MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pandemi ‘No Work No Pay’: Dua Tahun Covid-19 dan Setahun Cipta Kerja

Kerja atau Kelaparan

Secara resmi, tidak semua pabrik diizinkan beroperasi. Untuk dapat beroperasi normal pabrikan mesti mendapat Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI). Ketentuan tersebut tercantum dalam SE Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019, yang diterbitkan Kementerian Perindustrian. Regulasi lainnya, SE Menperin Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Industri Dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Kementerian Kesehatan pun mengeluarkan Keputusan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Aturan terakhir berisi mengenai panduan ketika berangkat, saat dan pulang kerja. Dari aturan tersebut, muncullah idiom ‘meningkatkan imun tubuh.’

Kemenperin mencatat, hingga 20 September 2020, sebanyak 18.101 IOMKI telah diterbitkan dari pengajuan 33.000 industri skala menengah dan besar yang ada di tanah air. Dari 18.101 perusahaan tersebut, tenaga kerja yang bekerja sebanyak 5,14 juta orang. Artinya, jutaan buruh sedang bekerja dalam situasi yang sewaktu-waktu dapat terpapar virus korona.

Tak ketinggalan, Kementerian Ketenagakerjaan pun mengeluarkan SE M/8/HK.04/V/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Pada Kasus Penyakit Akibat Kerja Karena Covid-19. Termasuk SE Nomor M3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. SE tersebut membahas tentang Karantina dan Isolasi. Pelaksanaan SE tersebut terhambat. Kejadian kecelakaan mestinya dilaporkan kepada bagian personalia. Nyatanya, tidak ada laporan sama sekali sehingga menyebabkan adanya keterlambatan dalm proses pencairan Jaminan Kesehatan Kerja (JKK).

Serikat buruh melaporkan. Ketika virus korona mewabah, pabrik tetap beroperasi penuh. Sebagian besar buruh tidak mampu menawar kebijakan perusahaan. Manajemen perusahaan memiliki alasan kuat untuk memecat atau memotong upah jika buruh tidak bersedia bekerja. Para buruh bekerja tanpa ada rekayasa ruang kerja. Tidak jarang buruh terpapar virus. Jika diketahui terpapar, manajemen meminta agar buruh melakukan isolasi mandiri tanpa upah dan fasilitas apapun. Karena itu, buruh berusaha menutupi atau tidak memeriksakan diri. Lagi pula memeriksakan diri berarti harus menambah pengeluaran.

Seperti diungkapkan FSBPI (Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia). Di masa PPKM Darurat pabrik tekstil dan produk tekstil hanya beroperasi 50 persen untuk produksi dan 10 persen untuk perkantoran. Nyatanya, pabrik-pabrik yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Subang, Sukabumi dan Solo beroperasi 100 persen, bahkan lembur. Parahnya, manajemen tidak menyediakan peralatan protokol kesehatan. Untuk sanitasi tangan dan cuci tangan pun tidak disediakan, apalagi fasilitas tes berkala reaksi COVID-19 berkala dan vitamin. Pimpinan serikat buruh di Tangerang Banten mengatakan, di beberapa pabrik memang ada pengaturan jam masuk. Ketika masuk pun diatur jaraknya sedemikian rupa. Satu per satu buruh melewati pengukur suhu tubuh. Ketika bekerja terjadi tidak ada lagi pengaturan jarak dan penggunaan masker. Semuanya bekerja seperti situasi normal.

Ketika mengomentari, terdapat temuan pabrik tekstil dan produk tekstil yang mempekerjakan buruh secara normal dan tanpa APD, Jubir Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito berkelit. Katanya, Instruksi Menteri Dalam Negeri jelas, seluruh pekerja diminta WFO (work from office) 50 persen dan WFH (work from home) 50 persen. Jam operasional buruh juga sudah diatur di aturan itu. Wiku berkilah bahwa Satgas daerah rutin melakukan pengecekan agar tidak terjadi hal serupa.

Lumrah diketahui. Dalam situasi normal sekalipun Kementerian Ketenagakerjaan dari tingkat daerah hingga pusat selalu lamban menindaklanjuti laporan kasus-kasus ketenagakerjaan. Jika disituasi normal pemerintah berkilah belum menerima laporan atau kekurangan tenaga lapangan, di masa pandemi korona ditambah dengan alasan sedang melaksanakan WFH.

Alfian Al-Ayubby memberikan gambaran tentang buruknya mekanisme kesehatan dan keselamatan kerja di pabrik-pabrik yang masih beroperasi normal. Situasi tersebut terjadi sebelum ramai Covid-19. Dengan menerapkan sistem bekerja normal, manajemen pabrik tidak melaksanakan pelaksanaan protokol kesehatan dengan ketat, alih-alih menyalahkan buruh ketika terpapar virus. Alfian menegaskan buruh hidup di pemukiman yang berdesakan, kesulitan air bersih dengan pendapatan sekadar cukup buat makan. Kampanye hidup bersih, menjaga jarak, menjaga imun tubuh dan mencuci tangan tak lebih dari penghinaan terhadap buruh dan keluarganya. Nyatanya, pemerintah sekadar memerintahkan menjaga kesehatan kemudian menghukumnya, tanpa menyediakan saranan kesehatan yang mudah dijangkau. Pemerintah memerintahkan menggunakan masker. Jika tidak, akan dipermalukan untuk push-up. Tapi tidak menyediakan peralatan tersebut.

Laporan LBH Jakarta menyebutkan kebanyakan pabrik beroperasi normal tanpa ada upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Para pengusaha berdalih tidak memiliki dana tambahan untuk menyediakan peralatan kesehatan dalam keselamatan kerja.

Keadaan memburuk dialami pula oleh para buruh kantoran ketika harus menjalani WFH. Istilah yang diderivasikan dari konsep telecommuting ini muncul sejak 1970-an. Menjadi tren di era Covid-19. WFH mengandaikan kecanggihan dan ketersediaan teknologi untuk mendukung pertemuan kerja-kerja daring.

Mulanya, WFH dikira akan membebaskan dari kewajiban kerja sehingga dapat menikmati waktu bersama keluarga dan rebahan. Nyatanya, dengan WFH setiap orang tetap mengabdikan pikiran dan tenaganya di mana pun berada.

Konsep WFH berarti mengandaikan koneksi internet, jaringan listrik, tempat dan alat kerja milik keluarga dipersembahkan untuk keuntungan perusahaan. Sumber daya tersebut bukan bagian dari biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan. Tempat istirahat berubah menjadi tempat kerja, sekaligus kehilangan waktu dengan keluarga, dan tidak ada lagi batas antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan. Dampak lain dari WFH adalah timbulnya masalah tekanan kerja, karena buruh dapat diminta bekerja di luar jam kerja.

Di awal Mei 2020, terdapat 4.057 perusahaan menerapkan WFH. Survei memperlihatkan, 50 persen dari buruh kantoran mengalami jam kerja lebih lama. Kelebihan jam kerja tidak dapat dihindari dan tidak diperhitungkan sebagai jam lembur.

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane