MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Gerakan Buruh Indonesia di Simpang Jalan (Bagian 1)

Pendahuluan[1]

Persepsi atau konsepsi tentang peranan buruh dalam pembangunan ekonomi dipengaruhi oleh; pertama, pandangan tentang konsep faktor produksi atau sumber daya dalam pembangunan; dan kedua peranan tenaga kerja dalam proses produksi barang dan jasa atau pembangunan ekonomi. Pada mulanya, tenaga kerja dipandang sebagai satu-satunya sumber daya  atau faktor produksi  yang mengisi dan membentuk nilai guna suatu barang dan jasa. Penemuan itu penting artinya, karena dengan begitu orang bisa memperkirakan nilai suatu barang yang kemudian diterjemahkan sebagai harga suatu barang. Dengan mengetahui nilai atau harga suatu barang  maka dapat dilakukan pertukaran atau perdagangan.

Dalam perkembangannya kemudian timbul konsep fungsi produksi, di mana diketahui bahwa tidak hanya kerja manusia saja yang membentuk nilai suatu barang dan jasa, melainkan juga modal. Lalu, timbul perincian lebih lanjut mengenai unsur-unsur  kerja  maupun modal. Dengan berkembangnya kompleksitas ekonomi, baik mikro maupun makro, maka yang disebut sumber daya itu bertambah jenis dan variasinya, termasuk terakhir ilmu pengetahuan dan teknologi juga disebut sumber daya, malah sekarang dianggap sebagai yang terpenting.

Sungguh pun begitu, pada dasarnya berbagai pandangan itu memilih dua sumber daya yang dianggap paling utama dalam proses produksi dan pembangunan ekonomi, yaitu  tenaga manusia dan modal. Ilmu ekonomi konvensional pada dasarnya memandang kedua faktor itu dalam hubungan komplementer dalam proses produksi dan pembangunan ekonomi, tapi aliran Marxis melihatnya dalam hubungan kontradiktif. Perbedaan pendapat mengenai titik berat dan mana yang terpenting menentukan suatu sistem ekonomi. Pandangan bahwa yang terutama adalah tenaga kerja melahirkan sistem sosialis, sedangkan jika yang menjadi titik-berat adalah modal, melahirkan sistem kapitalis.          

Pemikiran  yang  bertitik  tolak  dari  keutamaan tenaga kerja melahirkan gerakan buruh di seluruh dunia dalam berbagai variasi dan kontradiksinya. Gerakan buruh pertama lahir di Eropa sebagai reaksi terhadap proses urbanisasi tenaga kerja yang merupakan konsekuensi dari proses industrialisasi abad ke 19. Perubahan sosial inilah yang melahirkan dua jenis organisasi,  pertama adalah partai politik berhaluan sosialis di Jerman yang revolusioner; dan kedua gerakan buruh di Inggris yang reformis. Partai  sosialis  yang  revolusioner  ingin mencapai  tujuan gerakan buruh melalui perubahan-perubahan politik yang radikal, bahkan revolusi. Sedangkan gerakan buruh yang reformis dituntun oleh kepentingan ekonomi, misalnya tingkat upah, kondisi kerja dan jaminan sosial yang lebih luas. Paham kedua itu lazim juga disebut sebagai trade unionism, yaitu paham organisasi yang misinya adalah melakukan perundingan-perundingan secara kolektif guna memperjuangkan kepentingan ekonomi buruh.

Dasar Teori Peranan Buruh

Adalah John Locke (1632-1704), seorang filsuf sosial Inggris yang pertama kali mengemukakan pendapat dalam bukunya “Second Treatise of Government”  (1681) bahwa nilai yang terkandung dalam suatu barang berasal dari tenaga kerja yang masuk ke dalam proses pembuatannya. Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh David Ricardo (1772-1823), juga seorang pemikir ekonomi Inggrisyang dikenal pendapatnya sebagai “teori  nilai  tenaga kerja”, bahwa harga suatu barang atau jasa itu pada dasarnya ditentukan oleh kuantitas tenaga kerja yang dimasukkan kedalam proses produksi. Sungguhpun begitu, ia berpendapat bahwa modal punya pengaruh pada harga. Atas dasar sumbangannya itulah maka seseorang berhak terhadap suatu penghasilan. Berdasar kontribusinya pada proses produksi itulah Ricardo akhirnya menyimpulkan adanya tiga kelompok masyarakat yang berhak mendapat bagian dalam distribusi pendapatan masyarakat, yaitu pemilik tenaga kerja yang berhak atas upah, pemilik modal yang berhak atas laba dan pemilik tanah yang berhak atas sewa tanah. Dalam perkembangan teori ekonomi kemudian, harga dan penghasilan masih dipengaruhi oleh faktor lain di luar produksi, yaitu proses pertukaran yang merupakan interaksi antara kekuatan persediaan dan permintaan yang melembaga dalam mekanisme pasar.

Dalam teori distribusi pendapatan itu tidak terkandung pengertian tentang mekanisme eksploitasi suatu kelas atas kelas lain. Adalah Karl Marx (1818-1883) yang “menemukan” mekanisme eksploitasi dalam proses produksi barang dan jasa. Teori eksploitasi itu berangkat dari teori Ricardo tentang nilai yang berasal dari tenaga kerja. Menurut Marx, memang ada sumbangan terhadap proses produksi, baik dari buruh maupun pemilik modal. Tetapi dalam sistem kapitalis, majikan membeli tenaga kerja tersebut dari pasar tenaga kerja yang nilainya sebesar biaya hidup. Padahal nilai barang yang dibuat oleh tenaga kerja lebih tinggi dari ongkos hidup. Kelebihannya, yang disebut nilai lebih itu diambil oleh kapitalis atau majikan. Teori nilai lebih inilah yang menjelaskan proses eksploitasi oleh kelas majikan atas kaum buruh.

Menurut pandangan Marx, tujuan setiap ekonomi adalah menciptakan nilai guna pada  setiap barang dan jasa. Baginya, semua barang dan jasa yang memiliki nilai guna diproduksi oleh tenaga kerja. Konsekuensinya, lamanya tenaga kerja yang dicurahkan untuk produksi menentukan nilai tukar barang, karena tidak semua barang dan jasa diproduksi untuk konsumsi sendiri, melainkan sebagian, bahkan sebagian besar dipertukarkan dengan barang dan jasa lain. Tapi Marx lupa bahwa harga barang itu ditentukan oleh banyak faktor, selain banyaknya tenaga kerja yang dipakai, juga oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar.

Dengan demikian, Marx telah menyederhanakan proses produksi dengan mengakui dua faktor produksi, yaitu  buruh dan modal. Penyederhanaan ini bukan dilakukan oleh Marx saja, tetapi juga oleh ekonom konvensional seperti Harrod (l.1900) dan Domar (l.1914) dalam merumuskan teori fungsi produksi atau teori pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi dua faktor produksi saja, yaitu buruh dan modal. Hanya saja diasumsikan bahwa dalam modal terkandung  unsur-unsur seperti modal finansial, mesin, bahan baku dan seterusnya. Selanjutnya, dalam teori manajemen, dikemukakan adanya berbagai faktor produksi atau sumber daya yang lebih rinci lagi, yaitu sumber daya alam (termasuk tanah), sumber daya manusia (termasuk jumlah tenaga kerja kasar, teknisi, kaum profesional, wiraswasta), teknologi, prasarana fisik, ilmu pengetahuan, energi, bahkan juga nilai budaya sosial. Maksud perincian itu adalah pertama, untuk mengatakan bahwa proses produksi tidak sederhana dan kedua, masing-masing kelompok berhak memperoleh bagian dari penghasilan dalam rangka sumbangannya terhadap proses produksi dan pertukaran.

Sejalan dengan simplifikasinya terhadap proses produksi, Marx juga melakukan simplifikasi terhadap kelas. Dalam pamfletnya yang terkenal  “Manifesto of the Communist Party” (1848) ia membuka wacananya dengan suatu statemen bahwa “sejarah masyarakat yang berlangsung selama ini adalah sejarah perjuangan kelas”. Dalam penyederhanaannya, ia menyebut dua kelas saja, yaitu kelas penindas dan kelas yang tertindas, misalnya manusia merdeka terhadap budak, kaum feodal pemilik tanah terhadap petani dan pada masa industri kelas borjuis terhadap kelas buruh. Perjuangan kelas itulah yang merupakan motor penggerak sejarah yang berkembang dari satu tahap ke tahap yang lain yang ditandai oleh cara produksi yang berbeda. Menurut definisi Marx, kelas borjuisadalah kelas kapitalis modern, pemilik sarana produksi sosial dan majikan dari buruh. Sedangkan kaum proletar adalah kelas buruh modern penerima upah yang tidak memiliki sarana produksi yang merosot derajatnya dengan menjual tenaga kerja untuk bisa bertahan hidup.

Kesimpulan mengenai dua kelas yang berhadapan secara antagonistis itu oleh Marx  didasarkan pada kondisi masyarakat kapitalis industrial, khususnya pada abad ke-19 di Eropa Barat. Tapi mestinya makin berkembang masyarakat, makin kompleks pembagian kelasnya, sebagaimana disimpulkan oleh sosiolog Jerman, Marx Weber (1864-1920). Dalam hal ini Weber menyimpulkan adanya empat kelas dalam masyarakat modern, yaitu kelas pemilik, kaum terpelajar, kelas administratif dan manajerial, kelas borjuis kecil tradisional yang terdiri dari pengusaha kecil dan pedagang pemilik toko dan kelas buruh. Penggolongan kelas ini tidak berkaitan dengan teori distribusi pendapatan. Tapi penggolongan ini didasarkan pada perbedaan ekonomi dari sudut kapasitas pasar sehingga menimbulkan “kesempatan hidup” yang berbeda, yaitu distribusi imbalan berupa barang material dan barang kultural yang sifatnya tidak-simetris yang mencerminkan perbedaan akses antarkelas terhadap barang dan jasa. Demikian pula tidak terkandung teori eksploitasi suatu kelas atas kelas yang lain. Namun Weber juga mengatakan bahwa di antara kelas-kelas itu terdapat hubungan konfliktual karena perbedaan kepentingan, misalnya saja antara buruh dengan para manajer, berbeda dengan pandangan Marx yang melihat konflik mendasar itu hanya terjadi antara buruh dan majikan.          

Memang sebenarnya Marx juga mengakui adanya kelas-kelas yang tidak masuk ke dalam kategorinya, misalnya petani miskin dan pemilik kecil, tetapi kelas itu hanyalah sisa-sisa dari masyarakat tahap prakapitalis yang akan segera lenyap dengan makin masaknya sistem kapitalis.

Marx memang mempunyai pengertian tersendiri mengenai kelas. Kelas, baginya bukan sekedar cara untuk menggambarkan posisi ekonomi dari berbagai kelompok, karena Marx melihat kelas sebagai suatu kolektivitas dan kekuatan sosial yang nyata dengan kemampuan mengubah masyarakat. Dorongan yang tak mengenal berhenti dari kaum kapitalis untuk mencetak keuntungan akan mendorong ke arah eksploitasi terhadap kaum proletariat sehingga meningkatkan proses pemiskinan. Dalam situasi seperti itu, maka akan tumbuh di kalangan proletariat suatu kesadaran kelas, sehingga proletariat akan tumbuh dari “kelas dalam dirinya” sendiri, yaitu kelas menurut pengertian ekonomi yang tidak memiliki kesadaran kelas untuk menjadi kelas “untuk dirinya” yang membentuk kelas buruh dengan wawasan kesadaran kelas, yaitu sebuah pandangan hidup yang bersedia menghadapi konflik dan perjuangan kelas melawan kelas kapitalis.

Gerakan Buruh dan Partai Politik

V.I. Lenin (1870-1924) adalah seorang Marxis Rusia yang mengembangkan teori Marx secara lebih kreatif. Baginya, berbeda dengan pandangan Marx, pertumbuhan dari kelas proletariat dalam dirinya sendiri menjadi proletariat untuk dirinya sendiri dengan kesadaran kelas, tidak terjadi secara otomatis. Jika proletariat dibiarkan berkembang sendiri, maka sudah jelas proletariat lama kelamaan akan mengadop ideologi kaum borjuasi. Pada 1905 Lenin menulis bahwa kelas buruh itu secara instingtif dan spontan cenderung kepada paham sosial-demokrasi yang reformis. Karena itu proletariat tidak boleh dibiarkan berkembang sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah partai pelopor yang revolusioner, yang bersifat massa maupun rahasia, untuk bekerja di lingkungan kaum buruh dengan tugas menanamkan kasadaran atau  ideologi  sosialis.  Pandangan   ini  dikemukakan dalam tulisannya yang berjudul “Reorganization of the Party” 1905. Padahal Lenin pada 1899, dalam buku “The Development of Capitalism in Russia” telah mengikuti pandangan Plekhanov bahwa Rusia pada waktu itu telah menjadi kapitalis, tetapi karena kelas borjuasi yang lemah, maka masalahnya tergantung pada proletariat sendiri untuk memilih jalan revolusi demokrasi. Namun, Revolusi 1905 telah mengubah pandangan Lenin secara radikal menuju kepada revolusi “kediktatoran demokratik” yang didukung oleh proletariat dan petani kecil, padahal sebelumnya, Lenin beranggapan bahwa petani kecil itu berkecenderungan reaksioner, namun, dalam tuntutannya terhadap tanah, petani bisa bersikap dan bertindak revolusioner.

Berdasarkan analisisnya mengenai perkembangan kapitalisme secara menyeluruh dengan cermin Eropa Barat dan kapitalisme di Rusia sendiri, maka teori Lenin mengenai revolusi sudah “menyimpang” dari pandangan Marx. Menurut Marx, revolusi sosialis akan terjadi pada perekonomian kapitalis yang matang yang dilaksanakan kaum proletar yang mengalami proses kemiskinan. Tapi dengan kasus perkembangan kapitalisme yang lambat, karena lemahnya kelas borjuasi di satu pihak dan mengubahnya sikap petani dari reaksioner ke revolusioner di lain pihak, Lenin memutuskan untuk memimpin sebuah revolusi di Rusia, negara di mana terdapat mata rantai kapitalisme yang paling lemah. Revolusi Februari 1917 adalah revolusi kaum petani kecil yang menuntut tanah.  Sementara  itu,  Kapitalisme di tingkat  global masih terus bertahan, bahkan berkembang, menjadi Imperialisme yang merupakan “tahap tertinggi kapitalisme”. Teori itu ditulisnya menjelang Revolusi Oktober 1917, dalam bukunya yang sangat terkenal “Imperialism, the Highest Stage of Capitalism”. Teori itu hingga kini menjadi penjelasan mengapa kapitalisme masih bisa hidup hingga sekarang dan mengapa globalisasi dianggap sebagai bentuk baru imperialisme dan kapitalisme.

Lenin juga ”menyeleweng” dari teori Marx tentang negara. Menurut Marx, setelah terjadi revolusi sosialis, maka melalui tahap transisi menuju komunisme, akan terjadi lenyapnya negara, karena dalam masyarakat tanpa kelas, negara tidak diperlukan lagi. Di sini, pandangan Marx sejalan dengan paham libertarian. Dalam pola perkembangan ini, masyarakat bertumpu pada organisasi komune di tingkat akar rumput. Tapi, melihat perkembangan yang nyata dari kelas buruh, Lenin mengeluarkan teori baru tentang perlunya dibentuk lembaga “kediktatoran proletrariat” (dictatorship of the proletariat) yang identik dengan negara pada struktur formal.  Selain itu pada struktur informal, diperlukan sebuah partai bagi dan untuk memimpin proletariat, yaitu partai komunis yang juga bertugas untuk mengontrol negara yang mengalami masa transisi dari sosialisme ke komunisme. Pemikiran dan tindakan Lenin dalam membangun negara komunis pertama di dunia itu, oleh pemikir Marxis George Lukacs disebut (1924) sebagai “real politic revolusioner… sesuatu yang konkret, tidak berkerangka, tidak mekanistis dan secara murni  merupakan praxis”.

Teori Lenin yang tumbuh dalam konteks perkembangan kapitalisme di Rusia dan ”menyimpang” dari teori Marx memberikan landasan teori pada dua model, yaitu model negara sosialis dan model gerakan buruh dalam wadah partai politik yang revolusioner. Apabila Lenin memberikan penjelasan teoritis terhadap bertahannya kapitalisme dengan teori imperialismenya, maka berbagai perkembangan dan kejadian di negara-negara kapitalis mempunyai penjelasan sendiri, mengapa kapitalisme bertahan dan bahkan berkembang terus yang sekarang berwujud globalisasi tersebut yang pada hakekatnya adalah berkembangnya sistem ekonomi pasar bebas.  Salah satu penjelasan  yang cukup populer adalah bahwa kapitalisme itu memunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri, termasuk menerima atau menyerap ide-ide sosialis.

Perkembangan  dalam  Kapitalisme

Beberapa perkembangan yang memperkuat kemampuan hidup kapitalisme antara lain dan terpenting adalah gagasan mengembangkan peranan negara dalam mengatasi resesi ekonomi sebagaimana tergambar dalam teori John Maynard Keynes (1883-1946). Dalam teori baru tersebut yang menurut Galbraith masih dalam kerangka sistem pasar, peranan negara akan meningkat melalui investasi-investasi guna menciptakan lapangan kerja manakala perekonomian mengalami resesi dan menimbulkan banyak pengangguran, tetapi ketika terjadi perkembangan maka peranan negara menyurut kembali.

Perubahan yang sebenarnya menyerap  gagasan sosialis adalah berkembangnya ideologi Negara Kesejahteraan, di mana pemerintah bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan warga negaranya yang tidak dapat dipercayakan kepada individu, masyarakat lokal maupun perusahaaan swasta. Di sini Negara Kesejahteraan memberikan perlindungan kepada warga negara dari kemiskinan dengan cara memberikan  dana pengangguran, bantuan keluarga, tambahan pendapatan kepada mereka yang penghasilannya rendah, pensiun hari tua, demikian pula bantuan perawatan kesehatan yang komprehensif, bebas biaya pendidikan dan perumahan umum.

Tapi semua pelayanan pemerintah itu tetap dijalankan dalam sistem  pasar, misalnya melalui skema-skema asuransi, selain melalui pajak yang ditarik dari perusahaan, lembaga dan individu yang memiliki kekayaan atau mendapatkan penghasilan. Program kesejahteraan yang komprehensif di Inggris, pertama kali dilaksanakan oleh pemerintahan partai buruh pada 1945-1950. Negara-negara Eropa Barat, Skandinavia, Australia dan Selandia Baru, memiliki program-program kesejahteraan komprehensif yang maju, di banding dengan AS dan Jepang yang jauh tertinggal dalam pelayanan kesejahteraan. Di dua negara tersebut tingkat kesejahteraan diciptakan di tingkat mikro, melalui mekanisme perusahaan.

Di tingkat perusahaan di negara-negara bersistem kapitalis, telah pula terjadi penyesuaian-penyesuaian diri yang mengurangi potensi konflik (dalam pengertian Weber) atau perjuangan kelas (dalam pengertian Marx). Pertama adalah apa yang disebut oleh J. Burnham sebagai The Managerial Revolution (1941). Dalam revolusi manajerial tersebut, saham tidak lagi dimiliki oleh beberapa orang individu kapitalis, tetapi dijual pada banyak orang sebagai pemilik saham kecil-kecil yang jumlahnya banyak. Selain itu, dengan berkembangnya model joint-stock company di satu pihak dan lembaga-lembaga keuangan di lain pihak, maka perusahaan-perusahaan tidak hanya bisa dimiliki oleh individu, melainkan juga oleh badan-badan pemilik dana, misalnya lembaga dana pensiun, lembaga asuransi bahkan juga organisasi buruh atau koperasi. Hal ini mengubah hubungan kelas dari sifat antagonistis ke nonantagonistis. Juga pimpinan perusahaan telah beralih dari kelas kapitalis lama kepada kaum manajer profesional. Mereka tidak begitu berorientasi pada pencapaian laba sebesar-besarnya semata-mata, melainkan lebih bertanggung-jawab secara sosial. Sementara itu ilmu manajemen juga berkembang ke arah yang lebih manusiawi dan partisipatif, sehingga mengurangi konflik antara buruh dan majikan.

Sebagaimana dikatakan oleh Weber, terjadi pembagian dan pengalihan konflik dari buruh dengan kapitalis pemilik kepada buruh dengan manajer. Berkat berkembangnya ilmu manajemen dan etika bisnis, maka konflik-konflik menjadi kurang ideologis, dan menjadi lebih teknis. Dengan perkataan lain, konflik-konflik itu dapat diselesaikan secara teknis melalui perundingan-perundingan antara buruh dan manajemen, walaupun masih bisa mempergunakan kekuatan-kekuatan sosial-politik. Di Jepang modern sekarang ini, berkembang pula metode pertemuan harian antara buruh dan manajemen untuk memecahkan masalah-masalah perusahaan secara kekeluargaan, dengan asumsi bahwa perusahaan adalah sebuah keluarga besar; di mana buruh mendapatkan pekerjaan seumur hidup.

Kedua adalah perkembangan di kalangan buruh sendiri yang menurut Lenin punya kecenderungan sosial-demokratis dari pada sosialis-revolusioner. Secara naluriah dan spontan, kaum buruh mulai mengadopsi nilai-nilai borjuis. Bahkan di Inggris sendiri terjadi suatu proses “borjuasisasi”, yaitu pengadopsian nilai-nilai dan gaya hidup kelas menengah yang menjelaskan mengapa terjadi penurunan dukungan kelas buruh terhadap perjuangan radikal dan revolusioner. Selain itu di berbagai tempat di Inggris timbul kelompok-kelompok yang disebut “buruh makmur” dan kelas buruh baru yang terdiri dari buruh dengan keterampilan atau kemampuan teknologi lebih tinggi yang tentu saja akan sangat mengurangi sifat revolusioner mereka. Di kalangan gerakan buruh timbul pula gejala aristokrasi buruh yang aspirasinya mendekati kelas borjuis.[]


[1] Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Arifin, et.all (ed.) Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah. Sawit Watch, Kepik, LIPS. Bogor. 2012.

Penulis

M. Dawam Rahardjo