Potret Keluarga Petani-Pekerja Migran Suatu pagi di bulan Maret (2015) Bainem pergi ke kontrak[1]untuk mengambil pisang yang ia tanam di atas lahan seluas 500 m2 , letaknya berada di kawasan hutan pinus di Desa Kumejing Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo. Pagi itu Bainem menebang satu pohon pisang raja emas yang sudah masak. Ada sekitar 40 buah pisang dalam satu tandan. Menurut Bainem harga pisang satu tandan itu jika dijual langsung ke bakul hanya dihargai Rp 10 ribu. Jika diolah terlebih dahulu menjadi pisang goreng akan dihargai Rp 1000 untuk satu potongnya. Jika harga satu potong pisang goreng Rp 1000 maka dalam satu tandan Bainem bisa menghasilkan Rp 40 ribu—lebih tinggi ketimbang jual tandan pisang mentah ke bakul. Dengan curahan tenaga – kerja memasak – dan modal Rp 10 ribu untuk membeli minyak goreng dan tepung, Bainem bisa menerima hasil bersih sebesar Rp 20 ribu dari satu tandan pisang. Hasil ini hampir sama dengan upah setengah hari kerja buruh tani di desa Kumejing. Untuk itulah ketimbang memburuh Bainem memilih berjualan kecil-kecilan. Ia tidak terbiasa lagi bekerja banting tulang di ladang karena sedari gadis Bainem sudah pergi bekerja di kota.
Belum sebulan Bainem pulang dari Jakarta. Di sana ia kerja sebagai pekerja rumah tangga. Pekerjaan itu ia lakoni sejak merantau ke Jakarta pada awal tahun 1990-an. Jika pulang ke kampung, Bainem kembali bertani menggarap sepetak tanahnya sembari mengasuh anak bungsunya. Saban tiga kali dalam seminggu ia jalan kaki menggendong dagangan keliling kampung, menjajakan nasi pecel dan gorengan pisang. Tak berapa lama setelah Bainem pulang dari Jakarta, Parmanto suaminya pergi ke Kalimantan Tengah bersama tetangganya dalam satu rombongan. Di tanah seberang mereka bekerja sebagai buruh borongan. Setahu Bainem, suaminya sedang bekerja di PT Aspex Korindo, sebuah perusahaan perkebunan yang menanam eukaliptus dan akasia untuk bahan produksi kayu lapis (plywood). Dari tahun ke tahun biasanya sekitar 6 – 8 bulan Parmanto menghabiskan waktu di tanah seberang. Pindah dari satu lokasi kebun ke lokasi lain bersama regu pekerja dari Kumejing. Gajinya ia kirim ke kampung di bulan ketiga, sebab di bulan pertama gaji habis untuk membeli peralatan kerja dan kebutuhan hidup di perkebunan. Sedang di bulan kedua gaji dipakai bayar hutang ongkos pergi ke Kalimantan. Kepergian Parmanto ke Kalimantan yang terakhir kali membuat Bainem agak sedih sebab anak sulungnya, Hastin, juga ikut bersama suaminya. Semula Bainem berharap Hastin bisa kerja tak jauh dari rumah. Sewaktu Hastin baru lulus SMK, bapaknya meminta bantuan kerabat yang bekerja di bank kecil di Kota Banjar agar Hastin bisa bekerja di sana. Hastin pun diterima dan ditempatkan di kantor cabang Kutoarjo. Upahnya Rp 800 ribu sebulan; masih dalam masa training (pelatihan). Dalam istilah orang kampung, bank tempat Hastin bekerja disebut bank tongol atau bank yang biasa meminjamkan uang ke orang kampung dengan bunga cukup besar. Namun malang, satu waktu saat dalam perjalanan kerja ia mengalami kecelakaan sepeda motor. Pihak kantor tak mau menanggung biaya perobatan anak sulungnya, sehingga membuat Bainem kesal dan minta Hastin berhenti bekerja. Setelah pulih dan tak ada pekerjaan lagi Hastin akhirnya ikut bekerja bersama bapaknya ke Kalimantan. Sulit bagi keluarga Bainem untuk hidup mengandalkan hasil usaha tani semata. Selain sepetak lahan sempit di hutan, Bainem mengelola 0,25 hektare lahan talun[2] yang ditanami singkong, kelapa, pohon kayu-kayuan (Albasia dan Mahoni) dan buah-buahan. Hasil dari menanam singkong hanya cukup untuk stok pangan keluarga. Jika kepepet oyeg[3] dijual ke warung dengan harga Rp 8000 per kilo. Tanaman yang harga jualnya relatif besar adalah kayu-kayuan seperti Albasia dan Mahoni. Tapi Albasia baru dipanen paling cepat tiga tahun, sementara Mahoni lebih lama lagi. Kelapa juga bisa berbuah setiap bulan, namun dengan harga jual yang rendah (Rp 900 – 1200/butir); petani dengan lahan sempit tak bisa banyak hasilkan kelapa. Hidup dalam Dua Struktur yang Menindas Suami istri ini sudah sekitar satu dekade menjalani pola hidup merantau secara bergantian. Keluarga Bainem tidak sendiri, ada banyak rumah-tangga dengan pola penghidupan demikian di Kumejing. Di desa ini, hampir separuh dari populasi rumah-tangga petani memiliki sekurang-kurangnya satu orang anggota yang bekerja ke luar desa. Dengan lahan sempit penghasilan petani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga. Mencari kerja ke luar desa menjadi jalan satu-satunya bagi keluarga Bainem, apalagi ketika daya serap tenaga-kerja di dalam ekonomi desa terbatas. Melakoni riwayat sebagai kaum migran pun tak terhindarkan. Keluarga Bainem merupakan potret dari kondisi keluarga petani gurem yang terjebak dalam struktur ekonomi yang menindas. Sebagai petani mereka hidup dalam struktur agraria yang timpang, dan ketika bekerja di luar desa sebagai buruh mereka juga terperangkap dalam rezim tenaga-kerja fleksibel. Di Kumejing, desa tempat Bainem tinggal, rata-rata penguasaan lahan petani yakni 4900 m2 atau 0,49 ha. Jika menggunakan ukuran klasifikasi petani gurem secara nasional di bawah 0,5 ha, maka penduduk desa Kumejing dapat digolongkan sebagai penduduk yang mayoritas adalah petani gurem. Secara kasar, petani Kumejing dapat dipilah ke dalam beberapa golongan berdasarkan penguasaan lahan. Jumlah petani dengan lahan di atas 1 hektare sebanyak 12%, sementara jumlah tunakisma 5%. Namun di antara dua golongan teratas dan terbawah, terdapat sejumlah besar populasi petani gurem sebanyak 64%. Sisanya, 19% merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan 0,5 – 1 hektare. Di tingkat nasional, pengamatan atas hasil sensus pertanian sejak 1963 sampai 2003 memperlihatkan bahwa golongan petani dengan penguasaan lahan di bawah 0,5 ha jumlahnya selalu meningkat. Hasil sensus tahun 2013 menunjukkan kalau tren tersebut tetap bertahan. Artinya terjadi peningkatan jumlah populasi petani gurem dari masa ke masa. Hal ini disebabkan oleh putusnya upaya penataan struktur agraria berlandaskan pengaturan penguasaan lahan sejak pemerintah Orde Baru berdiri. Dalam kasus Desa Kumejing, pengusaan lahan yang sempit bagi penduduk disebabkan oleh pembangunan waduk Wadaslintang pada tahun 1980-an. Waduk tersebut mengambil tanah-tanah terbaik di Kumejing. Permukiman dan persawahan yang semula berada di lembah yang diapit dua deret perbukitan berganti rupa menjadi genangan air waduk milik negara yang dikuasai Balai Besar Waduk dan Sungai. Akibatnya, orang Kumejing terpaksa minggir ke lereng-lereng bukit yang didominasi tegal alang-alang. Pembangunan Waduk Wadaslintang juga menggeser sebagian penduduk Kumenjing pergi ke tanah seberang melalui program transmigrasi ke Sumatera dan Kalimantan. Bagi penduduk yang minggir ke lereng bukit semakin mendekatkan orang Kumejing dengan wilayah hutan negara yang dikuasai Perhutani. Penetapan wilayah hutan negara ini berlangsung sejak zaman kolonial di bawah kekuasaan Dienst van het Boschwesen (Jawatan Kehutanan Belanda). Setelah republik berdiri penguasaan itu diwariskan ke Perhutani. Kondisi ini membuat akses penduduk sekitar hutan atas sumber daya hutan terbatas. Di jaman Boschwesen mereka sekadar jadi blandong[4] dalam payung kebijakan blandongdiensten sementara di zaman Perhutani mereka menjadi kuli pecok[5] atau pesanggem[6]. Dalam keadaan terjepit, ditambah beratnya usaha membangun penghidupan di masa awal relokasi, orang Kumejing kemudian melihat kesempatan yang ada di luar batas desa. Sejak saat itu, banyak laki-laki Kumejing merantau ke Malaysia. Seperti diungkapkan Rakimin (45 tahun): “Dulu siapa yang nggak tergiur, Mas. Dulu kan tanah yang bagus-bagus kan waktu masih di bawah, yah!?Dulu itu sawah semua di sana. Orang lalu kehabisan (sawah). Naik ke sini (lereng bukit) adanya cuma singkong. Waktu tahun pertama naik ke atas sini ‘kan orang (desa) Lancar belum ada yang mau jual sawahnya. Ketika ada tawaran ke Malaysia itu siapa yang nggak tergiur?!”. Di Malaysia, orang Kumejing bekerja di perkebunan sayur, buah, dan kelapa sawit; melakoni berbagai pekerjaan berat dari membuka lahan, menanam tanaman, perawatan, hingga panen. Mayoritas statusnya pekerja ilegal atau bureng dalam istilah orang Kumejing. Sebagai pekerja ilegal tentu aturan hubungan kerja yang berlaku berada di luar regulasi alias informal. Bagi penduduk yang pergi ke kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Solo, dan Semarang mereka melakoni berbagai pekerjaan yang umumnya di sektor informal. Perempuan menjadi pembantu rumah tangga, tukang pijat, atau buruh konveksi. Laki-laki melakoni kerja buruh bangunan, buruh konveksi, buruh pengolahan kayu, supir, dan buruh pasar. Ada juga yang terserap menjadi buruh dalam industri manufaktur seperti pengolahan kayu (produsen plywood) dan tekstil. Setelah Orde Baru tumbang, kebijakan liberalisasi ekonomi diperdalam sebagai langkah mengatasi krisis moneter. Di sektor pertanian, integrasi ke pasar global digiatkan dengan mendorong ekspansi pertanian skala besar seperti perkebunan kelapa sawit. Ekonomi nasional ditandai dengan bonanza kelapa sawit yang terjadi di dekade pertama milenium baru. Tahun 2010 Indonesia menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia yang ditopang oleh perluasan lahan secara massal. Di Kumejing, tren merantau ke Malaysia berangsur surut pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bonanza sawit di Indonesia memindahkan arus tenaga kerja perdesaan yang semula mengalir ke perkebunan-perkebunan di negeri jiran ke perkebunan-perkebunan di Sumatera dan Kalimantan. Meskipun produksi kelapa sawit berpusat di dua pulau itu namun banyak tenaga kerja yang diserap berasal dari daerah lain seperti Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Tak terkecuali dari Kumejing. Topik “Kalimantan” pun kerap hadir dalam percakapan sehari-hari orang Kumejing. Nama Lamandau (kecamatan di Kalimantan Tengah) adalah yang paling sering saya dengar. Di sana terdapat komunitas transmigran asal Kumejing yang dikirim pada masa pembangunan waduk Wadaslintang. Keberadaan kerabat satu kampung di tanah seberang ini membantu membuka jalan bagi orang Kumejing untuk mencari pekerjaan di sana. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh borongan di perkebunan. Kondisi Kerja Pekerja-Migran di Perkebunan Nito, adik ipar Bainem, pada pergantian tahun 2014-2015 ikut regu buruh borongan di perkebunan eukaliptus dan akasia lalu pindah ke kebun sawit. Umumnya pekerja borongan dikerahkan untuk pekerjaan persiapan lahan, tanam, dan perawatan. Masuk ke tengah wilayah bekas hutan belantara yang sudah dipangkas habis, Nito mengenang, “Di sana kalo ujan turun kita bilang air suci… udah alhamdulilah banget bisa minum air jernih”. Regu pekerja sehari-hari minum, mandi dan mencuci dengan air rawa yang warnanya seperti teh. Mereka tinggal di dalam kamp seluas 6 x 6 m untuk satu regu yang berjumlah 8 orang, sementara kebutuhan makanan, rokok, dan harian lainnya diantar asisten atau mandor ke kamp. Pekerja borongan diupah secara berkelompok berdasarkan pekerjaan serta tenggat waktu kerja dan target tertentu. Besaran upah ditawarkan oleh perusahaan melalui agen mandor kebun (atau asisten) kepada pekerja yang diwakili ketua regu pekerja. Fasilitas kesehatan dan keselamatan kerja sangat minim. Sebagai contoh, untuk pekerjaan perawatan di satu blok lahan (luas sekitar 30 ha) dengan tenggat 2 minggu upahnya Rp 200 ribu per ha. Menurut pengakuan Nito, jumlah tersebut kerap dipotong Rp 40 ribu untuk mandor/asisten kebun, sisanya Rp 160 ribu untuk regu borongan. Ketika pekerjaan selesai regu borongan menerima upah bersih Rp 4,8 juta, dibagikan kepada 5 – 8 orang pekerja (dalam satu regu). Tiap orang akan menerima rata-rata Rp 800 ribu untuk 2 minggu kerja. Setelah pekerjaan tersebut rampung dan jika masih ada pekerjaan lain mereka segera pindah lokasi untuk ambil kerja borongan lain. Jika permintaan kerja sedang tinggi, tidak ada jeda untuk istirahat seperti diungkapkan Nito, “Nang kana gaweane ora entek-entek”[7]. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa selalu tersedia pekerjaan bagi buruh borongan. Misalnya, pada Juli sampai Oktober 2015, Rianto (35 tahun), seorang nelayan yang tunakisma bercerita kalau kerja borongan di Kalimantan Tengah sedang sepi. Ia pergi ke Kalimantan ketika musim tangkapan ikan di waduk Wadaslintang sepi. Karena pekerjaan di perkebunan sedikit ia pun pulang kampung dengan mengantongi uang Rp 850 ribu saja, pas-pasan untuk ongkos pulang. Begitu juga yang dialami Holis (22 tahun) yang pada awal Maret 2016 baru pulang kampung setelah hampir 3 bulan di Kalimantan Tengah (Kalteng). Ia ikut rombongan pekerja borongan yang diketuai bapaknya. Selama di Kalteng ia mengaku hanya 2 minggu bekerja di kebun sawit, sebulan lainnya ia bekerja di pabrik pembuatan batako milik orang Kumejing yang transmigran, dan di sisa harinya ia menganggur. Di kampung Holis tidak mengelola lahan. Setelah pulang ia bekerja kepada mertuanya yang bekerja sebagai bakul ternak, ia kembali pada rutinitas ngarit[8] untuk memenuhi kebutuhan pakan 22 ekor kambing milik mertuanya. Holis mengeluh, “ora hasil, borongan wis langka, sawit ngetrek”[9]. Di Indonesia, ciri pokok dari informalisasi yakni 1) tingkat upah yang lebih rendah daripada sektor formal dan 2) ikatan-ikatan kerja yang serba tidak baku. Tidak ada ikatan kerja tertulis, diiringi dengan tidak adanya jaminan kepastian kerja dan pendapatan, absennya jaminan sosial serta keselamatan kerja dan perlindungan hukum. Kondisi ini membuat pekerja informal rentan. Seperti dicatat Sawit Watch, pengurangan daya serap buruh perkebunan, baik permintaan atas buruh harian lepas dan buruh borongan termasuk PHK, kerap terjadi ketika harga jual CPO turun. Penurunan harga jual CPO membuat perusahaan memangkas jam kerja. Pekerja yang bersifat lepas (informal) kena dampak paling besar[10]. Arti “Fleksibel” bagi Petani-Pekerja Migran Dari apa yang Rianto dan Holis alami ada beberapa aspek yang bisa kita lihat dari hubungan kerja yang bersifat fleksibel. Pertama, bagi pekerja, hubungan kerja informal membuat mereka tidak terikat secara baku dengan perusahaan sehingga di permukaan nampak kalau mereka “bisa masuk dan keluar kerja kapan saja”. Tetapi frase “kapan saja” ini bukan berarti bebas tanpa syarat. Pertama, “kapan saja” itu tergantung dari seberapa luas kesempatan kerja yang terbuka. Manakala aktivitas produksi perusahaan ada di titik optimal, kesempatan kerja terbuka lebar. Namun ketika aktivitas produksi menurun, kesempatan kerja menyempit. Artinya, pekerjaan juga bisa “kapan saja” berhenti. Naik-turunnya aktivitas produksi perusahaan ini dipengaruhi oleh mekanisme pasar, berdasarkan aturan permintaan dan penawaran. Adalah soal lain lagi bagaimana dinamika tingkat permintaan dan penawaran ini dibentuk. Yang jelas, buat pekerja, soal “kapan saja” ini, baik terkait masuk atau keluar dari perkebunan, ditentukan oleh mekanisme yang sepenuhnya ada di luar kendali pekerja. Dengan kata lain, pekerja tidak punya jaminan akan kepastian pekerjaan dan pendapatan. Rezim tenaga-kerja fleksibel bagi perusahaan (kapitalis) adalah upaya untuk mewujudkan kebebasan atau keleluasaan untuk menentukan besar kecilnya kebutuhan tenaga-kerja sesuai kebutuhan produksi, dalam konteks efisiensi atau upaya menekan biaya produksi agar keuntungan maksimal bisa diraih. Bagi pekerja, sebetulnya tidak ada kebebasan dalam rezim ketenagakerjaan fleksibel ini. Sebagaimana halnya manusia yang hidup tidak pernah bisa bebas untuk lepas dari keharusan memenuhi kebutuhan dasar diri dan rumah-tangganya sebab “urusan perut” tidak pernah fleksibel. Barangkali ini arti dari apa yang para ahli istilahkan tentang “populasi terbuang”, atau “residu”. Sebagaimana dikatakan Claude Meillassoux tentang kaum pedesaan dalam artikulasinya dengan cara produksi kapitalis: dihancurkan sekaligus dipelihara. Fuad Abdulgani, Alumni Pasca Sarjana Antropologi UGM Tulisan ini disarikan dari Tesis Fuad Abdulgani yang berjudul “Satu Wajah Dua Rupa: Inkorporasi dan Diferensiasi Sosial Petani Dataran Tinggi Wadaslintang, Jawa Tengah” 20017.
[1] Penduduk Kaliwiro, Kecamatan Wadaslintang menyebut kawasan hutan atau alas dengan istilah Kontrak. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan status hak kelola atas sebidang tanah hutan dalam jangka waktu tertentu. [2] Istilah talun digunakan orang Kumenjing untuk menyebut tanah tegalan. [3] Makanan olahan dari singkong sebagai pengganti karbohidrat. [4] Buruh sadap getah pinus. [5] Terjemahan: “Di sana pekerjaan tidak ada habisnya”. [6] Mencari rumput untuk pakan ternak. [7] Terjemahan: “Tidak ada hasil, (kerja) borongan langka, (harga) sawit turun”. [8] Sawit Watch, Catatan Singkat Akhir Tahun Perburuhan Sawit 2015. Sumber www.sawitwacth.or.id/2016/02/catatan-singkat-akhir-tahun-perburuhan-sawit-watch-2015/, diakses 26 Desember 2016.
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]
Minggu pertama Agustus 2024, saya mengunjungi salah satu perkebunan sawit ternama di Kalimantan Barat. Perusahaan sawit ini memiliki nama prestisius karena dipandang lebih baik dalam aspek penyediaan fasilitas dan pemenuhan hak normatif, ketimbang perusahaan sawit lainnya di Kalimantan Barat. Ya, setidaknya begitulah pandangan buruh-buruh yang bekerja di perusahaan tersebut. Di perkebunan sawit ini, beberapa kebutuhan […]
Gerakan massa ‘Peringatan Darurat’ berhasil membatalkan revisi RUU Pilkada. Demonstrasi ‘Peringatan Darurat’ mengingatkan kembali mengenai pentingnya aksi massa, kampanye kreatif, pengorganisasian yang luwes dan pendidikan yang telaten. KAMIS 22 AGUSTUS 2024, Pukul 19.15. Lelaki kurus usia 60-an berkaos oranye-biru belel. Ia menggerakkan kakinya yang dibungkus sepatu bot dengan cepat. Lelaki itu menghampiri dan berbisik kepada […]