Per 2 Febuari 2022, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah mengeluarkan aturan baru terkait tata cara dan persyaratan pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT). Yang paling menonjol dari aturan tersebut adalah JHT bisa dicairkan hanya dalam tiga kondisi. Ketika buruh mencapai usia 56 tahun atau memasuki masa usia pensiun, mengalami cacat permanen dan meninggal dunia.
Keluarnya Permen tersebut mendapat kritikan keras dari banyak kalangan. Beberapa pimpinan serikat buruh membuat pernyataan sikap menolak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tersebut. Konsolidasi aksi penolakan pun mulai digalang. Dari membuat petisi, poster dan video penolakan, hingga merencanakan aksi protes jalanan.
Di media sosial, kolom komentar akun Instagram Kemenaker ditutup setelah dihujani berbagai kritik oleh para netizen.
Pertanyaan mendasar dari kritik tehadap aturan JHT adalah mengapa usia pensiun buruh diperpanjang menjadi 56 tahun? akibatnya buruh baru bisa mengakses uangnya sendiri ketika sudah tua. Kedua, bagaimana uang tabungan JHT yang diendapkan oleh BPJS ini disimpan dan dikelola?
JKP yang Tak Menjamin Apapun
Setidaknya ada dua argumen yang dipakai pemerintah ketika mengeluarkan aturan baru terkait JHT pertama: aturan ini merupakan turunan dari UU SJSN yang lahir pada tahun 2004. Gagasan awalnya dirancang agar di hari tua buruh memiliki tabungan.
Argumentasi kedua, jika buruh di-PHK sebelum memasuki masa usia pensiun, pemerintah telah menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan diluncurkan pada 22 Febuari 2022 (Kompas Online, 25/01/2022). Tujuan JKP, untuk mempertahankan kehidupan buruh ketika di-PHK sebelum usia pensiun.
Program JKP berupa pemberian uang tunai selama 6 bulan. Tiga bulan pertama sebesar 45 persen dari upah terakhir sebelum di-PHK dan tiga bulan berikutnya sebesar 25 persen upah terakhir yang diterima buruh sebelum di-PHK. Problemnya adalah upah buruh yang bekerja saja hanya cukup untuk 3 minggu alias rendah. Selain itu, JKP juga memberikan informasi pasar kerja dan membekali pekerja dengan pelatihan.
PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang JKP dikeluarkan tiga bulan setelah UU Cipta Kerja disahkan, bersamaan dengan dua aturan lainnya (PP 35/2021 tentang PHK dan PP 36/2021 tentang Pengupahan). Keluarnya tiga PP tersebut sempat menuai kritik dari berbagai serikat buruh. Sayangnya saat itu, kritik yang lebih luas banyak dititikberatkan pada dua PP, yaitu soal PHK dan upah.
Salah satu kritik terhadap UU Cipta kerja, memberikan kemudahan perusahaan untuk memecat buruh. Kritik tersebut dijawab pemerintah dengan narasi buruh tidak boleh takut di PHK, negara menjaminnya, memberikan uang tunai, pelatihan dan dapat masuk lagi ke pasar kerja. Yaitu melalui JKP yang telah diatur dalam UU Cipta Kerja.
Hal yang sama terjadi ketika pemerintah mengeluarkan aturan baru soal JHT. Program JKP lagi-lagi menjadi solusi dari pekerja yang ter PHK sebelum memasuki usia pensiun. Alih-alih sebagai perlindungan, JKP menutupi fakta bahwa problem mendasar buruh adalah buruh dalam posisi yang rentan dipecat dan berpotensi kehilangan pendapatan. Dalam situasi demikian JKP seolah-olah jadi pemanis dari pahitnya seluruh aturan soal perburuhan.
Pontang-panting Buruh Pasca PHK
Di tengah upah yang rendah dan tak ada jaminan atas keberlangsungan kerja, kebijakan JHT dinilai kejam. Selain pesangon, biasanya buruh mengandalkan JHT untuk bertahan hidup setelah di-PHK.
Bagi buruh, mendapatkan hak pesangon dari pengusaha tidaklah mudah. Apalagi dalam UU Cipta Kerja sistem aturan kerja kontrak makin diperpanjang, outsourcing dan pemagangan makin diperluas. Buruh nyaris tak punya peluang untuk mendapatkan hak pesangon. Ditambah lagi aturan mengenai pesangon dalam UU Cipta Kerja dan PP tentang pesangon makin buruk jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003.
Selain itu, buruh berstatus tetap, kerap kali harus menempuh jalur negosiasi yang alot dan pelik ketika menuntut pesangon. dalam situasi yang tak punya penghasilan kerap buruh dipaksa menegosiasikan hak normatifnya.
Tak sedikit pula buruh harus berhadapan dengan pengusaha di pengadilan selama bertahun-tahun. Dalam banyak kasus PHK massal, seperti pabrik tutup atau ditinggal kabur pengusaha, buruh harus pontang-panting melanjutkan kehidupannya sembari menagih hak yang belum ditunaikan oleh pengusaha. Praktik-praktik semacam ini kemudian dilegitimasi oleh UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja selain mengubah UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, UU PPHI, juga mengubah UU tentang Jaminan Sosial. Sehingga aturan soal JHT dan JKP terintegrasi. Keduannya merujuk pada UU Cipta Kerja.
Jaminan Sosial atau Perampokan?
Untuk melihat narasi mengenai jaminan sosial dibentuk di Indonesia tampaknya kita harus melihat sejarah. Tidak hanya soal pembentukan BPJS tapi juga SJSN.
Setelah runtuhnya rezim Suharto, periode tahun 1999 hingga 2001 merupakan periode reformasi hukum perburuhan, yang kemudian lahir paket kebijakanan undang-undang perburuhan. Yakni, UU Serikat Buruh Tahun 2000, undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Reformasi hukum perburuhan ini diarahkan oleh lembaga keuangan International Monetery Fund (IMF) sebagai syarat pencairan hutang sebesar USD 7,388 juta. Sebagaimana yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) yang ditandangani oleh Suharto pada 1998.
Salah satu pesan LoI memasukkan konsep pasar kerja fleksibel dalam undang-undang perburuhan Indonesia. Di antara konsep pasar kerja fleksibel yang dimasukan dalam peraturan perburuhan adalah sistem kerja kontrak dan outsourcing. Dalam LoI juga terdapat kesepakatan melakukan privatisasi dan deregulasi sistem keuangan.
Menyusul UU SJSN Tahun 2004. Di bawah program reformasi sistem jaminan sosial, pembentukan UU SJSN melibatkan berbagai lembaga internasional, seperti ADB (Asia Development Bank), ILO (International Labour Organisation) dan GIZ (Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit).
Lembaga-lembaga internasional tersebut menyediakan dana pinjaman, hibah dan asistensi teknis untuk mereview kebijakan jaminan sosial sekaligus menyediakan rancang-model bangunan jaminan di masa depan. Lembaga nasional yang terlibat adalah Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dan Bappenas. Di periode ini pula, lembaga penelitian nirlaba seperti Smeru, melakukan riset-riset tentang pasar kerja yang kaku karena upah minimum dan reformasi jaminan sosial.
Sedari awal UU SJSN dirancang dengan bentuk asuransi sosial dan sistem kepesertaan iuran wajib. Semangat pembentukan UU SJSN diletakkan dalam dua hal: Pertama, mendukung hubungan kerja yang makin fleksibel. kedua, mendukung privatisasi akses layanan kesehatan. Negara melempar tanggung jawab terhadap layanan kesehatan ke swasta. BPJS hanya mengumpulkan uang dari buruh dan orang diarahkan menjadi konsumen rumah sakit dan industri farmasi.
UU SJSN mengamanatkan satu lembaga penyelenggara jaminan sosial, yaitu BPJS, pada 2011. BPJS Kesehatan beroperasi pada 2014 dan BPJS Ketenagakerjaan 2015. Sebagai badan hukum publik bersifat waliamanah, BPJS menetapkan besaran iuran, memobilisasi, mengumpulkan dan mengatur uang dalam jumlah triliunan.
Proses pembentukan BPJS sendiri diwarnai penolakan yang cukup keras. Salah satu argumentasi penolakannya adalah BPJS diberikan kewenangan legal untuk menempatkan dana jaminan sosial dalam investasi jangka pendek maupun panjang (Pasal 47 Ayat 1 UU SJSN dan Pasal 11 huruf b UU BPJS). Klausul ‘penempatan dana investasi’ bersifat spekulatif karena tidak ada yang dapat mengontrol penempatan dana tersebut. Dapat saja dana tersebut dipergunakan untuk membiayai proyek tidak ramah hak dasar rakyat, investasi hot money, atau dipergunakan untuk menyubsidi perusahaan-perusahaan bermasalah.
Akhirnya diketahui, ternyata dana jaminan sosial telah diinvestasikan di pasar saham dalam bentuk obligasi dan reksadana. Menurut pemerintah investasi itu tidak masalah, sekali pun di pasar saham. Bagi pemerintah yang penting timbal baliknya dan dana-nana itu juga nanti akan dikembalikan ke peserta BPJS.
Pada 2015 Apindo mengusulkan kebijakan pesangon dengan skema jaminan hari tua dan jaminan sosial yang dikelola scara swasta, dengan sumber keuangan dari negara, buruh dan pengusaha. Hal tersebut tercermin dari munculnya gagasan tentang asuransi pengangguran. Gagasan ini diserap oleh UU Cipta kerja yang kemudian menjadi program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Beberapa serikat buruh internasional telah memberikan dukungan terhadap rencana memperbesar jaminan pensiun dan skema tunjangan bagi korban PHK dalam bentuk unemployment benefit dan skill development fund atau SDF (Arifin, 2019). Praktik tambal-sulam tersebut di kancah teoretis disebut dengan flexicurity, sebuah pendekatan ketenagakerjaan dari Eropa untuk melegitimasi hubungan kerja fleksibel, memaklumi akumulasi modal sambil memberikan bantuan-bantuan sementara kepada buruh dan cadangan tenaga kerja.
Problem BPJS JHT mengantarkan kita pada pertanyaan: kenapa usia untuk mengambil JHT diperpanjang? Dari penjelasan di atas tentang kewenangan BPJS kita bisa mengatakan bahwa perpanjangan usia pengambilan JHT berhubungan erat dengan kegemaran rezim negara berinvestasi. Gagasan Omnibuslaw Cipta Kerja pun dilatarbelakangi dengan semangat menciptakan iklim investasi yang kondusif dan tak ramah dengan Lingkungan dan HAM.
Sebulan setelah UU Cipta Kerja disahkan presiden Jokowi mengeluarkan PP tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi dan PP tentang Lembaga Pengelola Investasi. Dua regulasi ini merupakan aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja di bidang investasi untuk membentuk lembaga keuangan negara yang bertugas mengumpulkan dana investasi dari dalam maupun luar negeri atau disebut dengan Sovereign Welth Fund (SWF). Lembaga ini resmi diluncurkan di awal tahun 2021 dengan nama Investment National Authority (INA) (Sindonews, 22/11/2020).
Lahirnya SWF/INA dilatarbelakangi oleh desakan pemerintah atas pembangunan infrastruktur tanpa harus meningkatkan resiko utang negara. Selain itu SWF/INA disiapkan untuk menambah opsi pendanaan pembangunan selain dari APBN. Investasi INA diutamakan disektor infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, kawasan industri, dan lain sebagainya.
Lima bulan setelah SWF/INA terbentuk, BPJS Ketenagakerjaan menandatangani perjanjian kerjasama investasi dengan INA. Dalam sebuah sambutan di acara tersebut, Direktur utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo berkomitmen untuk menginvestasikan dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan kepada SWF INA (Bisnis Online, 24/05/2021).
Infrastruktur untuk Menggusur
Berbagai cara negara mengumpulkan uang untuk pembangunan infrastruktur, mulai dari dana yang dikelola BPJS, dana haji, hingga pajak. Tidak hanya itu, dengan SWF negara bahkan memberikan kesempatan kepada korporasi multinasional untuk ‘menguasai’ negara. Bagi negara, investor adalah raja yang harus selalu dilayani.
Faktanya, pembangunan infrastruktur selalu melahirkan konflik. Proyek-proyek infrastruktur yang direncanakan dan didagangkan melalui forum-forum investasi tak pernah mempertimbangkan rakyat.
Pembangunan infrastruktur selalu ‘berhasil’ dibangun dengan cara gusur, gebuk dan bekuk. Bandara Kulon Progo, bisa terbangun megah karna menyingkirkan ribuan petani dengan cara-cara represif. begitu pula dengan bendungan, jalur kereta api, pelabuhan dan lainnya.
Akibatnya, tak sedikit rakyat menjadi korban pembangunan infrastruktur, mulai dari kehilangan tanah, kampung dan bahkan ingatan atas kampungnya. Semua dilibas atas nama pembangunan infrastruktur. Tak sedikit pula rakyat yang menolak dikriminalisasi bahkan tak segan dihilangkan nyawanya.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2021 terjadi lonjakan konflik agraria sebesar 132 persen dari 17 kasus menjadi 38 kasus yang disebabkan oleh proyek infrastruktur atas nama Proyek Strategis Nasional. Mulai dari pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol, bendungan, pelabuhan, jalur kereta api, kawasan industri hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus (Kompas online, 06/01/2022).
Uangmu untuk Menggusur Sodaramu?
Kebijakan JHT tentu saja mengecewakan banyak buruh. Protesnya juga besar. JHT yang selama ini menjadi sandaran bertahan hidup buruh ketika di PHK, tak lagi bisa diakses. Uang mereka ditahan, diinvestasikan sepihak oleh pengelolanya untuk infrastruktur yang lokasinya bisa jadi kampung halaman buruh itu sendiri; atau diinvestasikan untuk membangun kawasan industri untuk merelokasi tempat kerja buruh sendiri.
Kita yakin betul bahwa keluarnya Permenaker soal JHT ini karna turunan UU Cipta kerja. Padahal dalam situasi sekarang, di mana UU Cipta kerja ditetapkan Makhamah Konstitusi sebagai UU yang inkonstitusional bersyarat. Yang mana tidak boleh mengeluarkan aturan turunan apapun terkait UU Cipta Kerja. Keluarnya aturan tentang JHT, alih-alih turunan SJSN faktaknya tetap menggunakan argumentasi dan narasi yang sama dengan UU Cipta Kerja.
Keluarnya Permenaker tentang JHT ini jelas-jelas merampok. Dalam dua tahun situasi Covid-19 negara tak punya uang, tapi tetap ingin membangun investasi di mana-mana. Dan dengan orang menunggu sampai umur 56 tahun uang JHT dirampok untuk membiaya proyek-proyek ambisius infrastruktur. Dan jangan-jangan uang JHT yang ditahan adalah untuk membiayai perampasan tanah warga di Wadas? Atau membiayai kawasan industri Batang, di mana PT Kukdong Internasional telah memindahkan pabriknya dari Bekasi ke kawasan tersebut?
*** Tulisan ini terinspirasi dari diskusi bersama kawan-kawan Serikat Buruh yang tergabung dalam P2RI (Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia), SPSI PPMI Bekasi dan LBH Semarang.
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]