MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Ojol Adalah Pekerja, Bukan Mitra!

Dalam beberapa tahun terakhir banyak media melaporkan bahwa perusahaan transportasi berbasis aplikasi telah mencatat keuntungan yang luar biasa dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dua raksasa perusahaan transportasi berbasis aplikasi, Gojek dan Grab, mengatakan setiap tahun mereka berkontribusi puluhan triliun untuk pembangunan ekonomi masyarakat. Indonesia memang merupakan pasar yang menggiurkan bagi sektor transportasi berbasis aplikasi karena banyaknya tenaga kerja muda pengguna internet. Respon pemerintah di satu sisi memberikan insentif untuk investasi dan di sisi lain menghindari peraturan ketat tentang hubungan kerja juga berkontribusi pada pesatnya pertumbuhan sektor ini.

Tulisan ini akan mendiskusikan tiga hal. Pertama, bagaimana perkembangan sektor transportasi berbasis aplikasi ini ditopang sepenuhnya oleh kondisi kerja yang buruk terhadap drivernya? Kondisi-kondisi ini dimungkinkan karena perusahaan aplikator terus meningkatkan kontrol terhadap para drivernya dengan berbagai cara. Perusahaan terus menurunkan tarif dan insentif yang berdampak pada penurunan pendapatan pengemudi, serta belum adanya regulasi mengenai jam kerja layak, upah layak, dan jaminan kesehatan. Kedua, tulisan ini juga akan memaparkan beberapa dampak serius yang dialami pengemudi ojol, seperti bunuh diri, terlilit hutang, dan lain sebagainya. Ketiga bagaimana resistensi yang dilakukan oleh para driver direspon oleh pemerintah dan aplikator?

***

Peristiwa Percobaan Bunuh diri Ojol

29 Juni 2022, seorang pemuda berusia 23 tahun yang berkerja sebagai pengemudi ojek online (ojol) ditemukan meninggal dengan kepala terputus di perlintasan kereta Kali Jaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Saat ditemukan, tangannya masih menggenggam smartphone yang biasa digunakan untuk mengambil order. Sepeda motornya terparkir di samping rel tak jauh dari jasadnya. Dari hasil otopsi, korban meninggal karena terlindas kereta api. Tak ada bekas luka penganiayaan di tubuhnya. Diduga kuat driver ojol tersebut depresi dan melakukan bunuh diri. Berdasarkan keterangan dari orang tua korban, depresi yang dialami anaknya, lantaran faktor ekonomi yang terus terdesak (Pos Kota Online, 30/06/2022).

Berselang lima hari dari kejadian di Bekasi, beberapa media juga mengabarkan peristiwa yang sama. Seorang laki-laki berusia 35 tahun, yang bekerja sebagai pengemudi ojol nekat mengakiri hidupnya dengan meloncat dari jembatan Suramadu. Jasadnya ditemukan mengambang di Selat Madura dengan masih mengenakan jaket hijau berlogo Gojek. Sementara sepeda motornya ditemukan terparkir di atas  jembatan Suramadu beserta helm dan dompet yang berisi surat kendaraan dan identitasnya. Dikabarkan, pengemudi ojol tersebut mengalami depresi karena persoalan ekonomi hingga akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. (Merdeka Online, 05/07/2022)

Cerita bunuh diri driver transportasi daring tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Singapura, seorang pengemudi taxi online dari perusahaan Grab, bunuh diri setelah ‘dipecat’ karena dilaporkan oleh penumpangnya atas tuduhan pelanggaran kode etik. Pihak Grab melakukan investigasi, memanggil pengemudi tersebut dan memecatnya. Keputusan Grab memecat hanya berdasar dari keterangan custumer, tanpa pernah dibuktikan secara hukum di pengadilan. Pemecatannya membuat sang pengemudi depresi. Karena terancam kesulitan secara ekonomi untuk menghidupi keluarganya, pada 19 Juni 2018, pengemudi tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidupnya agar keluarganya bisa mendapatkan klaim asuransi dari kematiannya. (Singapore Uncensored, 16/07/2018)

Di Amerika, seorang pengemudi taxi Uber yang beroperasi di kota New York, bernama Fausto Luna, meninggal setelah meloncat tepat di depan kereta api yang sedang melaju, pada 26 September 2017. Fausto adalah pengemudi taxi Uber pertama di tahun 2017 yang bunuh diri di kota New York karena terjerat hutang. Sementara, bekerja sebagai pengemudi Uber tak cukup untuk menyelesaikan masalah keuangannya. Di saat yang sama, para pengemudi mengeluhkan upah rendah dan menuntut persaingan tanpa henti. Sebelumnya, 6 orang driver taxi online dari Yellow Taxi dikabarkan bunuh diri di New York, peristiwa bunuh diri tersebut terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. (New York Times Online, 07/10/2018)

Di Indonesia, sejak 2015 hingga 2022, terdapat 15 kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan pengemudi transportasi berbasis aplikasi di berbagai kota. Dari jumlah tersebut, 14 korban berjenis kelamin laki-laki dan 1 korban pengemudi perempuan. Rata-rata korban percobaan bunuh diri berusia 33 tahun. Dari 15 kasus tersebut, 13 kasus diantaranya terjadi dalam tiga tahun terakhir.

Tabel Peristiwa percobaan bunuh diri driver ojol

Sumber: Dihimpun dari berbagai media

Sejak 2016, dua perusahaan transportasi berbasis aplikasi terbesar di Indonesia – Gojek dan Grab – secara bertahap mengurangi skema insentif dan bonus, serta tarif per kilometer. Itu berarti menurunkan pendapatan pengemudi sementara perusahaan memaksimalkan keuntungan. Perusahaan juga menambahkan target poin, yang berarti pengemudi harus bekerja lebih banyak untuk mendapatkan bonus.

Kebijakan semacam ini didorong oleh perlombaan ke bawah (Race to the bottom) transportasi berbasis aplikasi. Kebijakan Ini menguntungkan perusahaan dengan mengorbankan pengemudi/pekerja. Pendapatan mereka menurun dan mereka dipaksa bekerja lebih panjang untuk mengumpulkan pendapatan harian yang cukup.

Berdasarkan keterangan beberapa driver di tiga kota, Bekasi, Tangerang, dan Serang, sebagian besar mereka mengeluhkan pendapatannya menurun hingga 50 persen sejak pandemi COVID-19. Mereka juga mengeluhkan kesulitan mendapatkan pesanan dan mereka telah menghabiskan lebih dari 10 jam di jalanan setiap hari. Rata-rata, pengemudi harus bekerja di jalanan antara 10 dan 15 jam setiap hari. Mereka tak memiliki jaminan pendapatan jika aplikator tidak memberikan sama sekali order. Situasi kerja yang demikian membuat para pengemudi ojol tidak saja rentan secara ekonomi, tapi juga rentan sakit dan kecelakaan.

Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) mencatat sejak 2015 hingga Juli 2022, terdapat 149 peristiwa kecelakaan yang menewaskan 89 driver ojol dari berbagai perusahaan platform. Kasus kecelakaan ini meningkat seiring dengan perubahan skema target poin yang semakin tinggi dan berpengaruh pada jam kerja yang semakin panjang. Tak sedikit pula, cerita driver jatuh sakit hingga meninggal akibat kurangnya waktu istirahat karena berusaha mengejar target pendapatan per hari, agar dapat  membayar kredit kendaraan, smartphone yang dipakai untuk mereka bekerja, atau membayar cicilan hutang kepada platform pinjaman online yang difasilitasi oleh aplikator.

Berdasarkan keterangan dari beberapa driver di Bekasi, Tangerang dan Serang, rata-rata mereka memiliki tanggungan cicilan kredit harian dari platform pinjaman online, seperti JULO atau pinjaman online lainnya.

Beberapa pengemudi mengatakan bekerja sebagai pengemudi ojol serba salah, saat diberikan banyak order atau gacor mereka tak memiliki waktu istirahat sama sekali dan beresiko pada kesehatan. Namun, jika tidak mendapatkan pesanan atau anyep, mereka akan mendapatkan lebih banyak kesulitan, mulai dari tak bisa membeli kebutuhan harian, didatangi dept collector hingga terusir dari rumah kontrakannya.

Situasi yang demikian menjelaskan potensi gangguan mental depresi pada driver ojol cukup tinggi. Kasus bunuh diri yang berhasil dikumpulkan rata-rata disebabkan oleh depresi karena keterdesakan ekonomi dan terjerat hutang. Kesehatan mental para driver transportasi online terancam oleh cara kerja dari model bisnis transportasi berbasis aplikasi dengan tingkat kontrol yang tinggi terhadap pengemudi. Setelah driver mengaktifkan aplikasi, mereka dipantau dan dikontrol oleh aplikator.

***

Status Mitra Biang Kerok Pengabaian oleh Aplikator

Berdasarkan pengamatan dari berbagai media online, bunuh diri driver ojol makin meningkat seiring dengan meningkatnya keluhan dan aksi protes para driver ojol terhadap situasi kerja mereka yang semakin rentan. Pendapatan yang terus menurun, jam kerja panjang, dan tak ada jaminan sosial sama sekali, serta sanksi-sanksi yang memberatkan driver dan sepihak, membuat ribuan hingga jutaan driver turun ke jalan, mereka menggeruduk gedung-gedung pemerintahan dan kantor aplikator, tak jarang pula mereka menyatakan protes dengan cara mogok kerja, mematikan aplikasi secara massal dalam waktu yang sama.

Mereka menuntut perbaikan kondisi kerja yang layak. Sejak 2015 hingga Juli 2022, berbagai komunitas driver online telah melakukan aksi protes sebanyak 113 kali (lihat tabel 1). Aksi tersebut tersebar di berbagai kota di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Sebanyak 85 aksi protes dilakukan dengan cara geruduk lembaga negara dan aplikator. Sementara aksi mogok kerja atau offbid massal, sebanyak 28 kali.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Aksi protes dalam bentuk demonstrasi atau menggeruduk kerap ditujukan ke lembaga-lembaga negara seperti Istana Kepresidenan sebanyak 5 kali; Kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik di pusat maupun DPR tingkat provinsi, kota dan kabupaten, sebanyak 12 kali; kantor kementrian (perhubungan dan kementerian komunikasi dan informasi) di Jakarta maupun lembaga di bawah kementerian tersebut sebanyak 12 kali; Kantor Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) sebanyak 15 kali. Sementara aksi geruduk ke kantor aplikator sebanyak 63 kali yang ditujukan ke 4 aplikator (Gojek, Grab, Shopeefood dan Maxim) baik di kantor pusat aplikator maupun di kantor perwakilan yang tersebar di daerah.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Dari sisi tuntutan aksi, tiga tertinggi adalah terkait tarif (30%), disusul soal skema insentif (25%) dan sanksi sepihak (11%). Tiga hal utama yang dipersoalkan oleh driver ini meggambarkan fleksibilitas kerja yang ditawarkan oleh model bisnis gig economy di transportasi online memiliki standar upah yang rendah dan kontrol yang tinggi terhadap driver. Situasi ini diperparah karena status driver ojol sebagai kontraktor independen atau mitra. Penamaan status ini secara semena-mena ditentukan oleh aplikator. Posisi ini membuat driver ojol dihadapan aplikator menjadi rentan untuk dieksploitasi dan diabaikan dari hak perlindungan sosialnya. Termasuk pengabaian atas keluhan maupun aksi protes para driver.

Sebanyak 63 aksi protes para driver ke kantor aplikator, tak satupun tuntutan yang dipenuhi oleh pihak aplikator. Tuntutan yang ditujukan ke aplikator adalah terkait tarif, insentif, jaminan sosial, sanksi, kebijakan perusahaan merekrut driver baru dan penurunan pemotongan biaya jasa aplikasi. Pihak aplikator selalu mengatakan bahwa driver adalah mitra dan tidak memaksakan para driver untuk mengikuti perintah dari aplikator. Alih-alih menawarkan kebebasan, faktanya para driver tak punya pilihan, karena ketika driver menolak akan berpengaruh pada order berikutnya. Mereka tersandera oleh rumus-rumus algoritma dan tak dapat dijangkau oleh para driver. Sementara Negara melakukan pembiaran terhadap hak para driver yang diabaikan aplikator. Satu-satunya yang direspon Negara dalam bentuk aturan adalah terkait soal tarif yang komponennya ditentukan oleh biaya perawatan kendaraan. Sementara kebijakan tarif tak mempertimbangkan soal kebutuhan hidup para driver dan keluarganya. Termasuk soal hak atas kesehatan dan keselamatan driver.

Sumber; Diolah dari berbagai sumber

Keuntungan Aplikator Adalah Keringat Para Driver Ojol

Setidaknya terdapat dua mekanisme kontrol yang dilakukan aplikator terhadap para driver untuk memastikan proses kerja dari model bisnis transportasi daring dapat menghasilkan keuntungan dari kerja para driver. Yaitu, kontrol melalui algoritma, dan mekanisme kontrol secara langsung melalui satuan tugas (satgas) yang dibentuk oleh aplikator.

1) Kontrol melalui algoritma

Dengan mekanisme kontrol melalui algoritma, titik pusat kontrol driver terletak dari bagaimana aplikator memastikan data dari akun para driver dapat mereka ‘kuasai’. Karena, akun driver merupakan cerminan aktifitas fisik dari kerja para driver. Dengan menambahkan teknologi artifisial intelegent, semua aktifitas driver tercatat sebagai data yang dapat diolah oleh aplikator, untuk kepentingan memberi perintah pekerjaan, memotong pendapatan driver, hingga menghukum para driver. Algoritma menjadi manajer virtual yang bertugas memerintahkan para driver untuk menjalankan permintaan dari custumer. Mengantarkan mereka dari satu tempat ke tempat lain atau memesan dan mengantar makanan/barang yang diperantarai oleh aplikasi.

Pemberian perintah order disertai dengan paksaan oleh aplikator. Jika menolak menjalankan order, akan berpengaruh pada penundaan order berikutnya. Para driver menyebutnya dengan istilah gagu dan anyep. Jika gagu menunjukkan delay order antara 10 menit hingga 1 jam, maka untuk menunjukkan delay order yang lebih panjang selama sehari penuh disebut dengan anyep.

Setiap driver pernah mengalami situasi gagu atau anyep. Biasanya mereka menolak order karena lokasi pengantaran yang terlalu jauh, rawan begal, dan keadaan jalanaan mecet, serta tarif tidak sesuai dengan resiko di jalanan. Akun juga digunakan untuk menentukan tarif dalam setiap ordernya. Menurut para driver, dengan mengandalkan teknologi GPS (Global Positioning System) terkadang jarak tempuh yang terbaca dalam aplikasi lebih pendek dibandingkan dengan jarak tempuh yang harus dijalani para driver. Beberapa driver mengatakan tarif tak sesuai dengan jarak tempuh. Apalgi tarif yang ditentukan aplikator hanya menghitung jarak dari titik penjemputan ke titik pengantaran. Setelah order selesai dikerjakan, jarak tempuh pengemudi untuk kembali ke titik awal penjemputan tidak dihitung dalam tarif.

Tak berhenti di titik ini, melalui rumus algoritma yang ditentukan aplikator, penilaian dan komentar dari custumer menjadi data yang akan diolah untuk memastikan hasil kerja driver sebagaimana yang ditawarkan oleh aplikator kepada custumer, yaitu custumer ‘berkuasa’ atas kerja driver. Jika penilaian dari custumer buruk, secara otomatis driver akan dihukum. Bentuk penghukumannya beragam, mulai dari akun di-suspend atau di non aktifkan sementara hingga akun dibekukan secara permanen.

Akun dibekukan berarti dipecat. para driver mengistilahkan dengan PM atau putus mitra. Penilaian ini yang membuat banyak perselisihan antara driver dan konsumen, terutama jika konsumen memberikan penilaian yang buruk kepada driver ojol. Beberapa kasus terjadi karena kesalahan teknis. Misalkan, karena order makanan yang tak sesuai dengan yang dipesan konsumen driver kerap mendapatkan penilaian yang buruk. Padahal, perkara makanan bukan tugas driver, melainkan resto atau merchant yang bekerjasama dengan aplikator. Akan tetapi, karena yang mengantarkan pesanan adalah driver, dan konsumen diberikan kuasa untuk menilai apapun, maka penilaian pun jatuh ke driver. apalagi prinsip aplikator dalam pemberian sanksi kepada driver hanya berdasar keterangan dari custumer, sudah tentu apapun yang dinilai custumer adalah benar di dahapan aplikator.

Ketika driver menyelesaikan pekerjaan setiap ordernya, aplikator mendapatkan keuntungan dengan memotong secara otomatis dari dompet digital yang terintegrasi dengan akun driver. Bahkan sebelum pesanan dikerjakan pihak aplikator memotong uang driver. Pemotongannya 20 persen hingga 25 persen per order. Selain itu aplikator juga mendapatkan keuntungan dari konsumen per order sebagai biaya aplikasi, yang disertakan pada tarif yang harus dibayarkan.

Dompet digital menjadi syarat utama yang harus dimiliki oleh driver. Selain untuk memotong, dompet digital digunakan untuk mengumpulkan uang seluruh driver dan mencurinya sebagian dari setiap order yang diberikan aplikator. Pada kasus Gojek dan Grab, driver tidak akan diberikan order jika dompet digital driver tidak memiliki saldo yang cukup untuk dipotong oleh aplikator. Artinya, selain mengontrol akun, aplikator juga mengontrol dompet digital driver, untuk memastikan proses merealisasikan keuntungan melalui pemotongan upah berjalan dengan baik.

Bentuk kontrol yang paling nyata adalah aplikator bisa kapan saja menonaktifkan akun, baik sementara maupun permanen. Jika hal demikian terjadi, driver tidak akan bisa mengakses uangnya yang berada di dompet digital. Beberapa driver mengatakan ketika akunnya dinonaktifkan uang mereka juga dirampas oleh aplikator.

Selain berbagai mekanisme kontrol secara algoritma di atas, perusahaan platform juga mengklasifikasikan jenis dan level akun driver. Tujuannya untuk menentukan seberapa banyak jumlah target yang harus dikerjakan oleh driver.

Pada kasus Gojek misalnya, akun driver dibagi menjadi empat level, yaitu, basic, silver, gold dan platinum. Level-level ini selain untuk mendisiplinkan driver, juga untuk cara memacu driver agar terus bekerja lebih banyak dengan mengerjakan sejumlah target dan capaian yang diinginkan oleh pihak aplikator. Setiap level mengharuskan driver untuk memenuhi sejumlah target poin, performa driver, dan rating atau penilaian dari aplikator. Poin adalah jumlah penyelesaian order yang menjadi target per bulan. Makin tinggi level akun makin tinggi pula target point per bulannya. Selanjutnya performa adalah perhitungan dari jumlah order yang diterima oleh driver. Malalui performa driver ojol dituntut harus menerima order yang diberikan oleh aplikator, kapan pun, kemana pun dan dalam situasi apapun, jika menolak hukuman delay order menunggu di depan. Terakhir, Rating, yang merupakan penilaian dari konsumen kepada driver Gojek.

2) Kontrol Manusia melalui Satuan Tugas (Satgas) Aplikator

Satuan Tugas adalah sekelompok orang yang ditugaskan di lapangan oleh aplikator untuk ‘mengamankan’ operasi bisnis ride-hailing dari ‘gangguan’ yang berpotensi mengurangi keuntungan aplikator. Selain itu, satgas juga bertugas untuk mendisiplinkan para driver, dengan cara memastikan para driver bekerja sesuai dengan SOP (Standart Operating Procedure) yang dibuat sepihak oleh aplikator. Seperti memakai atribut helm dan jaket berlogo perusahaan aplikator, kesesuaian kendaraan dengan identitas akun driver, serta beberapa standar lainnya.

Di Indonesia, satgas pertama kali dibentuk oleh platform Gojek pada 2015. Pembentukan satgas ini merupakan respon atas konflik antara driver transportasi online dengan komunitas driver dari transportasi konvensional. Seperti ojek pangkalan (opang), taxi konvensional, angkutan kota (angkot), dan becak motor (bentor). Catatan LIPS, sepanjang 2015 hingga 2018, terjadi 42 kali bentrokan besar antara pengemudi transportasi online (ojek online dan taxi online) dengan pengemudi transportasi konvensional (Opang, Taxi, Bentor, dan Angkot) di berbagai kota di Indonesia. Gojek merespon gesekan antara ojol dan opang dengan cara membuat satgas untuk mengamankan operasi bisnisnya di lapangan. Tim satgas ini direkrut dari mantan anggota Polri dan TNI yang telah pensiun (Detik Online, 15 Oktober 2015). Beberapa driver mengatakan, tim satgas sebagian direkrut dari TNI dan Polri yang masih aktif.

Mantan CEO Gojek, Nadiem Makarim, di beberapa media secara terang-terangan mengatakan bagaimana tim satgas yang dibentuk Gojek mengatasi konflik ojol dan opang. Selain menggunakan pendekatan persuasif dengan mengajak opang bergabung ke dalam Gojek untuk menjadi ‘mitra’, juga dengan cara mengancam akan diproses secara hukum jika terjadi kekerasan terhadap driver Gojek.

Pada cara pertama, Satgas memfasilitasi semua persyaratan agar opang beralih menjadi driver Gojek. Seperti difasilitasi mengkredit kendaraan terbaru, smartphone, serta pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM). Semua fasilitas itu bukan cuma-cuma, melainkan sebagai pinjaman yang harus dibayarkan setiap hari kepada aplikator dengan memotong saldo dari dompet digital. Beberapa driver ojol mengatakan, jika mereka dapat merekrut opang  bergabung dengan Gojek pada satu tempat pangkalan yang strategis, mereka dijanjikan akan mendapatkan sejumlah uang dari satgas aplikator.

Upaya satgas aplikator menyelesaikan konfik driver dan opang bukan sepenuhnya melindungi driver, melainkan merebut pasar transportasi yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, penguasaan titik-titik pangkalan ojek/taxi menjadi penting bagi Gojek maupun platform lainnya. Dengan berbagai kekuatannya aplikator berusaha melobi instansi atau kelompok-kelompok yang menguasai pangkalan. Pangkalan strategis yang dimaksud adalah stasiun kereta api, terminal penumpang, bandara atau pusat-pusat keramaian lainnya. Setidaknya dalam waktu dua hingga tiga tahun, Gojek maupun Grab berhasil menguasai tempat-tempat tersebut dengan cara mendirikan pickup point di pusat-pusat keramaian. Artinya, untuk menguasai pasar dari bisnis ride-hailing penguasaan ruang pangkalan ojek menjadi penting. Selain untuk memastikan operasi bisnisnya berjalan dengan baik dan aman, juga untuk memudahkan satgas mendisiplinkan para driver. Keberhasilan Gojek dalam membentuk satgas kemudian diikuti oleh Grab dan platform lainnya pada tahun-tahun setelahnya.

Bentuk lain dari pengamanan operasi bisnis yang dilakukan satgas aplikator adalah memberantas para driver yang menggunakan aplikasi Fake GPS. Ketika periode awal Gojek dan Grab masih menawarkan insentif yang tinggi, atau ketika periode bakar uang berlangsung, sekelompok driver yang memiliki pengetahuan tentang teknologi informasi menemukan cara agar mereka mendapatkan order lebih banyak tanpa harus bersusah payah berkeliling di jalanan. Mereka menciptakan apa yang mereka sebut dengan istilah aplikasi ‘tuyul’ atau fake GPS.

Dengan menggunakan fake GPS para driver lebih mudah mencapai target poin yang ditentukan aplikator dan dengan mudah pula insentif atau bonus mereka dapatkan. Semakin banyak driver yang menyelesaikan target poin, maka semakin banyak pula uang yang dikeluarkan oleh aplikator untuk membayar insentif driver. Karena akan berdampak pada berkurangnya keuangan perusahaan terlalu cepat, satgas aplikator diberikan tugas untuk memberantas driver yang menggunakan ‘tuyul’. Mereka membuat narasi ‘kecurangan’, menghukumnya dengan menonaktifkan akun hingga mengkriminalisasikan para driver yang kedapatan mengunakan fake GPS. Alih-alih berpihak pada driver yang bekerja dengan normal (tanpa fake GPS), sebenarnya aplikator sedang menutupi fakta bahwa sistem yang mereka buat belum sempurna. Oleh karena itu satgas diperlukan untuk memastikan sistem aplikator bekerja dengan baik di lapangan. Padahal, beberapa driver ojol mengatakan, mereka tidak benar-benar curang, karena  tidak ada unsur penipuan sama sekali dalam fake GPS, order yang mereka terima dari aplikator tetap mereka kerjakan sebagaimana perintahnya. Namun karena cara kerja fake GPS mempercepat driver menyelesaikan target poin, aplikator menentangnya.

Secara massif, operasi perang terhadap tuyul oleh aplikator terjadi antara 2017 hingga 2019. Pada periode itu, satgas aplikator setidaknya telah mengkriminalisasikan lebih dari 20 driver dengan menggunakan perangkat hukum undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Satgas aplikator bekerjasama dengan beberapa Kepolisian Daerah (Polda) untuk mengkriminalisasikan para driver. Di Makassar misalnya, Satgas dari aplikator Grab bekerja sama dengan tim Cyber Crime Polda Sulawesi Selatan berhasil mengkriminalisasikan tujuh orang driver Grab Car yang menggunakan fake GPS (Kumparan Online, 23/01/2018).

Menurut beberapa driver, satgas kerap merekrut driver yang berkomunitas sebagai rekan kerjanya, untuk menjalankan tugas-tugas pengamanan operasi bisnis dan pendisiplinan driver. Tugas mereka adalah membantu kerja pengamanan dari satgas. Para driver menyebutnya dengan istilah ‘cepu’ atau orang yang bekerjasama dengan satgas dari aplikator untuk memata-matai para driver yang tergabung dalam komunitas. Terutama memberikan informasi kepada satgas atas tindakan driver dan komunitas yang berpotensi merugikan perusahaan. Mulai dari pelanggaran SOP, pengguanaan fake GPS hingga mencegah aksi protes yang menuntut aplikator memperbaiki kondisi kerja para driver.

Beberapa driver mengatakan pencegahaan terhadap rencana aksi protes komunitas kerap diketahui lebih cepat oleh satgas. Beberapa usaha pencegahan aksi protes pun dilakukan oleh satgas secara langsung dan terang-terangan. Mereka berusaha menggagalkan aksi protes yang direncanakan dengan cara apapun. Mulai dari menyebarkan himbauan larangan aksi protes melalui group whatsapp komunitas, mengadakan pertemuan dengan komunitas atau kopi darat (kopdar) untuk mengurungkan protes, hingga mendatangi dan mengancam anggota komunitas driver yang ditengarai sebagai penggerak dari aksi. Di Bandung misalnya, seorang driver ojol diancam oleh seorang satgas internal aplikator dengan cara ditodongkan senjata api tepat di kepalanya. Ancaman tersebut terjadi saat sang driver yang merupakan koordinator aksi diminta untuk menjelaskan tentang rencana aksi protes tentang penyesuaian tarif (Kumparan Online, 09/11/2021).

Tabel. Beberapa bentuk kontrol langsung melalui aplikator

Berbagai upaya kontrol untuk memastikan proses kerja driver terus dikembangkan aplikator seiring dengan perluasan layanan yang ditawarkan oleh aplikator. semakin banyak layanan yang dikembangkan semakin banyak pula potensi pencurian uang di dompet digital para driver.

***

Seberapa Banyak Keuntungan yang Dikeruk dari Driver?

Untuk mendapatkan data keuntungan rill perusahaan secara rinci bukan perkara mudah. Namun dengan mengetahui bagaimana sistem kontrol dan proses kerja dari sistem perusahaan kita dapat mengilustrasikan seberapa banyak keuntungan yang didapatkan dari kerja para driver. Untuk menunjukkan ketimpangan di dalamnya kita musti membandingkan antara pendapatan perusahaan dengan pendapatan driver.

Tahun 2020 terdapat sekitar 28.000 pengemudi ojek online (ojol) di Tangerang Raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan). Dari total driver ojol tersebut 13.000 bekerja di platform Grab (Kompas Online, 17/07/2020). Beberapa driver di Tangerang mengatakan dalam satu tahun terakhir rata-rata dalam sehari mereka menyelesaikan order sebanyak 10 order. Meskipun ordernya beragam, untuk memudahkan, kita mengasumsikan 10 order tersebut adalah order dari layanan Grabbike dengan tarif per ordernya sebesar Rp14.000 dengan rincian sebagai berikut.

Keterangan1 order10 order
Tarif yang dibayarkan penumpang14.000140.000
Potongan jasa aplikasi penumpang100010.000
Potongan aplikator dari penumpang 20%280028.000
Yang didapatkan driver10.200102.000

Dari rata-rata 10 order perharinya, driver akan mendapatkan Rp.102.000 sementara Grab akan mendapatkan Rp.38.000. Jika dari total Grab di Tangerang yang mendapatkan order rata-rata tersebut hanya 10.000 driver, maka keuntungan Grab dari potongan sebesar 20 persen per ordernya, dalam satu hari, dan dari satu layanan Grabbike sebesar Rp 38.000.000.

Keterangan1 hari1 bulan
Pendapatan Grab 1 hari dari layanan Grabbike38.000.0001.140.000.000
Pendapatan Driver grab 1 orang102.0003.060.000

Perhitungan di atas menunjukkan ketimpangan yang begitu besar. Keuntungan Grab selama sebulan di Tanggerang dan di satu layanan setara dengan upah sebulan untuk 271 buruh di Tangerang. Sementara pendapatan driver perbulan sebesar Rp.3.060.000. Jika kita menghitung standar upah berdasarkan upah minimum Kota Tangerang pada tahun 2022 sebesar Rp.4.285.000, maka driver ojol hanya mendapatkan 71 persen dari UMK Kota Tangerang.

Dalam satu kesempatan, LIPS berdiskusi tentang pengeluaran per bulan dengan kebutuhan paling minimal dari driver ojol dan keluarganya didapatkan rincian sebagai berikut. Kebutuhan ini diluar kebutuhan tempat tinggal seperti (Sewa rumah, listrik dan sebagainnya). Serta diluar kebutuhan pendidikan anak sekolah bagi driver yang sudah berkeluarga.

Jika dibandingkan antara pengeluaran driver dengan pendapatan dari bekerja sebagai driver ojol, maka didapat minus sebesar Rp.940.000 setiap bulannya. Lalu bagimana para driver ojol tersebut menutupi kekurangan keuangan perbulan?

Sebagaian besar driver mengatakan cara bertahan hidup mereka dengan strategi gali lubang tutup lubang. Meminjam di Julo (pinjaman online yang difasilitasi oleh Grab) atau bekerja lebih keras agar bisa mendapatkan pendapatan yang cukup. Beberapa driver mengatasinya dengan memasang target pendapatan secara pribadi, mereka tidak akan pulang jika target pendapatannya belum mencukupi kebutuhan harian mereka. Salah satu driver mengatakan ia akan keluar rumah lebih awal  untuk onbid, agar mendapatkan order yang lebih banyak. Sebagian lagi mengatakan mereka harus menghabiskan banyak waktu di atas motor untuk mencari lokasi-lokasi yang memungkinkan mereka mendapatkan orderan lebih banyak.

Segala cara dicoba driver, meskipun tak ada jaminan setelah mereka bekerja keras mereka mendapatkan penghasilan yang cukup. Sementara resiko kesehatan dan keselamatan mereka terancam oleh jam kerja panjang. Di sisi lain, perusahaan aplikator terus mengeruk keuntungan dari situasi ini. Semakin keras mereka bekerja semakin besar pula keuntungan aplikator. Aplikator menyandera mereka dalam situasi kemiskinan, kerentanan terhadap penyakit, kecelakaan dan hidup yang tak ada jaminan sosial. Berbagai situasi tersebut mudah disangkal oleh aplikator atas nama mitra yang seakan diberi kebebasan.

Padalah jika merujuk peraturan ketenagakerjaan yang mendefinisikan buruh atau pekerja sebagai orang yang menerima perintah, pekerjaan dan upah, maka driver ojol tersebut memenuhi syarat definisi. Apalagi driver-driver tersebut menggunakan seragam dari aplikator tertentu. Seragam tersebut merupakan salah satu indikator penilaian dalam mekanisme algoritma. Maka syarat definisi driver sebagai buruh-pengemudi aplikator terpenuhi secara penuh.

Jika menggunakan ekonomi-politik pun hubungan driver Ojol dan aplikator tidak jauh berbeda dengan hubungan buruh dan majikan. Para driver tidak menjual hasil kerja dalam posisi yang setara dan independen, sebagaimana umum dimaklumi dalam hubungan mitra. Sebaliknya, pengusaha menetapkan harga/tarif dan melakukan memotongan otomatis tarif pesanan sebelum transaksi selesai. Dengan penguasaan terhadap akun driver dan mekanisme kerja algoritma, aplikator dapat merumuskan dan menentukan jenis-jenis hukuman kepada driver. Walaupun penerapan hukuman tersebut diperantarai oleh konsumen. Dengan posisi yang tidak setara itulah tepat untuk menyebut driver Ojol sebagai buruh-pengemudi Ojol.[]

Penulis

Sugeng Riyadi
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane