MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Minggu Pagi di Victoria Park: Nasib Rentan Buruh Migran

Minggu Pagi di Victoria Park

Judul film : Minggu Pagi di Victoria Park
Tanggal & tahun rilis : 10 Juni 2010
Produksi : Pic[k]lock Production
Sutradara : Lola Amaria
Penulis Naskah : Titien Wattimena
Pemain : Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Damara, Imelda Soraya


Industrialisasi di berbagai negara menciptakaan pusat-pusat ekonomi yang mewujud dalam bentuk kemegahan wajah kota dengan bermacam infrastrukturnya. Kota yang menghubungkan urusan ekonomi dan perdagangan antar negara. Tanpa batas.

Dalam film Minggu Pagi di Victoria Park yang dirilis pada 2010, kemegahan kota tersebut digambarkan melalui potret Hong Kong dengan segala hiruk pikuknya. Perputaran uang yang masif, kepadatan penduduk yang tinggi, gedung-gedung pencakar langit yang megah, dan tata ruang kota yang modern, membuat Hong Kong didaulat sebagai pusat keuangan Asia. Denyut perekonomian Hong Kong tak lain dan tak bukan digerakkan oleh para buruh.

Dibungkus dengan cerita romansa dan keluarga film tersebut menceritakan tentang kehidupan para buruh migran Indonesia di Hong Kong, terutama buruh migran perempuan. Film tersebut tak hanya memotret soal kondisi buruh migran Indonesia, melainkan juga, secara tersirat, menjelaskan tentang bagaimana proses mereka menjadi buruh migran dan faktor-faktor yang membuat mereka akhirnya terlempar ke dalam pasar kerja yang predatoris atau saling memangsa.

Pada 2010, terdapat 284.901 pekerja rumah tangga asing di Hong Kong. Sebanyak 49,4 persen diantaranya berasal dari Indonesia, 48 persen dari Filipina dan 1,3 persen dari Thailand. Berdasarkan angka tersebut, buruh migran yang berasal dari Indonesia dinilai cukup mendominasi. Hal demikian didorong oleh kondisi kehidupan yang memprihatinkan, yang membuat mereka –atau bahkan kita semua– tak punya pilihan lain selain kerja, kerja, dan kerja.

Dalam dunia yang semua kemewahaannya dibangun oleh buruh, kerja merupakan moto yang utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dengan begitu, seseorang dapat melanjutkan hidupnya. Kehendak bertahan hidup dalam diri manusia merupakan hasrat paling mendasar sejak manusia ada di bumi. Untuk itu, manusia perlu melakukan hal-hal yang sifatnya produktif, yang dengan begitu dapat memperpanjang hidupnya. Hal demikian dapat dilakukan dengan kerja.

Atas dasar itulah, bisa dipahami mengapa Sekar –tokoh sentral dalam film– dan banyak perempuan buruh migran asal Indonesia lainnya, merantau ke Hong Kong untuk bekerja. Keputusan mereka menjadi buruh migran berkaitan dengan masalah sosio-ekonomi yang terjadi di kampung halamannya, khususnya dalam level keluarga.

Jauh sebelum keduanya bekerja di Hong Kong, digambarkan bahwa Sekar dan Mayang–yang merupakan adik kakak–hidup dalam keluarga yang sederhana, yang sebagian besar penghasilannya ditentukan oleh hasil pertanian dan perkebunan. Ketika ada hal yang membuat hasil pertaniannya berkurang, bahkan gagal panen, kehidupannya semakin morat-marit dalam ketidakpastian. Melalui gambaran film tersebut, setidaknya ada dua kemungkinan yang menjadi titik awal masalah: kondisi ekonomi pedesaan yang pas-pasan sehingga tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan keseharian keluarga; dan adanya perubahan cara berpikir karena ketergantungan terhadap uang cash di pedesaan.

Dalam konteks yang lebih luas, kondisi ekonomi pedesaan merupakan satu persoalan khusus, yang pada titik tertentu, juga berkelindan dengan persoalan mengenai bagaimana proses seseorang menjadi buruh migran. Petani bekerja pada suatu cara produksi tertentu, juga hidup dalam suatu konteks bangunan ekonomi-politik tertentu, yang pada gilirannya akan mengkondisikan nasib kaum tani di pedesaan. Dalam hal ini kebijakan negara yang dibuat seringkali tidak menguntungkan petani sehingga akan berpengaruh kepada banyak hal: penghasilan yang tak seberapa, tak terpenuhinya kebutuhan harian, dan parahnya, kebijakan tersebut malah membuat petani kehilangan tanah dan menjadi buruh.

Di sisi lain, kebijakan negara yang kerap membuka keran bagi modal masuk ke pedesaan turut menyumbangkan ketergantungan orang desa terhadap uang cash. Hal ini digambarkan dari sosok Bapak dari Sekar dan Mayang yang seringkali membandingkan penghasilan keduanya. Sekar yang lebih dulu kerja sebagai buruh migran memiliki penghasilan lebih daripada Mayang yang hanya bekerja di desa. Narasi seperti ini, bekerja secara harian hingga akhirnya Mayang terpaksa mengikuti jejak Sekar. Menjadi buruh migran agar mendapatkan penghasilan lebih.

Namun, bukan berarti semua masalah menjadi selesai ketika menjadi buruh migran. Bagi perempuan desa, menjadi buruh migran lebih berpotensi akan menambah persoalan dan memiliki resiko. Jauh dari keluarga, bekerja dibawah perintah sang majikan, rawan pelecehan seksual, dan menjadi incaran korban trafficking. Singkatnya, rentan.

Untuk menghibur diri, mereka kerap menyebut dirinya sebagai ‘pejuang devisa’. Hal itu berdasar, karena posisi buruh migran memiliki peran penting dalam pemasukan negara dalam bentuk devisa. Pengglorifikasian istilah tersebut dinilai kurang tepat, sebab alih-alih menuntut pemerintah untuk memenuhi hak-hak dan jaminan perlindungannya, kesadaran semu itu hanya akan membuat para buruh migran semakin terjerembab dalam kondisi yang memprihatinkan.

Dari Upah yang Tak Layak Hingga Pelecehan Seksual

Dalam banyak hal, film tersebut beririsan dengan persoalan yang berkaitan kerja layak. Namun, jauh sebelum berbicara tentang hal tersebut, ada satu fenomena yang mendorong dan menjadi titik kesamaan dalam prosesnya menjadi buruh migran. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi ekonomi pada level keluarga, yang kemudian mengharuskan mereka terpaksa menjadi buruh migran di Hong Kong.

Setelah menjadi buruh migran, kemudian munculah masalah-masalah lain dalam bentuk yang beragam. Salah satu yang disorot dalam film tersebut adalah permasalahan tentang sistem pengupahan di masa awal mereka bekerja. Selama kurang lebih 7 bulan di awal, para buruh tidak diupah. Hal tersebut merupakan bentuk dari eksploitasi pekerja dan pelanggaran atas hak-hak perburuhan.

Secara normatif, para buruh migran tersebut berhak mendapatkan upah layak berdasarkan apa yang telah dikerjakannya. Pada kenyataannya, hal tersebut tidak didapat oleh para buruh migran. Kondisi demikian membuat para buruh migran hidup dalam kesengsaraan. Status migran, perempuan dan miskin menciptakan relasi kuasa yang timpang membuat para buruh tak punya pilihan lain selain mengikuti aturan dan melanjutkan pekerjaan.

Dalam hal lainnya, kondisi kerja semakin diperparah dengan lingkungan kerja yang tidak aman, terutama bagi para buruh perempuan. Ada banyak kasus buruh perempuan yang mengalami pelecehan seksual, baik dari majikan tempatnya bekerja, maupun dari lingkungan pertemanan. Hal itu disebabkan oleh terbatasnya ruang yang dapat menjaga hak-hak privasi para buruh, dan nihilnya payung hukum yang dapat melindungi para buruh dari kekerasan seksual. Alih-alih tersedianya mekanisme perlindungan kasus kekerasan seksual bagi para buruh, kekosongan regulasi yang mengatur dan melindungi para buruh perempuan semakin memperumit keadaan, dan kondisi tersebut seringkali membuat kasus-kasus pelecehan tidak pernah diselesaikan secara formal. Situasi demikian, membuat para buruh migran perempuan rentan. Resiko yang ditanggungnya dua kali lipat dari pekerja laki-laki: dieksploitasi dan dilecehkan.

Meski film tersebut diproduksi beberapa tahun lalu, namun permasalahan yang dialami oleh buruh migran masih relevan hingga saat ini–setidaknya dalam setahun ke belakang. Berdasarkan laporan BBC, dalam dua tahun terakhir, terutama saat pandemi menggila, banyak para buruh migran yang bekerja di sektor domestik justru mendapatkan beban kerja yang berlipat dan banyak pekerja yang tidak mendapatkan hari libur untuk beristirahat. Selain itu, banyak kasus buruh yang mengalami intimidasi dari majikannya: dianggap menyebar virus, ditelantarkan, dan dibatasi akses terhadap pelayanan kesehatan.

Hal itu memungkinkan terjadi karena disebabkan oleh kekosongan regulasi yang membuat masalah-masalah tersebut tidak selesai. Dalam hal inilah, pemerintah yang memiliki peran penting untuk menjalankan kewenangannya, mampu melihat masalah-masalah itu dan melindungi para buruh migran, bukan justru menormalisasikannya demi kepentingan bisnis dan keuntungan. Berbagai konflik yang digambarkan dalam film tersebut, baik soal upah yang tidak layak hingga kekerasan seksual yang dialami para buruh perempuan, cukup menjadi gambaran tentang bagaimana kondisi kerja buruh migran, khususnya di Hong Kong–backgroud dari film tersebut.

Dengan demikian, film Minggu Pagi di Victoria Park (2010) bukan hanya menjelaskan nasib buruh migran dalam sitem ekonomi yang dominan hari ini, melainkan juga berbicara soal konflik-konflik yang sebenarnya dekat dengan kehidupan yang berkaitan dengan hak-hak manusia: hak atas kehidupan dan pekerjaan yang layak.[]