MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Menolak Penggembosan Kesadaran Buruh

“8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi”. Jangan sampai kita lupa. Dari slogan itu terdapat jejak sejarah panjang; keringat bercucuran dan darah yang menetes. Ada martir yang terbunuh dari kalangan buruh. Hingga lahir 1 Mei ini. May Day!
May Day, adalah simbol pembebasan, pencapaian, kebangkitan dan kemenangan (satu langkah) buruh sedunia. Salah satunya, keberhasilan buruh memutus rantai penindasan jam kerja yang tak manusiawi dari 20 jam kerja sehari menjadi 8 jam.
Tentu saja perjuangan buruh masih panjang. Upah layak, kesetaraan kerja, hingga demokratisasi kepemilikan faktor-faktor produksi adalah agenda jangka panjang yang masih terus menunggu.
May Day mesti menjadi perayaan kemenangan sekaligus refleksi perjuangan akan datang. Ia harus menjadi momen untuk melawan lupa. Salah satunya melawan segala bentuk penggembosan, melawan narasi-narasi diskursus yang sengaja diciptakan dalam rangka pelemahan kesadaran-kesadaran buruh itu sendiri.
Sebagai gerakan politik massa, kita tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa selalu ada upaya untuk menggembosi kesadaran buruh itu sendiri. Upaya untuk memperlemah kesadaran gerakan buruh yang datang tidak hanya dari kalangan pengusaha, tapi juga dari pemerintah.
Perayaan May Day yang kerap diinisiasi oleh pengusaha adalah salah satu contoh untuk itu. Serupa dengan ajakan pemerintah berupa larangan unjuk rasa. Ajakan agar buruh memperingati May Day dengan mengaji, dialog kebangsaan, parade, seminar, pelatihan, hingga darmawisata yang disponsori oleh pengusaha. Acara-acara demikian, tak lain adalah perangkap-perangkap yang sengaja diciptakan untuk mendepolitisasi kesadaran-kesadaran dan gerakan-gerakan buruh yang ada, yang tak lain merupakan bentuk penggembosan kesadaran buruh terhadap gerakan buruh itu sendiri.
Dari surat edaran Menteri Ketenagakerjaan baru-baru ini, hingga model-model diplomasi meja makan Presiden Jokowi bersama pimpinan buruh, tak lain sebagai bentuk upaya negara (yang tak lain mewakili kepentingan kaum borjuis itu sendiri) untuk menderadikalisasi gerakan dan kesadaran buruh itu sendiri. Upaya-upaya untuk mendepolitisasi gerakan buruh seperti ini selalu terjadi dalam rentang sejarah, dari sekadar menggembosi hingga level represif.
Kita tentu tidak akan lupa hal ini. Di Indonesia sendiri, sejak zaman Orde Baru. Gerakan-gerakan buruh nyaris tidak mendapatkan tempat. Segala diskursus tentang isu-isu perburuhan dengan sendirinya dikomuniskan. Dituduh subversif. Tidak sedikitnya di antaranya direpresi oleh aparat dengan kekerasan.
Celakanya, represi dan intimidasi yang ada justru tidak membuat gerakan buruh menjadi mati. Ia timbul-tenggelam dipermukaan. Menyisakan kesadaran buruh di tingkat akar rumput semakin menguat seiring dengan semakin terjadinya pengenduran kondisi hidup yang terus mengenaskan. Intimidasi masa lalu melahirkan potensi radikalisasi perlawanan. Kekhawatiran-kekhawatiran pemerintah akan kebangkitan gerakan-gerakan buruh ini hingga akhirnya ‘memaksa’ presiden SBY pada tahun 2013 menandatangani keputusan; 1 Mei diliburkan! May Day (boleh) dirayakan!
Tapi, tunggu. Kita mesti tetap jeli. Pemerintah yang ketakutan dan terjepit, bukan lantas menyerah dan kehilangan akal. Mereka memendam watak kekuasaan yang sama. Dalam konteksnya bahwa negara lagi-lagi belum bisa berpaling dari posisinya sebagai bulldog (anjing penjaga) bagi kepentingan pengusaha. Upaya penggembosan internal dan diplomasi-diplomasi lunak terhadap gerakan buruh dipilih menjadi alternatif daripada berhadap-hadapan langsung.
Memperkurus kesadaran buruh adalah tujuannya. Politik bahasa juga disuburkan. Sejak Orba, Kementerian Perburuhan diganti menjadi Kementerian Ketenagakerjaan. Kosakata-kosakata buruh ingin dilenyapkan dengan menggantinya dengan istilah pekerja. Suatu penafsiran kata yang cenderung lebih lunak secara politis.
Ada upaya untuk memutus rantai kesadaran sejarah radikalisasi perjuangan buruh yang ada, dengan menciptakan diskursus politik kata yang baru. Yang mereprsentasikan upaya penjinakan kekuasaan terhadap posisi buruh. Karena itu tak heran, ketika Kementerian Ketenagakerjaan sampai hari ini lebih banyak sekadar menjadi alat negara dalam menjinakkan buruh daripada menjadi corong suara dan medium para buruh untuk beraspirasi.
Pengaburan-pengaburan kesadaran buruh secara tak langsung disemai dan dipupuk. Di tingkat struktural, para pimpinan buruh, tidak sedikit diantaranya banyak digoda dengan berbagai cara, jabatan dan kekuasaan hingga sekadar diplomasi meja makan.
Di tingkat kultural, juga tak kalah massifnya. Ada upaya pembusukan-pembusukan idiom buruh dalam kerangkeng moralitas. Media dengan segenap kepentingannya yang tak berpihak pada buruh ikut berperan menciptakan persepsi buruk terhadp buruh.
Tidak sedikit media-media borjuis, alih-alih mengangkat akar pokok persoalan atas demonstrasi buruh untuk mendudukan perkara sebenarnya, justru kebanyakan membuat kerangka berita-berita yang tak substansial, sekadar untuk menciptakan persepsi buruk terhadap gerakan buruh di kalangan masyarakat. Dengan framing bombastis, demonstrasi buruh selalu dituding sebagai aksi tak beradab dan segenap tuduhan-tuduhan moralitas lainnya. Anarkis, membuat macet, dan lain-lain. Mereka mengabaikan hal substansial untuk menjelaskan pokok substansi persoalan.
Begitupun politik penggembosan dengan menggunakan framing bahasa juga hampir tak pernah lepas dari upaya untuk memperlemah kekuatan buruh. Istilah-istilah seperti; karyawan, staf, dan sejenisnya, yang dilekatkan pada pekerja adalah salah satu bentuk pengaburan-pengaburan kesadaran buruh itu sendiri.
Karena itu tak heran, ketika kita banyak melihat fenomena, ketika banyak di antara buruh menolak diri disebut buruh. Ia lebih memilih menyebut dirinya pekerja profesional. Suatu kosakata-kosakata bullshit yang menandakan keberhasilan negara memborjuiskan pikiran para kaum hipokrit kelas menengah ini.
Mereka-mereka inilah yang menyebut dirinya bukan buruh tapi karyawan, staf atau apalah, yang selalu nyinyir terhadap segala bentuk demonstrasi buruh yang ada. Mereka lupa bahwa upah di atas UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten) yang ia nikmati setiap bulannya adalah rentetan dari pencapaian perjuangan para buruh yang selama ini ia nyinyiri. Hasil perjuangan para buruh yang selama ini terus mendesakkan peningkatan UMK.
Kepada mereka kita patut menyadarkan. Sejatinya mereka lupa bahwa mereka adalah juga buruh, yang hanya saja pada taraf tertentu menikmati fasilitas yang lebih di antara buruh yang lain. Mereka yang bekerja untuk pemodal adalah buruh! Mereka yang bekerja untuk orang lain adalah buruh! Mereka yang mendapatkan upah/gaji karena jasa adalah buruh!
“Kaum buruh sedunia bersatulah!” Seru Karl Marx.
“Labbaika ya Karl Marx”….
#MayDay
Muhammad Ruslan, pengamat perburuhan.

Penulis

Muhammad Ruslan
Latest entries