MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

JamkesWatch: Isu Kesehatan sebagai Media Berbaur dengan Masyarakat Luas


Pada 2004 pemerintah mengeluarkan kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004. Kebijakan tersebut untuk memberikan jaminan sosial kepada seluruh warga negara yang sebelumnya hanya diakses oleh beberapa golongan seperti PNS, POLRI, TNI dan pekerja formal.

Serikat buruh dan masyarakat sipil yang tergabung dalam KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial) berhasil memaksa pemerintah menjalankan amanat undang-undang tentang SJSN. Per 2011, UU Nomor 24 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disahkan. Undang-undang tersebut mengatur bagaimana SJSN diselenggarakan oleh BPJS dalam rangka memudahkan masyarakat untuk mendapat pelayanan jaminan sosial kesehatan. Per 1 januari 2014 BPJS Kesehatan beroperasi sebagai hasil transformasi dari PT Askes (Asuransi Kesehatan) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dari PT Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Per 2015, BPSJ Ketenagakerjaan dengan mentransformasikan program Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan menambah program Jaminan Pensiun. Rencananya, asuransi sosial PT Asabri dan PT Taspen akan ditransformasikan ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029.

Bagaimana pelaksanaan BPJS? Apa saja kendala dan persoalan yang kerap muncul?

Berikut ini adalah kutipan wawancara Majalah Sedane dengan Amir Mahfuz dan Supriadi dari JamkesWatch. JamkesWatch merupakan salah satu sayap organisasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang dibentuk untuk memantau penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Amir Mahfuz adalah Deputi Sekjen Dewan Pengurus Nasional JamkesWatch sekaligus Sekretaris Umum PC FSPMI SPAI Bekasi. Sementara Supriadi adalah Koordinator Bidang Pendidikan DPD JamkesWatch Bekasi sekaligus sebagai Pengurus Bidang IV Jaminan Sosial di KC FSPMI Bekasi.

Apa yang melatari pembentukan JamkesWatch?

JamkesWatch dideklarasikan pada 23 September 2014. Awalnya, 2010 ada KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial). Ada banyak serikat buruh yang tergabung, di dalamnya ada FSPMI. Kebetulan Presiden FSPMI di KAJS sebagai Sekjen KAJS. Waktu itu KAJS mendorong pelaksanaan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pada 2011, perjuangan tersebut berhasil dengan keluarnya BPJS (Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

Per 1 Januari 2014 UU BPJS diimplementasikan. Sebelumnya kita sudah memprediksi implementasi UU BPJS akan banyak kendala. Kita melihat proses pelaksanaan BPJS tidak terlihat dan belum jelas. Misalnya belum adanya peraturan turunan dari undang-undang tersebut. Waktu itu KAJS berinisiatif membentuk pemantau yang disebut dengan BPJS Watch.

Waktu itu ada dua kota yang pertama kali kita melakukan pemantauan, yaitu di Kota/Kabupaten Bekasi dan Kota Surabaya. Di Surabaya ada Jamal, yang waktu itu dari FSPMI AI (Aneka Industri). Di Bekasi saya terlibat pengadvokasian pertama di Rumah Sakit Amanda. Waktu itu salah seorang pasien kena biaya Rp 10 juta dari rumah sakit, kemudian kita advokasi dan berhasil: tidak perlu membayar. Advokasi ini awalnya cuma beberapa orang saja, lama kelamaan berkembang. Banyak orang yang terlibat.

Pemilu Presiden 2014 berpengaruh terhadap elemen-elemen yang tergabung dalam KAJS. Jamal yang waktu itu merupakan Staf Ahlinya Rieke (Komisi IX Jaminan Sosial) dan serikat lain seperti OPSI, SPSI, KSBSI dan lain sebagainya pilihan politiknya ke Jokowi. FSPMI ke Prabowo. Saat terjadi perpecahan itu saya sebagai FSPMI tetap menjalankan proses pemantauan BPJS. Karena perpecahan itu kami membuat nama baru, JamkesWatch.

Ide awal JamkesWatch dari FSPMI kemudian menjadi bagian dari KSPI. Serikat-serikat di KSPI juga terlibat, seperti ASPEK Indonesia dan SPN juga terlibat.

Di kota mana saja relawan JamkesWatch dibentuk?

Sebetulnya kita akan mengembangkan ke seluruh Indonesia. Sementara ini masih pada wilayah kota dan kabupaten yang ada FSPMI, rata-rata sudah ada JamkesWatch. Selain Bekasi ada di Batam, Surabaya, Kabupaten Bogor, dan beberapa kota lainnya.

Siapa saja yang diadvokasi?

Kalau yang diadvokasi siapapun. Tidak terbatas kepada pekerja. Awalnya memang karena relawan semua ada di serikat pekerja, dan kebanyakan yang diadvokasi adalah pekerja. Tapi berjalannya waktu banyak masyarakat yang percaya kita. Sampai yang awal relawannya hanya dari serikat pekerja sekarang ada juga relawan yang merupakan masyarakat biasa. Biasanya yang bergabung dengan relawan mendapatkan SK dari JamkesWatch. Mereka pun membuat Jamkeswatch di tingkat desa.

Apakah setiap relawan ditugaskan untuk memantau rumah sakit?

Ya tidak begitu (tidak memantau rumah sakit). Cara kerjanya begini. Misalnya ada korban yang kenal relawan A meskipun wilayahnya lebih dekat dengan relawan yang lainnya, ya relawan A tetap melayaninya. Jadi berdasarkan laporan saja yang masuk ke relawan; dia yang melayaninya. Kecuali memang si relawan yang menerima laporan tidak bisa, baru dilimpahkan ke relawan lain yang mungkin terdekat secara lokasi.

Berapa jumlah relawan jamkeswatch di Kabupaten dan Kota Bekasi?

Kalau jumlah relawan yang teregistrasi dengan KTA di Kabupaten Bekasi ada 211 orang . Di Kabupaten bekasi ini paling banyak jika dibandingkan relawan di daerah lain seluruh Indonesia. Itu yang teregistrasi saja. Yang tidak teregistrasi atau belum resmi lebih banyak lagi. Karena model perekrutan relawan kita bagi tiga.

Awalnya kita bagi melalui wilayah Dapil 1, Dapil 2, dan seterusnya. Tapi itu kurang efektif dan tidak berjalan. Sekarang relawan kita bagi tiga tempat: Bekasi tengah, utara, dan selatan. Di setiap tempat tersebut masing-masing ada koordinatornya. Pada saat ada yang minta jadi relawan, mesti harus ada rekomendasi dari koordinator di masing-masing wilayah. Walaupun saya kenal baik sama calon relawan misalnya, kalau tidak ada rekomendasi dari koordinator, tidak bisa! Karena yang tahu itu adalah koordinatornya. Model ini untuk mengantisipasi kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok yang memanfaatkan nama relawan.

Di setiap wilayah cara perekrutannya pun berbeda-beda; ada yang mempunyai syarat harus mengadvokasi terlebih dahulu berapa orang, dan kadang sampai berbulan-bulan rekomendasi itu juga tidak diberikan. Koordinator punya penilaian yang berbeda-beda. Istilahnya di-test dulu. Karena berat jadi relawan. Selain bersedia mengorbankan waktu, juga mengorbankan tenaga, pikiran bahkan materi. Karena tidak ada uangnya. Namanya juga relawan.

Kalau sudah dapat KTA relawan, kita kan sudah komunikasi di tingkat stakeholder dan ternyata relawan tersebut tidak diuji terlebih dahulu kesetian dan keseriusannya atau memang yang memanfaatkan kesempatan untuk berniat jelek. Misalnya banyak kasus yang mengatasnamakan relawan untuk kepentingan pribadi. Minta uang dari pasien, bahkan pihak rumah sakit. Nah yang model begitu langsung kita delete.

Ketahuannya biasanya laporan dari koordinator wilayah. Tidak hanya kita delete dari keanggotaan saja tapi juga kita infokan ke group stakeholder dan relawan. Jadi pihak rumah sakit otomatis tahu kalau yang bermasalah dan sudah di-delete keanggotaannya. Jadi sanksi sosialnya nama dia sudah tidak baik lagi.

Selain men-delete keanggotaan, itu untuk menghindari jika yang bersangkutan terlibat dalam kasus pidana, sehingga kita tidak bertanggung jawab lagi. Kan bisa saja pihak rumah sakit atas perbuatan relawan yang bermasalah melaporkan pencemaran nama baik rumah sakit. Untuk mengantisipasi hal-hal demikian biasanya setiap rumah sakit kita kasih tembusan nama-nama yang merupakan relawan JamkesWatch.

Bagaimana advokasi JamkesWatch?

Awal 2014 lebih banyak mengadvokasi kasus seperti peserta yang ditolak rumah sakit, dimintai biaya tambahan, dan lain-lain. Sekarang tidak selalu begitu. Mungkin karena dulu teman-teman belum banyak yang mengerti tentang regulasi, sehingga modelnya jika ada orang yang minta bantuan masalahnya di rumah sakit, teman-teman datang dan ‘main hajar’ saja beramai-ramai. Waktu itu kita sebut dengan grebek rumah sakit.

Sejak 2015 teman-teman banyak belajar pengadvokasian di lapangan maupun regulasinya. Dari proses belajar itu kita merumuskan konsep kerja SKA (Sosialisasi, Konsultasi dan Advokasi).

Dengan SKA yang dilakukan tidak saja advokasi tapi memberikan sosialisasi dan konsultasi kepada masyarakat. Kita memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban bagi peserta BPJS. Dengan memberikan pemahaman itu jadi punya gambaran tentang bagaimana jika dia akan memakai BPJS. Karena sosialisasi dari BPJS sendiri tidak berjalan dengan baik. Banyak masyarakat yang belum mengerti.

Selanjutnya konsultasi. Dalam pengaduan kasus, ada yang langsung dan tidak langsung. Pengaduan tidak langsung itu sifatnya konsultasi. Teman-teman tidak terlibat dalam penyelesaian persoalan. Hanya memberikan cara kepada orang yang mengadu. Belum tentu kita ketemu dengan orang yang bersangkutan. Kebanyakan via telpon. Kecuali masalahnya agak rumit, kita ketemu langsung. Kita terlibat langsung ke lapangan untuk mengadvoasi.

Jadi konsep SKA ini alurnya memberikan pemahaman, memberikan konsultasi dan jika memang harus mengadvokasi baru teman-teman relawan turun. Jadi tidak seperti dulu grebek rumah sakit.

Apa yang membedakan ‘grebek rumah sakit’ dengan SKA?

Kalau konsep SKA, satu orang relawan bisa menangani lebih dari satu kasus dalam satu waktu. Kalau grebek rumah sakit semua orang akan tertuju pada satu rumah sakit, sehingga jika ada kasus lain di rumah sakit yang berbeda bisa terlantar. Awal-awal memang banyak yang terlibat tapi karena saking banyaknya kasus teman-teman ada yang capek. Lama-kelamaan banyak yang mengeluh karena capek dengan model grebek rumah sakit. Sehingga konsep SKA ini dalam hal pemantauan menjadi semakin efektif.

Kepada keluarga pasien yang melapor kami, JamkesWatch sudah punya link dengan pihak-pihak yang terkait, seperti pihak BPJS Kesehatan, dinas kesehatan, asosiasi rumah sakit, manajemen rumah sakit dan sebagainya. Sehingga jika ada pasien yang berkonsultasi dengan kami dan mereka melakukan atas saran kita, pihak-pihak terkait sudah tahu. Kalau dibutuhkan melalui telepon saja.

Komunikasi dengan pihak-pihak terkait pun intensif, bahkan kami punya group Whatsapp antara relawan dan stakeholder-stakeholder terkait sehingga info di lapangan pun selalu update. Hal ini lebih efektif ketimbang model gruduk, karena keterbatasan relawan yang kadang tidak sebanding dengan jumlah kasus yang ditangani.

Apakah grebek rumah sakit masih berjalan?

Kalau bicara yang grebek itu lebih banyak dilakukan oleh teman-teman utara. Karena karakter orang utara itu keras. Cara grebek masih relevan. Tapi itu pun sebenarnya bukan grebek seperti awal-awal dulu. Yang dimaksud grebek sekarang itu adalah mengajak orang rame-rame untuk datang ke rumah sakit dan berdiskusi dengan pihak rumah sakit terkait kasus. Lebih kepada sharing sebetulnya. Itu pun hanya satu-dua orang saja yang berdiskusi. Jadi pengertian grebek yang dulu dengan sekarang sudah beda. Itu pun hanya terjadi di wilayah utara, karena style mereka memang begitu. Beda dengan teman-teman yang di tengah dan selatan, single fighter pun mereka bisa hadapi.

Kasus apa saja yang paling banyak ditangani?

Rata-rata ditolak dengan alasan kamar penuh. Soal ini kadang keluarga pasien “dikondisikan” oleh rumah sakit agar pasien keluar sendiri mencari rumah sakit lain. Pasien/keluarga pasien disuruh membuat surat pernyataan keluar dari rumah sakit atas kemauan sendiri dan tidak mau dirujuk.

Masalah lain yang sering dilaporkan yaitu soal peserta membayar biaya tambahan untuk mendapat kelas yang lebih tinggi. Tapi lagi-lagi itu semacam dikondisikan. Biasanya kasus seperti ini pihak rumah sakit beralasan kalau kamar kelas 2 dan 3 penuh, dan yang tersisa hanya kelas 1. Jika pasien mau akan ada biaya tambahan untuk mendapatkan kelas 1 dengan disertai surat pernyataan kesediaan. Padahal secara ketentuan, kalau kamarnya penuh dapat dinaikkan kelasnya 1 tingkat.

Kalau kita bicara Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014; bagaimana hak peserta BPJS ketika kamar penuh. Misalnya, peserta kelas 2 mau dirawat dan kamar penuh, mestinya pihak rumah sakit memberikan penjelasan bahwa kelasnya dinaikan jadi kelas 1. Istilahnya dititipkan sementara sampai ada kamar kosong di kelas 2. Kalau kelas 1 penuh juga bisa dititip ke kelas 3.

Selain alasan kamar penuh, juga ada banyak kasus obat yang tidak ditanggung sehingga harus membayar.

Bagaimana menjaga hubungan antara relawan dengan yang diadvokasi?

Kita sosialisasi dan kita juga membentuk tim sampai tingkat RT. Mereka berkomunikasi dengan tim JamkesWatch di tingkat Kabupaten Bekasi. Setelah advokasi orang itu akan komunikasi juga. Tapi komunikasinya tidak seintensif ketika kasus berjalan. Ada sebagian kecil keluarga korban yang berminat dan terlibat menjadi relawan, tapi kebanyakan hanya sampai selesai kasus saja. Kadang untuk mengucapkan permisi atau ucapan terimakasih pun tidak. Tapi itu sudah biasa bagi relawan, bukan masalah. Karena itu sudah tanggung jawab moral kami, karena sudah melahirkan undang-undang jaminan sosial.

Berapa persen korban-korban yang diadvokasi JamkesWatch kemudian terlibat di FSPMI?

Sebetulnya tidak ada korelasi langsung antara korban yang berhasil diadvokasi dengan keterlibatan mereka di gerakan buruh. Karena ada problem begini. Misalkan ada korban yang sudah diadvokasi yang merupakan pekerja yang tidak berserikat. Kemudian dia ingin ikut terlibat di FSPMI tapi tidak berani membangun serikat di tempat dia bekerja.

Di FSPMI sendiri sedang memikirkan bagaimana ini bisa digunakan sebagai strategi pengorganisasian. Kalau dulu kita memanfaatkannya lewat politik. Misalnya, waktu itu Obon nyalon bupati menggunakan JamkesWatch. Itu pun korelasinya kecil sekali. Karena politik kita lebih kepada politik uang. Sementara kita tidak bicara money politic. Walaupun kita sudah advokasi dan membantu korban, pada hari H pencoblosan ‘ditembak’ uang Rp 20 ribu sama calon lain bisa tidak memilih calon kita.

Bagaimana menjaga komunikasi dengan relawan kesehatan lain?

Teman-teman Relawan RDP (Rieke Dyah Pitaloka) itu juga awalnya JamkesWatch. Awalnya yang membangun di Bekasi itu saya (Amir) sama Jamal. Jamal RDP, kalo saya FSPMI. Nah ketika politiknya pecah, ya begitulah. Tapi di tingkat lapangan teman-teman ini tidak masalah. Kita juga masih sering berkomunikasi dengan mereka. Itu kan politik di tingkat atasnya saja. Artinya beda politiknya saja. Kerja-kerja lapangannya juga sama. Nah kalo mereka kan melakukan itu untuk kepentingan politik PDI-P, sementara kita melakukan ini untuk kepentingan FSPMI, serikat buruh dan serikat pekerja. Cuma di situnya saja yang beda. Karena sebenarnya gerakan ini bukan dari top-down tapi dari buttom-up, sehingga apapun perbedaan politiknya di tingkat lapangan tetep sama saja caranya.

Bagaimana jika perusahaan tidak membayarkan atau belum mendaftarkan pekerjanya sebagai kepesertaan BPJS?

Itu bagi kami simalakama juga. Balik lagi ke perusahaan. Kalau di perusahaan itu tidak ada serikatnya, kan si pekerja langsung yang mesti melaporkannya ke BPJS. Tapi kan belum tentu berani, atau takut dan sebagainya. Padahal sebenarnya aman. Itu pun akan dituntut oleh si BPJS, dan menindak laporan itu. Nah problem begitu yang sulit. Kadang kita tawarkan begitu, banyak pekerja tidak mau, karena takut di-PHK. Itu kalau dari sisi perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS.

Kalau dari sisi sudah mendaftarkan tapi perusahaan tidak membayarkannya ke BPJS padahal sudah dipotong di slip gaji, itu lebih mudah melaporan langsung ke BPJS. Entah itu kita dari serikat, atau pun individu. Kalau serikat, melaporkannya lebih aman. Tapi kan tidak semua perusahaan punya serikat. Kasus begini yang sering kita angkat tangan. Biasanya yayasan ousourcing security. Kan banyak di Bekasi yang hampir semuanya tidak ada serikatnya. Kebanyakan mereka tidak berani melaporkan kasus demikian ke BPJS. Karena yang bersangkutan bukan kita, kita cuma bisa mengarahkan saja.

Selain bekerjasama dengan BPJS, Pemerintah Daerah, kita juga bekerjasama dengan Disnaker, meskipun belum seratus persen kerjasamanya. Dalam hal ini perusahaan “nakal” di Kabupaten Bekasi ada separuhnya dari jumlah perusahaan 5000. Artinyakan 50 persen ini yang belum mendaftarkan dan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS. Dari 50 persen ini ada banyak jenis usaha, mulai dari UKM hingga perusahaan besar. Sering kita dimintain kerjasama dengan Disnaker dan Pemda terkait hal ini. Padahal sebentar lagi ada UHC. Kalau pun dipaksakan paling deklarasi saja. Deklarasi UHC 2019 tapi di dalamnya masih mengandung persoalan.

Ya mudah-mudahanlah UHC berhasil, karena lagi-lagi untuk menuju pada kesehatan gratis dan pendidikan, banyak persoalan, tapi kita bicara soal ketenagakerjaan dulu saja. Sistem ketenagakerjaan kita ancur-ancuran sehingga kita hanya percaya pada pimpinan.

Satu waktu BPJS menyatakan defisit. Klaim lebih besar daripada penerimaan iuran. Bagaimana melihat problem ini?

Kebetulan kita punya dewan pengawas (BPJS), yaitu Bung Michael dengan Bung Roni. Mereka menjelaskan, kalau sebetulnya ada permasalahan di BPJS Kesehatan dengan BPJS Ketenagakerjaan. Kemarin BPJS Ketenagakerjaan menyampaikan ada kelebihan kas, sedangkan di BPJS Kesehatan kasnya defisit.

Jadi ada permasalahan di jenis penyakit. BPJS Ketenagakerjaan sebetulnya meng-cover pengobatan untuk pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau sakit akibat kerja. Nah yang jadi masalah selama ini adalah ketika kecelakaan kerja pembiayaannya diambil dari kas BPJS Kesehatan. Uang BPJS Ketenagakerjaan tidak digunakan untuk sakit akibat kerja atau kecelakaan kerja. Kita melihat saat ini BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan seakan-akan seperti berlomba-lomba cari nama.

Nah rencanya ini akan disatukan, sehingga tidak ada lagi saling bertolak belakang atau saling cari nama. Karena di tahun 2019 akan dibuat Universal Health Coverage (UHC).

Dengan adanya rencana untuk saling share kas, setidaknya akan mensinergikan keduanya. Salah satunya adalah ketika ditemukan titik singgung masalah yang terjadi di BPJS Kesehatan. Dulu orang tidak mau berobat ke rumah sakit kalau sekarang semua orang ketika sakit tidak takut untuk berobat ke rumah sakit. Ini yang membuat defisit.

Rencananya akan diusulkan anggaran kesehatan BPJS Ketenagakerjaan akan menyumbangkan kasnya untuk menangani persoalan defisit di BPJS Kesehatan. Kalau ngomongin sakit, itu kebanyakan adalah disebabkan oleh kerja, tapi pembiayaan dari BPJS kesehatan. Padahal secara ketentuan mestinya BPJS Ketenagakerjaan. Karena banyak biaya-biaya pengobatan yang mahal seperti jantung, kanker dan penyakit berat lainnya itu setelah diselidiki adalah penyakit yang diakibatkan oleh kerja.

Apakah model klaim dari rumah sakit ke BPJS juga menjadi persoalan?

Kalau dari sisi kita persoalan penolakan klaim, atau lambatnya klaim rumah sakit terhadap BPJS adalah karena pihak rumah sakit sendiri. Harusnya maksimal 15 hari dibayarkan. Kalau BPJS telat bayar, ya enggak masalah! Karena sama-sama enak. Rumah sakit dapat kompensasi 1 persen per bulan. Tapi ini untuk rumah sakit yang clear (tidak curang). Jadi yang bermasalah itu adalah rumah sakit yang tidak mempelajari dan memperbaiki administrasi mereka. Nah ini menjadi indikasi bahwa pihak rumah sakit melakukan kecurangan-kecurangan, biasanya manipulasi angka dan lain sebagainya.

Rumah sakit dengan mudah menolak melayani pasien karena tujuan utamanya mencari untung dari konsumen. Bagaimana memaknai persoalan pelaksanaan BPJS dalam konteks tanggung jawab negara memenuhi hak atas kesehatan?

Persoalan sebenarnya ada di tingkat rumah sakit. Karena ada rumah sakit yang curang. Sebenarnya angka-angka INA CBGs dan kapitasi ini diolah oleh orang-orang ahli. Jadi bicara sistem, bicara ekonomi sebetulnya tidak ada masalah. Yang jadi masalah itu jika titik singgungnya ada diklaim maksimal 15 hari, itu yang tidak terekspose. Nilai kepercayaan BPJS terhadap Rumah Sakit. Karena masih banyak rumah sakit yang melakukan kecurangan-kecurangan sehingga tingkat kepercayaan BPJS menjadi turun dan ini biasanya ada sanksi. Salah satu sanksinya adalah klaim rumah sakit ditolak atau tidak dibayar. Nah tingkat kepercayaan itu biasanya terkait dengan administrasi atau syarat-syarat klaim rumah sakit. Hal-hal demikian jarang sekali terungkap.

Apakah JamkesWatch bisa menjadi strategi pengorganisasian bagi FSPMI?

Betul. Alhamdulillah untuk saat ini kegiatan organisasi, kalau bicara militansi untuk urusan pabrik ada naik turunnya. Tapi kalau militansi di Jamkeswatch ini stabil. Bahkan dengan gerakan JamkesWatch ini stigma masyarakat yang sebelumnya gerakan buruh itu diindentikkan dengan demo, alhamdulillah mulai berubah. Ini salah satu alat untuk berbaur dengan masyarakat. Ini berefek terhadap kerja-kerja FSPMI di tingkat pabrik.

Sebelumnya kalau ada kasus di pabrik selalu berlawanan dengan Ormas dan preman yang berkepentingan dengan perusahaan. Setelah adanya JamkesWatch kasus di pabrik berhadapan dengan Ormas mulai berkurang. Karena banyak orang-orang Ormas tersebut keluarganya kita bantu ketika mereka menggunakan BPJS.

Jadi JamkesWatch alat dari gerakan FSPMI tentang go public. Nah untuk yang go public, itu diletakkan dan dikomandoi oleh Jamkeswatch. Efek gerakan JamkesWatch ini juga tidak saja berefek pada hubungan kita dengan Ormas atau preman, tapi juga pemerintah. Mereka akhirnya paham bahwa gerakan buruh khususnya FSPMI tidak saja demo, tapi gerakan yang melampaui itu. Dengan cara terjun ke masyarakat untuk mengawal pelaksanaan jaminan kesehatan. Meskipun masih ada kasus kita berhadapan dengan preman dan Ormas di tingkat pabrik tapi sudah tidak sesering sebelum ada JamkesWatch.

Apa kritik teman-teman soal regulasi atau aturan jaminan kesehatan?

Kalau soal regulasi kita melihat semangat BPJS tidak sesuai dengan semangat kita diawal mendorong undang-undang jaminan kesehatan. Semangat awal kita dulu jaminan kesehatan yang menanggung penyakit apapun tanpa dipungut biaya (nol persen). Tapi pada praktiknya tidak semua penyakit bisa ter-cover oleh BPJS.

Problem lain soal regulasi. Misalnya PHK, ketentuan bahwa 6 bulan pasca-PHK sebenarnya masih dapat pelayanan BPJS. Kenyataannya ketika sudah di-PHK perusahaan langsung memutus si pekerja dari kepesertaan BPJS. Lalu bagaimana dengan pekerja yang berstatus kontrak, atau bagaimana yang mengundurkan diri, atau yang masih berkasus dalam PHI. Itu sepihak si pemberi kerja bisa menonaktifkan sistem, dan BPJS tidak mengetahui. Nah di sini yang masih bermasalah sebenernya. Istilah PHK itu sebenarnya apa, mengundurkan diri, habis kontrak, dan lain sebagainya. Itu semua kan PHK, tapi dalam ketentuan regulasinya tidak ada ketentuan itu. Sehingga membingungkan terhadap tata cara pelaksanaannya.