MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pandemi ‘No Work No Pay’: Dua Tahun Covid-19 dan Setahun Cipta Kerja

Upah: Dirampas Pengusaha, Negara dan Pinjol

Selasa 16 November 2021 Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengumumkan kenaikan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) 1,09 persen. Angka tersebut dihitung berdasarkan PP 36, sebagai pengganti dari PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP 36 disahkan pada Februari 2021, sebagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja.

Melalui PP 36 Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta naik Rp 37 ribu, Provinsi Riau naik Rp 50 ribu, Kalimantan Timur naik Rp 33 ribu, dan Jawa Tengah naik seribu rupiah. Di kemudian hari, kenaikan upah minumum di DKI Jakarta direvisi menjadi 5 persen. Sementara Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan tidak mengalami kenaikan. Sementara Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) naik di kisaran 5 persen, tapi sebelas Kabupaten di Jawa Barat tidak mengalami kenaikan upah. Padahal, selama pandemi Covid-19 kebutuhan rumah tangga meningkat 51 persen dan pendapatan menurun 70 persen.

Berdasar data BPS, rata-rata nasional upah minimum 2021 Rp 2.736.463. Angka upah minimum tersebut turun dibanding rata-rata nasional upah minimum 2020 Rp 2.756.345. Dengan kenaikan rata-rata upah minimum satu koma persen pada 2022, dapat dipastikan angka rata-rata nominal nasional upah buruh turun dan upah riilnya terjun bebas.

Dengan kenaikan rata-rata 10 persen pada 2002-2015, dan kenaikan rata-rata 8,51 persen pada 2015-2020, upah minimum hanya menopang 62,4 persen pengeluaran riil atau menutup dua minggu kebutuhan hidup layak. Semua itu bukan soal gaya hidup. Karena upahnya memang tidak cukup. Tak heran jika kasus malnutrisi dan pinjaman online membayangi keluarga buruh. Karena dengan mengurangi konsumsi gizi atau menambah jam kerja atau ‘ngutang’-lah keluarga buruh dapat bertahan hidup.

Selama 2019-2021, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerima pengaduan Pinjaman Online (Pinjol) legal maupun nonlegal sebanyak 19.711 kasus. Sementara LBH Jakarta menerima 7.200 aduan masyarakat yang terlibat masalah pinjaman online. Bahkan, dalam 3 tahun, LBH Jakarta mendapat laporan 6 sampai 7 orang bunuh diri gara-gara terjerat Pinjol. Orang-orang yang terjerat Pinjol rata-rata adalah pekerja.

Tahun 2021 dengan dalih menjaga kelangsungan pekerjaan dan pemulihan ekonomi, pemerintah memerintahkan agar kepala daerah tidak menaikan upah minimum. Keputusan tersebut kemudian dituangkan dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Upah Minimum Baru Tahun 2021 di Masa Pandemi Covid-19. Dalam situasi yang mengerikan karena serangan virus korona, ancaman pemecatan dengan dalih PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), pengurangan upah akibat rekayasa jam kerja; rumah tangga buruh pontang-panting dan tersungkur.

Perampasan upah merupakan karakter utama dari hubungan kerja buruh dan pengusaha. Perampasan upah dilakukan dengan menekan biaya produksi, meningkatkan target produksi dalam satuan waktu dari setiap unit barang. Perampasan upah diperparah dengan berbagai kebijakan negara yang mengalihkan biaya kesehatan buruh dalam bentuk asuransi sosial dan perampokan pajak penghasilan. Termasuk upah buruh dipotong upah secara rutin oleh agen penyalur tenaga kerja, bahkan pembayaran cicilan ‘uang jasa’ kepada agen penyalur tenaga kerja.

Praktik perampasan upah melonjak di masa pandemi korona. Model perampasan upah di masa korona merentang dari pemotongan upah langsung sebanyak 10 sampai 15 persen, perpanjangan jam kerja yang tidak dibayar lembur, pembayaran lembur tidak sesuai perhitungan, perubahan status kerja, menghilangkan bonus, tidak membayar THR, merumahkan buruh tanpa dibayar, mengurangi upah dengan alasan pengurangan jam kerja dan membayar sebagian dari pesangon buruh. Upah buruh dirampas pula oleh industri kesehatan: membayar tes reaksi Covid-19, sanitasi tangan, membeli vitamin dan membeli masker. Negara melegitimasi perampasan upah dengan membolehkan menunda pembayaran atau mencicil THR dan tidak menaikan upah minimum. Dengan menetapkan standar ‘masker kesehatan’ dan menghukum warga yang tidak menggunakan masker, upah keluarga buruh diperas industri kesehatan dengan brutal.

Menurut AFWA (Asia Floor Wage Alliance) Indonesia, dalam rantai pasokan global, karakter khusus perampasan upah terjadi secara berantai: dari pemilik merek ke pemasok dan ke buruh. Pemilik merek mengeluarkan secuil biaya produksi dari total harga barang. Kemudian memaksa pemasok menurunkan biaya produksi melalui berbagai bentuk pencurian upah.

Penelitian AFWA (2020) terhadap buruh pemasok pakaian dan sepatu di Indonesia menemukan, selama pandemi Covid-19 perampasan upah secara konsisten terjadi sepanjang 2020-2021. Puncak perampasan upah terjadi pada Mei hingga Juli 2020. Pada 2020 nilai upah yang dirampas dari 17 persen hingga 21 persen dari total upah yang diterima, termasuk perampasan 45 persen bonus pada 2020.

Per 6 Mei 2020, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah meneken SE M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). SE tersebut, memberikan peluang kepada perusahaan menunda atau mencicil pembayaran THR. Hasilnya, di beberapa tempat buruh tidak menerima THR pada waktu yang ditentukan, menerima THR dengan dicicil, jumlah THR yang diterima tidak sesuai, bahkan sama sekali tidak mendapat THR.

Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, per 4 Juni terdapat 410 perusahaan yang dilaporkan bermasalah dengan pembayaran THR. Setelah ditegur oleh Kemnaker, 307 perusahaan membayar THR dengan terlambat. Namun terdapat 103 perusahaan yang belum membayar THR.

Pada 2021, Menaker Ida Fauziyah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Relatif berbeda dengan SE tahun sebelumnya, di tahun 2021 Kementerian Ketenagakerjaan menegaskan bahwa THR harus dibayar penuh sesuai peraturan perundangan. Hal tersebut dikecualikan bagi perusahaan yang terdampak Covid-19. Hal yang relatif baru, salah satu rujukan SE tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Posko Pengaduan THR Kemnaker menerima 2.278 laporan. Jumlah tersebut terdiri dari 692 konsultasi THR dan 1586 pengaduan THR. Ada pembayaran THR yang dicicil, THR dibayarkan 50 persen, THR dibayar tidak penuh karena ada pemotongan gaji, THR tidak dibayarkan 1 bulan gaji dan THR tidak dibayar karena Covid-19.

Situasi buruh-pengemudi Ojol[1] lebih mengerikan. Buruh-pengemudi Ojol merupakan model teranyar dari no work no pay dengan sistem upah satuan unit, yang disebut dengan sistem borongan. Para pemilik aplikator dapat saja mengiming-imingi buruh-pengemudi dapat memiliki penghasilan lebih dari upah minimum, seperti dikatakan riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI).

Tapi sebenarnya pendapat buruh-pengemudi Ojol rentan tersungkur di bawah upah minimum. Pasalnya, buruh-pengemudi Ojol tidak memiliki hubungan yang tetap dan tidak memiliki upah minimum. Lagi pula riset itu tidak melihat siasat buruh-pengemudi Ojol untuk menambah penghasilan, seperti memperpanjang waktu kerja, membuka dua akun dari aplikator yang berbeda dan sebagainya. Dengan cara demikian, buruh-pengemudi Ojol memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendapat pesanan.

Covid-19 menerpa buruh-pengemudi Ojol. Muncul larangan mengangkut penumpang, terjadi larangan mobilitas masyarakat dan pembatasan gerak di kota-kota besar, penghasilan buruh-pengemudi Ojol jumpalitan.

Survei Annindya Dessi Wulandari, Arif Novianto dan Yeremias T Keban mengemukakan situasi mengerikan buruh-pengemudi Ojol di masa Covid-19. Pendapatan buruh-pengemudi Ojol roda dua dan roda empat semasa Covid-19 jungkir-balik. Survei di DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Bali menemukan bahwa di awal pemberlakuan PSBB, pendapatan buruh-pengemudi Ojol Rp 89.267 per hari atau turun 67 persen dibanding pada bulan Februari 2020 yaitu sebesar Rp 266.225 per hari. Di masa Covid-19, Ojol hanya mendapatkan pendapatan kotor Rp 95.039 per hari di bulan Juni dan sedikit meningkat menjadi Rp 99.610 per hari pada Juli 2020.

Sebagai tambahan, pendapatan-pendapatan tersebut merupakan hasil total, sekaligus kotor. Seperti diketahui, untuk meningkatkan pendapatan buruh-pengemudi Ojol bersiasat dengan memiliki dua sampai tiga akun sekaligus dari aplikator yang berbeda. Dengan cara demikian, buruh-pengemudi Ojol memiliki banyak kesempatan mendapat pesanan lebih banyak. Namun pendapatan tersebut tidak memperhitungkan sejumlah biaya harian dan bulanan yang harus ditanggung, seperti asupan makanan, bensin, perbaikan kendaraaan dan sebagainya. Sementara aplikator semakin ketat mengawasi buruh-pengemudi Ojol dalam rupa kemudahan menerapkan sanksi dari akun gagu/anyep hingga putus mitra.

Sementara itu, pendapatan Gojek dan Grab melonjak karena semakin banyak orang menggunakan layanan pengiriman barang. Sederhananya, ketika semakin banyak orang berada di rumah, kebutuhan sehari-hari diperantarai oleh aplikasi. Gojek menyebutkan pendapatan dari GoFood meningkat 20 kali lipat, sementara pendapatan dari Grab Express dan GrabFood melesat hingga 49 persen. Tentu saja harus disebutkan bahwa sumber penghasilan Gojek, Grab dan aplikator sejenisnya berasal dari potongan pendapatan buruh-pengemudi dari pelanggan, dari konsumen dan dari para pedagang kecil yang menayangkan iklan dan potongan dari setiap barang yang terjual di toko online.

Sebenarnya, tren penurunan pendapatan buruh-pengemudi Ojol berlangsung sebelum Covid-19. Gojek dan Grab telah mengakhiri model promosi ‘bakar uang’, yang ditandai dengan pengakhiran pemberian bonus untuk buruh-pengemudi dan diskon untuk penumpang. Akhir dari ‘bakar uang’ berarti penarikan kembali uang yang telah dibagikan berupa potongan 20 persen untuk buruh-pengemudi, penaikan target untuk mendapat bonus, ditetapkannya tarif jarak minimum, penambahan biaya tertentu yang didapat perusahaan (misalkan biaya pemesanan), dan juga perekrutan besar-besaran buruh-pengemudi Ojol.

Di tengah situasi yang sulit, buruh-pengemudi Ojol menambah waktu kerja sebagai cara untuk meningkatkan peluang mendapatkan penawaran pesanan masuk di akun mereka. Bahkan ada yang mengaktifkan akunnya di aplikasi hingga 24 jam. Survei pun memperlihat sebanyak 68,62 persen buruh-pengemudi Ojol pernah mengalami sakit akibat pekerjaannya, bahkan terdapat beberapa buruh-pengemudi meninggal dunia akibat kelelahan bekerja dan tekanan yang berlebihan.

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane