“Kamu yang pakai ikat kepala merah, sini,” teriak seseorang memanggilku dari mobil komando (mokom). Aku menoleh ke belakang, seperti orang bingung. Memastikan bahwa aku yang dipanggilnya.
“Sini kamu, iya kamu,” teriaknya lagi, memintaku untuk berorasi. Seketika jantungku berdebar, gugup bercampur bingung, karena aku belum pernah orasi.
“Aku gak bisa orasi,” jawabku singkat.
Panggilan itu membuat beberapa orang yang berdiri di sekitar ku tertuju padaku. Mereka bertepuk tangan meriah menyambutnya dengan teriakan: maju, maju, maju. Sekejap tepuk tangan dan teriakan itu diikuti oleh massa aksi lainnya. Beberapa orang menuntunku untuk naik ke atas mokom. Sebagian mereka mengenalku, karena kami bekerja di pabrik yang sama.
Dengan gugup dan panik aku telah berada di atas mobil komando. Seseorang penanggung jawab mokom menyambutku dengan menyodorkan microphone. “Silahkan berorasi, suarakan aspirasi dan tuntutan mu,” ucapnya. Aku benar-benar bingung harus berkata apa. Kedua kaki ku bergetar hebat, detak jantung bekerja sangat cepat, keringat dingin mulai bercucuran. Grogi tingkat dewa. Saat itu aku merasa demam panggung di mokom. Jika tidak salah aku berorasi kurang dari 5 menit. Itulah pengalaman pertama kali aku orasi.
***
Nama ku Kiky, mojang Bandung yang merantau bekerja di salah satu pabrik pembuat sepatu di Tangerang sejak 1997. Pabrik tempat ku bekerja mayoritas adalah buruh perempuan. Aku bekerja sebagai staf di bagian Human Resource Development (HRD). Karena tugasku berurusan dengan buruh, aku dikenal oleh banyak buruh di pabrik.
Ruang tempat ku bekerja berada persis dengan ruang security. Penempatan ruang HRD dan Security yang bersebelahan bukan kebetulan, tapi sengaja dirancang untuk memudahkan kami menjalankan tugas pekerjaan pengawasan.
Ketika bel berbunyi, tanda jam pulang kerja tiba, aku selalu berdiri tepat di gerbang pabrik sambil mengawasi petugas security melakukan chek body. Jika ditemukan ada buruh yang membawa barang milik perusahaan, aku turun tangan untuk menindaknya secara tegas. Sanksi yang diberikan berupa pemecatan hingga diteruskan ke pihak yang berwajib (polisi) sebagai tindak pidana.
Ketegasan ku dalam memberikan sanksi kepada buruh yang melanggar aturan perusahaan, membuat pihak perusahaan menunjukku sebagai ketua serikat buruh di tempatku bekerja.
Selama aku menjabat sebagai ketua serikat buruh, perusahaan memberikan fasilitas mobil serta uang tambahan yang nilainya tiga kali lipat dari upah yang aku terima. Itu yang membuat gaya hidupku mewah layaknya seorang manajer perusahaan.
Suatu hari, aku sedang melakukan genba1 bersama seluruh supervisi dan manajemen pabrik, karena akan ada kunjungan dari pihak buyer. Saat itu, aku melihat seorang operator sewing yang bekerja sambil menangis. Usianya sekitar 35 tahun. Aku menghampiri operator tersebut, “kamu kenapa? Sedang sakit kah?,” tanyaku dengan nada keras.
“Nggak bu, saya gak apa-apa,” jawabnya dengan terbata-bata. Aku tetap berdiri di sampingnya dan menatapnya dengan tajam. Semakin aku tatap tajam, ia semakin menunduk, perlahan tubuhnya mulai gemetar dihadapan ku.
Di tengah supervisor dan manajer melanjutkan genba, aku terus memperhatikan operator tersebut. Aku menangkap ada beban berat yang sedang dirasakannya. Aku membaca id card yang menempel disaku bajunya. Namanya Lastri.
Sekira lima menit aku memperhatikannya, dia menghentikan pekerjaannya dan terus menundukkan kepala. Tampak air matanya menetes membasahi bajunya. Suara tangisnya hampir tak terdengar, hanya nafasnya terdengar sesenggukan. Melihat kondisi bu Lastri yang tampaknya takut dengan tatapanku, aku mengubah caraku bertanya.
“Ada apa dengan ibu? Yuk cerita bu,” tanyaku lagi, dengan nada tanya yang sudah kuturunkan sembari merangkul bahunya.
Nada tanyaku yang pelan membuatnya merasa lebih ringan. Tetiba ia berdiri, menangis dan langsung memelukku. Awalnya aku merasa risih karena baju yang dikenakannya kotor, sedikit basah karena keringat sehingga menimbulkan bau yang kurang sedap ketika dia memeluk ku. Namun karena ia terus menangis dipelukanku aku mencoba meresponnya dengan menepuk bahu kanannya, memastikan ia bisa menceritakan apa yang dialaminya. Setiap tepukan ku membuatnya memelukku semakin erat beberapa saat.
“Orang tua saya meninggal dunia bu,” ucapnya terbata-bata sambil menangis.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” ucapku spontan.
“Kenapa ibu tidak izin pulang?” tanyaku lagi.
“Aku sudah meminta izin untuk pulang bu, tapi leader saya pak Joko tidak mengizinkannya, dia bilang kepada saya: ibu kerja saja nanti saya (pak Joko) mintakan sumbangan kepada seluruh buruh,” jelas bu Lastri yang menceritakan kenapa ia bersedih.
Mendengar hal tersebut aku sangat marah. Rasanya sangat sakit jika harga nyawa keluarga ditukar dengan sumbangan yang nominalnya tidak seberapa. Bagiku ini sangat keterlaluan.
“Sudah, sekarang ibu silahkan pulang, aku yang bertanggung jawab dengan pekerjaan ibu,” ucapku menyuruhnya segera pulang untuk menghadiri pemakaman ayahnya.
“Terima kasih bu, sudah mengizinkan saya pulang,” ucapnya sembari mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Setelah beberapa barang di meja sewing ia rapikan, ia bergegas pulang dan aku pun segera menemui pak Joko.
Dengan perasaan marah aku masuk masuk ke office bagian produksi yang merupakan ruang kerja pak Joko. Ketika pintu aku buka, aku melihat pak Joko sedang duduk di meja kerjanya yang berada tepat di sudut ruangan. Tanpa basa basi aku langsung menegur pak Joko.
“Maksud pak Joko apa, tidak mengizinkan bu Lastri pulang, sedangkan orang tua beliau meninggal dunia?!” ucapku dengan suara agak tinggi. Beberapa staf lainnya kaget aku datang dengan tiba-tiba sembari mencecar pertanyaan kepada pak Joko.
Belum sempat pak Joko menjawab, aku kembali mencecarnya. “Di mana hati nurani bapak? Orang tua meninggal tidak diberikan izin!” cecarku. Suasana ruangan saat itu hening, semua mata tertuju padaku. Terlihat muka pak Joko agak panik dengan kedatanganku.
“Ini instruksi dari atasan saya bu,” jawab pak Joko dengan gugup.
Mendengar jawaban itu, aku terdiam sejenak. Serasa tak percaya apakah ini perlakuan pimpinan yang kerjanya duduk manis di depan komputer tanpa pernah memperhatikan kondisi kerja buruhnya. Ironis sekali.
Setelah mendengar jawaban pak Joko, tanpa sepatah kata, aku berbalik arah, melangkah ke luar sembari membanting pintu ruang office sebagai bentuk luapan emosiku.
Entah mengapa saat itu aku merasa air mata bu Lastri seperti memberikan cahaya petunjuk bagi ku. Selama ini akui bersikap ‘masa bodo’ dengan kondisi buruh di pabrik, namun kali ini aku menjadi sangat peduli.
***
Keesokan harinya, aku kedatangan tamu dari pengurus serikat buruh tingkat pusat. Mereka membawa kabar yang membuatku cukup kaget: aku dipecat dari ketua serikat buruh di pabrik tempat aku bekerja tanpa alasan yang jelas. Aku bertanya dalam hati kecilku “apakah cara pemecatanku sebagai ketua serikat hanya dengan cara lisan dan tanpa perlu alasan yang jelas? Keputusan pemecatan itu tak bisa aku bantah karena aku merasa itu keputusan dari pimpinan pusat, meskipun aku merasa ini aneh dan tidak adil.
Selang setengah jam setelah pengurus serikat pusat pergi, seorang staf HRD lainnya datang ke ruangan ku. Dia menyampaikan bahwa pimpinan HRD meminta aku untuk menghadapnya. Tanpa pikir panjang aku segera menemui pimpinanku.
Belum reda rasa kaget terhadap pemecatanku dari ketua serikat, manajer HRD memberikan surat mutasi kepadaku. Aku dimutasi ke bagian staf produksi hari itu juga.
Tak hanya itu, manajer HRD juga memberikan surat pencabutan fasilitas yang selama ini aku terima dari perusahaan. Alasannya pencabutan fasilitas itu karena aku sudah tidak menjabat sebagai ketua serikat lagi. Namun yang tidak aku pahami adalah kenapa aku harus dimutasi. Aku pun mempertanyakan itu. “Pak bolehkan aku tahu alasan kenapa bapak memutasi saya,” tanyaku.
“Maaf bu, ini perintah atasan, saya hanya menjalankan perintah saja,” jawabnya singkat. Ia tak menjelaskan apapun kecuali menjalankan perintah atasan. Jawaban tak memuaskan itu membuatku yakin bahwa perlakuan tak adil kepada ku ini ada sangkut pautnya dengan pembelaan ku terhadap bu lastri kemarin. Bahkan aku menduga ini juga didukung oleh kongkalikong antara pengusaha dengan serikat buruh. Lagi-lagi aku tak punya keberanian untuk membantah perintah atasan, dengan lapang dada aku mencoba menerima perintah mutasi tersebut.
***
Januari 2013 adalah hari pertama aku masuk kerja di departemen produksi, tempat di mana aku dimutasi. Hampir semua operator menatap sinis kepada ku, kecuali bu Lastri. Mungkin karena merasa pernah aku tolong dia jadi sangat ramah kepada ku. Bu lastri adalah salah satu operator senior sehingga dia sangat dihargai oleh operator lainnya.
Suatu ketika aku berkeliling di area produksi, tiba-tiba hampir seluruh operator meneriaki aku dengan nada mengejek: “huuuuuh”. Bahkan sebagian operator laki-laki memukul alat kerja mereka hingga terdengar seperti sedang menabuh gendang.
Aku sangat memahami, teriakan dan ejekan itu adalah balasan mereka pada ku. Karena aku pernah memperlakukan mereka dengan kasar dan tak peduli dengan kondisi kerja mereka di ruang produksi ketika aku masih menjadi staf HRD. Perlakuan itu membuat hati kecilku berteriak: “Maafkan aku, karena selama ini aku bersikap kasar dan acuh terhadap para kalian, tapi aku hanya menjalankan tugasku.” Aku harus menerima semua ini dengan lapang dada, meskipun aku sering pergi ke toilet hanya untuk mengusap air mata karena perlakuan itu dan menyakinkan diri bahwa aku harus kuat dengan situasi ini.
Aku mulai berusaha menjalin komunikasi dengan Bu Lastri — mulai dari menanyakan proses produksi hingga mendengarkan berbagai keluhan para operator. Perlahan, aku pun mulai mengenal satu per satu operator di bagian produksi. Usahaku mendekati Bu Lastri ternyata tidak sia-sia; ia menceritakan kepada rekan-rekan produksi bahwa aku pernah membantunya saat orang tuanya meninggal dunia.
***
Suatu hari, aku sedang makan di kantin bersama Bu Lastri. Tepat di depan kami duduk seorang buruh perempuan bernama Ani. Pandanganku tertuju pada bajunya—di bagian kantong kanan dan kiri tampak noda berwarna kecoklatan. Karena penasaran, aku memberanikan diri bertanya, “Ani, kenapa kantong bajumu ada noda kecoklatan seperti itu?”
Ani tersenyum tipis lalu menjawab, “Maklum, Teh, aku sedang menyusui. Anakku baru berusia tiga bulan, tapi di pabrik ini tidak ada tempat khusus untuk memerah ASI.” terangnya padaku. Hatiku terasa perih mendengar jawabannya. Dengan nada bergurau aku berkata, “Perempuan benar-benar ditindas, bahkan sangat tertindas oleh sistem kapitalis.”
Sejak saat itu, aku mulai mencatat berbagai permasalahan besar yang dihadapi para buruh di pabrik. Setelah mengumpulkan banyak keluhan, aku menyadari bahwa persoalan utama yang paling dirasakan adalah sistem kerja outsourcing. Aku kemudian berdiskusi dengan beberapa kawan di bagian produksi yang kini mulai terbuka padaku. Dalam diskusi itu, muncul ide luar biasa dari Bu Lastri. Ia berkata, “Bagaimana kalau kita membentuk serikat buruh tandingan yang benar-benar memperjuangkan kepentingan buruh?”
Usulan itu disambut dengan semangat luar biasa oleh kawan-kawan buruh. Namun, aku sempat terdiam. Ingatanku melayang pada masa ketika aku dulu menjadi ketua serikat buruh—saat itu serikat hanya dijadikan alat untuk kepentingan individu. Kami jarang mengadakan rapat koordinasi, tidak pernah membuat program perjuangan yang nyata. Semua berbanding terbalik dengan semangat yang kulihat hari ini dari rekan-rekan buruh. Aku merasa terharu sekaligus bangga pada mereka.
Tiba-tiba Ani menyapaku, “Eh, Mbak, gimana? Setuju nggak? Kok bengong?”
Aku tersadar dan menjawab, “Oh iya, iya, aku setuju,” ucapku.
Akhirnya, kami semua sepakat untuk membentuk serikat buruh baru. Kami juga memutuskan bergabung dengan serikat yang rutin mengadakan pendidikan bagi para anggotanya. Bagi kami, pendidikan adalah alat kontrol penting agar setiap anggota bisa memahami peran dan tanggung jawabnya, mengawasi kerja pengurus, serta memberikan kritik dan saran yang membangun.
***
Dalam sebuah rapat akbar serikat, aku terpilih sebagai ketua serikat buruh. Saat itu, jumlah anggota yang terdaftar mencapai 500 orang. Langkah awal kami adalah melakukan pencatatan serikat ke Dinas Tenaga Kerja, namun prosesnya tidak mudah. Kami dipersulit dalam memperoleh nota pencatatan serikat, menghadapi intimidasi dari preman bayaran pabrik, serta tekanan dari pihak manajemen yang mengancam akan dipecat bagi siapa pun yang bergabung dengan serikat kami. Bahkan, ada pula tawaran berupa imbalan materi yang ditujukan kepadaku agar aku mundur dari perjuangan ini.
Namun, berkat tekad yang kuat dan solidaritas yang kokoh dari para anggota, akhirnya kami berhasil mendapatkan nota pencatatan tersebut. Itu menjadi kemenangan kecil yang sangat berarti bagi kami, khususnya bagiku. Kemenangan itu menumbuhkan keyakinanku bahwa dengan semangat juang dan kolektivitas, kami bisa memperjuangkan apa pun yang menjadi hak buruh.
Setelah itu, kami mulai menyusun strategi untuk menuntut agar seluruh buruh di pabrik diangkat menjadi buruh tetap. Proses bipartit pertama, kedua, dan ketiga sudah kami jalani, namun pihak perusahaan tetap menolak seluruh tuntutan kami. Akhirnya, pada bulan Oktober 2003, kami memutuskan untuk melakukan aksi mogok kerja besar-besaran. Saat itu, jumlah anggota kami telah bertambah menjadi 1.300 orang.
Aku bersama Bu Lastri mengoordinasikan aksi tersebut — aku berada di luar pabrik bersama kawan-kawan dari berbagai pabrik lain yang datang bersolidaritas untuk kami, sementara Bu Lastri memimpin kawan-kawan yang berada di dalam pabrik. Tepat pukul 08.00 WIB, kami tiba di depan pabrik dengan mokom dan konvoi sepeda motor lengkap dengan atribut serikat. Namun, di hadapan kami sudah berjajar sekitar 500 personel kepolisian dengan dua mobil barakuda yang siap siaga.
Massa aksi tumpah ruang di depan gerbang pabrik. Satu per satu perwakilan serikat buruh dari berbagai basis bergantian berorasi. Sekitar tiga puluh menit aku menunggu kabar dari Bu Lastri dan kawan-kawan di dalam, perasaanku dipenuhi kecemasan. Aku khawatir mereka mendapat tekanan hebat dari pihak manajemen.
Di tengah kecemasan itu, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal: “Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!” Seketika aku merinding. Tak lama kemudian, salah satu kaca gedung pabrik pecah akibat lemparan benda keras dari dalam. Ternyata, seluruh buruh di dalam gedung keluar sambil meneriakkan, “Hidup buruh! Hidup buruh!” yang dikomandoi oleh Bu Lastri.
Situasi menjadi tegang. Polisi mulai menunjukkan kesiagaannya, sementara semangat kami di luar gerbang semakin membara. Kami berusaha merangsek masuk ke area pabrik, hingga akhirnya terjadi dorong-mendorong antara buruh dan aparat. Dalam kekacauan itu, aku terkena pukulan di bagian pelipis mata hingga mengeluarkan darah. Meski terluka, pandanganku tetap tajam menatap polisi yang memukulku — wajahnya masih jelas kuingat sampai hari ini.
Akhirnya, sejarah pun tercipta. Seluruh buruh di tempatku bekerja resmi diangkat menjadi buruh tetap tanpa terkecuali. Kemenangan itu menjadi bukti nyata dari perjuangan panjang yang penuh air mata, keberanian, dan kebersamaan. Sungguh, saat itu kami merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan — hasil dari tekad dan solidaritas yang kami bangun bersama.Aku semakin meyakini bahwa hanya kekuatan massa yang mampu mengubah keadaan dan melawan ketidakadilan. Kini, aku terus melanjutkan perjuangan itu dengan aktif di organisasi tingkat federasi, membawa semangat yang sama: bahwa perubahan hanya akan lahir dari kesadaran kolektif dan persatuan buruh.