MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pemecatan sebagai Strategi Mempertahankan Buruh Murah


Data pemutusan hubungan kerja berikut ini dikumpulkan dari empat serikat buruh. Yaitu, Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Sentra Gerakan Buruh Nasional (SGBN) dan Forum Mogok Kerja Freeport Indonesia.

Dari data yang terkumpul terlihat bahwa hingga Mei 2018 terdapat 36 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), yang mengakibatkan 6.690 orang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Kasus-kasus PHK tersebar di 35 perusahaan yang merupakan basis atau anggota serikat buruh yang disebutkan di atas. Perusahaan-perusahaan yang dimaksud berada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Papua, Sumatera Barat hingga Sumatera Utara.

Dari data tersebut terlihat ragam alasan dan latar belakang PHK. Dari 36 kasus, hampir separuhnya mengatakan mem-PHK dengan alasan efisiensi. Alasan mem-PHK karena efisien memang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012. Nyatanya, masih dipergunakan pengusaha mengurangi jumlah buruh di tempat kerja.

Setelah efisiensi alasan selanjutnya adalah berkaitan dengan status kerja. Status kontrak (7 kasus) dan outsourcing (6 kasus) dijadikan alasan perusahaan dalam melakukan pengakhiran hubungan kerja. Status kerja merupakan alat kontrol buruh yang paling efektif. Ancaman ‘tidak akan diperpanjang kontrak’, ‘akan diputus kontrak’, ‘yang penting masih bekerja’, terus menerus direproduksi oleh perusahaan untuk menegaskan posisi lemah buruh.

Pemberian sanksi indisipliner (3 kasus) juga menjadi salah satu alasan pemecatan. Pada kasus buruh PT Freeport yang melakukan mogok kerja dan berujung PHK.

Terakhir adalah kasus PHK dengan alasan relokasi (3 kasus). Kemudahaan perusahaan berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain bisa disebabkan oleh perburuan upah murah, akses infrastruktur yang semakin difasilitasi negara, atau kemudahan layanan perijinan. Peristiwa relokasi dapat dipisahkan dari peranan negara yang membiarkan pemodal datang dan pergi dengan memecat buruhnya.

Perlu ditekankan data PHK di atas belum termasuk dengan sejumlah pemecatan kepada buruh-buruh di serikat buruh lainnya. Lebih sulit juga mendata jumlah pemecatan kepada buruh yang tidak bergabung ke serikat buruh. Kejadian pemecatan merupakan peristiwa harian yang dialami perorangan sampai ribuan.

Dari kejadian-kejadian di atas, setidaknya ada tiga faktor yang melatari alasan-alasan perusahaan mem-PHK buruhnya. Pertama, dinamika perekonomian global. Situasi ekonomi dunia tidak jarang menjadi alasan untuk menyelamatkan perusahaan dengan cara memecat buruh. Beberapa perusahaan perkebunan di Sumatera Utara misalnya, sejak harga CPO (crude plam oil) dunia anjlok dalam beberapa tahun terakhir kejadian di tingkat perusahaan mengambil langkah pemecatan terhadap buruh.

Kedua sifat fleksibel pasar kerja. Faktor lain yang juga menentukan dan mendorong perusahaan dengan mudah melakukan PHK adalah sifat fleksibel dari pasar kerja Indonesia. Secara subtansial fleksibelisasi pasar kerja menghilangkan kepastian kerja. Fleksibelisasi pasar kerja memberikan berbagai pilihan alasan ketika perusahaan ingin melakukan pemecatan terhadap buruh. Alasan pemecatan karena habis kontrak, pergantian perusahaan outsourcing, sistem kerja harian dan borongan, kerap menjadi dasar argumentasi perusahaan untuk melemahkan posisi buruh ketika dipecat.

Ketiga, faktor lemahnya posisi buruh di hadapan pengusaha dan absennya negara dalam melindungi hak-hak buruh, membuat perusahaan sering lari dari tanggung jawab melindungi hak buruh. Hal ini yang kerap menciptakan konflik perburuhan antara buruh dan pengusaha.

Tidak jarang buruh, biasanya yang tergabung dalam serikat buruh, menuntut pemenuhan hak. Namun berbalas pemecatan. Faktor yang demikian biasanya mengindikasikan adanya union busting.

Keempat, diskusi yang cukup luas mengenai sebab pemecatan adalah kecenderungan otomasi atau robotisasi industri, sebagai pencanggihan dari praktik mekanisasi industri alias penggantian tenaga manusia oleh mesin. Kasus pemecatan terhadap 300 orang buruh PT Arnott’s Indonesia berlangsung setelah perusahaan mendatangkan mesin baru yang berujung pada pengurangan buruhnya. Para pengusaha seringkali menggunakan peristilahan tersebut untuk menawar upah agar lebih murah. Berbagai kekhawatiran Revolusi Industri 4.0 yang berdampak pada pengurangan tenaga kerja manusia kerap dilepaskan dari konteks kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas di tingkat dunia. Akibatnya, revolusi industri 4.0 seringkali dimaknai tanpa memiliki konteks alih-alih sebagai takdir perkembangan industri.

Faktor-faktor di atas memberikan gambaran bahwa posisi buruh selalu dijadikan bantalan untuk menyelamatkan perusahaan, dengan cara dipecat; diandalkan untuk menggandakan keuntungan dengan diperas tenaganya.

Tabel Kasus PHK di Empat Serikat Buruh

Serikat

Jumlah Kasus

Jumlah Pekerja yang di PHK

Jenis kasus

FPBI

16 kasus

1.486 orang

15 kasus dengan alasan Efisiensi; 3 kasus dengan alasan tutup/pabrik; 6 kasus dengan alasan kontrak habis; 3 kasus dengan alasan indisipliner; 2 kasus karena alasan relokasi 6 kasus dengan alasan outsourcing; 1 kasus tidak diketahui alasannya.

SGBN

9 kasus

297 orang

KSN

7 kasus

119 orang

Pekerja Freeport

3 kasus

4788 orang

Total

35 kasus

6.690 orang

***

Pemecatan terjadi hampir di seluruh sektor industri dan tersebar di berbagai wilayah. Akibat pemutusan hubungan kerja tidak dapat dipandang remeh. Selain menyangkut kehidupan dan relasi sosial buruh dan keluarganya, juga mengenai tanggung jawab negara menyediakan lapangan kerja yang layak.

Peraturan perundangan menggunakan istilah yang berbeda untuk pengakhiran hubungan kerja. Juga memilah penyebab munculnya peristiwa tersebut.

Dari segi lain dapat pula dilihat bahwa pemutusan hubungan kerja memperlihatkan hubungan kekuasaan yang tidak setara antara yang memiliki dan menguasai modal dengan yang hanya memiliki tenaga. Dengan konteks demikian, muncul bahasa, ‘PHK merupakan haknya pengusaha’. Dalam cara pandang legalistik tersebut, dikatakan bahwa yang perlu diperiksa adalah terpenuhi-tidanya syarat-syarat PHK melalui pengadilan hubungan industrial’. Bahasa tersebut tidak lain merupakan peneguhan dari hubungan kekuasaan yang tidak adil antara pengusaha dengan buruh dalam peraturan perundangan. Untuk itu, perlu melihat kembali PHK dalam konteks hak atas pekerjaan, bukan semata persoalan kompensasi dan kelihaian beracara di pengadilan.

Tentu saja pemecatan merupakan jalan mempertahankan harga tenaga kerja tetap murah. Seperti kata Karl Marx:

Big industry constantly requires a reserve army of unemployed workers for times of overproduction. The main purpose of the bourgeois in relation to the worker is, of course, to have the commodity labour as cheaply as possible, which is only possible when the supply of this commodity is as large as possible in relation to the demand for it.

Saat overproduksi industri-industri besar membutuhkan cadangan tenaga kerja dari para pekerja serabut. Tujuan utama kaum borjuasi dalam kaitannya dengan pekerja adalah, tentu saja, untuk memastikan harga tenaga kerja semurah-murahnya, yang hanya mungkin dengan menciptakan pasokan tenaga kerja sebanyak-banyaknya. (Terjemahan bebas dari penulis)

Dari tinjauan lain, pengurangan tenaga kerja dan diganti dengan tenaga kerja baru maupun diganti oleh mesin merupakan mekanisme ‘penyegaran’ proses produksi agar tetap murah. Juga memastikan bahwa calon tenaga kerja di pasar tenaga kerja tersedia melimpah dengan harga murah.

Dengan mempertahankan kekuasaan untuk memudah memecat dan merekrut tenaga kerja, pemilik modal dengan leluasan mengakumulasi keuntungan. Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa kampanye menolak PHK tidak dapat dipandang semata isu penegakan hukum atau semata isu ekonomis buruh.

* Tulisan ini merupakan bahan awal untuk diskusi mengenai pola-pola PHK bersama SGBN, KSN, FPBI dan Moker Freeport.

** Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan SGBN, KSN, FPBI dan Moker Freeport yang telah bersedia menjadi teman diskusi dan memperlihatkan kasus-kasus yang sedang ditanganinya.