MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Dibunuh Corona atau Mati Kelaparan

ilustrasi: Buruh-buruh pembuat pakaian jadi merek GAP, Kohls, Kmart, dan lain-lain, di Kabupaten Sukabumi. Foto: Bunda Rara, 2017.


ilustrasi: Buruh-buruh pembuat pakaian jadi merek GAP, Kohls, Kmart, dan lain-lain, di Kabupaten Sukabumi. Foto: Bunda Rara, 2017.

Sejak ditetapkannya kebijakan #kerjadirumah dan #belajardirumah, rata-rata buruh perempuan berkeluarga yang saya temui di Tangerang memiliki cerita yang sama. Mereka harus bersiasat dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin mahal karena menghadapi bulan Ramadan dan Idul Fitri sekaligus harus menangani anak-anak belajar di rumah. Para buruh lebih khawatir kehilangan pendapatan dan pekerjaan ketimbang terpapar virus Corona.

Awal Maret pemerintah mengumumkan kebijakan #kerjadirumah, #belajardirumah, dan #ibadahdirumah. Disusul dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Ketika kebijakan #belajardirumah berlaku, keluarga buruh pontang-panting. Mereka harus meluangkan waktu, menyiasati pengeluaran dan mengalokasikan energi menghadapi anak-anak. Serangkaian bujukan yang dibumbui ancaman mewarnai hari-hari anak-anak mengerjakan tugas-tugas sekolah di rumah. Materi pelajaran dan cara belajar ditentukan dari sekolah. Dan, penilaian ditentukan pihak sekolah.

Semua instruksi belajar sekolah dikirim melalui telepon genggam dengan teknologi android dan terhubung dengan internet. Untuk urusan ini, buruh sebagai orangtua harus memiliki kemampuan teknis mengoperasikan telepon genggam dan memahami bahan ajar yang diinstruksikan guru.

Sarjana (52) perempuan single parent yang bekerja di salah satu pabrik di Tangerang. Anaknya yang duduk di kelas dua SMK merengek minta dibelikan telepon genggam. Karena tugas-tugas sekolah harus dikerjakan secara online. “Gara-gara Corona anak saya ngambek bae minta dibeliin hand phone. Padahal boro-boro buat beli hand phone, buat mencukupi kebutuhan sehari-hari aja masih ngutang.”

Dengan #belajardirumah, para buruh pun harus menambah jenis pengeluaran. Seperti cerita Romsah (38). Romsah hanya memiliki telepon genggam dengan teknologi polyphonic. Karena tugas sekolah dikirim melalui grup Whatsapp, Romsah meminta bantuan saudaranya. “Saya sampai ngupahin ponakan saya sebulan Rp 100 ribu dan beliin pulsa tiap minggu,” keluhnya tentang pengeluaran tambahan di masa pandemi.

“Dalam sebulan saya harus beli paket data Rp 225 ribu. Sementara penghasilan suami berkurang. Saya harus berpikir keras agar upah bisa menghidupi kebutuhan sekeluarga. Saya juga harus pintar-pintar mengatur waktu antara menemani anak belajar dan beristirahat sepulang kerja,” ungkap D buruh perempuan pembuat sepatu di Kota Tangerang.

Tidak semua keluarga buruh seperti D, Sarjana dan Romsah. Ada pula yang dialami keluarga Dwi. Kebijakan belajar online merusak rencana Dwi untuk menjauhkan anaknya dari telepon genggam. Kini, Gendis, putri Dwi menemukan alat permainan baru berupa telepon genggam.

“Saya kerja shift. Kalau saya kerja shift malam. waktu istirahat siang harus saya kurangi dua jam agar bisa anak mengerjakan tugas,” cerita Dwi. Dwi pernah memprotes guru anaknya. Karena tugas yang diinstruksikan terlalu banyak. “Tugasnya macam-macam. Sehari bisa tiga kali. Tugasnya harus dikirim dalam bentuk foto dan video. Jadi hand phone saya cepat penuh memorinya.”

Sementara Nurhayani memiliki cerita menarik. Karena sistem belajar di rumah, Nurhayani membagi kerja pendampingan dengan suaminya.

Meski ceritanya berbeda-beda, semuanya mengatakan hal yang sama. Kebijakan #belajardirumah menguras keuangan buruh. Mereka pun pontang-panting mengatur waktu agar bisa membujuk dan menemani anaknya belajar.

Dari keluarga buruh yang saya temui, tak satu pun yang mendapat bantuan dari negara berupa subsidi listrik maupun bantuan langsung tunai. Tentu saja tidak mendapat subsidi listrik karena mereka menempati rumah kontrakan, yang saluran listriknya dimiliki pemilik kontrakan. Lagi pula kriteria penerima bantuan listrik dan uang tunai ditentukan sepihak Kementerian Sosial.

***

Kebijakan #kerjadirumah, #belajardirumah dan #ibadahdirumah merupakan beberapa strategi pemerintah menekan dan memutus penyebaran virus Corona. Respons para pengelola pabrik beragam. Salah satu pabrik sepatu di Kota Tangerang menerapkan standar kesehatan. Tadinya, pabrik ini terkenal kejam. Di masa normal, tidak mudah bagi buruh mendapat izin tidak bekerja dengan alasan sakit. Biasanya, buruh yang sakit jika masih bisa berjalan akan tetap dipaksa bekerja dengan tetap mencapai target produksi. Kali ini, jika ada buruh sakit langsung dihubungi, disarankan untuk beristirahat dan mendapat upah penuh. Manajemen pun menyarankan agar buruh yang batuk, pilek atau demam untuk istirahat selama tiga hari, bahkan sampai sembuh total.

Jadi dalam kondisi pandemi, pabrik pembuat sepatu merek internasional ini terus beroperasi. Bagi buruh yang bekerja, manajemen menyediakan tiga buah masker, menyediakan hand sanitizer beserta tempat cuci tangannya di setiap mesin presensi. Tidak ketinggalan, saat jam masuk dan jam istirahat, disinfektan disemprotkan ke seluruh ruangan. Sebelum memasuki pabrik, para buruh diperiksa suhu tubuhnya. Mulanya, yang diperiksa suhu tubuhnya adalah seluruh buruh. Mungkin karena dianggap terlalu menghabiskan waktu, akhirnya, pemeriksaan suhu tubuh dilakukan secara random. Tidak berlaku bagi semua buruh. Barangkali untuk menghindari penumpukan orang. Jam kerja pun diatur sedemikian rupa. Jam masuk dibagi dua dengan selisih 30 menit.

Bagaimana dengan aturan #jagajarak? Saat jam masuk antrian buruh memang diatur jaraknya. Tapi saat jam pulang seperti hari-hari biasa. Para buruh berebut meninggalkan pabrik memasuki bis jemputan, angkutan umum atau menuju para pedagang. Tidak ada lagi pembatas jarak.

Saya berbincang YS (23), salah satu buruh perempuan di pabrik tersebut. Saya berusaha memahami apa yang dipikirkan para buruh. Katanya, dia memang khawatir dengan paparan virus. “Saya lebih takut tidak kerja, karena tidak kerja berarti tidak makan. Alhamdulillah saya masih kerja. Kalau soal umur itu mah urusan yang Mahakuasa.”

Informasi tentang virus Corona menyebar dengan cepat melalui berbagai media massa dan menjadi topik obrolan harian para buruh. Di tempat kerja memang tidak tersedia informasi utuh mengenai virus Corona. Para buruh mengandalkan sumber informasi dari temannya atau dari media sosial.

Saya berbincang-bincang dengan beberapa buruh dalam sebuah forum diskusi. Sebagian dari mereka meyakini bahwa virus Corona merupakan kejadian yang tidak terhindarkan sebagai pertanda akhir zaman. Untuk mencegah Corona harus semakin mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Para buruh tampak tidak peduli dengan berbagai informasi mengenai pandemi Corona. Mereka lebih khawatir jika sumber pendapatan hilang. “Gak apa-apa diliburkan. Kalau gaji saya dibayar. Kalau gak dibayar, saya mah mending kerja. Kalau gak kerja gimana makan. Suami saya sudah tidak ada penghasilan karena sudah tidak jualan di pasar malam.”

Ketakutan para buruh kehilangan pekerjaan masuk akal. Pemecatan terhadap buruh merupakan informasi yang beredar luas, jauh sebelum pandemi Covid-19. Apalagi menjelang Ramadan dan Idul Fitri, selalu ada pabrik yang memangkas jumlah tenaga kerja.

Data yang saya kumpulkan, tidak kurang dari 8300 buruh kehilangan pekerjaan dari 7 perusahaan dengan alasan Covid-19. Tersebar di Kota dan Kabupaten Tangerang serta Tangerang Selatan. Mereka dipecat dengan alasan putus kontrak, tidak lulus training, dirumahkan tanpa diupah, pengurangan tenaga kerja karena pesanan barang berkurang. Data yang saya lebih besar ketimbang data yang dikeluarkan Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang periode April 2020. Menurut Disnaker terdapat 4645 buruh yang dirumahkan dan di-PHK yang tersebar di 59 perusahaan. Kenapa data yang saya peroleh lebih besar? Selain cakupannya berbeda, kemungkinan besar, karena kategori yang diperhitungkan oleh Disnaker hanya PHK dan dirumahkan. Dua kategori tersebut hanya berlaku bagi buruh tetap. Dengan demikian, karena alasan Covid-19 orang-orang yang kehilangan pekerjaan lebih besar ketimbang data yang disediakan oleh pemerintah.

Dengan cara pemecatan yang beragam dan tidak adanya penyediaan informasi utuh tentang Covid-19, sebenarnya kepatuhan para pengelola pabrik terhadap protokol kesehatan, untuk menjaga nyawa buruh atau untuk menjaga tingkat keuntungan?

NOPERUSAHAANPRODUKMEREKTINDAKAN DAN ALASANJUMLAH KORBAN
1PT Golden Age. Kota Tangerang.
(Jumlah buruh + 700 orang)
Alas Kaki (Sendal)HolcimMerumahkan buruh dengan upah tidak dibayar. Khawatir terjadi penularan Covid-19.300 orang operator
2PT Rukun Makmur Sejahtera. Kota TangerangSendal dan aksesorisCefu, Nevada, GAF,Memutus kontrak dan merumahkan. Karena order berkurang.400 orang
3PT Dwi Naga Sakti. Kota TangerangSepatuHommypedDirumahkan tanpa diupah. Karena toko-toko tutup karena program PSBB400 orang
4PT Panarub Dwikarya Cikupa. Kabupaten TangerangSepatuMizunoPutus kontrak. Karena barang tidak bisa dikirim dan bahan baku tidak bisa didatangkan.500 orang
5PT Dina Sira. Kabupaten TangerangSubkontrakAdidas, Nike, Mizuno dllPHK. Karena order berkurang700 orang
6PT Victory Chingluh Indonesia. Kabupaten TangerangSepatuNikeTidak diluluskan training, dan PHK terhadap buruh dengan masa kerja di bawah 1 tahun. Karena Covid-195000 orang
7PT Pratama. Kota Tangerang SelatanSepatuNikePHK. Karena pesanan dari buyer berkurang2000 orang