Tulisan ini mendeskripsikan mengenai peringatan May Day di Indonesia sejak pra-Kemerdekaan hingga ditetapkannya kembali 1 Mei sebagai hari libur nasional, pada 2013. Selain memperlihatkan watak internasionalisme gerakan buruh, 1 Mei menjadi ajang penting mengekspresikan berbagai persoalan perburuhan. Dalam konteks itu pelarangan 1 Mei di zaman Soeharto, meski pada masa Kemerdekaan 1 Mei menjadi hari raya besar bagi masyarakat umum, merupakan upaya menghapus jejak metode perlawanan buruh dan menundukkan buruh dalam skema pelipatgandaan keuntungan. Tulisan ini memperlihatkan pula mengenai perbedaan penting mengenai pengakuan 1 Mei di masa Kemerdekaan dan di Era Reformasi. Dengan menguatnya rezim pasar kerja fleksibel, perlu memikirkan strategi-strategi yang lebih efektif untuk memajukan hak-hak dasar buruh.
Hari Solidaritas Internasional: Pengantar
Peliburan 1 Mei di Indonesia membantah keyakinan bahwa hari tersebut sebagai hari rayanya negara-negara atau orang-orang Sosialis atau Komunis. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia merupakan negara kesembilan yang menetapkan 1 Mei sebagai hari libur untuk memeringati Hari Buruh Internasional. Peringatan 1 Mei terjadi di 96 negara di Benua Amerika, Eropa, Afrika, dan Asia, sebagai hari raya bersama maupun sebagai hari libur.[2]
Kisah “Pembantaian Haymarket” seringkali disalahpahami dan disebut sebagai hari kemenangan 8 jam kerja. Selain itu, jarang sekali mendiskusikan peringatan 1 Mei di Indonesia.
Pengakuan 8 jam kerja bukan pada 1886. Peristiwa Haymarket adalah peristiwa pembantaian, yang ditetapkan sebagai hari solidaritas internasional pada 1889. Gerakan tersebut merupakan rangkaian dari “Gerakan Pengurangan Jam Kerja (Short-time Movement) dan “Gerakan Delapan Jam Kerja (Eight-hour Movement)” menuntut pengurangan jam kerja, melarang buruh anak atau pembatasan usia kerja, dan kondisi kerja yang aman, dan kenaikan upah.[3]
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengakui 8 jam kerja pada 1919 dan pengakuan jenis pekerjaan yang aman bagi perempuan pada 1935. Indonesia mengakui 8 jam kerja, 1 Mei sebagai hari libur tanpa pengurangan upah, larangan buruh anak, dan lain-lain pada 15 Apri 1948 melalui UU (Undang-Undang) Kerdja. Pengakuan 1 Mei sebagai libur di masa Kemerdekaan, otomatis dicabut ketika keluar Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.[4]Peristiwa lain yang melatari Tragedi Haymarket adalah debat hebat para intelektual perburuhan, setelah 15 tahun keruntuhan Komune Paris dan Internasional I.
Para peserta Haymarket justru berasal dari buruh-buruh ‘tidak terampil’. Peristiwa berdarah tersebut menjadi media konsolidasi pegiat perburuhan di masa itu, sehingga dicanangkan sebagai hari solidaritas internasional menjelang pembentukan Internasionale II.[5] Pelajaran penting lain dari kemunculan gerakan buruh di Haymarket adalah munculnya model serikat buruh baru (new unionism) yang “ … mulai menyeret serikat buruh lama yang kaya dan sombong”.[6]
Tulisan ini mendiskusikan, pertama, bagaimana gagasan 1 Mei dan politik jalanan menyebar ke serikat-serikat buruh di Indonesia. Kedua, akan diperlihatkan bagaimana kerangka utama pelarangan 1 Mei di zaman Soeharto. Ketiga, mendeskripasikan peringatan 1 Mei di masa pra-Kemerdekaan, sebagai bagian integral dari perjuangan kemerdekaan. Keempat, akan memperlihatkan bagaimana peringatan 1 Mei diperingati oleh serikat-serikat buruh di masa Kemerdekaan. Kelima, tulisan ini menutup diskusi dengan mengetengahkan diperbandingkan makna peliburan 1 Mei pada 2013 dalam hubungannya dengan pasar kerja fleksibel.
Peringatan 1 Mei di Era Reformasi Penulis membagi peringatan 1 Mei di Era Reformasi menjadi dua periode, yaitu pra-2006 dan pasca-2006. Tahun 2006 menjadi tonggak utama karena pada tahun tersebut hampir seluruh serikat buruh menggunakan 1 Mei untuk berdemonstrasi dan mengemukakan persoalan perburuhan. 1 Mei merupakan momentum pertemuan tuntutan dan sasaran demonstrasi untuk membangun kerjasama atau aliansi.
Pada 2006, pemerintah meyakini perlu merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2003. UUK dianggap kurang fleksibel dan tidak ramah investasi sehingga perlu diperlonggar lagi. Maksud tersebut telah dicanangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Revisi UUK melibatkan akademisi dari lima perguruan tinggi (Unpad, UGM, UI, USU, Unhas).
Atas rencana revisi UUK 13, serikat buruh protes. Tiga hari sebelum 1 Mei, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menginstruksikan anggotanya untuk menggelar Hari Buruh Sedunia dengan mengusung penolakan revisi UUK Nomor 13 Tahun 2003. Di berbagai media massa, pimpinan KSBSI menegaskan bahwa 1 Mei bukan harinya orang Komunis. Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menginstruksikan anggotanya untuk menolak revisi UUK. Namun dilaksanakan pada 3-5 Mei. Selain serikat-serikat di atas, di 1 Mei 2006 hadir aliansi buruh menggugat (ABM). ABM menyerukan mogok nasional untuk menolak revisi dan menuntut pencabutan UUK Nomor 13. Anggota ABM adalah campuran dari serikat-serikat buruh ‘lama’, pecahan dari serikat buruh ‘lama’ dan serikat-serikat buruh ‘baru’. Tak kurang 49 organisasi buruh bergabung di ABM. Dengan cepat ABM menjadi aliansi yang diperhitungkan dengan mengorganisasikan jaringannya di 16 provinsi. Pada Konferensi I Juli 2006, ABM merumuskan isu-isu yang lebih luas, seperti penghapusan hutang luar negeri, nasionalisasi aset-aset vital yang dikuasai asing, industrialisasi nasional dan pemberantasan KKN. Di tubuh ABM ada dua organisasi yang cukup diperhitungkan karena struktur anggotanya berada di beberapa wilayah, yakni Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).
1 Mei 2006 diperingati di berbagai wilayah Indonesia. Terdapat dua slogan yang diungkapkan secara berbeda, yaitu Aliansi yang membahasakan Tolak Revisi UUK 13/2003; dan Aliansi yang membahasakan Tolak UUK 13/2003 dan Revisinya. Di Jakarta 1 Mei diikuti lebih dari seratus ribu orang. Peringatan 1 Mei dilakukan juga di Jawa Tengah (Surakarta, Semarang), Jawa Barat (Bandung, Bogor, Depok, Cianjur, Karawang), Jawa Timur (Malang, Surabaya), Banten (Tangerang), Sumatera Utara (Medan), DIY Yogyakarta (Yogyakarta), Lampung, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau (Batam), dan Sulawesi Selatan (Makassar). Di daerah-daerah tersebut jumlah keterlibatan massa bervariasi dari seratus orang hingga sepuluh ribu orang. Sasaran aksi protes adalah badan-badan pemerintah dan kantor DPR. Di tahun ini, serikat-serikat perusahaan negara maupun perkebunan tampak tidak muncul dalam peringatan 1 Mei. Sebelum 2006, peringatan 1 Mei hanya populer di serikat-serikat buruh yang didirikan di luar kendali Soeharto. Lima tahun setelah 20 Februari ditetapkan sebagai Hari Pekerja Nasional, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) memperingati 1 Mei dengan cara demonstrasi di Semarang dan Jakarta, pada 1995. Di Semarang demonstrasi diikuti oleh 1000 buruh dan 250 mahasiswa. PPBI menuntut kebebasan berorganisasi, pencabutan dwi fungsi ABRI, dan kenaikan upah minimum dari Rp3.200 per hari menjadi Rp7.000 per hari. Sementara di Jakarta, peringatan tersebut diikuti oleh sekitar 85 orang. Dua protes tersebut dibubarkan aparat keamanan karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Beberapa pemimpin aksinya pun ditangkap. Pada 2001-2005, aliansi yang cukup menonjol adalah Komite Aksi Satu Mei. Tidak kurang dari 53 organisasi buruh tergabung di dalamnya. Selain serikat-serikat buruh regional yang didirikan secara independen, Komite Aksi Satu Mei berhasil mengorganisasikan serikat-serikat buruh yang keluar dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) maupun masih dalam SPSI. Komite Aksi Satu menyerukan mogok nasional di 1 Mei dengan mengorganisasikan buruh dari Tangerang, Bekasi, dan Bogor. Aksi protes dipusatkan di HI dan dan Istana Negara. Dari 2006-2009, ABM membawa dampak luar biasa bagi serikat buruh lain dengan munculnya tuntutan ‘upah layak nasional’. Pada May Day 2007, ABM telah menggelorakan tuntutan pembentukan undang-undang proburuh dan upah layak nasional. 1 Mei 2007 peringatan May Day diperingati di berbagai daerah dengan ‘bintang lapang’ ABM. Di Jakarta, ABM mengorganisasikan protes 20 ribu orang. Di Aceh dan Palembang, tak kurang dari seribu buruh turun berdemonstrasi. Sementara di Medan, Banten, Bandung, masing-masing menurunkan massa lima ribu orang. Di Semarang protes diikuti dua ribu buruh, di Yogyakarta 200 buruh, dan di Surabaya tiga ribu buruh. Peringatan May Day dengan cara lain dan cukup mencolok adalah May Day Fiesta pada 2008. May Day Fiesta diselenggarakan di Gelora Bung Karno dengan mengorganisasikan 20 ribu buruh dari Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Kegiatan tersebut diorganisasikan dalam forum aliansi pekerja, yang terdiri dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Serikat Pekerja Nasional (SPN), dan Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Metal Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP LEM SPSI). Acara tersebut mampu menghadirkan grup band Nidji. Turut mengisi panggung adalah Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Anggota DPR RI Suripto. Saat itu, keduanya menjabat sebagai petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Karena beberapa petinggi di forum aliansi pekerja pun menitipkan calon legislatifnya di partai tersebut untuk Pemilu 2009, kegiatan tersebut menjadi sasaran kritik sebagai upaya meraup suara Pemilu.[7] Ada dua penulis yang mengkritik kegiatan di atas melalui tulisan, May Day: Perayaan atau Peringatan;[8] dan Mayday Fiesta: Terlalu Sengsara untuk Berpesta.[9] 1 Mei 2008, pawai dan demonstrasi ABM menghiasai media massa nasional. Di luar ABM ada pula Front Perjuangan Rakyat (FPR), yang merupakan gabungan serikat-serikat buruh yang sempat bergabung di ABM. Meski tidak menggeser nama ABM, FPR masih dipergunakan sampai 2015. Di awal pembentukannya, FPR mengorganisasikan tak kurang dari 34 organisasi lintas sektor. FPR mengeluarkan slogan, upah, tanah, dan kerja. Selain di Jakarta, FPR terbentang dari Sulawesi dan Aceh. Bersamaan dengan melayunya ABM, tahun 2010 KAJS mulai tampil dengan mengusung tema pengesahan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), jaminan kesehatan seumur hidup untuk seluruh rakyat Indonesia, dan jaminan dana pensiun wajib untuk buruh formal. Dalam selebarannya, KAJS didukung oleh 65 organisasi buruh, tani, dan mahasiswa. Secara umum aliansi tersebut terdiri dari SPSI dan mantan SPSI, di mana FSPMI tulang punggung utamanya. KAJS sukses mendorong pengesahan RUU BPJS, pada Oktober 2011. Rupanya, metode pawai dan demonstrasi tersebut cukup membekas bagi kalangan anggota KAJS dan seolah menggedor-gedor keyakinan lama mengenai ‘perundingan’ sebagai strategi utama menyelesaikan persoalan perburuhan.
Periode 2006-2015, peringatan Hari Buruh Sedunia semakin popular di kalangan serikat buruh. Di spanduk, selebaran, poster, jaket maupun kaos buruh tertulis May Day disertai tuntutannya. Di balik semarak demonstrasi dan pertumbuhan serikat buruh, persoalan perburuhan pasca-2006 semakin banyak diwarnai oleh pelanggaran hak dasar. Namun, tuntutan-tuntutan seperti tuntutan 32 jam kerja seminggu, menolak hutang luar negeri, dan mencabut UUK Nomor 13 Tahun 2003, yang disuarakan pada 2000-an nyaris tidak disuarakan lagi.
Soeharto dan Peringatan 1 Mei Di awal berkuasanya, ketika mengganti Menteri Perburuhan menjadi Menteri Tenaga Kerja, Soeharto masih memperolehkan peringatan 1 Mei, pada 1966. Setelah itu 1 Mei dilarang. Soeharto menghapus 1 Mei sebagai hari libur nasional melalui Surat Keputusan Nomor 148/68. SK tersebut menyebutkan bahwa 1 Mei sudah tidak relevan dengan keadaan dan bukan lagi hari libur (Kompas, 20 April 1968). Jadi, Undang-Undang dihapus dengan SK.
“Kalau tidak ada peringatan, pasti terjadi geger yang enggak perlu. Saya putuskan, harus diperingati. Maka tanggal 1 Mei 1966, pemerintah Orde Baru ikut melakukan upacara tersebut. Tahun berikutnya langsung saya hapuskan. Kita cari Hari Buruh Nasional saja, tak perlu yang internasional, nanti malah harus nyanyi lagu Internasionale… segala,” demikian kata Menteri Tenaga Kerja pertama rezim Soeharto, Komisaris Besar Polisi Awaloedin Djamin, seperti dilansir Kompas (7/5/2006). “1 Mei itu Hari Buruh zaman Orde Lama. Dan sudah diganti dengan Hari Pekerja Nasional, 20 Februari, sejak tahun 1973,” kata Bomer Pasaribu saat ditanyai pendapatnya mengenai peringatan Hari Buruh oleh PPBI di Semarang dan Jakarta, pada 1995 (Gatra, 13 Mei 1995). Namun, dari berbagai fakta yang tersebar, tampaknya Soeharto menggunakan ‘teknik memutar’ untuk melarang 1 Mei. Selain itu dapat pula diduga bahwa 23 federasi serikat buruh yang mendeklarasikan diri pada 20 Februari 1973, secara internal memang tidak memiliki nilai solidaritas internasional. “… [P]emogokan yang biasanya dianggap sebagai senjata ampuh kaum buruh untuk memperjoangkan nasibnya bukan saja tidak diperlukan, tetapi juga terasa tidak cocok dengan hubungan perburuhan Pancasila”. (Pidato Soeharto, di Kongres Nasional I Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) di Istana Negara, Jakarta, 12/04/1980) Kutipan di atas, memperlihatkan bagaimana aparatur ideologis Soeharto menghancurkan berbagai berbagai metode perlawanan yang berkembang pada zaman sebelumnya. Sehingga, peringatan Hari Buruh Sedunia dan bentuk-bentuk perlawanan buruh, seperti mogok, pawai, demonstrasi, nggogol, ‘aksi cubit satu sakit semua’, dan lain-lain dapat dengan mudah distigma tidak sesuai ‘kepribadian Pancasila’. Sebelum penetapan Hari Pekerja Nasional, dalam pidato pembukaan hari ulang tahun SPSI ke-18 di Jakarta, 1991, Soeharto mengatakan: “Hal ini akan dapat lebih mudah terwujud, jika kita memandang hubungan pekerja dan pengusaha sebagai mitra kerja dan bukan sebagai buruh dengan majikan. Suasana kerja semacam inilah yang ingin kita wujudkan melalui Hubungan Industrial Pancasila, yang telah kita kembangkan sejak 16 tahun terakhir. … Hari kelahiran SPSI tanggal 20 Februari 1973, merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan gerakan pekerja di Indonesia. Pada hari itu kaum pekerja Indonesia yang terpecah-pecah, melalui deklarasi pekerja Indonesia menyatakan dirinya untuk bersatu padu dalam satu organisasi. Karena itu saya tetapkan tanggal 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional…” Di luar menetapkan ideologi harmonisme, pidato di atas memperlihatkan kejanggalan penanggalan, yaitu penyebutan 20 Februari 1973 sebagai hari kelahiran SPSI. Padahal SPSI terbentuk pada 23-30 November 1985. Sementara tanggal 20 Februari adalah hari deklarasinya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Dalil yang kerap digunakan biasanya, SPSI adalah kelanjutan FBSI.
1 Mei di Era Pra-Kemerdekaan Menurut penelurusan McVey, bangsa Tiong Hoa merupakan pelopor perayaan 1 Mei di Indonesia bahkan di Asia. Mereka tergabung dalam Kung Tan Hwee Koan dan memperingati peringatan Hari Buruh Sedunia pada 1918 di Surabaya. Informasi lain menyebutkan bahwa peringatan 1 Mei 1918 diperingati oleh kalangan serdadu dan kelasi di pelabuhan. Seperti ditulis oleh Rudi Hartono dalam berdikarionline.com (1/5/2011) dan Fajar Riadi dalam Historia.co.id (2/5/2013), peringatan hari buruh sedunia di Hindia Belanda secara rutin diperingati sejak 1918 hingga 1926. Peringatan tersebut meredup menjelang pecahnya perlawanan 1926-1927. Kala itu, peringatan 1 Mei mengangkat persoalan jam kerja yang lama, dihapusnya bonus sampai terpenuhinya kenaikan gaji, penanganan perselisihan oleh badan arbitrase, serta pelarangan pemutusan hubungan kerja tanpa alasan. Peringatan 1 Mei di Masa Kemerdekaan Masa Kemerdekaan merupakan salah satu upaya membalikkan sistem perburuhan kolonial. Masa Kemerdekaan, melalui UU Kerdja Nomor 12 Tahun 1948 berupaya memotong akumulasi kapital dengan memperkenalkan pembatasan usia, pengurangan jam kerja, larangan bekerja malam dan di pertambahan untuk perempuan dan anak-anak, waktu istirahat, melarang buruh anak, memberikan hak cuti dan waktu libur, dan menjadikan 1 Mei sebagai hari raya buruh tanpa pengurangan upah, pemecatan terhadap buruh mesti seizin negara, dan buruh diperbolehkan meninggalkan atau menuntut perusahaan jika tidak memenuhi hak buruh. Peraturan perburuhan, dan memberikan landasan perlindungan kepada buruh dengan membatasi kekuasaan pemilik modal. Berkenaan dengan peringatan 1 Mei di masa Kemerdekaan, setidaknya dapat dibagi dalam dua periode, yakni masa-masa pembentukan, yaitu dari 1946-1950 dan masa penataan, yakni pada periode 1951-1965. Penulis membaginya dengan sembarangan dan hanya merujuk Peristiwa Madiun, di mana beberapa pimpinan SOBSI dihukum mati oleh Pemerintahan Soekarno-Hatta dan pembatalan sepihak Konferensi Meja Bundar (KMB), yang melahirkan inisiatif pendudukan pabrik-pabrik besar Belanda oleh serikat-serikat buruh. Selain itu, pada 1951, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948. Di periode 1950-an pula, Pemerintah Indonesia berkali-kali meminta Belanda menyerahkan Irian Barat. Perundingan demi perundingan yang melibatkan berbagai pihak pun ditempuh. Belanda keras kepala. Pada 18 November 1957 diadakan rapat umum di Jakarta. Rapat tersebut menjadi pendorong pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Menteri Penerangan Soedibjo dan Presiden Soekarno berorasi hebat. Wakil Presiden Muhammad Hatta tidak hadir, tapi menitipkan naskah pidato. Dibanding Soedibjo dan Soekarno, menurut penulis, pidato Hatta lebih lembek. Namun ada yang menarik untuk dikutip dan tidak disampaikan oleh pidato dua orang sebelumnya. Setelah terheran-heran dengan kekeraskepalaan Belanda, Hatta berkata: “… [S]alah satu djalan jang besar effeknja diluar negeri adalah sebagai berikut. Sehari sebelum masalah Irian Barat diperbintjangkan dalam rapat-rapat PBB, misalnya tepat pukul 10 pagi djam waktu proklamasi –diadakan serentak seluruh Indonesia “pemogokan” jang misalnja, hanja lima menit lamanja. Pada saa itu semua buruh dan pegawai pada perusahaan partikulir atau djabatan negeri, berhenti bekerdja untuk selama 5 menit dan menundjukan segala perhatiannja kepada Irian Barat.” Ilustrasi Hatta menyarankan pemogokan kepada seluruh buruh untuk mogok selama limat menit. Barangkali atas dasar pidato tersebut, Menteri Penerangan, sekaligus Ketua Panitia Pembebasan Irian Barat pada 1 Desember 1957, menginstruksikan kaum buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda untuk mengadakan pemogokan pada 2 Desember 1957 selama 1 hari penuh. Merespons instruksi tersebut, anggota-anggota serikat buruh lebih cergas. Buruh tidak hanya mogok, tapi melakukan pendudukan, mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda dan mengusir manajer-manajer Belanda. Kegiatan tidak satu hari, apalagi lima menit, tapi berlangsung 3 hingga 13 Desember 1957, yakni sebelas hari (Sandra, 1961: 135). Dari 1957 hingga 1960, terlaporkan sebanyak 700-an perusahaan Belanda di Indonesia dinasionalisasi, yang berarti sekitar 70 persen perusahaan dari seluruh perusahaan asing. Setahun setelahnya baru muncul UU Nomor 86 Tahun 1958, tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda. Dengan begitu, seperti halnya UU Kerdja Nomor 12 Tahun 1948, perintah nasionalisasi pun lahir atas dorongan gerakan buruh. Sampai di sini dapat dikatakan seandainya tidak ada dorongan nasionalisasi oleh serikat buruh, hingga saat ini masyarakat Indonesia tidak akan pernah memiliki badan usaha miliki negara (BUMN). Pada 1965, May Day dilaksanakan dengan melakukan rapat raksasa di Gelora Bung Karno, dihadiri oleh ribuah buruh. Saat itu, Soekarno menyampaikan pidatonya mengenai pentingnya persatuan melawan imperialisme.
Penutup: Keppres 24 dan 1 Mei Seperti tergambar di atas, di setiap peringatan 1 Mei tak kurang dari enam sampai sebelas tuntutan diajukan di kantor-kantor pemerintahan, kawasan industri maupun tempat-tempat umum lainnya. Menariknya, jika 1 Mei bertepatan dengan hari libur seperti hari Minggu, serikat-serikat buruh akan tetap memperingati hari tersebut di hari yang sama maupun di hari yang berbeda. Meski ada serikat-serikat buruh yang memperingati 1 Mei dengan cara seminar dan jalan santai, yang paling menonjol adalah peringatan 1 Mei dengan metode pawai, parade, dan rally massa. Keluarnya Keppres 24 Tahun 2013 telah mematahkan anggapan keliru bahwa 1 Mei merupakan hari liburnya negara-negara Komunis dan peringatannya orang-orang Komunis. Kesan lain dari pengakuan 1 Mei sebagai hari libur nasional adalah upaya mengakomodasi tuntutan gerakan buruh, untuk menghindari pemenuhan tuntutan lainnya. Dalam rangka mengendalikan buruh dan menjaga tingkat keuntungan kapital, pemerintah merasa perlu menetapkan 1 Mei sebagai hari libur. Karena itu, wajar jika penetapan 1 Mei sebagai hari libur tidak secara tegas dan langsung mencabut Keppres Nomor 9 Tahun 1991, yang menetapkan 20 Februari sebagai hari pekerja nasional. Politik akomodasi lainnya dapat ditemukan dalam acara-acara ‘silaturahmi May Day’ atau spanduk-spanduk ucapan selamat aparat polisi dan perusahaan, yang selalu menyelipkan pesan tidak berdasar, ‘tidak boleh anarkis’ dan ‘mitra kerja’. Tahun 2013, Forum Investor Bekasi menyiasati 1 Mei dengan mengadakan Zikir Bersama dengan mengundang Ustaz Arifin Ilham dan Menteri Agama Suryadharma Ali dan para petinggi serikat buruh. Di daerah lain, Pemerintah Daerah mengajak beberapa serikat buruh untuk memperingatinya dengan upacara bendera, dialog interaktif, sunatan masal, menanam pohon, jalan santai, membersihkan jalan, atau membuat panggung hiburan dengan door prize. Rupanya tuntutan pengurangan jam kerja tanpa pengurangan upah di abad 21 ini sudah jarang didiskusikan di kalangan serikat buruh. Padahal, waktu merupakan media untuk pelipatgandaan keuntungan kapital. Sementara upah buruh diperhitungkan dengan angka kebutuhan bulanan dari harga barang pasar, barang-barang dipabrik diproduksi dengan satuan detik, di mana jutaan keuntungan dikumpulkan. Dengan demikian, tampaknya menuntut kenaikan upah saja tidak cukup jika tidak disertai dengan pengurangan jam kerja dan penurunan target kerja. Begitulah tuntutan May Day yang disuarakan pada peristiwa Haymarket pada 1886. Catatan: Tulisan ini versi ringkas dari, May Day, Hari Libur, dan Jam Kerja: Peringatan dan Perayaan 1 Mei di Indonesia dari 1918 hingga 2015. Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan May Day, Hari Libur, dan Jam Kerja: Peringatan dan Perayaan 1 Mei di Indonesia dari 1918 hingga 2013. [2] Lihat. International Workers’ Day. Tersedia di https://en.wikipedia.org/wiki/International_Workers’_Day [3] Robin Bachin. The Haymarket Martyrs’ Monument as a Labor Icon. Tersedia di http://www.illinoislaborhistory.org/labor-history-articles/the-haymarket-martyrs-monument-as-a-labor-icon [4] Lihat Pasal 192 UUK Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 7. [5] Lihat The International Working Men’s Association. Resolutions of the Congress of Geneva, 1866, and the Congress of Brussels, 1868. London. The Westminster Printing Company, 5 6, and 122, Drury Lank, W.C. [6] George Novack. Sejarah Internasional Pertama dan Internasional Kedua. Terj. Abdul Syukri. 1999. Tersedia di https://www.marxists.org/indonesia/archive/novack/001-2.htm [7] Said Iqbal Presiden FSPMI dan Bambang Wirahyoso Ketua Umum SPN tercatat sebagai calon legislatif dari PKS. [8] Hilmar Farid. May Day: Perayaan atau Peringatan. Tersedia di http://hilmarfarid.com/wp/mayday-perayaan-atau-peringatan/ [9] Front Perjuangan Rakyat. Mayday Fiesta: Terlalu Sengsara untuk Berpesta. Tersedia di https://fprsatumei.wordpress.com/2008/05/01/mayday-fiesta-terlalu-sengsara-untuk-berpesta/
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]