MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Omnibus Law dan Politik Hukum Perburuhan

Ilustrasi: Konferensi pers Gebrak menolak RUU Cilaka. Sumber: buruh.co


Seberapa penting kita bicara terlalu banyak tentang Omnibus Law bagi buruh?

Menarik menyimak berbagai perdebatan dan diskusi terkait aturan yang sedang ramai hari ini: Omnibus Law. Sebuah aturan yang dinilai akan menjadi aturan besar, yang memayungi berbagai pasal dan norma yang dibuat dan dibentuk untuk menghapus dan mencabut norma lain yang dianggap bertabrakan dengan kepentingan investasi. Sekali lagi, investasi diletakan di atas segala-galanya.

Catatan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuat perdebatan dan diskursus tentang aturan yang cukup ramai dibahas ini menjadi sesuatu yang tidak penting. Pun catatan ini sama sekali tidak berpretensi untuk mengacaukan semangat buruh dan serikat buruh yang hari ini begitu massif bicara tentang Omnibus Law dari forum ke forum, dari pinggir warung sampai ruang rehat di pabrik. Catatan ini hanya dimaksudkan untuk melihat lebih detail tentang apa yang pemerintah hari ini maksud dan ingin disampaikannya melalui sejumlah regulasi yang acapkali tidak perlu pertimbangan siapa-siapa, apalagi buruh.

Menariknya, dalam berbagai macam pemberitaan, diskursus tentang Omnibus Law selalu dikaitkan dengan perdebatan teks hukum yang satu ke teks hukum yang lain. Apakah yang dimaksud dengan Omnibus Law? Apakah Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan? Bagaimana nasibnya UUK? Bagaimana pengaturannya kemudian? Dan pertanyaan terakhir, Apakah Omnibus Law akan melindungi hak-hak buruh?

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seperti itu bukannya tidak boleh diajukan, tapi kalau boleh penulis katakan, pertanyaan model tersebut seringkali menjebak buruh dan pengurus serikatnya terjerambab pada logika yang dibangun oleh pemerintah.

Omnibus Law, sebagaimana regulasi yang lain yang dibentuk oleh Pemerintah Jokowi, memang diinisiasi untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, kepentingan korporasi, dan ruang bagi penyediaan ekspansi kapital. Tanpa memahami politik hukum perburuhan tentang apa dan mengapa sebuah aturan perlu diatur kembali, direvisi, atau dicabut, penting bagi kita untuk melihat bagaimana aturan-aturan itu kemudian berdampak pada kepentingan buruh yang semakin lama semakin tergerus. Sialnya lagi, praktik tersebut dilegitimasi oleh norma hukum yang dibuat hanya dalam kerangka formal.

Joko Widodo terpilih menjadi Presiden pada periode 2014-2019 dan menjalankan Pemerintahan dengan penuh ambisi pada semangat industrialisasi dengan mengundang investor besar dengan iming-iming dua kata kunci: kebijakan deregulasi serta percepatan. Dua kata kunci yang tidak hanya bisa dipahami dari sumber media yang berpihak kepada pemerintah dan humas resminya yang menyatakan demikian, tetapi juga bagaimana kata kunci tersebut dijalankan secara sistematik, bahkan pada tataran operasional.

Periode kedua untuk 2019-2024 telah dijalankan dengan seksama, dan dalam tempo yang juga cepat, dua kata kunci ditambahkan dalam periode kedua: Stabilitas! Deregulasi, percepatan, dan stabilitas lebih dari cukup untuk mengguncang rakyat pada tataran krisis yang nyata bahkan semakin sulit untuk dielakkan. Alih-alih dihadang hanya dengan upaya hukum yang terlihat jauh dari kata,“berdampak bagi rakyat“.

Catatan ini dibuat bukan untuk meyakinkan siapapun bahwa masih ada upaya hukum yang dapat dijadikan sebagai tindakan yang cukup keras untuk mengingatkan pemerintah tentang hak publik, termasuk hak buruh di dalamnya, melainkan untuk memberi tahu semua orang bahwa upaya sistematis pemerintah dalam konteks penerbitan hukum yang menggerus hak hak rakyat tidak bisa dilawan hanya dengan “ upaya hukum” dalam konteks yang sama.

Ribuan pertemuan dengan pemerintah dilakukan, ribuan surat telah sampai ke meja aparatur, ratusan gugatan dilayangkan, bahkan puluhan judicial review dilakukan tanpa sekalipun mengubah kondisi rakyat dan hak publik yang telah dirampas melalui jalur hukum dan institusional.

Penting untuk melihat sejauh mana “hukum” bekerja dan untuk siapa. Penerbitan UU, PP, Perpres, Permen, bahkan sampai MOU antar lembaga dibuat dalam kerangka asumsi bahwa pemerintah punya hak mengatur sumber daya, dan rakyat hanya menerimanya dan tak punya lagi ruang untuk menawar, mempertanyakan, bahkan memprotes tindakan “legal “ negara.

2015-2019: Pembenahan Operasional

Pada awal tahun 2015, pemerintah menerbitkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Konflik sosial. PP ini dibentuk dengan dua pertimbangan yaitu:

  1. Sebagai bentuk pelaksanaan dari ketentuan Pasal 32 ayat (3), Pasal 34 ayat (2), Pasal 52 ayat (3), dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
  2. Kedua adalah untuk melindungi dan memberikan rasa aman masyarakat yang lebih optimal, penanganan konflik sosial dilakukan secara komprehensif, terkoordinasi, dan terintegrasi.

Rasa aman masyarakat ini diimplementasikan dengan diberikannya ruang kepada TNI untuk memasuki ranah publik termasuk di dalam konflik perburuhan, bukan pertahanan dan keamanan sebagaimana seharusnya. PP ini mendefinisikan konflik sosial sebagai konflik horizontal. Tidak ada konflik yang dibaca sebagai konflik yang bersifat vertikal yang sumber masalahnya disebabkan oleh kebijakan dan tindakan negara.

Pada hal lain yang berkaitan dengan hak hak buruh, semenjak 2015 jauh sebelum perdebatan revisi UUK dan Omnibus Law jadi santapan publik, pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan yang jelas telah berdampak pada terdegradasinya hak buruh baik pada tataran norma serta praktik.

Serangkaian regulasi yang terbit 2015-2019 antara lain:

[table id=22 /]

PP No 41 Tahun 2015 Tentang Pembangunan Sumber Daya Industri diterbitkan, di mana di dalamnya istilah tentang pendidikan vokasi industri serta sertifikasi tenaga industri kemudian muncul.

Pada beberapa pasal yang menyangkut definisi sekilas tidak akan ada masalah.

[table id=23 /]

Vokasi industri dan pelatihan industri didesain sebagai sarana pelatihan kerja dengan standar kompetensi industri, di mana hal ini memberi kesan menjadi bermanfaat bagi buruh dalam meningkatkan kompetensinya. Termasuk di dalam pengertian pemagangan industri pada Pasal 1 angka 11 yang menyatakan:

Pemagangan Industri adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung dibawah bimbingan dan pengawasan pembimbing, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian di bidang Industri ”.

Vokasi, pelatihan dan pemagangan menjadi tiga istilah yang cukup rumit dan berdampak bagi buruh jika praktik yang terjadi adalah praktik upah murah. Dalam aturan tersebut terselip pasal yang menyatakan bahwasannya pembangunan industri nasional harus didukung oleh tenaga kerja industri1 yang mana tenaga kerja industri tersebut haruslah tersertifikasi melalui badan resmi yaitu LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi ) selain telah melalui Pendidikan Vokasi Industri berbasis kompetensi, Pelatihan Industri Berbasis Kompetensi; dan/atau Pemagangan Industri. Selain itu Pasal 9 ayat 4 yang menyatakan bahwa pemagangan industri2 haruslah dibuat perjanjian pemagangannya yang sebenarnya merupakan perjanjian kerja dengan sistem pembayaran upah yang terbilang di bawah ketentuan rata-rata dengan jam kerja yang sama. Tenaga kerja industri setelah melalui serangkaian pelatihan dan uji kompetensi, dia diwajibkan ada pada setiap perusahan dan perusahaan kawasan industri.3

Dari tabel regulasi di atas, terlihat bahwa negara dalam hal ini pemerintah mendorong industrialisasi besar di segala bidang dengan syarat pembangunan infrastruktur industri yang juga besar. Aspek infrastruktur industri yang dicanangkan oleh Pemerintah antara lain aspek sumber daya pekerja, dan aspek kemudahan berusaha termasuk di dalamnya insentif fiskal dan non fiskal. Insentif non fiskal didesain untuk mendorong percepatan kemajuan industri di sisi lain, serta melakukan proteksi terhadap gangguan apapun yang dapat mengganggu jalannya stabilitas produksi. Regulasi yang dibuat hari ini harus dikatakan mengacu kepada rencana industri nasional yang titik beratnya adalah soal investasi besar. Investasi besar tidak akan datang tanpa syarat infrastruktur yang jelas: upah murah dan birokrasi yang tidak rumit.

Hak konstitusional buruh, bukan sekadar bicara Omnibus Law atau RUU Ketenagakerjaan!

Pada peristiwa aksi massa 24 sampai 30 September 2019 yang menolak ide berbagai RUU dan pengesahan UU yang diinisiasi oleh Pemerintah dan DPR termasuk RUU Ketenagakerjaan, muncul istilah yang menjadi ikonik dalam obrolan di banyak tempat. Istilah itu antara lain istilah Judicial Review dan di lain tempat disandingkan dengan istilah Tindakan Konstitusional. Baik kata Judicial Review atau Tindakan Konstitusional, telah membuat seolah-olah satu-satunya tindakan konstitusional dalam merespons RUU yang dianggap kacau-balau adalah Judicial Review atau Permohonan Pengujian UU terhadap UUD 1945. Hal tersebut tidak salah tapi tidak sepenuhnya benar.

Permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi memang tindakan konstitusional, tetapi menyatakan dan melempar gagasan ke publik bahwa tindakan tersebut seolah-olah satu-satunya tindakan konstitusional adalah salah dan berbahaya. Istilah tersebut bahkan muncul untuk mendistorsi pemaknaan terhadap hal yang bersifat konstitusional. Misalnya timbul pertanyaan yang perlu dijawab, apakah demonstrasi dan penyampaian pendapat secara damai yang dilakukan belakangan ini adalah tindakan yang tidak konstitusional? Hal ini penting disampaikan untuk melihat secara jelas titik persoalannya agar jebakan-jebakan aktivitas legal tidak membuat aktivitas tersebut kehilangan ruh politiknya.

Konstitusi bukanlah sekedar terma hukum melainkan terma politik secara bersamaan. Konstitusi merupakan hasil dari parade diskursus dan aksi-aksi politik. Spirit gerakan konstitusionalisme adalah spirit politik warga negara. Gerakan konstitusionalisme lahir dalam kurun sejarah tertentu dari dinamika perkembangan masyarakat yang mengalami pergolakan dalam menuntut suatu perubahan politik, khususnya perubahan relasi-relasi dalam tata negara agar tata kelola kekuasaan pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya sejalan dengan paham konstitusional tersebut. Terlebih dulu kekuasaan negara dibatasi melalui suatu perjuangan dari berbagai kalangan masyarakat sebelum diberlakukan konstitusi agar rakyat dan setiap orang dapat dijamin hak-haknya dari ancaman perlakuan atau perbuatan yang sewenang-wenang penguasa.

Berkaitan dengan gerakan kelas buruh, pemahaman tentang konstitusionalisme tidak bisa dianggap remeh. Konstitusionalisme bagi gerakan buruh adalah nadi sekaligus jalan sejarah semenjak revolusi industri mengemuka pada periode abad yang lalu hingga sekarang. Gerakan konstitusionalisme dan tindakan konstitusional tentu saja tidak bisa dipersempit maknanya hanya pada permohonan pengujian UU dalam format hukum yang bersifat tata cara belaka. Tindakan konstitusional harus dimaknai sebagai semua tindakan yang diperlukan baik pendekatan hukum maupun politik untuk mendorong perubahan tata kuasa sekaligus membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang. Oleh karenanya konstitusi tidak pernah bersifat diam, melainkan terus bergerak dalam pertarungan-pertarungan klaim dan subtansial mengenai bagaimana negara dapat didorong sebagai sarana kesejahteraan bagi semua warga, termasuk buruh.

Walaupun di kemudian hari selepas perdebatan RUU Ketenagakerjaan lalu kemudian jika disahkan, hal itu tidak serta merta membawa pada hilangnya hak konstitusional buruh. Atau, ketika pemerintah mewacanakan dalam Omnibus Law akan terjadi pengurangan nilai pesangon, pembebasan TKA buruh kasar, dan upah bulanan yang diubah menjadi upah per jam tidak serta merta membuat problem ini selesai. Ingat! Rekayasa terhadap kepentingan buruh melalui penormaan hukum tidak terjadi hari ini saja, bahkan sudah dimulai semenjak Pemerintah Joko Widodo aktif membentuk peraturan perundangan-undangan yang berdampak pada buruh di semua lapisan.

Kita perlu melihat secara jernih bagaimana hukum dibuat dan berdampak pada buruh selama ini. Kita perlu melihat dan detail menelusuri fakta bahwa Pemerintah memang secara sengaja mendesain sebuah norma hukum yang adaptif pada kepentingan industri, bukan demi kepentingan buruh. Alhasil sikap reaktif kita pada munculnya regulasi hari ini yang bermasalah jangan sampai membuat kita seolah-olah terkaget-kaget dan menyikapinya secara serampangan.

Irfan Alghifarie, pengamat politik hukum perburuhan.

__________________________

1 Pasal 3 ayat 1 PP No 41 Tahun 2015

2 Pasal 9 ayat 4 PP No 41 Tahun 2015 menyatakan: Pemagangan Industri dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta magang dengan Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang dibuat secara tertulis.

3 Pasal 40 PP No 41 Tahun 2015 menyatakan bahwa Setiap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang menggunakan Tenaga Kerja Industri yang tidak memenuhi SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis;

  2. denda administratif;

  3. penutupan sementara;

  4. pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri; dan/atau

  5. pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri.

Penulis

Irfan Alfhifarie