Bambang TD, Abu Mufakhir, Syarif Arifin
Pendahuluan[1]
Analisis mengenai keadaan pengupahan Indonesia mesti dimulai dari dua kebijakan, yaitu kebijakan upah minimum yang diberlakukan sejak 1980 dan lima tahun kemudian pembukaan kawasan-kawasan industri sebagai strategi utama menarik investasi asing. Sejak itu, Indonesia menjadi ‘kolam besar’ investasi asing untuk mendirikan industri manufaktur yang terintegrasi secara global, lokasi geografi yang strategis untuk menjangkau pasar Asia, dengan buruh murah yang tidak terorganisasi.
Kebijakan upah murah telah mendorong terjadinya berbagai protes buruh di kota-kota industri seperti Tangerang, Bandung dan Medan, pada 1990-an. Pasca-Orde Baru, secara khusus dalam tiga tahun terakhir (2011-2014), perlawanan terhadap kebijakan upah murah semakin meluas. Setiap tahun, pada Oktober-November, ketika Pemerintah Provinsi akan menetapkan upah minimum, berbagai serikat buruh di Indonesia menuntut menaikan angka upah minimum.
Bertahun-tahun pemerintah dan asosiasi bisnis (khususnya di sektor padat karya) memanfaatkan kebijakan upah murah. Menciptakan lapangan kerja dan merawat iklim investasi adalah alasan yang paling sering mereka ajukan untuk mempertahankan upah di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan negara tetangga lainnya (Filipina, Thailand, Malaysia, India, dan China). Dalam perlombaan upah murah (race to bottom), Indonesia bersaing dengan negara-negara lain untuk menarik investasi, yang dipercaya akan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi.
Tulisan ini akan membahas mengenai berbagai persoalan pengupahan dan kondisi kerja di sektor garmen dan tekstil, khususnya industri sepatu. Tujuan pokok dari laporan ini adalah menyediakan informasi umum dan analisis mengenai industri sepatu di Indonesia, dan selanjutnya untuk membangun argumen bagi serikat buruh untuk melawan kebijakan upah murah.
Industri Sepatu di Indonesia: Nilai Ekspor, Struktur Industri dan Jumlah Buruh
Industri sepatu di Indonesia dapat ditelusuri di bengkel-bengkel sepatu kecil dengan alat kerja manual, seperti di Cibaduyut Bandung Jawa Barat. Industri tersebut beroperasi sejak 1920-an bertahan hingga sekarang dan berhasil membangun desain dan merek sendiri. Bersamaan dengan industri kecil lainnya di beberapa kota di Jawa Barat, Cibaduyut memasok kebutuhan pasar domestik, dan bersaing dengan sepatu-sepatu impor berharga rendah.
Pada 1940-an, perusahaan sepatu asal Ceko bernama Bata membuka pabriknya di Jakarta. Akhir 1970-an dan awal 1980-an, ketika perekonomian Indonesia diintegrasikan ke pasar global, banyak perusahaan sepatu dan pakaian pemegang lisensi asal Korea Selatan dan Taiwan membuka pabriknya di Indonesia. Faktor lain yang berpengaruh terhadap perubahan tersebut adalah terbatasnya ketersediaan buruh, naiknya ongkos produksi di dua negara tersebut, serta dilenyapkannya General System Preferences (GSP), sebagai keistimewaan mengakses pasar Amerika Serikat.[2] Korindo, perusahaan asal Korea membangun pabrik sepatunya di Indonesia pada 1985. Perusahaan sepatu dan pakaian raksasa Nike membangun pabrik pertamanya di Indonesia pada 1988. Asosiasi Pengusaha Industri Sepatu Indonesia (Aprisindo) berdiri pada tahun yang sama. Ironisnya, di kurun liberalisasi modal tersebut, serikat buruh sedang dikontrol sekuat-kuatnya, yang ditandai dengan perubahan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Ketika industrialisasi bergulir cepat, sepatu sebagai subsektor industri manufaktur tumbuh sebagai salah satu produk ekspor penting, setelah kayu lapis, tekstil dan garmen. Sepatu berhasil mencapai nilai ekspor lebih dari 1 miliar dolar Amerika Serikat. Puncak nilai ekspor industri sepatu terjadi di Indonesia pada 1996, dengan nilai total ekspor mencapai 2,2 miliar dolar Amerika Serikat. Nilai ekspor mulai menurun ketika Indonesia dihantam oleh krisis ekonomi Asia (1997-1998). Industri sepatu kembali bangkit lagi pada awal 2000.
Industri sepatu terdiri dari produsen kecil, menengah, dan besar. Produsen-produsen sepatu kecil dan menengah umumnya menyasar pasar dalam negeri, sedangakan produsen besar berorientasi ekspor dan merupakan perusahaan subkontraktor dari perusahaan pemegang merek besar. Menurut Harijanto, anggota dewan Aprisindo, sekitar 70 persen perusahaan manufaktur sepatu dengan skala menengah – besar dimiliki oleh modal asing.[3] Merujuk pada data Buku Tahunan Industri Sepatu Dunia (2012), pada tahun 2011, Indonesia memproduksi 700 juta pasang sepatu (3,3 persen dari total produksi dunia). Sebagai negara berpenduduk besar dan pasar besar, Indonesa mengimpor sebanyak 32 juta pasang sepatu untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik yang mencapai 526 juta pasang sepatu. Sekitar sepertiga dari total produksi ditujukan untuk pasar dunia.
Beberapa merek sepatu yang diproduksi di Indonesia[4]
Adidas, Mod 8, Sledgers, Osh Kosh, Dockers, Eagle, Lacoste, Logo, Cerini, Chatham, Hush Puppies, Starmon, Kickers, Pierre Cardin, Reebok, Marie Claire, Bata, Pakalolo, Tommy Hilfiger, Bubblegummers, Fila, Michelin, Converse, Specs, Diadora, Piero, Ellese, Salamander, New Era, Deichmann, Sunly, Tomkins, Bertinni, Rockport, GAP, Nike, Kappa, Beltoni, Benetton, Ecco, Unicorn, Carvil.
Ekspor sepatu Indonesia meningkat terus sejak 2009. Dalam percaturan ekspor global, per 2011, Indonesia menempati posisi keenam dari 10 besar eksportir. Posisi nomor satu dikuasai China. Total ekspor Indonesia mencapai 300 juta pasang sepatu setara dengan dengan 3301 juta dolar Amerika Serikat (AS). Pada 2012, nilai ekspor sepatu Indonesia mencapai 3524 juta dolar AS (6,74 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya). Secara keseluruhan, sektor tekstil dan garmen (termasuk sepatu) berkontribusi sebanyak 2,1 persen bagi Gross Domestic Product (GDP). Nilainya mencapai 878,04 miliar dolar AS.[5]
Jenis sepatu ekspor Indonesia (2009-2011)
|
Nilai ekspor (juta USD) |
|
2009 |
2010 |
2011 |
Sepatu olahraga (semua jenis). |
1.372 |
1.976 |
2.609 |
Bukan sepatu olahraga |
365 |
525 |
693 |
Jumlah |
1.737 |
2.501 |
3.302 |
|
Kuantitas ekspor (juta pasang) |
|
2009 |
2010 |
2011 |
Sepatu olahraga (semua jenis). |
135 |
176 |
211 |
Bukan Sepatu olahraga |
58 |
75 |
91 |
Jumlah |
193 |
251 |
302 |
Sumber: Aprisindo, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS).
Berdasarkan skalanya, ada dua jenis pemain dalam industri sepatu di Indonesia: produsen sepatu berbasis rumahan dan industri sepatu menengah sampai besar yang mempekerjakan lebih dari 20 orang.[6] Industri rumahan dapat ditemukan di beberapa wilayah di Jawa Barat, seperti Cibaduyut Bandung, Ciomas Bogor, Garut, dan Tasikmalaya; di Jawa Timur seperti di Jombang, pesisir Surabaya; dan di Jogjakarta. Industri rumahan biasanya mendapatkan modal dan bahan baku (kulit, lem, dll), serta menerima order dari industri sepatu yang lebih besar, yang biasanya juga memiliki toko sepatu atau memiliki koneksi dengan jaringan pembeli besar atau perusahaan pemegang merek. Sampai 2000, bengkel sepatu di Kampung Jomin, Karawang Jawa Barat, juga memasok bagian sepatu (alas bawah dan atas) untuk perusahaan Bata, yang membuka pabrik barunya di dekat kota Purwakarta. Industri sepatu Jomin kemudian bangkrut setelah Bata menghentikan ordernya.
Industri rumahan memasok pula pasar domestik untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal kecil, seperti memasok sandal untuk hotel atau sepatu untuk pegawai negeri sipil.
Jumlah buruh di industri rumahan sangat fluktuatif (naik-turun), tergantung dari permintaan produksi. Jika produksi meningkat, jumlah orang yang direkrut pun akan bertambah. Saat musim permintaan turun, bengkel-bengkel tersebut akan tutup atau bergabung dengan bengkel lain menjadi satu bengkel. Sangat sulit untuk mengetahui jumlah buruh pada industri sepatu rumahan.
Produsen sepatu rumahan kadang-kadang bergabung dalam sebuah koperasi – seperti asosiasi dengan tingkat lokal di kota mereka. Hanya sebagian kecil dari mereka yang terdaftar sebagai anggota Aprisindo. Aprisindo umumnya beranggotakan perusahaan manufaktur besar pemasok ragam komponen dan perusahaan dagang.
Sejarah Aprisindo jelas berhubungan dengan arus relokasi perusahaan manufaktur pemasok sepatu dari Taiwan dan Korea Selatan ke Indonesia maupun ke negara Asia lainnya. Pada sebuah wawancara media pada November 1994, Tony Nava, perwakilan perusahaan Nike di Indonesia mengatakan bahwa terdapat 11 perusahaan kontraktor utama dan puluhan subkontraktor di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah mantan kontraktor Nike dalam jangka panjang yang sebelumnya beroperasi di Korea Selatan dan Taiwan. Perusahaan-perusahaan tersebut pun pada saat yang sama memproduksi merek lain seperti Reebok, Adidas dan Puma.[7]
Pengaruh Nike dan Adidas dalam Aprisindo juga jelas terlihat dalam website resmi mereka. Sementara perusahaan lain hanya terdaftar sebagai anggota biasa, dua perusahaan (Adidas Sourcing Limited dan PT Nike Indonesia) disebutkan sebagai anggota asosiasi langsung.[8] Dua anggota Aprisindo yang bukan perusahaan manufaktur langsung berkonsentrasi lebih pada kontrol mutu (quality control), mengawasi proses produksi yang di-outsource-kan ke berbagai perusahaan produksi sepatu dan pakaian, dan dalam hal pengiriman melalui kapal ke pasar global. Ketika industri menjadi semakin berorientasi ekspor, Indonesia menjadi semakin penting sebagai basis produksi Nike dan Adidas. Pada tahun fiskal 2012, sekitar 20 kontrak pabrik di Indonesia memproduksi sekitar 24 persen dari total sepatu Nike.[9] Group Adidas juga meng-outsource-kan hampir 100 persen produksinya pada pemasok. Pada tahun 2012, Group Adidas memproduksi 224 juta pasang sepatu, dan 26 persen dari jumlah tersebut paling sedikit dikerjakan oleh 60 perusahaan di Indonesia.[10]
Ada pula perusahaan manufaktur pemegang lisensi sepatu Nike di Indonesia dimiliki oleh perusahaan lokal (dalam negeri), seperti PT Hardaya Aneka Shoe Industry (HASI) dan PT Nagasaki Paramshoes Industry (Nasa).[11] Beberapa perusahaan sepatu besar asal Taiwan telah membuka pabriknya di Indonesia, antara lain: Pou Chen Corporation, Feng Tay Enterprise, Ching Luh Shoes Co, Dean Shoes Co, dan Ever Rite International Co Ltd.[12] Perusahaan manufaktur sepatu raksasa Pouchen, mendirikan pabriknya di Indonesia sejak 1992, mewakili masuknya gelombang investasi dari Taiwan pada periode 1990-an. Dengan total pekerja mencapai 110.000, Pou Chen menjadi perusahaan Taiwan terbesar di Indonesia. Perusahaan manufaktur sepatu asal Taiwan lainnya yang lebih kecil seperti Nangkang, masuk pada 2010.
Tabel di bawah memperlihatkan, dari 112,8 juta lapangan kerja, paling tidak 2 juta orang bekerja di sekor tekstil, garmen, dan sepatu. Industri sepatu mempekerjakan lebih dari 600.000 orang, dan kira-kira terdapat 1 juta orang yang bekerja di industri yang menopang industri persepatuan.
Tabel:
Jumlah buruh di industri tekstil, pakaian, dan sepatu
Jumlah buruh
|
2009 |
2010 |
2011 |
Garmen dan tekstil |
1.337.496 |
1.407.678 |
1.471.759 |
Sepatu |
446.287 |
501.410 |
601.427 |
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012. Diolah.
Meski tidak ada data resmi tentang komposisi jender, umum diketahui jika sektor garmen, tekstil, dan sepatu mempekerjakan lebih banyak buruh perempuan. Sebagai gambaran kasar, dari 131.958 pekerja di 20 pabrik yang memproduksi merek Nike dan Converse di Indonesia, presentasi buruh perempuan mencapai 75 persen.[13]
Bersambung ke bagian 2
___________________
[1] Versi lengkap tulisan ini dapat diunduh di sini: Riset Upah Buruh Persepatuan
[2] Ballinger and Olsson, Behind the Swoosh. Global Publ. Foundation, 1997. Dikutip: http://www.citinv.it/associazioni/CNMS/archivio/multinazionali/profilonike.html
[3] Lihat SindoMag. Ndoro kalah di Tanah Sendiri. No. 39 tahun I, 29 Nov-5 Des 2012.
[4] Kementrian Perdagangan. Step to the World, 2009. Hal. 15. Hanya beberapa merek.
[5] Sisanya didapat dari sektor Migas. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Industri dan Perdagangan, diolah oleh Direktorat TPT.
[6] BPS membagi industri ke dalam empat kategori: mikro (1-4 pekerja), kecil (5-19 pekerja), menengah (20-99), dan besar (mempekerjakan lebih dari 99 pekerja).
[7] Ballinger dan Olsson, 1997.
[8] lihat www.aprisindo.co.id
[9] Nike, Inc. Annual Report, 2013.
[10] Adidas Group, Pushing Boundaries, Adidas Group Annual Report 2012.
[11] Tahun 2007, dua perusahaan yang dimiliki oleh Hartati Moerdaya menarik perhatian publik ketika Nike memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak ordernya. Di bawah tekanan yang kuat, Nike akhirnya memutuskan untuk memberikan perpanjangan kontrak selama dua tahun. Dengan syarat perusahaan harus memodernisasi fasilitas produksinya dan meningkatkan kualitas produk.
[12] Dua perusahaan, Pou Chen dan Teng Fay memasok 45 persen sepatu Nike di seluruh dunia.
[13] Diolah dari data yang dimuat di website resmi Nike (http://nikeinc.com/pages/manufacturing-map ). Diakses: Agustus 2013.
Penulis
-
Syarif Arifin
-
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane