MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Better Work Indonesia (BWI): Sebuah Harapan atau Jalan Buntu?

Beberapa bulan terakhir, sering mendapat berita tentang pabrik-pabrik garmen yang tutup atau melakukan pengurangan pekerja secara besar-besaran. Obrolan dengan seorang kawan mengatakan bahwa kondisi industri garmen di Indonesia hari ini sedang menurun karena pengaruh inflasi yang terjadi di Amerika. Entah apakah benar demikian yang terjadi.

Namun obrolan itu mengingatkan kembali tulisan pada website BWI yang menyatakan pencapaian program ini dalam 5 tahun terakhir bahwa pekerja mencapai stabilitas kerja yang lebih baik, dalam arti peningkatan jumlah pekerja tetap. Dalam tulisan Februari 2021, secara umum, yang disebut pencapaian ini justru terlihat sangat berbeda dengan kondisi aktual di banyak perusahaan garmen yang ada.

Hingga kali ini mengamati lebih dalam perihal BWI, melalui hasil korespondensi dengan Maria Joao Vasquez, seorang Kepala Penasehat Teknis BWI dan beberapa pengurus serikat pekerja, justru semakin memperlihatkan kontradiksi dari sebuah program, di mana salah satu tujuannya adalah memberikan dampak pada peningkatan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia menjadi lebih baik.

Handi, seorang Ketua Serikat Pekerja di Sukabumi, menyampaikan keresahannya mengenai BWI dan dampak nya di perusahaan tempat ia bekerja;

“Audit yang BWI lakukan di perusahaan itu tidak fair, karena banyak pelanggaran terhadap aturan ketenagakerjaan, tidak disebutkan. Bahkan pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) juga tidak menjadi temuan. Perbaikan apa yang diharapkan?”

Handi (Ketua Serikat Pekerja di Sukabumi)

Lebih lanjut, Handi menyampaikan beberapa pelanggaran yang terjadi seperti pekerja perempuan yang di-PHK karena melahirkan, cuti haid yang tidak diberikan dan premi hadir yang tidak dibayarkan. Audit yang dilakukan pada 25 April 2019 oleh BWI, hanya mencantumkan temuan pintu darurat yang terkunci pada jam kerja dan/atau lembur. Hingga hari ini, ia masih mempertanyakan mengapa pelanggaran-pelanggaran tersebut, yang telah disampaikan juga kepada tim auditor, tidak dicantumkan sebagai temuan auditor BWI.

Pada sebuah kesempatan, obrolan dengan S. Tavip, Presiden OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia), menyatakan hal yang senada:

“BWI ingin mengambil sebagian peran dalam hal pengawasan ketenagakerjaan, seperti soal lembur, perlindungan pekerja perempuan, sosial dialog, dll. Walaupun peran tersebut kita rasa belum cukup optimal, karena kita tidak mendapatkan hasil laporan yang lengkap atas temuan-temuan yang dilakukan orang-orang BWI di sebuah pabrik.”

S. Tavip (Presiden OPSI)

Terkait laporan-laporan hasil temuan audit ini memang menggelitik untuk terus diperbincangkan, mengingat pada website BWI disebutkan sebagai “transparency portal”.  Wadah seluruh laporan temuan BWI dengan judul transparansi, namun tidak sepenuhnya transparan menurut beberapa pengurus serikat buruh di atas.

Ketika pertanyaan mengenai hal ini diajukan melalui korespondensi kepada Maria Joao Vasquez, Kepala Penasehat Teknis BWI, menyatakan bahwa hasil temuan auditor BWI telah disampaikan kepada pemerintah, pengusaha dan serikat buruh. Dan, pertemuan dengan serikat buruh telah dilakukan secara rutin untuk membahas berbagai isu. Secara umum, ia menyatakan bahwa program BWI ini pada dasarnya adalah tripartit, sebagaimana program ILO, organisasi perburuhan internasional, yang lainnya. Oleh karenanya pekerjaan ini berlandaskan pada konsensus dan kompromi di antara pekerja, pengusaha dan pemerintah.

Pernyataan yang kemudian memunculkan semakin banyak pertanyaan, apakah dengan demikian hasil temuan auditor, yang diklarifikasi oleh Maria sebagai “advisory” atau penasehat dalam bahasa Indonesia, juga merupakan hasil sebuah konsensus dan kompromi? Akan memprihatinkan jika benar kemudian pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan negara kemudian dapat dikompromikan.

Atau bahkan pelanggaran terhadap PKB juga kemudian dapat dikompromikan, mengingat PKB menurut sifatnya adalah perjanjian perikatan. Sebuah kesepakatan bersama yang mengikat kedua belah pihak, pengusaha dan pekerja. Maka PKB sebagai sebuah alat yang menjamin hak dan kewajiban pengusaha serta pekerja, tidak lagi memiliki makna dalam pelaksanaannya.

Rudi, seorang pekerja garmen di Semarang, menyatakan keresahannya mengenai kondisi kerja yang tidak berubah meski BWI telah melakukan audit di perusahaan tempatnya bekerja;

“Ya, setelah audit, rutinitas kembali seperti biasa. Upah lembur kami masih seringkali tidak dibayarkan, kalau di sini istilahnya molor. Kami harus bekerja, kadang sampai malam, supaya jadwal ekspor bisa dikejar. Status saya juga masih kontrak, jadi tidak punya cuti.”

Rudi (Buruh Garmen di Semarang)

Pada laman website ILO, beberapa sasaran dari program bernama BWI ini dinyatakan untuk bekerja secara langsung dengan pabrik, pemerintah, serikat pekerja dan pembeli (customer) guna memperbaiki kondisi kerja, produktivitas dan stabilisasi industri. Pada muaranya, akan meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia tentunya. Namun mungkinkah peningkatan ekonomi dicapai dengan daya beli masyarakat yang terus melemah? Beragam pelanggaran di atas, perlu digarisbawahi akan terus melemahkan daya beli pekerja dan pada gilirannya melemahkan daya beli masyarakat secara luas.

Satu hal yang juga menarik adalah pengusaha perlu membayar, dalam dollar, untuk mendapatkan layanan program BWI. Terhadap manusia, secara psikologis, kita tentu tidak ingin keburukan kita dipublikasikan, apalagi jika kita harus membayar untuk itu. Apakah kondisi psikologis yang demikian ini berlaku juga untuk organisasi seperti perusahaan?

S. Tavip menyampaikan harapannya untuk program BWI ini;

“BWI harus koperatif dan bersinergi dengan serikat-serikat yang memiliki anggota di sebuah pabrik garmen. Membuka akses data dan informasi seluas-luasnya kepada serikat pekerja. Sehingga atas dasar tersebut, serikat pekerja dan pengusaha dapat mengambil langkah perubahan dan perbaikan atas kondisi dan syarat-syarat kerja di perusahaan agar pekerja lebih terlindungi.”

S. Tavip (Presiden OPSI)

Bagi pekerja, tentu yang diharapkan adalah perbaikan kondisi kerja, termasuk upah yang dibayarkan sesuai ketentuan, juga stabilitas kerja, dalam hal ini kepastian kerja. Sebuah hal dasar yang tidaklah sulit dipahami perannya dalam menjaga, bahkan seharusnya, meningkatkan daya beli masyarakat pada umumnya. Bahkan terhadap hal ini telah dinyatakan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM), yang tidak hanya terdapat dalam piagam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), tetapi juga dalam Undang Undang Dasar 1945, pondasi bangsa ini dalam bermasyakat dan bernegara.

Bagaimana kemudian BWI, sebagai sebuah program antara ILO dan organisasi keuangan internasional, mampu menjunjung tinggi HAM, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya, menjadi hal yang menarik untuk terus diperhatikan. Terutama bagi pekerja-pekerja di sektor garmen, karena apa yang mereka lakukan berdampak langsung bagi kondisi pekerja. Apakah kondisi kerja di industri sektor padat karya ini akan menjadi lebih baik?