MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Better Work Indonesia: Proyek Misterius Organisasi Perburuhan Internasional


Better Work Indonesia (BWI) pertama kali dikenal di lingkungan perusahaan dua tahun yang lalu. Kala itu kami mengetahui bahwa audit, yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, tidak lagi dilakukan langsung oleh H&M selaku customer utama di perusahaan tempat kami bekerja.

Hanya sedikit informasi yang diketahui oleh para buruh di perusahaan mengenai BWI. Melalui informasi dari manajemen tentunya, BWI ini adalah mitra dari H&M, yang memiliki kewenangan melakukan audit dan pelatihan di perusahaan.

Informasi ini membuat kami ingin mencari tahu lebih jauh tentang siapa BWI ini dan hubungan dengan H&M, perusahaan, serta buruh yang merupakan pembuat produk H&M sesungguhnya.
Pada situs BWI disebutkan bahwa dia adalah program kemitraan antara Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dengan Korporasi Keuangan Internasional (IFC), dimana IFC disebutkan sebagai anggota Kelompok Bank Dunia. Program yang didirikan pada tahun 2011 ini dinyatakan melibatkan buruh, pengusaha dan pemerintah untuk meningkatkan kondisi kerja dan daya saing industri garmen.[1]

Bagian lain menyebutkan peran program ini adalah untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak buruh dan mendapatkan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Juga disebutkan peran BWI adalah membantu menciptakan peraturan tenaga kerja yang efektif dengan dampak yang berkelanjutan.

Masih pada situsnya, dijelaskan apa saja program-program yang dilakukan oleh BWI, yang sebagian besar meliputi pelatihan yang berkaitan dengan Kesehatan Keselamatan Kerja (K3), sedikit pelatihan tentang manajemen dan serikat buruh.[2]

Jika hendak menyelaraskan kepentingan pengusaha, buruh dan pemerintah sekaligus, peran BWI terasa cukup ambisius. Dan tidak ada penjelasan secara terperinci strategi apa saja yang hendak dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Tentu nya tidak cukup hanya dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang porsi besarnya ada pada soal K3. Apalagi jika melihat bahwa BWI juga bercita-cita membantu menciptakan peraturan ketenagakerjaan yang efektif, yang tentu harus terlibat dalam proses legislasi.

Selanjutnya, dinyatakan dampak dari program BWI dalam 5 tahun terakhir yang diklaim merupakan hasil penelitian dari Tufts University.[3] Pertama, buruh  mencapai stabilitas kerja yang lebih baik. Dari hasil survei terdapat peningkatan jumlah buruh yang berstatus buruh tetap hingga 2 kali lipat.

Hanya BWI yang berani memberikan pernyataan seperti ini di tengah realita ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Berkebalikan dari klaim BWI, faktanya jumlah buruh kontrak, dengan jangka waktu pendek 3 hingga 6 bulan, buruh outsourcing dan magang, semakin banyak. Fakta ini selaras dengan upaya pengusaha untuk memangkas biaya tenaga kerja dengan menggunakan buruh kontrak dan outsourcing. Sebuah penelitian dari lembaga AKATIGA menyatakan ada penurunan biaya tenaga kerja hingga 40% dengan mempekerjakan buruh kontrak.[4]

pentingan pengusaha, buruh dan pemerintah sekaligus, peran BWI terasa cukup ambisius. Dan tidak ada penjelasan secara terperinci strategi apa saja yang hendak dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Tentu nya tidak cukup hanya dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang porsi besarnya ada pada soal K3. Apalagi jika melihat bahwa BWI juga bercita-cita membantu menciptakan peraturan ketenagakerjaan yang efektif, yang tentu harus terlibat dalam proses legislasi.

Selanjutnya, dinyatakan dampak dari program BWI dalam 5 tahun terakhir yang diklaim merupakan hasil penelitian dari Tufts University.[3] Pertama, buruh  mencapai stabilitas kerja yang lebih baik. Dari hasil survei terdapat peningkatan jumlah buruh yang berstatus buruh tetap hingga 2 kali lipat.

Hanya BWI yang berani memberikan pernyataan seperti ini di tengah realita ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Berkebalikan dari klaim BWI, faktanya jumlah buruh kontrak, dengan jangka waktu pendek 3 hingga 6 bulan, buruh outsourcing dan magang, semakin banyak. Fakta ini selaras dengan upaya pengusaha untuk memangkas biaya tenaga kerja dengan menggunakan buruh kontrak dan outsourcing. Sebuah penelitian dari lembaga AKATIGA menyatakan ada penurunan biaya tenaga kerja hingga 40% dengan mempekerjakan buruh kontrak.[4]

Kedua, melalui hasil penelitian tersebut, BWI mengklaim semakin tinggi keinginan buruh untuk bergabung dengan serikat buruh. Ini tidak sejalan dengan fakta di lapangan yang justru menunjukkan penurunan keanggotaan serikat buruh. Bahkan pada tahun 2017 Hanif Dhakiri yang saat itu menjabat Menaker menyatakan penurunan jumlah buruh yang berserikat.[5]

Ketiga, BWI menyatakan bahwa adanya peningkatan akses layanan kesehatan. Dikatakan bahwa peran BWI adalah memungkinkan perluasan akses ke perawatan kesehatan bagi buruh. Namun demikian tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana tepatnya strategi BWI bekerja sehingga akses terhadap perawatan kesehatan menjadi lebih mudah bagi buruh. Klaim-klaim seperti ini berasal dari hasil survei, namun tanpa dijelaskan kapan, dimana dan kepada siapa survei tersebut dilakukan.

Membaca laman resmi BWI mengingatkan kita pada iklan-iklan yang banyak beredar di televisi atau media sosial. Terlebih saat membaca klaim tentang dampak program ini bagi buruh di Indonesia. Penjelasan dampak positif setelah 5 tahun program ini berjalan bagaikan rayuan iklan, sebab kenyataan di lapangan yang kami saksikan setiap hari selama bertahun-tahun menjadi buruh begitu berbeda.

Kembali pada pernyataan pihak manajemen perusahaan tentang tim BWI yang melakukan audit terkait persoalan ketenagakerjaan dan K3, tentu ini menjadi menarik. Direktur ILO untuk Indonesia, Peter van Rooij, dalam pertemuannya dengan Menaker Hanif Dhakiri pada akhir tahun 2014, menyatakan bahwa proyek BWI diarahkan pada promosi hak-hak buruh di tempat kerja dan termasuk kewajiban buruh di perusahaan.[6]
Bagaimana program promosi dapat bertransformasi menjadi program audit terhadap kondisi ketenagakerjaan dan K3 di perusahaan? Apakah audit yang dimaksud adalah program kunjungan ke perusahaan yang memang disebutkan sebagai salah satu program BWI?

Sejauh ini tidak ada dampak yang dirasakan bagi buruh di perusahaan ini, selain ketegasan mengenai jalur evakuasi sebagai bagian dari syarat K3. Tidak ada yang berubah dari pelanggaran status hubungan kerja, pelanggaran sistem pengupahan bahkan pelanggaran terhadap perjanjian kerja bersama (PKB) yang sudah ada di perusahaan.
Dari informasi yang beredar di perusahaan, memang pernah terjadi proses dialog antara perwakilan buruh dengan tim dari BWI dengan pengusaha pada saat kunjungan tim BWI ke perusahaan. Jika benar terdapat proses audit atau penilaian dalam dialog tersebut, seberapa jauh kondisi yang sebenarnya dapat diketahui? Bagi buruh kontrak, mereka tentu tidak akan memiliki keberanian menyampaikan kondisi kerja yang sesungguhnya kepada pihak auditor di hadapan pengusaha.

Bagaimana dengan laporan hasil audit ataupun dialog tersebut? Sejauh ini tidak ada publikasi resmi mengenai hasilnya, dimana seharusnya hal itu disampaikan secara terbuka, baik kepada buruh maupun pengusaha. Padahal tujuan dari  program BWI, sebagaimana dinyatakan pada laman resminya, adalah menuntut keterbukaan informasi dari berbagai pihak.

Apakah dengan demikian BWI hanya akan menjadi semacam alat legitimasi bagi pemegang merk, H&M, untuk menyatakan kepada publik bahwa kondisi buruh H&M telah mengalami perbaikan?
Beragam pertanyaan terus muncul terhadap program BWI ini, terutama tanpa adanya keterlibatan maupun keterbukaan informasi dalam audit BWI ke perusahaan. Bagaimanapun juga, kita harus terus berpikir kritis terhadap segala hal yang berkaitan dengan kehidupan buruh. Pada akhirnya, tulisan adalah upaya untuk terus berlatih berpikir kritis atas situasi dan kondisi kerja di dalam perusahaan.

Kedua, melalui hasil penelitian tersebut, BWI mengklaim semakin tinggi keinginan buruh untuk bergabung dengan serikat buruh. Ini tidak sejalan dengan fakta di lapangan yang justru menunjukkan penurunan keanggotaan serikat buruh. Bahkan pada tahun 2017 Hanif Dhakiri yang saat itu menjabat Menaker menyatakan penurunan jumlah buruh yang berserikat.[5]

Ketiga, BWI menyatakan bahwa adanya peningkatan akses layanan kesehatan. Dikatakan bahwa peran BWI adalah memungkinkan perluasan akses ke perawatan kesehatan bagi buruh. Namun demikian tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana tepatnya strategi BWI bekerja sehingga akses terhadap perawatan kesehatan menjadi lebih mudah bagi buruh. Klaim-klaim seperti ini berasal dari hasil survei, namun tanpa dijelaskan kapan, dimana dan kepada siapa survei tersebut dilakukan.

Membaca laman resmi BWI mengingatkan kita pada iklan-iklan yang banyak beredar di televisi atau media sosial. Terlebih saat membaca klaim tentang dampak program ini bagi buruh di Indonesia. Penjelasan dampak positif setelah 5 tahun program ini berjalan bagaikan rayuan iklan, sebab kenyataan di lapangan yang kami saksikan setiap hari selama bertahun-tahun menjadi buruh begitu berbeda.

Kembali pada pernyataan pihak manajemen perusahaan tentang tim BWI yang melakukan audit terkait persoalan ketenagakerjaan dan K3, tentu ini menjadi menarik. Direktur ILO untuk Indonesia, Peter van Rooij, dalam pertemuannya dengan Menaker Hanif Dhakiri pada akhir tahun 2014, menyatakan bahwa proyek BWI diarahkan pada promosi hak-hak buruh di tempat kerja dan termasuk kewajiban buruh di perusahaan.[6]
Bagaimana program promosi dapat bertransformasi menjadi program audit terhadap kondisi ketenagakerjaan dan K3 di perusahaan? Apakah audit yang dimaksud adalah program kunjungan ke perusahaan yang memang disebutkan sebagai salah satu program BWI?

Sejauh ini tidak ada dampak yang dirasakan bagi buruh di perusahaan ini, selain ketegasan mengenai jalur evakuasi sebagai bagian dari syarat K3. Tidak ada yang berubah dari pelanggaran status hubungan kerja, pelanggaran sistem pengupahan bahkan pelanggaran terhadap perjanjian kerja bersama (PKB) yang sudah ada di perusahaan.
Dari informasi yang beredar di perusahaan, memang pernah terjadi proses dialog antara perwakilan buruh dengan tim dari BWI dengan pengusaha pada saat kunjungan tim BWI ke perusahaan. Jika benar terdapat proses audit atau penilaian dalam dialog tersebut, seberapa jauh kondisi yang sebenarnya dapat diketahui? Bagi buruh kontrak, mereka tentu tidak akan memiliki keberanian menyampaikan kondisi kerja yang sesungguhnya kepada pihak auditor di hadapan pengusaha.

Bagaimana dengan laporan hasil audit ataupun dialog tersebut? Sejauh ini tidak ada publikasi resmi mengenai hasilnya, dimana seharusnya hal itu disampaikan secara terbuka, baik kepada buruh maupun pengusaha. Padahal tujuan dari  program BWI, sebagaimana dinyatakan pada laman resminya, adalah menuntut keterbukaan informasi dari berbagai pihak.

Apakah dengan demikian BWI hanya akan menjadi semacam alat legitimasi bagi pemegang merk, H&M, untuk menyatakan kepada publik bahwa kondisi buruh H&M telah mengalami perbaikan?
Beragam pertanyaan terus muncul terhadap program BWI ini, terutama tanpa adanya keterlibatan maupun keterbukaan informasi dalam audit BWI ke perusahaan. Bagaimanapun juga, kita harus terus berpikir kritis terhadap segala hal yang berkaitan dengan kehidupan buruh. Pada akhirnya, tulisan adalah upaya untuk terus berlatih berpikir kritis atas situasi dan kondisi kerja di dalam perusahaan.


 
Catatan kaki
[1] https://betterwork.org/better-work-indonesia-home/bwi-our-programme/?lang=id
[2] https://betterwork.org/better-work-indonesia-home/?lang=id
[3] https://betterwork.org/where-we-work/indonesia/bwi-our-services/bwi-training/#
[4] https://www.akatiga.org/language/id/portfolio-item/pasar-kerja-fleksibel-dan-keadilan-bagi-kaum-pekerja-2/
[5] https://www.wartaekonomi.co.id/read135457/menaker-jumlah-buruh-yang-berserikat-turun-ratusan-ribu
[6]https://www.beritasatu.com/nasional/225951/kerja-sama-dengan-indonesia-ilo-prioritaskan-3-hal-penting