MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Sneakers Jokowi dan Buruh Nike

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membuat ramai berita media massa. Kali ini Jokowi berpenampilan nyentrik, menggunakan kaos lengan panjang dan sepatu casual merah maroon saat peresmian Kereta Bandara Soekarno-Hatta, pada 2 Januari 2018. Pakaian demikian di luar kebiasaan, untuk kegiatan pejabat negara, yang biasa menggunakan stelan jas, kemeja atau batik serba resmi alih-alih kaku.
Yang mencolok dari penampilan Jokowi adalah sepatunya. Para jurnalis pun menelusuri merek sepatu yang dipakai Jokowi. Ternyata, sepatu yang dikenakan Jokowi bermerek Nike dari jenis Roshe One. Sepatu tersebut diperkirakan harganya Rp 1 juta per pasang (Detik Online, 2/1/2018).
Ini bukan kali pertama Jokowi tampil dengan sneakers Nike saat acara kenegaraan. Sebelumnya, ketika melakukan kunjungan kerja ke Tasikmalaya Jokowi tampil dengan sneakers Nike berwarna keabuan. Ketika ditanya awak media soal sneakersnya, Jokowi menjelaskan layaknya bintang iklan, bahwa sneakers yang ia kenakan agar mempercepat gerak saat melakukan blusukan ke daerah (Detik Online, 9/6/17). Usut punya usut, sepatu Nike seri Lunar Egic Low Flyknit 2 yang digunakan Jokowi di Tasikmalaya memang didesain khusus untuk para pelari yang sepasangnya Rp 1,8 juta.
Jokowi sebagai pejabat negara, secara tidak langsung telah mempromosikan merek dan model sepatu baru. Entah kebetulan atau tidak, beberapa hari setelah penampilan Jokowi dengan sneakersnya, iklan Nike bertebaran di berbagai media. Tentu saja bintang iklannya bukan Jokowi. Di pasar-pasar tradisional dan di toko-toko, model sepatu sneaker dengan atau tanpa merek Nike menjadi pajangan utama.
Terlepas dari cerita Jokowi dan sneaker-nya, industri sepatu di Indonesia sudah berlangsung sejak 1980-an hingga sekarang. Ketersediaan tenaga kerja murah di Indonesia menjadi daya panggil utama bagi perusahaan-perusahaan pembuat sepatu untuk mendirikan pabrik di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir industri sektor alas kaki dinilai merupakan industri berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Penilaian diukur dari peningkatan kinerja ekspor alas kaki Indonesia pada kuartal pertama 2017 sebesar 3,3 persen. Nilai ini menurut Kementerian Perindustrian Indonesia melebihi pertumbuhan nilai ekpor dunia yang hanya sekitar 0,19 persen. Dengan angka tersebut Indonesia menduduki peringkat kelima negara eksportir produk alas kaki setelah China, India, Vietnam dan Brazil.

Predikat negara eksportir inilah yang mungkin membuat kepercayaan diri Jokowi tampil dengan sneakers Nike dalam beberapa acara kenegaraan. Apalagi produk sepatu Nike sebagian besar diproduksi di Indonesia. Di balik model sepatu yang kekinian, kontribusi produksi sepatu terhadap perekonomian nasional, jangan lupakan para pembuat sepatunya, apalagi pembuat sepatu Nike.
Nike merupakan satu merek sepatu dan perlengkapan olahraga asal Amerika Serikat yang beredar di pasar internasional. Perusahaan multinasional ini melimpahkan seluruh produksinya melalui pihak ketiga. Nike dan merek-merek lainnya mengandalkan pabrik-pabrik di Asia, sebagai negara berupah murah, ramah investor dan kejam terhadap buruhnya. Penghasilan Nike 2014, sebesar 27,8 miliar dolar Amerika Serikat. Total buruh di perusahaan Nike sebanyak 48 ribu orang, sementara jumlah buruh di perusahaan pemasoknya sebanyak 2,5 juta orang. Para buruh pembuat Nike tersebar di Banglades, Kamboja, Indonesia, Hongkong, Filipina, China dan Indonesia (ITUC, 2016).
Tulisan ini mencoba menelusuri bagaimana Nike masuk ke Asia, termasuk Indonesia serta bagaimana Nike dan pemasoknya meraup keuntungan dengan dari keringat buruh.
Nike, Si Pemburu Upah Murah
Produk sepatu Nike pertama kali di produksi di Jepang pada 1970-an. Saat itu, upah di Jepang lebih murah dibanding Amerika Serikat (AS). Dengan biaya produksi yang murah Nike dapat menyaingi harga jual produk merek Jerman seperti Adidas dan Reebok. Dari keuntungan upah murah di Jepang, Nike berhasil menguasai seperlima pasar AS dengan pendapatan mencapai 149 juta dolar AS pada 1979. Nike nyaris memenangkan persaingan di pasar alas kaki dunia dengan mengupah murah buruh.
Pada 1972 Nike meluaskan produksinya ke Korea Selatan dan Taiwan.[1] Selain Nike, di dua negara tersebut, beroperasi pula merek-merek lain, seperti Adidas. Korea Selatan dan Taiwan merupakan bagian terpenting dari rantai pasok global industri alas kaki dunia. Itulah kenapa perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memasok dan memproduksi merek Amerika Serikat dan Eropa berasal dari Korea dan Taiwan.
Konteks lain yang lebih luas, ekspansi perusahaan multinasional merupakan satu bagian dari cerita memenangkan Perang Dingin. Merek-merek asal Amerika Serikat maupun Eropa memainkan peran penting untuk memperluas dan memperkuat Blok Barat di Asia.
Akhir 1980-an di Korea Selatan terjadi gejolak politik yang memprotes rezim militer Part Chung-hee. Gejolak itu disambut gerakan buruh menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja buruh. Di saat yang sama, General System Preference alias sistem bebas tarif dari Korea Selatan ke negara-negara maju dicabut. Sejak itu, investor-investor mulai melirik negara-negara yang masih mendapatkan GSP dan menyediakan buruh murah. Nike pun memindahkan operasinya ke Thailand, Indonesia dan beberapa negara lain.
Perpindahan industri alas kaki dari Korea Selatan disambut baik oleh Pemerintah Indonesia. Saat itu Indonesia sedang gencar menarik investasi asing setelah jatuhnya harga minyak dunia pada pertengahan dekade 80-an. Sampai akhir 1980-an, Indonesia tidak memiliki peraturan teknis pelaksanaan upah minimum, tapi sudah memiliki peraturan mengenai penanaman modal asing dan mulai membuka kawasan-kawasan berikat. Sejak itulah, industri manufaktur alas kaki terhubung dengan rantai pasokan global dengan lokasi geografi yang strategis untuk menjangkau pasar Asia sekaligus sumber besar bagi buruh murah yang tidak terorganisasi.
Pada 2014, seluruh produksi Nike di buat oleh 569 pabrik yang tersebar di 42 negara dengan melibatkan 1.012.700 buruh.[2] Pada 2017, Nike memimpin pasar untuk industri alas kaki dan garmen lebih dari 160 negara.
Di Indonesia Nike mulai beroperasi sejak 1988 melalui 11 perusahaan pemasok. Perusahaan-perusahaan pemasok tersebut, diantaranya merupakan pemegang lisensi pembuat Nike di Korea Selatan dan Taiwan. Selain memproduksi Nike perusahaan-perusahaan tersebut pun memproduksi merek-merek lain seperti Reebok, Adidas, Puma, dan lain-lain.
Meraup Keuntungan dengan Mengeluh
Pada 2012 Nike di Indonesia diproduksi oleh 20 pabrik dengan mempekerjakan 131.958 buruh. Per 2013 jumlah pemasok Nike menjadi 38 dengan 175.000 buruh. Hampir 75 dari buruh Nike adalah perempuan. Pabrik tersebut tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Per 2013, ketika siaran-siaran pers Apindo mengeluh kenaikan upah minimum merugikan industri padat karya, perwakilan Nike di Indonesia bertemu dengan Menteri Perindustrian saat itu, MS Hidayat di Kantor Kementerian Perindustrian. Kepada MS Hidayat, Perwakilan Nike menyatakan akan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi Nike di dunia. MS Hidayat merekomendasikan agar Nike merelokasi manufakturnya ke luar Jabodetabek (Antara Online, 19/4/2013). Per 2017, perwakilan Nike pun bertemu Menteri Ketenagakerjaan di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan. Nike  menyampaikan akan meningkatkan produksinya di pemasok-pemasok Indonesia (Kemnaker Online, 28/2/2017).
Untuk produk Sepatu, Nike menggunakan 16 perusahaan yang kesemuanya berstatus Perusahaan Modal Asing (PMA) dari Korea Selatan dan Taiwan. Total buruh dari 16 perusahaan yang memproduksi sepatu Nike di Indonesia 147.366 atau sekitar 70% dari total buruh yang bekerja di sektor alas kaki Indonesia.[3]
Tabel Perusahaan pemasok Sepatu Nike di Indonesia

No Nama Perusahaan Status
Modal
Alamat Total
Buruh
Presentase perempuan Perusahaan pemasok (Sub-kontrak) Perusahaan Pemegang Kontrak (Contract Manufacturer)
1 PT Adis Dimension Footwear PMA
 asal Taiwan
Tangerang 8415 52%
 
PT. YC Tec Indonesia Shoetown
2 PT Asia Dwimitra Industri PMA asal Korea Tangerang 2695 47% PT Adis Dimension Footwear,
PT. YC Tec Indonesia
Shoetown
3 PT Chang Shin Reksajaya PMA asal Korea Selatan Garut 6711 91% Chang Shin
4 PT Dean Shoes PMA asal Taiwan Karawang 5737 77% Dean Shoes
5 PT KMK Global Sports PMA asal Korea Selatan Tangerang 12499 76% KMK
6 PT Nikomas Gemilang PMA asal Taiwan Serang 19797 83% Pou Chen
7 PT Pratama Abdi Industri Tangerang PMA Asal Korea Selatan Tangerang 7760 78% Hapco Screen Printing, PT. YC Tec Indonesia Pratama
8 PT Pratama Abdi Industri Sukabumi PMA Asal Korea Selatan Sukabumi 17682 68% Pratama
9 PT Victory Chingluh Indonesia PMA asal Taiwan Tangerng 15273 75% Cingluh
10 PT Adis Dinamika Sentosa PMA asal Taiwan Majalengka 2473 69% PT Asia Dwimitra Industri Shoetown
11 PT Feng Tay Indonesia Enterprises PMA asal Taiwan Bandung 11924 62% Feng Tay
12 PT Pou Yuen Indonesia PMA asal Taiwan Cianjur 7351 62% Pou Chen
13 PT Seo Heung Indonesia PMA asal Korea Selatan Karawang 1912 73% Chang Shin
14 PT Taekwang Industrial PMA asal Korea Subang 12973 93% Tae Kwang
15 PT YC Tec Indonesia PMA asal Korea Selatan Purwakarta 457 60%
16 Chang Shin Indonesia PMA asal Korea Selatan Karawang 13707 86% Chang Shin

Sumber: Disarikan dari Nike global manufacturing data eksport yang dikeluarkan pada November 2017.
Berikut adalah enam dari delapan group perusahaan multinasional kontraktor langsung dengan Nike. Berikut ini adalah profil dari group perusahaan kontraktor Nike yang memiliki pabrik di beberapa negara Asia.

  1. Pou Chen Group

PT Pou Chen Group (PCG) perusahaan asal Taiwan ini memiliki relasi dengan pabrik pemasok di beberapa negara seperti Indonesia, China, Vietnam, Bangladesh dan Mexico. Dalam situs resminya PCG  memproduksi sekitar 20 persen sepatu olahraga di dunia dengan brand internasional seperti Nike, Adidas, Puma, Reebok dan sebagainya. PCG mengklaim Omset dan labanya lebih besar dibanding dengan pemilik merek. Sepanjang Januari-September 2015 PCG memiliki pemasukan sebesar 198,840 miliar dolar Taiwan.
PCG pertama kali mendirikan pabriknya pada 1992 di Serang Banten. Saat ini PCG Indonesia memiliki 4 pabrik, yaitu PT Nikomas Gemilang  (1992) yang bertempat di Serang, Banten, Glostar Indonesia (GSI I) dan GSI II di Sukabumi, yang beroperasi pada 2007 dan 2008; dan PT. Pou Yuen Indonesia di Cianjur, yang beroperasi pada 2015. Jumlah buruh PCG di empat pabrik diperkirakan mencapai 133.000 orang,[4] dengan sebanyak 80 persen adalah perempuan.

  1. Feng Tay Group

Feng Tay Enterprises Co, ltd didirikan pada 1971 di Taiwan. Nike memesan produknya ke Grup Fen Tay sejak 1979. Pada 1988, Feng Tay memperluas operasinya ke China, Indonesia, Vietnam dan India. Pada 1992 Feng Tay Group berkolaborasi dengan Nike mendirikan pusat penelitian dan pengembangan manufaktur sepatu berbasis Asia yang pertama. Pada 2003, Feng Tay Gorup mendirikan Shoe Majesty Co., Ltd., perusahaan ini didirikan khusus untuk memproduksi sepatu kasual merek seperti Clarks, Rockport dan Dr. Martens.
Di Indonesia Feng Tay Group mendirikan pabriknya di Bandung pada 1992 dengan nama PT Feng Tay Indonesia Enterprises. Rata-rata Feng Tay Indonesia memproduksi lebih dari  9,5 juta pasang sepatu per tahun atau 14 persen dari total produksi Feng Tay Group. Jumlah buruh di Feng Tay Indonesia 11.924 orang. Persentase buruh perempuannya sebesar 62 persen.

  1. Taekwang Group

Taekwang Co, Ltd merupakan Perusahaan Korea Selatan yang berdiri pada 1971. Sejak berdiri Taekwang memproduksi dan memasok sepatu lari merek Nike untuk dipasarkan ke seluruh dunia. Perusahaan ini memulai lompatannya sebagai perusahaan global dengan mendirikan Taekwang VINA di Dong Nai pada 1995 dan “Qingdao Taekwang” di Qingdao, China pada 1995. Sejak itu, Taekwang membagi pekerjaannya dengan membentuk sistem divisi kerja, pengembangan dan produk baru dan kualitas produk di kantor pusat di Korea dan manufaktur massal di pabrik-pabrik luar negeri.
Taekwang Industri mulai meluaskan produksinya ke Vietnam pada 2009 dengan mendirikan dua pabrik. Pada 2013, Taekwang membuka pabrik di Subang, Jawa Barat. Total buruh di Group Taekwang 68 ribu buruh di 4 negara (Korea, China, Vietnam dan Indonesia) yang menghasilkan 64 ribu pasang sepatu per bulan dengan pendapatan sebesar 1,33 miliar dolar Amerika Serikat.  

  1. Chang Shin Group

Chang Shin didirikan pada 1981 dengan nama perusahaan perdagangan Dae Shin di Korea. Pada 1994 Chang Shin Group mendirikan pabrik di Vietnam yang memproduksi sepatu Nike. Chang Shin juga memperluas pabriknya di China dan Indonesia pada 2010. Total buruhnya 47.000 orang.
Pabrik Chan Shin di Indonesia pertama kali didirikan di Kabupaten Karawang dengan nama PT Chang Shin Indonesia, pada 22 Januari 2011. Chang Shin Indonesia membuka anak usahanya dengan nama PT Chang Shin Reksajaya di Garut, Jawa Barat pada tahun 2015.

  1. Dean Shoes Group

Dean Shoes yang berkantor pusat di Taichung, Taiwan mengoperasikan beberapa pabrik di Asia. Tiga pabrik besar Dean Shoes di China, Indonesia dan Vietnam dengan total tenaga kerja lebih dari 29.000 Pekerja. Dean Shoes hanya memproduksi Nike. Di Indonesia PT Dean Shoes berada di Karawang yang mempekerjakan lebih dari 8.600 pekerja, menangani antara 300 dan 500 faktur per bulan.

  1. Cingluh Group

Chingluh Group pabrik pembuat sepatu olahraga. Cinglung memulai operasi bisnisnya pada 1969 di Taiwan. Anak usahanya tersebar  di China, Vietnam dan Indonesia. Rata-rata pendapatan Chingluh Group 1 miliar dolar Amerika Serikat per tahun. Total buruh yang bekerja di Chingluh Grup sekitar 80.000 orang.
Selain memproduksi sepatu olahraga merek Nike, Chingluh pun membuat Adidas, FootJoy, Mizuno, dan Reebok. Cingluh memulai ekspansinya di Indonesia sejak 2007 di Tangerang. Fasilitas produksi di Indonesia ada dua pabrik yang jumlah buruhnya sekitar 24.0000.
Buruh Nike Tidak Senyentrik Gayamu
Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC/International Trade Union Confederation), dalam Scandal Inside The Global Supply Chain of 50 Top Companies: Frontlines Report 2016, melaporkan bahwa Nike merupakan satu dari limapuluh perusahaan multinasional yang meraup keuntungan dengan mengeksploitasi jutaan buruhnya yang terus miskin.
Tidak asing lagi bahwa para pemasok Nike di Asia seringkali mempekerjakan buruh tidak manusiawi. Pada 1990-an, terungkap bahwa pemasok-pemasok Nike di Asia melanggar standar internasional perburuhan. Terdapat cerita pemasok Nike yang mempekerjakan buruh anak, upah buruh yang rendah, lembur paksa, kekerasan verbal maupun nonverbal dan kondisi kerja yang buruk. Pada 2002, Nike bersedia membuat Kode Etik Bisnis untuk semua pemasoknya, namun nyaris tidak berimplikasi positif terhadap para buruhnya. 
Pada April 1997, sekitar 6000 buruh pembuat sepatu Nike di PT HASI mogok. Para buruh menuntut pembayaran premi hadir dan kenaikan upah minimum. Pemogokan dibubarkan oleh pasukan antihuru-hara (Kompas Online, 26/4/1997). Pada Oktober 1997, 5000 buruh pembuat sepatu Nike di PT Garuda Indawa mogok. Mereka memprotes pemecatan ilegal kepada 2000 buruh (Kompas Online, 14/10/1997)
Januari 2012, satu pemasok sepatu Nike, PT Nikomas Gemilang terbukti memaksa 4.437 buruh lembur dan tanpa dibayar selama 18 tahun. Tak hanya itu, buruh-buruh pun kerap mendapatkan kekerasan fisik dan verbal (BBC Online, 12/1/2012)
Januari 2013, pabrik pemasok sepatu Nike di Sukabumi, PT Pratama Abadi Industri,  memaksa buruh agar menandatangani pengajuan penangguhan upah minimum 2013. Pemaksaan tersebut bahkan melibatkan militer (Radio Australia Online, 15/1/2013. Para pengurus serikat buruh dipanggil satu per satu ke pos keamanan. Di gedung produksi, general manajer berkeliling meminta tanda tangan buruh sembari mengatakan, tidak perlu memercayai serikat buruh yang menolak penangguhan upah (KBR Online, 16/1/2013).
Diinformasikan, lembaga anti kemiskinan global SumOfUs mengecam Nike karena menjual kaos tim olahraga Inggris seharga US$ 150 atau Rp 1,7 juta, tapi hanya menggaji buruh pabrik di Indonesia dengan bayaran 50 sen atau Rp 5.600 per jam untuk memproduksi kaos tersebut. (Liputan6 Online, 4/5/2014)
Satu pemasok Nike PT Chang Shin diduga melakukan pemberangusan serikat buruh dan perampasan hak mogok dengan memecat para organisator mogok dan mengerahkan kekuatan paramiliter. Tak hanya itu, di PT Chang Shin hak mendapatkan ekonomi berupa upah layak, asuransi kesehatan dan bonus tidak dipenuhi (Solidaritas.net, 16/6/2014)
Begitulah penguasa merek Nike menguasai desain, pasar sepatu dan perlengkapan olahraga internasional. Semua produksinya dilimpahkan kepada para pemasok, kemudian dipecah-pecah lagi kepada pemasok lain dengan menikmati berbagai kemudahan investasi, perampasan hak buruh dan pasokan daya dukung alam yang melimpah. Di balik sepatumu yang keren dan gaul, ada buruh dan keluarganya yang menderita!
 
Rujukan
International Trade Union Confederation (ITUC). Frontlines Report 2016 Scandal: Inside the global supply chains of 50 top companie. Tersedia: https://www.ituc-csi.org/frontlines-report-2016-scandal, diakses pada 30 Januari 2018
Dahana, Bambang T., et.al. Dari Mana Pakaianmu Berasal? Upah dan Kondisi Kerja Buruh Industri Garmen, Tekstil dan Sepatu di Indonesia. Bogor. TAB dan LIPS. 2016
Citra Fitri Mardiana. Industri Alas Kaki RI Peringkat ke-5 Dunia. Detik, 21 Mei 2017.https://finance.detik.com/industri/d-3507246/industri-alas-kaki-ri-peringkat-ke-5-dunia, diakses pada 17 Januari 2018
Manufacturing Disclosure/567 Factories Listed. Manufacturingmap Nike, November 2017. Tersedia: http://manufacturingmap.nikeinc.com/, diakses pada 13 Januari 2018
Anton Pieper, et.al., No excuses for homework: Working Condition in the Indonesian Leather and Footwear Sector. Change Your Shoes. Bonn, 2017.
 
Catatan Kaki
[1] Sebagai catatan, kedua negara ini merupakan bekas koloni Jepang. Meletusnya bom atom Hiroshima dan Nagasaki menjadi momen penting bagi AS untuk melakukan intervensi ekonomi di negara-negara jajahan Jepang serta sebagai pintu masuk bagi Amerika serikat melakukan hegemoni ekonomi terhadap negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara. Selain itu Amerika Serikat pun tengah bersiap menghadapi krisis ekonomi dunia pada dasawarsa 70-an dan 80-an. Dari momen inilah beberapa perusahaan multinasional asal Amerika Serikat dan Eropa berbondong-bondong membuat pabrik beberapa negara Asia.
[2] Manufacturing Disclosure / 567 Factories Listed, November 2017
[3] Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 menyatakan terdapat sekitar 256.000 buruh yang bekerja di sektor kulit dan alas kaki di Indonesia.
[4] Abu Mufakhir mencatat pada 2012 jumlah buruh Pou Chen Group di dua pabrik (Serang dan Sukabumi) sebesar 120.000 orang. Jumlah ini belum ditambah dengan jumlah pekerja PT Pou Yuan Indonesia, Cianjur yang pada 2015 berdiri dan diperkirakan akan menyerap 13.000 buruh.

Penulis

Sugeng Riyadi
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane