MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Revolusi Penguin dan Gerakan Musim Dingin: Belajar dari Pengalaman Perlawanan Pelajar di Chile

Arif Novianto

“The University cannot be a business and education cannot be a commodity. The…future of the University is at stake, and in this battle we will not put our arms down”
– Camila Vallejo, President Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH) –

“Social protests…are an expression of our freedom and our power to reclaim the streets. They reflect our ability to express what we think…Street protests are weapons to achieve our goals, including education”.
-Alfredo Vielma, Former Leader Asamblea Coordinadora de Estudiantes Secundarios (ACES)-

Pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-21 telah memasuki era baru. Jika sebelumnya sektor pendidikan dikerangkeng dengan rantai “birokrasi pendidikan”(1) oleh rezim Soeharto, pada era reformasi kerangkeng itu dilepas. Sektor pendidikan kini memasuki era yang disebut sebagai “neoliberalisasi pendidikan”.
Neoliberalisasi pendidikan memunculkan masalah baru yang cukup pelik dan kompleks. Sebelumnya kegiatan penelitian, pengabdian, dan pengajaran (tri dharma perguruan tinggi) didikte dan di-screening oleh rezim birokrasi Orde Baru. Di era liberalisasi pendidikan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi dicengkeram oleh mekanisme pasar dan kepentingan modal (2).
Liberalisasi pendidikan telah menempatkan kampus tidak lagi sebagai sektor publik yang ditanggung pemerintah. Melalui mekanisme PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum), kampus diberi otonomi dalam pengelolaan keuangan sekaligus menjadi medan bisnis baru. Hasil dari PTN-BH adalah lahirnya beton-beton yang menjulang tinggi, seperti Pertamina Tower, Gedung Sinar Mas, atau Mushola Mandiri Syariah (3). Sementara proses menjadikan pendidikan formal sebagai komoditas telah berlangsung sejak era penjajahan di Hindia-Belanda. Setelah 71 tahun Indonesia merdeka, komodifikasi tersebut masih terjadi dan semakin menjadi komoditas yang mahal.
Di sisi lain, universitas yang belum memiliki status PTN-BH harus dihadapkan dengan kontradiksi dalam era neoliberalisasi pendidikan ini. Mereka tidak sepenuhnya dilepas secara mandiri untuk mengelola keuangan dan tidak dapat bekerja sama dengan pihak swasta secara leluasa. Alhasil universitas-universitas tersebut menjalankan kebijakan menampung sebanyak-banyaknya mahasiswa agar meraup pundi-pundi uang dengan mengatasnamakan tujuan baik melakukan pembangunan fasilitas dan gedung. Industrialisasi tenaga terdidik untuk rantai industri kapitalis berjalan secara besar-besaran. Sampai menerapkan jam kuliah malam agar ruang-ruang kelas tidak berdesak-desakan dengan membludaknya mahasiswa. Ruang-ruang pendidikan ibarat pabrik yang memproduksi komoditas selama 24 jam.
Perlawanan terhadap proses neoliberalisasi dan kapitalisasi pendidikan semakin hari semakin meningkat. Para mahasiswa dan pekerja di kampus mulai menyadari bahwa proses neoliberalisasi pendidikan ini mengorbankan mereka. Pada peringatan Hari Pendidikan 2 Mei 2017, para mahasiswa yang tidak puas dengan keadaan kampus, berbondong-bondong menggelar aksi. Baik itu di UGM, UI, UNAND, UNS, UB, UNSOED, UNMUL, UMY, UNPAD, UPN, dll. Isu utama yang menjadi sasaran tembak adalah tentang permasalahan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Pertanyaannya, bagaimana membaca arah gerakan mahasiswa itu? Mampukah mereka menjadi kekuatan pendorong perubahan? Apa kelebihan dan kelemahan dari rentetan gerakan yang terjadi sejak lima tahun terakhir di kampus-kampus? Apakah gerakan yang terbangun telah mampu menyasar akar persoalan di sektor pendidikan?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ada baiknya kita melihat dan belajar dari gerakan pelajar di Chile.
Belajar dari Gerakan Pelajar Chile
Gerakan pelajar di Chile merupakan salah satu gerakan sosial yang cukup berhasil di Abad ke-21 ini. Ada tiga alasan mengapa gerakan pelajar Chile menarik untuk dipelajari, pertama, kondisi ekonomi politik Chile sebagai negara kapitalis pinggiran (atau juga disebut sebagai negara Dunia Ketiga) yang sama seperti Indonesia. Kedua, tentang metode dan strategi gerakan dalam menentang kebijakan neoliberalisme yang cenderung baru. Ketiga, tidak lain karena gerakan ini mampu memenangkan tuntutan-tuntutan mereka.
            Proses reformasi neoliberal di Chile, mulai dilakukan ketika Presiden sayap Kiri yaitu Allende dikudeta oleh kelompok militer di bawah komando Pinochet pada 1973. Proses kudeta tersebut sering disebut sebagai “Peristiwa Jakarta”. Kesamaan proses kudeta dari Pinochet dengan kudeta dari Soeharto menjadi penyebab munculnya term itu. Seperti adanya campur tangan CIA, proses kudeta yang dibangun atas dalih membasmi kelompok yang dituduh akan melakukan kudeta, proses untuk menangkal paham komunis, dan juga penggunaan berbagai aksi massa untuk memberi legitimasi pemerintahan militer.
Neoliberalisasi di Chile telah membentuk sektor pendidikan sebagai “investasi”, “komoditas”, dan “barang mewah” yang hanya bisa diakses segelintir orang dan menjadi lumbung meraih keuntungan. Biaya pendidikan yang semakin mahal, memaksa keluarga para pelajar (dari kelas bawah) harus berhutang ke bank-bank. Ketika telah mampu menyelesaikan pendidikan, selanjutnya mereka dihadapkan dengan bunga-bunga pinjaman yang kian membengkak. Keadaan tersebut yang memantik terjadinya proses perlawanan.
Perlawanan massif para pelajar di Chile mulai dilakukan pada 2006. Gerakan itu diorganisasikan dan dijalankan oleh para pelajar Sekolah Menengah Atas (dalam konteks Indonesia) dengan usia 15 – 18 tahun. Mereka menuntut pendidikan gratis, demokratisasi, dan penghilangan segregasi dalam pendidikan. Gerakan yang dilakukan para pelajar SMA ini sering disebut sebagai “Revolusi Pinguin”. Itu karena seragam putih-hitam yang dikenakan oleh para pelajar tersebut.
            Revolusi Pinguin tidak hanya melibatkan para pelajar, serikat guru di Chile juga menyatakan dukungan dan terlibat dalam gerakan menuntut pendidikan menjadi barang publik. Organisasi pelajar SMA yang cukup kuat saat itu adalah ACES dan CONES. Gerakan pelajar yang mulai dilakukan pada Mei 2006 merupakan yang terbesar sejak jatuhnya rezim militer Pinochet pada 1990. Gerakan tersebut belum mampu untuk mendorong perubahan dalam UU Pendidikan di Chile (LOCE), tapi mampu memaksa pemerintah menganggarkan 200 milyar dolar untuk pendidikan dasar.
            Lima tahun berselang, gerakan pelajar kembali melakukan aksi dengan skala yang lebih besar. Aksi itu lebih sering disebut gerakan musim dingin (Chilean winter). Penyebutan tersebut karena pergerakan secara masif dilakukan ketika Chile memasuki musim dingin dan terinspirasi dari penyebutan peristiwa “Arab Spring” (musim semi di Arab). Mereka melakukan aksi, pemogokan, pendudukan, dan aksi lainnya selama 7 bulan lebih terhitung sejak 28 April 2011. Aksi ini diorganisasi oleh Konfederasi Mahasiswa Chile (CONFECH). Dalam konfederasi ini terdiri dari 16 Federasi di Universitas Negeri, 9 Federasi di Universitas Swasta, dan 1 Federasi dari organisasi masyarakat adat.

Gambar 01. Metode dan Strategi Pengorganisiran dari Gerakan Pelajar di Chile

Gerakan mahasiswa tersebut pada perkembangannya menolak disebut sebagai gerakan mahasiswa atau gerakan pelajar, mereka lebih memilih disebut sebagai gerakan sosial atau gerakan rakyat. Itu dilatarbelakangi fakta bahwa proses gerakan yang terbentuk melibatkan aliansi “Front Populer” (4).  Front Populer melibatkan tidak hanya gerakan pelajar, juga serikat buruh, serikat tani, serikat guru, dan bahkan para orangtua pelajar turut. Semuanya terlibat dan menuntut revolusi pendidikan di Chile. Kekuatan front populer itu bahkan berhasil memobilisasi hampir setengah juta rakyat turun ke jalan melawan kebijakan neoliberal pendidikan warisan rezim otoriter Pinochet (jumlah penduduk Chile tahun 2015: 17,95 juta jiwa).
Tuntutan para pelajar tentang pendidikan publik yang gratis dan bervisi kerakyatan telah menembus sekat-sekat antara universitas, sekolah, ladang-ladang petani, kantor hingga gudang tempat buruh bekerja, dan ruang-ruang kelas, di mana para guru mengajar. Para pelajar juga membuka diri untuk bersekutu dengan aktor sosial lainnya yang juga dilukai oleh kebijakan-kebijakan neoliberal. Tujuan yang luas membuat lebih mudah melibatkan banyak aktor sosial yang pada perkembangannya memberikan legitimasi terhadap tuntutan. Hubungan itu dibentuk oleh kekhawatiran rakyat tentang pendidikan anak-anak mereka nantinya dan juga kekhawatiran siswa mengenai masa depan mereka yang tidak menjanjikan sebagai pekerja memantik terbentuknya aliansi blok historis. Hasilnya adalah front populer yang berisi aktor yang heterogen dengan ideologi politik yang beragam seperti marxis, komunis, anarko, dan kaum agamis (walaupun kekuatan politik Kiri yang paling memiliki pengaruh dalam front populer ini).
            Metode aksi yang mereka lakukan beragam. Strategi aksi populer yang kreatif dengan dibangun dengan wacana-wacana kekinian telah membuat para pelajar yang dulunya apatis dan konsumeris menjadi turut bergerak (walaupun masih dalam kesadaran spontan). Saat pemerintah mengundur dan memperpendek hari libur, ratusan pelajar membuat pantai buatan di alun-alun kota Santiago dengan menggunakan pakaian renang dan kacamata hitam sebagai bentuk protes. Dalam menentang biaya pendidikan yang mahal, salah satu aksi yang dilakukan adalah dengan menggantung boneka-boneka di kawasan Sekolah dan Universitas dengan diberi tajuk “bunuh diri simbolis”. Aksi tersebut ingin menyampaikan bahwa pendidikan yang mahal akan membunuh rakyat. Mereka juga lebih memilih menamai aksi mereka sebagai “pesta” atau “karnaval” dibanding terminologi umum seperti demonstrasi atau aksi massa.
            Presiden Piñera dari koalisi sayap Kanan melakukan berbagai cara represif dalam menghalau gerakan rakyat yang menuntut pendidikan publik. Mereka melakukan represi, menyusupkan para preman dan intel untuk memercikan kerusuhan di aksi-aksi damai, menerapkan peraturan larangan turun ke jalan demi keamanan nasional, dan akibatnya sekitar 40 orang pelajar ditahan sementara seorang pelajar meninggal akibat tindakan brutal aparat.
            Gerakan pelajar ini bertransformasi menjadi gerakan politik yang besar dipenghujung tahun 2011. Hampir 600 sekolah diduduki oleh massa aksi, sementara proses mogok kuliah yang dilakukan para mahasiswa dan dosen berlangsung berbulan-bulan. Agenda perundingan yang diinisiasi oleh pemerintah hampir selalu gagal, karena gerakan menolak jika tuntutan mereka hanya diakomodasi sebagian. Sebaliknya gerakan rakyat menawarkan pandangan alternatif tentang demokrasi dan menuntut adanya perdebatan politik bukan teknokratis.
            Radikalisasi gerakan terus meluas diberbagai kota dan desa di Chile. Tekanan besar membuat pemerintahan Piñera menyatakan bahwa subsidi terhadap pendidikan publik akan semakin membebani anggaran dan hanya menguntungkan para orang kaya karena mereka justru yang akan menerima subsidi (bahasa lainnya subsidi salah sasaran).
Gerakan rakyat kemudian membalik argumen pemerintah melalui berbagai kajian. Tuntutan mereka menjadi diberlakukannya pajak progresif bagi orang-orang kaya dan perusahaan multinasional untuk membiayai pendidikan publik yang gratis dan bervisi kerakyatan. Dalam jajak pendapat yang dilakukan, sekitar 80% masyarakat Chile sepakat dengan tuntutan itu.
            Kemenangan gerakan menuntut pendidikan publik ini didapat pada Desember 2014 setelah Menteri Dalam Negeri Chile, Rodrigo Penailillo menyatakan akan mengakomodasi tuntutan gerakan dan memberlakukan pendidikan gratis pada Maret 2016. Pembiayaan pendidikan publik di tingkat Universitas yang membutuhkan 8.3 juta dollar setiap tahun, didapat dengan memberlakukan pajak progresif 27% kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Chile.
            Kemenangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari strategi politik gerakan dengan berupaya merebut posisi negara. Salah satu taktik yang dilakukan adalah dengan menempatkan wakil-wakil mereka di parlemen (5) dan mengusung Michelle Bachelet Jeria sebagai presiden di Pemilu 2013.Bachelet yang diusung aliansi sayap Kiri akhirnya memenangkan pemilu dan resmi menjadi Presiden pada 11 Maret 2014. Setelah itu baru kebijakan pendidikan publik ditetapkan pada Desember 2014.
Gerakan Pelajar di Indonesia dan Pencarian Alternatif
Gerakan pelajar yang bertransformasi menjadi gerakan rakyat di Chile memberi pelajaran yang berharga bahwa pendidikan publik yang gratis dan bervisi kerakyatan tidaklah utopis. Cita-cita itu bisa diraih. Akan tetapi tidak semudah seperti membalik telapak tangan, perlu melalui pembentukan front blok historis, berbagai aksi massa, dan perjuangan politik bertahun-tahun lamanya.
Gambar 02. Bagan Relasi Ekonomi Politik dalam Liberalisme dan Kapitalisme di Sektor Pendidikan Indonesia

Jika membandingkan gerakan pelajar di Indonesia dengan di Chile, masih jauh berbeda. Kecenderungan yang terjadi di Indonesia gerakan pelajar masih tersekat-sekat pada perjuangan lokalitas di tiap universitas; belum ada gerakan pelajar setingkat SMP dan SMA yang terorganisasi dan progresif; tidak memiliki tuntutan yang mampu melampaui sekat-sekat antaruniversitas juga antar sektor di masyarakat (buruh, tani, guru, dll); cenderung menolak menjadi gerakan politik; tidak memiliki konfederasi mahasiswa di tingkat nasional (ada BEM SI namun menunjukan watak konservatif & pragmatis) (6); cenderung menolak membuka diri untuk beraliansi dengan gerakan rakyat yang lain; itu artinya mereka masih terkerangkeng dalam diktum warisan Orba sebagai “gerakan moral” (walaupun memang ada transformasi perubahan).
            Peluang dan tantangan dalam gerakan pelajar dan juga gerakan rakyat masih terhampar luas dihadapan kita untuk bagaimana menyelesaikan berbagai permasalahan. Masalah di universitas tidak hanya terkait adanya komersialisasi pendidikan, juga relasi kerja di kampus yang begitu mengenaskan dan proses produksi hegemoni yang sampai sekarang terus terjadi (lihat gambar 02).
            Pekerja di kampus dalam neoliberalisasi pendidikan dihadapkan dengan berbagai problem serius. Seperti tentang upah yang tidak layak, mekanisme kontrak, outsourcing, tidak adanya jaminan kesehatan, jam kerja yang bahkan lebih dari 8 jam, dan proses pencurian nilai lebih yang juga terjadi. Jika mereka mengharapkan tambahan pendapatan, harus dihadapkan dengan godaan project-project dari korporasi dengan dana yang melimpah (terutama para dosen dan peneliti). Mereka berupaya ditundukan oleh kekuatan uang untuk mengabdi pada korporasi.
Proses senioritas nan feodalistik juga berjalan. Para pekerja seperti peneliti dan asisten seringkali diperas pengetahuannya untuk mengerjakan project atau karya yang hasilnya diakui oleh senior atau petinggi di universitas dalam relasi kerja yang ada. Sementara proses kapitalisme kognitif membuat para pekerja di kampus semakin dieksploitasi (7).
            Keadaan itu membuat pembentukan front antara para pelajar dan pekerja di kampus menjadi sangat mungkin terjadi. Mereka sama-sama dilukai di bawah sistem neoliberalisme dan berada dalam satu ruang lingkup. Akan tetapi serikat pekerja di kampus masih jarang ada. Sementara serikat guru (PGRI) sampai sekarang masih seperti ketika dibentuk pada saat zaman Orde Baru.
Permasalahan neoliberalisasi pendidikan adalah permasalahan publik dan itu menjadi peluang bagi gerakan mahasiswa untuk membangun kekuatan yang lebih besar yang menjadi pendorong kuat bagi tuntutan-tuntutan yang diajukan. Sementara menjadi tantangan bersama, tentang bagaimana agar proses neoliberalisasi pendidikan ini tidak hanya berhenti sekadar sebagai masalah (8). Lebih penting dan mendesak adalah bagaimana untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Gambar 03. Trajectory Student & Peoples Movement (9)

Tantangan besar lainnya adalah (mau? dan) mampukah gerakan pelajar dan gerakan rakyat menjadi kekuatan politik dan menciptakan tangga-tangga mencapai cita-cita besar adil, makmur, sejahtera (lihat gambar 03)? Itu dikarenakan sampai sekarang gerakan pelajar masih terkerangkeng pada gerakan moral yang cenderung regresif. Mereka masih berkutat di permasalahan lokal di tingkat universitas mereka masing-masing (10). Yang penting dipahami bahwa tujuan untuk memenangkan pendidikan gratis untuk semua yang bervisi kerakyatan harus mentransformasikan gerakan tersebut menjadi gerakan politik. Cita-cita tentang pendidikan yang murah, demokratisasi kampus, transparansi, dan fasilitas memadai adalah cita-cita sementara.Muara dari cita-cita tersebut adalah terbentuknya tatanan adil, makmur, sejahtera. Itu dapat terealisasikan dengan menghancurkan sistem kapitalisme-neoliberalitik yang terbukti bobrok sekarang ini.
*Tulisan ini merupakan materi pada diskusi yang dilakukan oleh GAMAPI Corner UGM pada 04 Mei 2017 dengan tema “Apa Masalah Perdidikan Kita?”
Arif Novianto, Pegiat di MAP Corner-Klub MKP UGM & Aktivis di Aliansi Rakyat Kendeng Berdaulat (ARKB). Berbagai tulisannya dapat dilihat di arifnovianto.wordpress.com
Catatan Kaki :

  1. Birokratisasi pendidikan telah membuat perkembangan ilmu sosial dan aktivitas di kampus ditentukan oleh kekuasaan pemerintah (Hadiz & Dhakidae, 2006). Mengenai apa yang layak diteliti dan tidak ditentukan oleh LIPI, KOMKAMTIB, dan BAKIN. Sementara pengangkatan “profesor” menjadi wewenang pemerintah atau presiden.
  2. Institusi riset dan pendidikan pada masa liberalisasi tidak sebebas sebagaimana yang digaungkan. Mereka dibatasi oleh faktor ekonomi. Penelitian atau pendidikan disusun sesuai dengan permintaan/pesanan donor.
  3. Neoliberalisasi pendidikan telah membuat kampus-kampus saling bersaing untuk membangun infrastruktur dan bangunan semegah mungkin. Dengan bangunan yang megah maka nilai prestis akan meningkat. Itu demi membangun image kampus agar menarik bagi mahasiswa. Di sini konteks pendidikan sebagai komoditas terlihat jelas. Pendidikan menjadi tidak lebih dari perusahaan jasa yang menawarkan berbagai jasa. Kualitas pendidikan dinomor sekiankan. Keuntungan yang dimiliki PNH-BH adalah diberinya wewenang untuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta. Kerjasama itu sering terjadi dalam membangun berbagai fasilitas bahkan gedung di kampus. Swasta memiliki kepentingan untuk membangun image peduli terhadap pendidikan dan kerjasama yang dilakukan berlangsung sampai waktu yang panjang (sampai robohnya bangunan).
  4. Strategi front populer ini cenderung bertentangan dengan tradisi politik klasik dari gerakan Kiri. Front populer merupakan gabungan dari berbagai organisasi dengan tendensi politik yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan tujuan dalam suatu hal, jika dalam konteks di Chile adalah untuk menuntut pendidikan gratis. Namun yang perlu digaris bawahi  bahwa sebelum Front Populer terbentuk kuat, ada disiplin organisasi yang dijalankan oleh gerakan pelajar tersebut.
  5. Camila Vallejo dari Partai Komunis Chile dan Gabiel Boric dari Partai Otonom Kiri mampu untuk menduduki parlemen pada Pemilu tahun 2013. Mereka merupakan dua tokoh demonstrasi pelajar sejak tahun 2011 di Chile.
  6. Tentang kecenderungan politik BEM SI dapat dibaca di Arif Novianto “Pegulatan Gerakan Mahasiswa dan Kritik Terhadap Gerakan Moral” dalam Buku Indonesia Begerak II (2016, penerbit Pustaka Pelajar, MAP UGM, & IGPA).
  7. Kapitalisme kognitif telah membuat kerja masa lalu menjadi tidak terbayarkan dan itu mengkondisikan adanya pencurian nilai lebih.
  8. Proses untuk membawa diskursus tentang pendidikan publik yang gratis dan bervisi kerakyatan agar menjadi masalah bersama juga bukan sesuatu yang mudah. Butuh analisis yang tajam dan kesabaran.
  9. Bagan ini merupakan pengembangan dari materi tentang Trajectory KPRI yang disampaikan Sastro pada diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM 25 April 2017.
  10. Permasalahan lain jarang gerakan mahasiswa yang terbentuk mampu membangun sistem regenerasi yang terorganisir rapi dan mapan. Para mahasiswa yang hanya 4-7 tahun di Kampus membuat regenerasi ini menjadi penting.Agar progresifitas dan cita-cita yang dibangun dapat terus lestari dan terus dikembangkan secara dialektik.

Penulis

Arif Novianto