Alfian Al’ayubby dan Abu Mufakhir
PER TANGGAL 5 Januari 2015, sebanyak 400 buruh di pabrik sepatu olahraga PT. Nikomas Gemilang, divisi Puma, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) secara bertahap dengan alasan efesiensi. Menurut salah satu sumber yang bekerja di divisi Puma, PHK massal tersebut terjadi karena penurunan pesanan yang tajam, bahkan mencapai persentase 90 persen, dari yang biasanya 1 juta pasang sepatu olahraga berkurang menjadi hanya 100.000 pasang.[1]
Sebelumnya, pada November-Desember 2014 secara bertahap para buruh juga telah di-PHK dengan alasan yang sama: efisiensi. Total buruh yang di-PHK sejak bulan November 2014 sampai Januari 2015 diperkirakan mencapai 800 buruh. Manajemen Puma menyatakan bahwa jumlah buruh yang ada terlalu berlebih untuk mengerjakan pesanan yang kian menurun. Karena itu harus dilakukan PHK secara bertahap agar rasio jumlah buruh dan tingkat pesanan tidak menyalahi disiplin efisiensi produksi. Situasi ‘menurunnya pesanan’ yang menjadi alasan manajemen diputuskan tanpa diketahui sebabnya oleh para buruh, lalu diumumkan pada rapat antara manajemen dan pengurus serikat pada pertengahan Oktober 2014.
Puma merupakan satu dari beberapa divisi[2] yang ada di pabrik raksasa pembuat sepatu olahraga, PT. Nikomas Gemilang (selanjutnya ditulis Nikomas), yang terletak di Serang Timur, provinsi Banten. Nikomas sendiri terkait dengan perusahaan kontraktor pembuatan sepatu olahraga, Pou Chen Group, asal Taiwan. Di Nikomas, terdapat beberapa divisi yang memproduksi berbagai merk sepatu olahraga ternama seperti, Nike, Adidas, Puma, Asic, Converse, dan beberapa lainnya. Divisi Puma diperkirakan mempekerjakan sedikitnya 13.000 buruh, dan dari jumlah tersebut sekitar 80 persennya memiliki masa kerja di bawah tiga tahun. Selain Puma, terdapat divisi Nike yang memperjakan lebih 22.000 buruh[3], divisi Adidas yang mempekerjakan lebih dari 20.000 buruh, dan beberapa divisi lainnya yang masing-masing mempekerjakan lebih dari 10.000 -15.000 buruh. Secara total, Nikomas mempekerjakan kurang lebih 80.000 buruh[4], dan dari angka ini presentasi buruh yang memiliki masa kerja di bawah tiga tahun sebanyak 80 persen, dan 90 persen adalah buruh perempuan.[5]
Benarkah Pesanan Menurun? Pola Produksi Industri Sepatu Olahraga
Status terkait penurunan pesanan di divisi Puma, yang berujung pada PHK, menyisakan kejanggalan yang perlu diteliti. Pertama terkait asumsi di balik penurunan pesanan, dan kedua terkait kelebihan pasokan buruh.
Pada pertengahan September 2014 manajemen divisi Puma merekrut lebih dari 200 buruh baru. Namun sebulan setelahnya manajemen divisi Puma mengumumkankan bahwa pesanan untuk produksi sepatu olahraga Puma menurun drastis, lantas melakukan PHK terhadap buruh, yang mulai dijalankan sejak November 2014 hingga pertengahan Januari 2015. Buruh-buruh yang masih dalam masa pelatihan pun, yang diterima bekerja pada akhir September 2014, termasuk dalam gelombang PHK tersebut. Fakta yang terjadi secara berurutan dalam kurun yang sangat dekat ini mengandung kejanggalan.
Pada dasarnya, proyeksi bisnis industri sepatu olahraga bisa diprediksi dengan jelas, baik oleh perusahaan pemberi maupun oleh perusahaan penerima pesanan. Aktivitas bisnis mulai dari kesepakatan penerimaan pesanan, pengerjaan, distribusi, sampai penjualan dapat dikalkulasi sesuai dengan kecenderungan pasar yang menjadi karakter industri sepatu olahraga. Tren pasar pada industri sepatu olahraga berbeda, misalnya, dengan tren pasar pada industri makanan. Di industri sepatu olahraga, produksi barang, yang dilakukan sesuai pesanan, cenderung naik-turun pada setiap sesi/musim dalam kalender produksi, sebagaimana pantulan langsung dari daya beli di pasar. Sedangkan di industri makanan, produksi barang cenderung stabil untuk setiap sesi produksi. Ibaratnya, seseorang tidak membeli sepatu olahraga tiap hari, tetapi membeli makanan setiap hari. Selain itu, model dan rancangan sepatu olahraga berganti setiap musim, sedangkan model makanan jarang berganti kecuali kemasannya. Industri sepatu olahraga, seperti halnya industri penerbangan, juga telah memiliki iramanya sendiri. Ada musim dimana penjualan sepatu olahraga naik (peak season), dan ada musim dimana penjualan sepatu olahraga turun (low season). Jelas dapat dibaca pada periode mana saja terjadi lonjakan pembelian sepatu olahraga (contoh, awal musim liga sepakbola) dan penurunan pembelian (akhir musim).
Sumber penulis, N, yang bertahun-tahun bekerja pada bagian purchasing di beberapa perusahaan garmen, termasuk sepatu olahraga, mengatakan bahwa alasan PHK massal karena terjadi penurunan pesanan, padahal satu-dua bulan sebelumnya telah melakukan rekruitmen buruh, adalah sesuatu yang janggal. Menurutnya, perusahaan pembuat sepatu olahraga di manapun telah menerima kontrak pesanan dari perusahaan pemegang merk (buyer), dalam hal ini Puma, antara enam bulan sampai satu tahun di muka sebelum proses produksi dikerjakan. Hal ini karena perusahaan pembuat harus memahami setiap design sepatu olahraga yang diberikan oleh pemberi pesanan. Ketepatan setiap bentuk lekukan, warna, asesoris, dan bahan baku, bukan sesuatu yang bisa ditawar. Karena itu perusahaan penerima pesanan biasanya diminta membuat sample (contoh) terlebih dahulu, kualitas pembuatan sample akan sangat berpengaruh kepada diberikan atau tidaknya pesanan tersebut. Setelah sample dinyatakan lolos, maka tahap selanjutnya adalah menyiapkan setiap bahan baku yang dibutuhkan, membuat pembagian kerja berdasarkan desain sepatu, dan melakukan sekian negosiasi bisnis selanjutnya.[6]
Sebagaimana lazimnya, tidak seluruh bahan baku dibuat sendiri oleh perusahaan penerima pesanan, dan harus dipesan dari beberapa perusahaan lain. Sebagian bahan baku, misalnya beberapa jenis warna ada yang harus diimport dari Vietnam. Ketika menyiapkan bahan baku saja, Nikomas, dalam hal ini divisi Puma, harus melakukan berbagai pesanan kepada beberapa perusahaan sub-kontraknya, dan memastikan bahwa bahan baku dapat dipasok sesuai waktu. Sementara itu, perusahaan sub-kontrak tidak hanya memasok bahan baku untuk Puma, tetapi juga kepada perusahaan lain, memiliki perhitungan tersendiri. Jelas terdapat kompleksitas dalam rantai pasokan industri sepatu olahraga, yang perlu dihitung agar sepatu olahraga Puma dapat dibuat, didistribusi, dipasarkan, dan kelak dipakai bintang sepakbola Cesc Fabregas.
Dalih penurunan pesanan di divisi Puma sebagai alasan PHK merupakan sesuatu yang mencurigakan, mengingat mereka seharusnya telah memiliki kontrak pengerjaan pesanan sejak 6 bulan sampai 1 tahun sebelum proses produksi dilakukan. Selain itu kontrak pesanan biasanya berlaku selama satu tahun kalender produksi, atau satu musim pasar, sehingga perusahaan pembuat sepatu olahraga telah memiliki proyeksi produksi sepanjang satu tahun. Contoh ilustasinya seperti ini:
- Januari 2014: Puma dan Nikomas berhasil membuat kesepakatan kerjasama sepanjang satu tahun kalender produksi, misal 1 juta pasang sepatu perbulan;
- Juni 2014: paling cepat proses produksi bisa dilakukan oleh Nikomas, karena harus membuat sampling, menyiapkan bahan baku dan tahap-tahap lainnya.
- Juni 2014-Mei 2015: proses produksi dilakukan.
Pertanyaannya kemudian: mengapa manajamen Puma melakukan rekruitmen buruh satu hingga tiga bulan sebelum terjadi penurunan pesanan? Padahal penurunan pesanan bisa diketahui 6 bulan sampai satu tahun sebelumnya. Selain manajemen Puma juga sudah memiliki proyeksi produksi sepanjang satu tahun. Atau jika manajemen Puma tahu pesanan akan turun bulan depan, mengapa mereka melakukan pengangkatan buruh baru bulan ini?
Angka penurunan pesanan yang mencapai 90 persen, jika itu benar adanya, adalah sesuatu yang jauh lebih mengada-ada lagi. Mari kita lihat perhitungan matematis sederhananya: 800 buruh yang ter-PHK adalah 1 persen dari total buruh divisi Puma sejumlah 13.000. Jika terjadi penurunan pesanan mencapai 90 persen, kenapa yang di-PHK hanya 1 persen dari total buruh?
Sumber penulis lainnya, J, yang telah bekerja lebih dari 13 tahun di divisi Nike Nikomas, bercerita bahwa situasi naik-turun pesanan bagi perusahaan pembuat sepatu olahraga merupakan karakter dasar dari industri tersebut. Bagi perusahaan sepatu olahraga dengan stabilitas pesanan sebaik Nikomas, naik-turunnya pesanan adalah hal biasa.[7]
Selain fluktuasi pesanan, tingkat target produksi –biasanya disebut sebagai target eksport– juga naik-turun dan kemudian membentuk musim atau pola. Pada bulan-bulan tertentu dalam rentang satu tahun selalu ada masa dimana target produksi naik, biasanya menjelang natal atau lebaran; lalu pada bulan-bulan lainnya tingkat target produksi turun. Pada momen-momen tertentu, penerimaan pesanan bisa melesat naik; biasanya pada saat terjadi perhelatan rutin olahraga tingkat dunia, seperti olimpiade, piala dunia, piala Eropa, dll. Karenanya, ketika berhadapan dengan fluktuasi target produksi yang lazim itu, justru akan menjadi tidak efisien jika perusahaan pembuat sepatu olahraga mem-PHK sebagian buruhnya ketika target produksi sedang turun, dan merekrut kembali ketika target produksi sedang naik. Hal tersebut justru merupakan ‘pemborosan’, karena perusahaan harus mengeluarkan ongkos pecat (pesangon, uang pisah, uang jasa, dll), dan ongkos rekruitmen serta training secara terus menerus.
Apa yang biasanya dilakukan oleh perusahaan dengan karakter bisnis seperti ini adalah, memastikan tingkat ketersedian buruh berada pada angka yang proporsional dengan tingkat target produksi terendah. Ketika tiba saatnya target produksi naik, maka perusahaan akan memaksa buruhnya bekerja lebih keras. Caranya dengan menambah target kerja dan memaksa buruhnya mengambil lembur panjang. Kira-kira inilah yang disebut sebagai produktif dan efisien: buruh dipaksa bekerja lebih keras sampai batas kemampuan fisiknya habis dan akhirnya sering terjadi pingsan dan kesurupan massal.
Kemudian jika penurunan pesanan ternyata memiliki sekian kejanggalan, ada apa di balik PHK massal di divisi Puma? Sumber penulis yang telah bekerja cukup lama pabrik Nikomas mengemukakan kecurigaannya, bahwa yang terjadi di Puma bukan penurunan pesanan, melainkan terdapat volume pasokan buruh yang berlebihan dan tak terkontrol. Hal ini akibat praktik perekrutan buruh di luar mekanisme formal oleh Mafia Lamaran Kerja, atau dikenal dengan sebutan Marlan.
Nikomas dan Mafia Lamaran Kerja
Di kawasan Nikomas dan kelurahan sekitarnya, praktek Marlan[8] (sering juga disebut Marwan, yaitu Makelar Karyawan) sangat populer dan telah menjadi rahasia umum. Praktik itu merujuk pada aktivitas perekrutan buruh, lebih tepatnya percaloan buruh, yang dilakukan oleh kelompok tertentu di sekitar perusahaan, hal mana sejumlah konsesi untuk mengangkat dan memasok buruh ke dalam Nikomas justru diberikan oleh manajemen di Nikomas.[9] Tanpa melalui Marlan, rasanya sulit untuk bekerja di pabrik Nikomas. Seorang calon buruh yang ingin bekerja di pabrik Nikomas, mesti membayarkan sejumlah uang kepada geng Marlan. Ada perbedaan tarif yang dipatok antara geng Marlan, namun secara umum, tarif untuk tahun 2014, berkisar antara 4-5 juta untuk buruh perempuan yang akan bekerja sebagai operator mesin, dan 6 – 7 juta untuk laki-laki yang akan bekerja sebagai mekanik. Tarif-tarif ini akan menjadi lebih mahal jika dibayar dengan cara mencicil.[10]
Praktik percaloan buruh yang sistematis, masif, dan struktural di Nikomas, sudah menyerupai lahan bisnis baru, yang secara ganjil berdampingan erat dengan bisnis sepatu olahraga. Praktik Marlan dijalankan oleh jejaring otoritas di dalam, dan kelompok orang kuat lokal yang berada di sekitar Nikomas. Kelompok orang kuat lokal dalam bisnis Marlan dipimpin oleh lurah setempat bersama anak buahnya. Sementara itu di dalam Nikomas, Marlan dijalankan oleh para pemegang kewenangan dalam urusan merekrut pekerja. Keduanya bekerjasama dan berbagi keuntungan.
Bisnis percaloan buruh di Nikomas sangat menggiurkan dan menguntungkan. Terlebih karena angka keluar masuk buruh (turn over) di Nikomas yang sangat tinggi –yang menjadi karakter dari pasar kerja di industri garmen dan sepatu olahraga. Pada tahun 2011, dengan angka turn over buruh mencapai 800 orang perbulan, keuntungan dalam bisnis percaloan buruh di Nikomas dihitung mencapai lebih dari Rp. 1,2 miliar perbulan, atau lebih dari Rp. 12 miliar pertahun.[11] Jika angka rata-rata turn over itu tidak berubah, maka dengan tarif tahun 2014, maka perputaran uang dalam bisnis Marlan saja bisa mencapai lebih dari Rp. 3,2 miliar perbulan, atau lebih dari Rp. 38 miliar pertahun!
Di divisi Puma, diduga kuat terdapat beberapa ‘staf lokal’ (manajemen) di bagian HRD yang terlibat sindikat Marlan. Menurut buruh Puma yang lain[12], sepak terjang para staf HRD lokal kerap tidak terendus oleh atasan mereka, para pekerja asing, yang masuk kategori top management. Hal ini karena top management hanya sesekali mengunjungi Nikomas, dan itupun untuk waktu yang singkat, karena harus pergi lagi ke perusahaan lainnya. Para staf lokal bertindak di luar aturan formal perekrutan buruh sebagaimana standar prosedur perusahaan, dengan memberikan jatah pasokan secara manasuka kepada lurah atau jawara, tanpa perhitungan atas jumlah buruh dan barang yang dikerjakan. Dari sini, kaki tangan lurah maupun jawara lokal setiap waktu akan turun merengsek jauh ke dalam lorong-lorong kontrakan buruh sekitar Nikomas, bergelirya menawarkan lowongan kerja dengan bayaran sejumlah uang.
Pemberian jatah secara manasuka membuat tidak terkontrolnya arus pasokan buruh ke dalam pabrik. Pada line (bagian) produksi, misalnya pada bagian menjahit (sewing), pertambahan jumlah pekerja (operator mesin) kemudian melebih jumlah mesin yang tersedia. Misalnya, satu line (grup) bagian sewing hanya memerlukan 4 operator, karena jumlah mesin hanya empat, namun karena praktik Marlan yang tidak terkontrol, akhirnya harus menampung 7-8 pekerja. Akibatnya 3-4 pekerja hanya bisa menunggu giliran ganti kerja karena seluruh mesin sewing sudah terpakai. Pada line produksi yang lain, yang tidak menggunakan sistem kerja satu mesin satu orang, misalnya pada bagian assembling (pemasangan) outsoles (alas sepatu), jika 12 pasang sepatu dikerjakan 4 orang biasanya selesai dalam waktu 1 jam, maka ketika dikerjakan 7-8 orang bisa hanya selesai dalam waktu setengah jam. Akhirnya tersisa banyak waktu luang. Karenanya, buruh-buruh pada bagian produksi yang tidak sedang bekerja, baik karena menunggu giliran, atau karena pekerjaannya sudah selesai, kerap diperintahkan untuk membersihkan lantai, toilet, membantu pekerjaan di kantin, atau dialihkan pada divisi produksi lainnya. Sumber penulis, A, beberapa kali mendengar mandor pada bagian produksi memprotes penambahan jumlah buruh kepada pihak HRD. Hal ini karena jumlah buruh yang tersedia telah melebihi jumlah kebutuhan buruh pada bagian produksi itu sendiri.[13]
Saking parahnya, bahkan sampai ada buruh yang dipasok melalui mekanisme Marlan, yang tidak tercatat sebagai pekerja pada pangkalan data (database) divisi Puma. Upah yang dibayarkan kepada buruh-buruh ini bukan berasal dari manajemen Puma, tapi bersumber dari uang setoran buruh baru, yang juga tidak terdaftar pada pangkalan data divisi Puma. Lingkaran percaloan seperti ini berlangsung terus, sampai akhirnya membebani terlalu berat. Demi mengatasi beban pada produksi itulah, dilakukan PHK massal atas nama efisiensi. Untuk mengurangi ongkos pemecatan, PHK massal diberlakukan bagi buruh yang masa kerjanya di bawah 11 bulan, dengan pembayaran pesangon sesuai ketentuan undang-undang. Sebagian buruh yang bekerja di bawah empat bulan, dan masih berstatus training (ujicoba), mendapatkan nilai kompensasi PHK sebesar 6 juta rupiah.
Mafia Lamaran, Rezim Pabrik yang Eksploitatif
Praktik Mafia Lamaran Kerja atau Marlan telah membuat pasokan buruh menjadi tidak terkontrol kemudian melebihi kebutuhan produksi. Hal ini membuat komponen biaya buruh (labour cost) di dalam biaya produksi (production cost) menjadi tidak rasional. Pada titik inilah praktik Marlan telah menjadi parasit di dalam pabrik. Baik terjadi penurunan pesanan atau tidak, pasokan buruh yang melebihi kebutuhan produksi tetaplah bermasalah.
Sekarang mari kita lihat kemungkinan lain. Jika divisi Puma memang benar mengalami penurunan pesanan, sesuatu yang pastinya diketahui oleh manajemen 6 bulan sampai 1 tahun sebelumnya, lalu mengapa tetap dilakukan pengangkatan atau perekrutan buruh tiga sampai satu bulan sebelum penurunan pesanan terjadi? Kemungkinannya adalah karena praktik Marlan menjadi semakin tidak terkontrol. Tentu keterlibatan pihak manajemen – yang memiliki wewenang melakukan rekrut dan pecat terhadap buruh – dalam jaringan Marlan ini akhirya turut membentuk rezim pabrik yang makin eksploitatif. Hal ini mereka lakukan tanpa peduli jika pasokan buruh yang ada telah melampaui batas kebutuhan produksi, bahkan tidak peduli akan terjadi penurunan pesanan. Mereka tahu akan terjadi penurunan pesanan, satu bulan setelah mereka memeras uang dari para calon buruh yang akan mereka di-PHK dengan alasan efisiensi.
Para buruh yang bekerja di Nikomas dan kerap tertimpa deraan persoalan di atas sebagian besar adalah perempuan berusia muda dan pendatang. Demi bisa bekerja di Nikomas di kota Serang, mereka pergi jauh dari kampung halamannya yang miskin, menumpang tidur di kontrakan saudaranya yang sesak dan lembab, lalu bersusah payah membayar empat hingga lima juta kepada Marlan agar bisa diterima bekerja di Nikomas. Sebagian uang itu mungkin didapat dari menjual hewan ternak milik orang tuanya, atau dari berhutang kepada rentenir. Kemudian dengan hati gembira dengan sekian harapan yang tumbuh, merekapun mulai bekerja. Namun nasib mau dikata apa, belum sampai tiga bulan mereka dipecat. Hewan ternak tak terganti, hutang di rentenir semakin bertambah, sementara mereka akhirnya tetap menganggur. Sebagian dari mereka beruntung karena bisa segera masuk kerja di pabrik lain, walau dengan cara merelakan uang kompesansi PHK untuk kembali membayar Marlan. Tapi sayang, sebagian lain harus menunggu terlalu lama, sementara rasa lapar tak bisa menunggu. Uang kompensasi PHK semakin berkurang, dan tak cukup lagi untuk membayar Marlan. Mereka lalu memutuskan pulang kampung dengan hati penuh duka.
____________________
[1] Wawancara A, buruh divisi Puma – Nikomas, 25 Januari 2015. A mendapatkan angka tersebut dari desas-desus yang menyebar sepanjang terjadinya rentetan PHK massal. Ia tidak begitu yakin dengan angka tersebut, menurutnya yang tahu pasti hanya pihak manajemen Puma, dan selama ini tidak pernah ada pemberitahuan resmi dari pihak manajemen berapa angka penurunan order yang terjadi. Penulis meletakan angka tersebut sebagai desas-desus yang menyebar, karena tidak adanya angka resmi yang diumumkan oleh manajemen Puma.
[2] Setiap divisi di Nikomas mempunyai struktur manajemen tingkat divisi, dimana salah satu dari sekian tugasnya adalah menyelenggarakan perekrutan tenaga kerja.
[3] Data diunduh dari, http://lokerbanten.blogspot.com/2012/11/lowongan-kerja-banten-pt-nikomas.html; angka jumlah buruh selain di divisi Nike, penulis dapat melalui wawancara. Nikomas adalah perusahaan alas kaki dengan jumlah buruh terbesar. Pada salah satu brosurnya yang diterbitkan tahun 2012, Pou Chen Group menyatakan bahwa jumlah buruh di kedua pabrik mereka di Indonesia adalah 120.000. Jika data itu benar, maka kira-kira seperlima buruh alaskaki Indonesia bekerja di perusahaan ini.
[4] Abu Mufakhir, “Nikomas dan Jawara: Politik Pengendalian Buruh,” diunduh dari,www.majalahsedane.net/2014/02/nikomas-dan-jawara-politik-pengendalian.html?m=1
[5] Wawancara M, buruh divisi Nike – Nikomas, 25 Januari 2015.
[6] Wawancara N, 25 Jan 2015
[7] Wawancara J, 25 & 26 Januari 2015
[8] Istilah Marlan lebih tepat digunakan daripada Marwan, mengingat sistematis, massif, struktural dan luasnya jaringan praktek Marlan di Nikomas.
[9] Lihat Abu Mufakhir, “Nikomas dan Jawara: Politik Pengendalian Buruh, www.majalahsedane.net/2014/02/nikomas-dan-jawara-politik-pengendalian.html?m=1
[10] Jika dibandingkan dengan tahun 2011, tarif rata-rata bagi buruh perempuan yang ingin bekerja sebagai operator saat itu adalah Rp.1,5 juta, maka tarif Marlan tahun 2014 mengalami kenaikan lebih dari dua kali lipat. Sementara bagi buruh laki-laki pada bagian mekanik mengalami kenaikan 50 persen, dari tarif rata-rata tahun 2011 sebesar 4 juta, ibid
[11] Abu Mufakhir, Ibid
[12] Wawancara A, buruh divisi Puma – Nikomas
[13] Wawancara A, ibid