MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Fleksibilisasi Perekrutan: Pengusaha Untung, Buruh Buntung

Gambar: Spanduk lowongan kerja di PT Leetex Garment Majalengka Jawa Barat, pada Februari 2018. Dokumen LIPS.


Apri 2017, Muthmainnah1 memperlihatkan secarik kwitansi. Terbaca tulisan ‘dua juta lima ratus rupiah’. Terlihat bacaan, ‘uang titip untuk masuk kerja’. Di pojok kanan bawah tertera nama dan tanda tangan penerima uang di atas materai. Keponakan Muthmainnah dijanjikan oleh salah satu tokoh masyarakat di desanya untuk bekerja di PT Glostar Indonesia (PT GSI) Cikembar Sukabumi. “Sudah tiga bulan tidak ada kabar keponakan saya akan dipekerjakan. Padahal udah bayar,” jelas Muthmainnah.

Muthmainnah satu dari tiga korban penipuan lowongan kerja oleh orang yang sama. Di kemudian hari, uang tersebut dikembalikan, “Saya ancam akan lapor polisi,” terang Muthmainnah menceritakan cara mengambil kembali uangnya.

Kasus penipuan lowongan kerja di PT GSI Cikembar Sukabumi beredar di media massa online pada Mei 2015. Harian Pojok Satu, Antara News, Radar Sukabumi, dan Sukabumi Update memberitakan kasus penipuan lowongan kerja dengan narasumber beragam; korban penipuan, tanggapan warga, manajemen perusahaan, tokoh masyarakat dan para pejabat Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Pemkab Sukabumi mendefinisikan penipuan lowongan kerja sebagai pungutan liar (Pungli). Perwakilan manajemen PT GSI menyebut Pungli bukan kebijakan perusahaan.

Merespons praktik penipuan calo tenaga kerja, Bupati dan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Sukabumi menyarankan agar PT GSI mengumumkan lowongan kerja melalui Disnakertrans atau melalui website perusahaan. Pelamar kerja diminta mengirim lamaran melalui pos atau surat elektronik. Anjuran Pemda Sukabumi dilaksanakan. Proses rekrutmen berlangsung. Formalitas pelaporan rekrutmen antara PT GSI dan Pemkab Sukabumi dilaksanakan dengan seksamaPara calo tenaga kerja pun masih beraksi tanpa hambatan.

Tidak hanya di Kabupaten Sukabumi, peristiwa penipuan lowongan kerja marak pula di tempat lain, seperti di Kabupaten Bogor, Karawang, Kabupaten Tangerang, Purwakarta, Cianjur, dan Subang. Penipuan lowongan kerja beredar pula di dunia maya dan bursa tenaga kerja. Para pelamar kerja diminta membayar dan dijanjikan akan disalurkan ke perusahaan. Kisaran membayarnya Rp 500 ribu hingga Rp 20 juta. Pelakunya dari individu sekitar pabrik, Satuan Pengaman perusahaan, kelompok yang mencatut nama perusahaan atau organisasi kemasyarakatan.

“Waktu itu saya diminta untuk bekerja di RSUD Cianjur dan dipinta uang sebesar Rp20.000.000 (Duapuluh Juta Rupiah) yang katanya untuk proses agar cepat diterima bekerja di RSUD. Lalu saya memenuhi permintaannya uang 20 juta kita berikan, namun hingga saat ini saya masih belum dikerjakan,” demikian seperti dilansir Metro Media News, 5 Januari 2018)

Menghadapi penipuan lowongan kerja, tiap Pemda menggunakan metode yang sama yaitu mengadakan bursa tenaga kerja, menganjurkan perusahaan memublikasikan lowongan kerja secara online, menyarankan pengiriman lamaran melalui pos atau surat elektronik. Terakhir, membentuk Satgas Saber Pungli (Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar), sebagaimana perintah Peraturan Presiden nomor 87 tahun 2016.

Di Kabupaten Subang, Karawang, Purwakarta, Serang dan kota atau kabupten lainnya, Saber Pungli menangkap pelaku pungli calon tenaga kerja. Namun upaya tersebut dirasa tidak cukup. Menurut aktivis buruh Kota Cimahi, Kiki, kasus-kasus calo tenaga kerja mencuat ketika pekerjaannya tidak ada atau pekerjaannya tidak sesuai dengan yang dijanjikan. “Kalau pekerjaannya ada, pelamar akan diam. Maka, biasanya, pencari kerja meminta dipastikan dulu bekerja, setelah itu baru bayar.”

Meraup untung dari perjuangan buruh

Para pejabat negara belum berhenti berceramah tentang kemudahan investasi atas nama perluasan kesempatan kerja. Baru-baru ini Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mendesak perluasan fleksibilisasi dengan merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2019. Lagi-lagi, mengatasnamakan perluasan kesempatan kerja. Namun, obrolan harian atau di media sosial selalu muncul: sulit mendapat pekerjaan, agar diterima bekerja harus nyogok, udah nyogok statusnya pun kontrak. Lazim diungkapkan, ‘Kita nyari kerja untuk dapat uang, malah diminta uang’, ‘Justru kita ngelamar kerja biar dapat pengalaman, malah disyaratkan harus punya pengalaman’.

“Waktu masuk kerja saya bayar Rp 4 juta ke ‘orang dalam’. Saya bekerja selama enam bulan. Saya gak mau bayar lagi. Sekarang kerja serabutan,” jelas Galbi, buruh di perusahaan elektronik Kabupaten Bekasi, yang diputus kontrak Juli 2019. Galbi menambahkan ada beberapa kawan sekerjanya yang membayar Rp 20 juta agar menjadi buruh tetap. Kawan Galbi yang lain diminta membayar Rp 40 juta untuk bekerja sebagai buruh tetap di perusahaan otomotif di Karawang.

Seperti Galbi, terdapat banyak cerita mirip yang diungkapkan oleh buruh di Jakarta, Purwakarta, Tangerang, Kabupaten Bandung, Karawang, Cianjur, Kota Cimahi dan Kabupaten Sukabumi. Rata-rata pelamar akan diminta sejumlah uang agar diterima bekerja untuk dua kali kontrak. Kemudian membayar lagi untuk perpanjangan kontrak. Jika perusahaannya dikenal memiliki upah minimum lebih tinggi dengan status tetap, harga lowongan kerja lebih mahal. Ada yang bersedia membayar, banyak pula yang memilih banting setir menjadi pekerja-serabutan, pengemudi Ojek Online, atau menekuni sumber penghasilan lain.

“Harganya tergantung sektor industrinya dan status kerja. Kalau garmen biasanya lebih murah. Kalau pabrik ban bisa mencapai Rp 10 juta,” jelas aktivis buruh Purwakarta, Maulana. Menurut Maulana kesempatan kerja di sektor industri otomotif dan elektronik, apalagi statusnya sebagai buruh tetap harganya lebih mahal. “Transaksinya sembunyi-sembunyi. Kadang tanpa ada bukti. Mereka juga ketakutan untuk bercerita karena butuh pekerjaan,” terang aktivis buruh Sukabumi Abdul.

Abidin rela membayar lebih mahal. “Kalau di sini (PT GSI), kan statusnya tetap”. Sebelumnya, Abidin pekerjaanya seperti serabutan: pindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan dengan melamar melalui yayasan.

Di pemasok Nike lainnya, PT Nikomas, harga lowongan kerja dihitung berdasarkan jabatan dan bergantung cara membayarnya. Seperti diuraikan Abu Mufakhir dalam Nikomas dan Jawara: Politik Pengendalian Buruh, pada 2011, bagian operator untuk buruh perempuan Rp 1,5 juta, untuk calon buruh mekanik Rp 4 juta, untuk Satpam Rp 7 juta. “Perputaran uang dari bisnis Marlan (makelar karyawan) dapat dihitung mencapai Rp1,2 miliar per bulan, atau Rp 14 miliar per tahun,” tandasnya.

PT GSI Cikembar dan PT Nikomas, dua dari empat anak Pou Chen Group yang beroperasi di Indonesia. Dua perusahaan lainnya berada di Sukalarang Sukabumi dan Cianjur Jawa Barat. Sebagai pemasok Nike, PT GSI berkewajiban memenuhi kode etik bisnis buyer. Kode etik bisnis Nike menyebutkan, semua pemasoknya harus melaksanakan standar perburuhan nasional.

Kode etik bisnis merupakan salah satu upaya panjang perjuangan para buruh di pabrik pemasok Nike. Bukan hasil paksaan negara, apalagi organisasi kepemudaan yang hanya beringas menghadapi buruh mogok. Kampanye menuntut tanggung jawab Nike mencuat pada 1990-an, sepuluh tahun setelah para pemasok Nike menyebarkan pabriknya di negara-negara Asia. Kampanye menuntut tanggung jawab Nike menguat dan meluas di mancanegara dengan melibatkan berbagai kelompok. Hasilnya, pada 2002, Nike bersedia memastikan bahwa seluruh pabrik pemasoknya menghormati hak asasi manusia, patuh pada hukum nasional dan membolehkan audit independen memeriksa pemasoknya. Untuk itulah, rerata kondisi kerja di pemasok Nike relatif lebih baik daripada di pabrik garmen lainnya. Kemenangan itu pula yang dibajak oleh para penyalur tenaga kerja untuk memperkaya diri.

Di perusahaan lainnya penyalur tenaga kerja menetapkan standar harga lowongan kerja bergantung jenis kelamin dan status kerja pelamar. Salah satu perusahaan elektronik di Kabupaten Sukabumi menetapkan; harga pelamar baru perempuan Rp 800 ribu-Rp 1,8 juta per orang dan pelamar baru laki-laki Rp 3 juta. Setelah dua kali kontrak, mereka akan diberhentikan sementara. Kemudian melamar lagi dengan membayar Rp 800 ribu. “Penerima uangnya tergantung yang ‘membawa’,” jelas Yahya.

Yahya mulai bekerja 2013 di perusahaan elektronik tersebut. Di masanya, lowongan kerja belum diperjualbelikan. Setiap lamaran diajukan ke perusahaan, melawati pemeriksaan berkas dan rangkaian tes. “Kira-kira 2014 calo tenaga kerja muncul. Sekarang kalau melamar kerja akan ditanya atau diperiksa bawaan siapa,” papar Yahya. ‘Bawaan’ adalah istilah untuk orang yang merekomendasikan. “Kan kalau ada lowongan, biasanya personalia membagi kuota. Untuk pengurus serikat berapa, untuk jajaran manajemen berapa dan untuk ‘forum warga’ berapa. Nah, uang itu biasanya diterima oleh ‘orang yang bawa’ itu.”

Tempat kerja Yahya mempekerjakan lebih dari 2000 orang. Rata-rata perempuan. Sembilan puluh persen adalah buruh kontrak. Hampir tiap enam bulan ada lowongan kerja bersamaan dengan putusnya kontrak para buruh lain. Jika dalam enam bulan terjadi putus kontrak kepada 500 orang dan harga rata-rata per kesempatan Rp 1 juta, berarti sekitar Rp 500 juta per enam bulan beredar di tangan para calo tenaga kerja.

Sebelum 2012, Kabupaten Sukabumi merupakan wilayah incaran perpindahan dan perluasan pabrik dari Jakarta, Tangerang, Serang, dan Bogor. Selain lokasinya yang tidak terlalu jauh dari pelabuhan Tanjung Priok, upah lebih rendah, serikat buruhnya pun tidak terlalu aktif. Bahkan, pada 2009, kenaikan upah minimum di Kabupaten Sukabumi merupakan yang terendah se-Jawa Barat. Ketika itu, spanduk lowongan kerja ukuran jumbo di pasang di depan pabrik, di pinggir jalan, bahkan memenuhi kaca belakang di angkutan umum. Pengumuman lowongan kerja yang membabi buta dapat pula ditemukan di wilayah-wilayah pembukaan pabrik baru, seperti Majalengka Jawa Barat serta Jepara dan Boyolali Jawa Tengah. Di awal-awal pembukaan produksi, perekrutan tenaga kerja lebih longgar bahkan cenderung melabrak kelaziman. Seperti banyak dikeluhkan para pengusaha di wilayah baru pendirian pabrik, yang kesulitan mendapat tenaga kerja. Tapi ketahuilah, ketika produksi barang dianggap stabil, disiplin produksi mulai diberlakukan, fleksibilisasi di berbagai lini perlahan diterapkan.

Menurut aktivis buruh Bekasi, Julian, variasi harga kesempatan kerja memanfaatkan kenaikan upah minimum di wilayahnya. Besaran upah minimum tersebut akan berpengaruh dalam perhitungan tunjangan dan lembur. “Kalau upah minimum sektornya tinggi dan lemburannya banyak, lowongan kerja jadi makin mahal. Dasar perhitungan lemburan itu ‘kan upah minimum. Kalau dibanyakin lembur uang jutaan itu bisa balik lagi dalam waktu cepat,” tambahnya.

Abdul menceritakan pengalamannya memperjuangkan kenaikan upah minimum di Kabupaten Sukabumi. Sejak 2009, Abdul dan kawan-kawannya membangun jaringan dengan serikat-serikat buruh di luar Sukabumi. Melakukan penelitian independen tentang kebutuhan hidup layak (KHL), sebagai bahan argumentasi kenaikan upah minimum. “Akhir 2012, kami melakukan demonstrasi berhari-hari menuntut kenaikan upah minimum agar sesuai dengan KHL. Sekarang upah minimum sudah lumayan. Banyak orang nyari kerja di Sukabumi. Calo tenaga kerja semakin lumrah,” tambah Abdul.

Wajah fleksibilisasi perekrutan

Saya berbicara dengan buruh dan aktivis buruh di sekitar Jakarta, Sukabumi, Purwakarta, Tangerang, Karawang, Cianjur dan Bandung. Seluruhnya menyebutkan, para pencari kerja kerap berhadapan dengan aktor-aktor yang menyaratkan membayar agar diterima bekerja di perusahaan.

Mereka pun menceritakan keterlibatan aktor-aktor kuat dalam perekrutan berbayar, seperti karang taruna, organisasi kemasyarakatan, aparat desa, pengurus serikat buruh, perusahaan penyalur berizin, manajer produksi, HRD (human resource departement), bahkan operator produksi. Cara membayarnya, ada yang di awal masuk kerja atau setelah diterima bekerja. “Uang itu ibarat jaminan bekerja,” terang aktivis buruh Sukabumi, Abdul.

Mereka menambahkan, memang ada penyalur tenaga kerja yang tidak memunggut bayaran karena telah bekerjasama dengan perusahaan tertentu. Tapi jenis pekerjaannya bersifat sementara. “Mereka akan dipekerjakan sebagai buruh kontrak untuk semua jenis pekerjaan. Karena buruh kontrak, hak mereka sebagai buruh berbeda dengan buruh tetap,” ungkap Azizah. Azizah memaparkan bahwa jenis perusahaan penyalur tersebut biasanya menunggu pengurangan tenaga kerja di perusahaan pemberi kerja. Karena kegiatan utamanya memasok tenaga kerja, berarti semakin banyak yang putus kontrak atau pemutusan hubungan kerja (PHK), bisnis semakin lancar.

Perekrutan tenaga kerja, ditambah dengan perlindungan di tempat kerja, pengupahan dan mekanisme PHK, merupakan bagian dari kebijakan ketenagakerjaan. Secara umum, kebijakan perekrutan memiliki hubungan langsung dengan penempatan dan pengurangan tenaga kerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, memformulasikan hubungan perekrutan dengan pemborongan pekerjaan dan sifat pekerjaan. Dikatakan bahwa jenis-jenis pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dapat diserahkan kepada pihak lain; dan jenis pekerjaan yang bersifat sementara merekrut tenaga kerja waktu tertentu. Bisa merekrut langsung atau melalui penyalur.

Aturan main perekrutan menyebutkan perusahaan dapat merekrut tenaga kerja secara langsung atau melalui lembaga pemerintah atau oleh badan swasta. Di dalamnya diatur pula tentang kebolehan memungut biaya perekrutan (Pasal 35, 37 dan 38) dan sanksi terhadap peraturan tersebut (Pasal 187 dan 188). Peraturan turunan lainnya, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012, hanya membahas seputar syarat serta jenis-jenis pemborongan pekerjaan dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Tidak menyebut mengenai larangan dan sanksi terhadap perekrutan berbayar. Kalau pun terjadi kasus-kasus penipuan atau perekrutan berbayar, seringkali diletakan sebagai perbuatan ‘oknum tertentu’, diberikan sanksi dengan ditegur, pencabutan izin atau dilaporkan kepada kepolisian.

Regulasi perekrutan di atas telah mencerminkan aspek fleksibilitas perekrutan. Mekanisme perekrutan diserahkan ke mekanisme pasar. Artinya, negara hanya menjamin ketersediaan pasokan tenaga kerja dan pengusaha dapat merekrut tenaga kerja sesuai kebutuhan akumulasi keuntungan. Inilah yang menjelaskan informasi lowongan kerja di penyalur jasa tenaga kerja resmi dan tidak resmi selalu tersedia setiap saat. Praktiknya, para pencari kerja akan diminta mengajukan lamaran dan diminta menunggu untuk beberapa bulan.

Fleksibilisasi perekrutan menguntungkan pemilik modal karena dapat mengurangi biaya perekrutan, mengalihkan risiko dan mengendalikan buruh. Alokasi waktu, biaya perekrutan termasuk training, dialihkan ke perusahaan penyalur; ketika buruh protes terhadap kebijakan perusahaan pemberi kerja, buruh akan dikembalikan ke perusahaan penyalur; dan perusahaan pemberi kerja dapat dengan mudah mengatakan, ‘mereka bukan karyawan kami’.

Di alam rezim fleksibel, pengalaman dan umur kerja hanya dilirik sebagai pelengkap persyaratan kerja untuk diperas menjadi nilai baru. Itulah yang menjelaskan dalam setiap lowongan kerja akan dicantumkan: ‘Maksimal 27 tahun’, ‘Diutamakan berpengalaman’ dan ‘Bersedia bekerja di bawah tekanan’.

Namun, masih terdapat keluhan para pengusaha. Para pengusaha menganggap tenaga kerja yang tersedia ‘kurang terampil’. Untuk mengakomodasi aspirasi tersebut, negara bersedia membuat program peningkatan keahlian melalui balai latihan kerja dan program pemagangan nasional.

Lima tahun terakhir, setelah berhasil merelokasi pabrik dari Jabodetabek sesukanya, para pengusaha kembali mengeluh. Keluhan yang pernah diungkapkan pada 2006 lalu. Mereka meminta mekanisme dan biaya PHK diubah dari regulasi ketenagakerjaan. Para pengusaha menginginkan mekanisme PHK tidak melalui proses pengadilan dan besaran biaya kompensasi dikurangi alih-alih dihilangkan atau ditanggung dari iuran buruh.

Bukan sekadar penipuan

Sebenarnya, praktik penyaluran tenaga kerja bukan hal baru. Sebagian orang mengenal praktik tersebut dalam perekrutan pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai badan usaha milik negara (BUMN). Tahun 1980-1990-an, status sebagai PNS dan pekerja BUMN merupakan kebanggaan sosial: kondisi kerja yang lebih baik, jam kerja yang lebih pendek, tunjangan yang lebih lengkap. Saat ini, dua sektor tersebut mengalami pemburukan sehingga dikenal istilah tenaga honorer dan outsourcing di BUMN.

Di perusahaan-perusahaan swasta pun penyalur tenaga kerja sudah dikenal sejak 1990-an. Kemudian makin marak pada 2003. Penelitian Indrasari Tjandraningsih, Rina Herawati dan Suhadmadi mengenai praktik buruh kontrak dan outsourcing(2010)di tujuah kota/kabupaten di tiga provinsi menemukan, sejak 2003 terjadi lonjakan jumlah penyalur tenaga kerja di kantor-kantor dinas tenaga kerja, bahkan jumlah perusahaan penyalur tenaga kerja yang beroperasi diperkirakan lebih banyak ketimbang yang terdaftar.

Dalam buku “Buruh Menuliskan Perlawannya (2015)” dan “Menolak Tunduk: Cerita Perlawanan dari Enam Kota (2016)”, tergambar pengalaman-pengalaman para buruh saat mencari pekerjaan. Para penulis di dua buku tersebut berasal dari periode sebelum dan setelah tahun 2003. Secara gamblang buruh-buruh yang mendapat pekerjaan sebelum 2003 tidak terlalu sulit mendapat pekerjaan. Sementara buruh periode di atas 2003 berhadapan dengan perantara tenaga kerja.

“Tiga bulan saya menjalani masa training. Setelah itu menjadi buruh tetap,” kenang Muryanti dalam buku Buruh Menuliskan Perlawannya. Saat itu, 1993, Muryanti melamar melalui yayasan. Dua minggu kemudian dia mendapat kabar melalui siaran radio bahwa lamarannya diterima oleh perusahaan pemasok sepatu merek Nike, PT HASI di Tangerang.

Cerita berbeda dikatakan Aang Anshorudin. Setelah lulus sekolah menengah atas, 2010, Aang melamar melalui yayasan tanpa membayar. Kemudian disalurkan ke sebuah pabrik plastik sebagai buruh harian lepas di bagian produksi. “Saya sudah menggunakan celana hitam dan kemeja putih. … [B]erangkat ke Ruko Niaga Kalimas 1 Tambun menuju yayasan itu. … Yayasan menawarkan bekerja di PT lain, yaitu di PT Bumimulia Indah Lestari (PT BIL). Saat itu ada sekitar 20 orang yang sedang mengajukan lamaran kerja,” tulis Aang dalam Menolak Tunduk: Cerita Perlawanan dari Enam Kota (2016).

Gito Martono, buruh jalan tol PT Jasa Marga memiliki cerita lain. Pada 2005, Gito mengajukan lamaran melalui Koperasi Jasa Marga Bhakti VI Bandung. Ia diterima sebagai buruh kontrak. “Saat itu Koperasi mengatakan memenangkan tender pemborongan pekerjaan sebagai penyedia jasa tenaga kerja… Terlebih orangtua saya harus mengeluarkan sejumlah uang agar saya dapat bekerja di tempat ini,” cerita Gito.

Periode 2003 merupakan penanda penting dalam iklim ketenagakerjaan Indonesia. Kala itu, Indonesia sedang berupaya pulih dari krisis ekonomi 1997/1998. Lembaga-lembaga keuangan internasional menawarkan fleksibilisasi pasar tenaga kerja sebagai umpan mendatangkan investasi sebanyak-banyaknya. Fleksibilisasi berarti kemudahan merekrut dan mengakhiri hubungan kerja sesuai kebutuhan produksi. Secara utuh, konsep fleksibilisasi mengurangi peran negara sejak perekrutan, saat mempekerjakan hingga mengakhiri hubungan kerja.

Dalam praktiknya, penyalur tenaga kerja berizin ataupun tidak berizin menjadi perantara yang meraup untung dari kesulitan mencari tenaga kerja. Nugroho dan Arif memaparkan dalam Hujan Batu Buruh Kita(2009), regulasi penyedia jasa tenaga kerja bertemu dengan aktor-aktor kuat yang telah terbentuk bertahun-tahun di tengah masyarakat. Abu Mufakhir menjelaskan dengan rinci peranan para jawara di Banten, sebagai pemasok tenaga kerja.

“Tugas utama mereka adalah memastikan pabrik-pabrik yang berdiri bebas dari protes masyarakat, khususnya pada saat pelepasan lahan dan ketika limbah industri mencemari perkampungan sekitar pabrik. Mereka juga bertugas untuk memastikan pabrik-pabrik bebas dari aksi buruh. … [M]ereka mendapatkan bayaran, jatah limbah, jatah memasukan buruh, dan mendapatkan kontrak-kontrak bisnis, sementara perusahaan mendapatkan jasa keamanan,”

Lumrah diketahui, aktor-aktor kuat sekitar pabrik membangun relasi dengan ‘orang dalam’ perusahaan sejak pendirian pabrik. Dokumen resmi pemerintah atau lembaga-lembaga penelitian biasanya menyebut dengan istilah investasi langsung. Investasi langsung membutuhkan perizinan, keamanan, pengendalian proses produksi dan pembuangan limbah. Di setiap proses tersebut, dibutuhkan mekanisme formal dan informal. Kadang aktor formal dan informal sulit dibedakan. Untuk mendapat izin pendirian pabrik, misalnya. Selain mendapat dokumen resmi dari pejabat negara membutuhkan dukungan dari warga sekitar yang dapat diperankan oleh aktor-aktor kuat di sekitar pabrik. Konsesi dengan aktor kuat di sekitar pabrik seringkali berbentuk tawaran lowongan kerja, bantuan sosial, dan bisnis limbah. Hubungan itulah yang dibangun dan dirawat oleh pemilik pabrik dengan orang-orang kuat lokal.

Semua narasumber yang saya wawancarai mengatakan merasa kesulitan menghadapi penyalur tenaga kerja berbayar. Beberapa di antara mereka menyatakan, “Ini bukan persoalan ketenagakerjaan,” “Tidak ada korban yang melapor dan tidak ada bukti”, “Memang sudah lumrah”. Namun, sebagaimana disaksikan dalam aksi-aksi massa serikat buruh, tidak pernah muncul tuntutan agar negara menjamin dan melindungi pencari kerja dalam mekanisme perekrutan.

Ketika tulisan ini sedang dibuat, sebuah pesan dari seorang buruh masuk ke Whatsapp saya. “Bulan depan akan ada pemutusan kontrak kepada 500 karyawan secara bertahap. Kuota lowongan kerja sudah dibagi ke HRD, bagian advokasi pengurus serikat buruh dan ke forum warga masyarakat.” Saya tidak membalas pesannya dan bergegas tidur.

Disclaimer: 1 Agustus 2019, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menandatangani Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 11. Peraturan yang mengubah Permankertrans Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Peraturan yang baru,  semakin mempermudah penyaluran tenaga kerja, pencari kerja dan pekerja semakin rentan. Di antara kemudahan yang diberikan: pendirian jenis dan izin usaha serta sanksi yang lebih ringan.

_______________________

1 Demi keamanan, semua nama narasumber buruh dan aktivis buruh disamarkan.