MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Mengungkap Eksploitasi Buruh Migran di Hong Kong (Bagian 1)

Aksi buruh migran menuntut penghentian praktek overcharging (01/05). Foto: JBMI


Aksi buruh migran menuntut penghentian praktek overcharging (01/05). Foto: JBMI

Tidak lama setelah melahirkan anaknya, Intan (33 tahun) pergi ke Hong Kong mencari nafkah sebagai pekerja domestik. Intan ingat betul detail proses yang ia tempuh untuk menjadi pekerja domestik. “Saya mengetahui ada kesempatan kerja di Hong Kong dari sponsor yang merupakan tetangga di desa,” ujar Intan yang berasal dari Semarang. “Kamu kan butuh uang, sudah kamu kerja saja biar dapat gaji,” sambung Intan menirukan tawaran dari sponsor.

Sponsor atau Petugas Lapangan (PL) merupakan istilah umum yang digunakan untuk merujuk pada seseorang yang mencari calon buruh migran dari desa. Oleh sponsor, Intan kemudian dibawa ke ‘PT’. PT istilah harian yang merujuk pada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta/PPTKIS). Selama 2,5 bulan Intan tinggal di balai pelatihan milik agen tersebut dan dibekali keterampilan pekerjaan rumah tangga dan bahasa Kanton yang digunakan di Hong Kong. “Saya berangkat pada 5 Januari 2009.”

Sesampainya di Hong Kong, Intan tidak mendapati imajinasinya tentang bekerja di luar negeri sesuai dengan kenyataan. Selama 7 bulan pertama, Intan nyaris tidak mendapatkan upah sepeser pun dari hasil kerjanya. Dari ketentuan upah minimum 3,580 HKD, Intan waktu itu hanya mendapatkan 2.000 HKD. Itu pun seluruhnya dibayarkan majikannya langsung kepada agen. “Saya hanya mendapat uang lembur 200 HKD jika tidak mengambil libur dalam satu bulan.”

Intan tidak tahu bahwa selama 7 bulan ke depan Ia belum akan menerima upah lantaran untuk melunasi biaya penempatan kepada agen. “Saya baru tahu ada biaya yang harus dibayar saat tiba di Hong Kong dan dijemput oleh agen,” kata Intan. Saat itu, Intan mengaku tidak banyak mendapat informasi tentang penempatan tenaga kerja ke luar negeri. “Waktu itu karena keadaannya saya butuh penghasilan untuk anak, maka saya putuskan untuk berangkat. Masih awam. Saya tidak tahu apapun tentang hak-hak buruh migran ketika itu.”

***

Sebagai buruh migran, Intan terikat dengan aturan dalam UU No. 39/ 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKLN). Dua poin krusial dalam aturan tersebut adalah tentang proses penempatan melalui agen perekrutan tenaga kerja (Pasal 10, 12, dan 13 [g]) dan biaya penempatan (Pasal 9 [c]). Kedua poin tersebut mengharuskan Intan bekerja melalui perantara tenaga kerja dan membayar jasa biaya penempatan oleh agen.

Pada masa Intan direkrut, Keputusan Direktur Jenderal Binapenta No.KEP.186/PPTKA/VII/2008 mengatur biaya penempatan sebesar Rp 15.550.000 plus USD 15. Sementara itu, Intan diharuskan agen untuk membayar sejumlah 14.000 HKD selama 7 bulan. Dengan menggunakan kurs Januari 2009 (1 HKD : 1.400 IDR), biaya penempatan yang dibayarkan Intan setara dengan Rp 19.600.000. Dalam kata lain, agen mendapat keuntungan sekitar Rp 4.000.000.

Salah satu persoalan menonjol yang dialami oleh buruh migran di Hong Kong adalah overcharging. Persoalan ini terjadi ketika buruh migran membayar biaya penempatan dengan jumlah yang melebihi ketentuan. Ketentuan yang dimaksud diatur oleh negara melalui Kepmenakertrans No. 98/ 2012 tentang Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan Calon TKI Sektor Domestik Negara Tujuan Hong Kong.

Pengalaman Intan adalah memori kolektif 154.738 pekerja domestik asal Indonesia di Hong Kong (AHKA, 2017). Mayoritas di antaranya mengalami pengalaman yang serupa, yaitu menjadi korban pemerasan agen perekrutan tenaga kerja melalui pembebanan biaya penempatan berlebih. Buruh migran sering kali ditipu agen hingga terjebak pada pemotongan upah untuk membayar biaya penempatan yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah.

Tulisan ini berupaya untuk mengeksplorasi masalah pemerasan yang dialami buruh migran di Hong Kong dalam hubungannya dengan agen dan negara. Eksplorasi masalah akan dimulai dengan melihat situasi yang memungkinkan dan membenarkan pemerasan buruh migran melalui aturan hukum. Uraian kemudian dilanjutkan dengan melihat cara-cara yang digunakan dalam memeras buruh migran dan kesulitan yang muncul akibatnya.

Overcharging dan Privatisasi Migrasi Tenaga Kerja

“Saya pernah bersitegang dengan kakak karena tidak bisa mengirim uang. Kalau mau beli sesuatu saya sering teringat anak kurang susunya,” Intan.

Migrasi tenaga kerja ke luar negeri di Indonesia memberikan ruang yang besar bagi kepentingan swasta. Dalam hal penempatan tenaga kerja, perusahaan swasta perekrut tenaga kerja, baik di negara asal atau negara penempatan (selanjutnya disebut ‘Agen’) memainkan peranan dominan, mulai dari perekrutan, pemberangkatan hingga penempatan (Malikah, 2017: 32-35). Lebih jauh, aturan perundang-undangan yang ada mengikat buruh migran pada agen.

Negara menyaratkan seseorang yang ingin bekerja ke luar negeri sebagai buruh migran untuk melalui proses penempatan oleh agen penyalur tenaga kerja. Syarat ini diformalisasi melalui UU 39/2004 tentang PPTKLN dan diperbarui melalui UU 18/2017 tentang PPMI. Menteri Tenaga Kerja dalam hal ini menyaratkan calon buruh migran untuk mendaftar melalui PPTKIS (Malikah, 2017: 35). Pada prinsipnya, aturan hukum yang ada memberikan peran besar bagi agen swasta dalam proses penempatan tenaga kerja di luar negeri.

UU PPMI membagi tiga kategori buruh migran: bekerja pada pemberi kerja berbadan hukum, bekerja pada pemberi kerja perseorangan atau rumah tangga, dan pelaut awak kapal. Dalam konteks pekerja domestik seperti di Hong Kong, pemberi kerja atau majikan adalah perseorangan atau rumah tangga. UU PPMI mengatur buruh migran perseorangan—tanpa perantara agen—namun hanya bagi yang dipekerjakan oleh majikan berbadan hukum atau bukan pekerja domestik.

Proses penempatan buruh migran melibatkan dua entitas swasta. Pertama, PPTKIS—disebut sebagai ‘PT’—bertugas mengurus rekrutmen hingga pemberangkatan dari daerah asal ke negara penempatan. Kedua, Mitra Usaha atau biasa disebut sebagai ‘Agen’ yaitu perusahaan swasta di negara tujuan yang bertanggung jawab menempatkan dan menghubungkan buruh migran dengan majikan di negara penempatan.

Pada 2017, Konsulat Jenderal RI di Hong Kong memberlakukan mekanisme kontrak mandiri atau tanpa perantara agen tenaga kerja. Namun, mekanisme tersebut hanya berlaku bagi buruh migran yang akan memperpanjang kontrak kerja dengan majikan yang sama. Kontrak mandiri ini tidak berlaku bagi buruh migran yang baru pertama kali bekerja di Hong Kong, atau buruh migran yang telah berada di Hong Kong dan hendak mencari majikan baru.

Kehadiran agen yang begitu kuat dalam migrasi tenaga kerja sejalan dengan momen di mana migrasi tenaga kerja menjadi hal yang komersial dan menarik keuntungan. Dalam rentang 1970an-1980an, pemerintahan Orde Baru mulai mengadakan program migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Program migrasi tenaga kerja itu dilatarbelakangi oleh motif ekonomi, yaitu mengatasi pengangguran dalam negeri dan sekaligus sebagai sumber alternatif devisa negara lewat pertukaran mata uang asing (Palmer, 2016: 22-30).

Keberadaan buruh migran di luar negeri menambah pendapatan negara. Dalam laporannya tahun 2017, Bank Dunia mencatat buruh migran menyumbang 1 persen dari total PDB Indonesia atau senilai Rp 118 triliun (USD 8,9 miliar) melalui kiriman remitansi valuta asing. Valuta asing yang menambah cadangan devisa negara ini juga setara dengan 30 persen dari total investasi langsung luar negeri (foreign direct investment). (World Bank, 2017).

Selain itu, tingginya permintaan atas tenaga kerja murah di negara-negara industri baru di Asia, seperti Arab Saudi, Malaysia dan Hong Kong, dilihat sebagai potensi bisnis yang menguntungkan. Menteri Tenaga Kerja Harun Rasjid Zain (1978-1983) ketika itu menerbitkan Permenaker No. 1/MEN/1983 tentang Perusahaan Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Regulasi itu menandai pengakuan negara terhadap perusahaan swasta perekrut tenaga kerja.

Sejak saat itu, migrasi tenaga kerja ke luar negeri banyak didominasi oleh kepentingan bisnis. Pada tahun 1995 misalnya, ketika itu hanya terdapat kurang dari 50 agen penyalur tenaga kerja yang mengirimkan 200.000 tenaga kerja per tahun. Pada tahun 2007, jumlah agen bertambah menjadi 500 dengan rata-rata mengirimkan 700.000 tenaga kerja tiap tahun. Artinya, jumlah peningkatan agen tiga kali lebih cepat dari jumlah pengiriman tenaga kerja (Xiang dan Lindquist, 2014: 123).

Keuntungan pihak swasta atau agen dalam hal ini didapatkan dari permainan biaya penempatan. Sebagaimana Intan, buruh migran terikat dalam kewajiban membayar biaya penempatan kepada agen. Masalah biaya penempatan ini terkait erat dengan persoalan penahanan dokumen, jeratan utang, hingga intimidasi yang dialami keluarga migran di daerah asal. Uraian selanjutnya akan membahas tentang cara-cara yang digunakan agen untuk memeras buruh migran dengan memainkan biaya penempatan.

Mengungkapkan Eksploitasi Buruh Migran Bagian 2