcing maka APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan salah satu asosiasi penyedia tenaga alih daya meradang, mempertanyakan mengapa sampai harus dihapus jika permasalahanya adalah kepatuhan terhadap regulasi. Mereka mendorong perbaikan regulasi dan pengawasan implementasi di lapangan.
Terdengar seperti kedua hal yang biasa saja, namun jika kita amati lebih dalam, sebenarnya kepentingan apa yang harus kita bela? Investor atau pengusaha, akan memberikan upah serendah-rendahnya dan buruh akan menuntut setinggi-tingginya. Sistem outsourcing menjadi kesenjangan dikarenakan perlakuan terhadap buruh tetap dan outsourcing jauh berbeda.
Fabian van Onzen dalam Service Workers in the Era of Monopoly Capital Bab 8 mengatakan:
Although the working class does not benefit from outsourcing, the capitalists reap massive profits from it. Outsourcing allows a company to reduce its labour-costs on service tasks that do not result in the production or realisation of surplus-value. By outsourcing unproductive tasks, jobs are transferred from “high-wage firms with strong promotional systems to lower-wage firms with less secure employment”. (Davis-Blake & Brochak, 2009).
Meskipun kelas buruh tidak mendapatkan keuntungan dari outsourcing, kaum kapitalis meraup keuntungan besar dari hal tersebut. Outsourcing memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya tenaga kerja pada tugas-tugas layanan yang tidak menghasilkan produksi atau realisasi nilai-lebih. Dengan mengalihdayakan tugas-tugas yang tidak produktif, pekerjaan dialihkan dari “perusahaan berupah tinggi dengan sistem promosi yang kuat ke perusahaan berupah lebih rendah dengan pekerjaan yang kurang terjamin”. (Davis-Blake & Brochak, 2009).
Dari definisi di atas seakan praktik outsourcing hanya diberlakukan di sektor jasa atau bagian-bagian nonproduktif. Namun, dewasa ini, outsourcing sudah semakin lazim bahwa posisi produktif seperti operator produksi, pengawas lapangan, hingga level supervisi dapat di-outsource atau dialihdayakan.
Pengalaman dan visi orang tua kita yang bekerja menjadi buruh tetap di perusahaan swasta atau bahkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), seakan sirna dan menyisakan posisi yang ternyata adalah outsourcing. Buruh organik, yakni yang direkrut langsung oleh perusahaan, terlebih yang telah menjadi buruh tetap (sekarang posisi ini sudah semakin langka), mendapatkan beberapa jaminan yang membuat posisinya sangat aman dibandingkan kawannya yang outsourcing. Mereka mendapat dana pensiun, bisa mendapat fasilitas pelayanan kesehatan kantor, bantuan pendidikan anak, dan sebagainya. Sisi buruknya, setelah mendapat segala kemewahan ini, mereka menjadi malas bekerja. Produktivitas menjadi menurun dikarenakan mental, “Saya sudah berada di posisi telah saya kerja keraskan sedari dahulu”, serta mendapatkan beberapa jaminan dalam karir karyawannya. Hal ini yang membuat kaum buruh semakin marah dan antagonis. Tentu para tenaga kerja outsourcing juga ingin mendapatkan fasilitas serta kemewahan serupa.
Inilah sistem kapitalisme, para borjuis dengan kekuasaannya memiliki dan mengakses kapital serta alat produksi mampu memecah belah kaum buruh. Kita dibuai dalam ketidakmampuan kita mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kita diadu dengan saudara kita sendiri, kita dijadikan contoh keteladanan semu yang buruk, demi mencapai dan angan fantasi bahwa setelah kerja keras sebagai buruh, saya bisa bermalas-malasan jika sudah jadi buruh tetap atau jadi atasan.
Inilah yang disebut kegilaan. Kaum proletar dibuat terpecah, menjadi kelompok-kelompok, kelas bawah-menengah-atas, untuk kemudian saling beradu kepentingan. Para manajer dengan pekerjanya, para buruh tetap dengan outsourcingnya, dan PNS serta buruh BUMN dengan buruh swasta. Sementara kaum borjuis menang dengan menentukan aturan Cipta Kerja bersama pemerintah, mereka mendapatkan surplus value serta akumulasi kapital untuk kemudian diinvestasikan kembali pada usaha yang lain.
Apakah kita dapat melihat bersama sampai akhir yang lebih baik? Apakah kita mampu untuk mencapai kesejahteraan bersama, sesuai dengan cita-cita awal bangsa ini didirikan?
Kaum buruh hidup berlomba mengejar karir, karena dengan karir yang meningkat bisa mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Dengan pendapatan tinggi maka akan mampu meningkatkan derajat kehidupannya. Kaum buruh hidup, dari hari ke hari, gaji ke gaji, bulan ke bulan, bahkan minggu ke minggu untuk dapat mempertahankan kehidupannya. Untuk membesarkan dirinya dan keluarganya. Insting bertahan hidup menjadi hal yang dibutuhkan dalam pertarungan ini. Ketika kehilangan pekerjaan maka kaum buruh bagaikan kehilangan segala status yang telah ia miliki tadi. Maka tidak heran jika kaum proletar kita dapat terpecah belah dan tidak terorganisir dengan baik, mereka tidak mampu menyadari kepentingan yang sama karena mereka tidak punya waktu untuk itu, mereka hanya punya diri dan pekerjaannya, demi keluarganya untuk dipertahankan dan bisa kapan saja runtuh.
Bagaimana cara menjawab persoalan outsourcing?
Jawabannya adalah: semakin banyak pertanyaan.
Bagaimana perhitungan ekonomi dan peraturan ketenagakerjaan? Berapa nilai yang seharusnya dibayar untuk pekerjaan yang di-outsource? Apakah kemampuan ekonomi kita mampu untuk membiayai produksi dan buruh?
Jika jawabannya adalah tidak maka kita akan terus menuju ke arah kapitalisme yang membusuk. Utang untuk memperbesar volume produksi ditambah merekrut tenaga kerja alih daya yang dibayar sangat murah. Perlu analisis lebih mendalam kemana arah kemajuan ekonomi ini akan bergulir, apakah akan jatuh? Atau apakah kita akan tetap mempertahankan status quo menuju kehancuran?