MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pandemi ‘No Work No Pay’: Dua Tahun Covid-19 dan Setahun Cipta Kerja

Menuntut Ganti Rugi Ke Buruh: Varian Baru Union Busting

Sudah tidak asing lagi pengusaha atau Apindo menggugat buruh. Biasanya yang dipersoalkan adalah tindakan buruh, argumen buruh, atau menolak mengakui kemenangan buruh. Tujuannya, menolak tuntutan buruh, merampas hak buruh, melempar buruh dari tempat kerjanya, sekaligus mengontrol buruh lainnya agar tunduk dan patuh pada target produksi.

Umumnya, gugatan disampaikan melalui media massa dalam bentuk ancaman, seperti dalam kasus pemogokan massa 2015 dan 2021. Ada pula gugatan dilayangkan melalui pengadilan.

Riefqi Zulfikar (2021) mengamati jenis-jenis gugatan di PHI Jawa Barat. Riefqi menemukan gugatan pengusaha terhadap buruh maupun serikat buruh makin meningkat. Sepanjang 2021, PHI telah memutus 328 kasus. Sebanyak 33 kasus merupakan gugatan yang dilayangkan oleh perusahaan. Kasus-kasus yang dimaksud adalah perselisihan PHK sepihak (20 kasus), perselisihan PHK massal (6 kasus), perselisihan hak upah tidak dibayar (6 kasus) dan perselisihan hak pekerja yang diperjanjikan (1 kasus). Hal ini menandai makin meluasnya kekuasaan pengusaha berhadapan dengan buruh.

Di arena lain adalah contoh-contoh gugatan pengusaha ke jalur lain. Beberapa kasus dapat disebutkan: Apindo Jakarta menggugat SK UMK DKI Jakarta 2001 ke PTUN. Pada 2012, Apindo Bekasi menggugat SK UMK Bekasi 2012. Di dua kejadian tersebut Apindo memenangkan gugatan. Namun kemenangan Apindo dianulir dengan pemogokan massal. Ada pula kasus pemogokan 1300 buruh Panarub Dwi Karya Benoa Tangerang, 2012.  Pengusaha menyatakan pemogokan tidak sah. Sehingga buruh yang terlibat pemogokan dikualifikasikan mengundurkan diri dari pekerjaan.

Pada 2012, di Kabupaten Bekasi, serikat buruh berhasil mendesak para pengusaha membuat PB. Isi PB tersebut di antaranya berkenaan dengan kewajiban pengusaha mengangkat buruh tidak tetap yang dipekerjakan di bagian inti produksi menjadi buruh tetap. Pada 2013, satu per satu perusahaan menggugat Perjanjian Bersama (PB) ke PTUN. Alasannnya, PB ditandatangani di bawah tekanan. Dalam kasus ‘gugatan PB’ kebanyakan buruh kalah. Dikabulkannya gugatan para pengusaha terhadap PB tersebut, berimbas terhadap perluasan praktik hubungan kerja kontrak dan outsourcing di setiap perusahaan. Masih di Kabupaten Bekasi, Apindo Bekasi menggugat Perda Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi Nomor 14 Tahun 2016, ke Mahkamah Agung pada Oktober 2018. Apindo menilai Perda tersebut terlalu kaku dalam mengatur tentang pemagangan dan hubungan kerja. Uji materi ditolak MA.

Dalam kasus-kasus dengan skala lebih kecil buruh dikenai pasal pencemaran nama baik dengan ancama pidana. Kejadian teranyar di Banten. Setelah melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah minimum dan menduduki kantor gubernur, enam buruh ditangkap, dikenai pasal penghinaan terhadap kekuasaan dengan ancaman pidana. Karena ada gerakan massa yang mendesak pembebasan buruh, tersangka dibebaskan pada 4 Januari 2022.

Saat ini terdapat dimensi lain dari jenis gugatan pengusaha atau Apindo ke buruh. Pengusaha menuntut ganti rugi kepada buruh dengan nilai miliaran. Tuntutannya memang tidak masuk akal. Padahal, jika dicermati buruh lebih berhak menuntut pengusaha. Pasalnya, buruh dipaksa bekerja dalam kondisi kerja yang mengancam nyawa, seperti terpapar virus korona atau terpapar racun berbahaya.

Tentu saja para pengusaha mengetahui bahwa para buruh tidak mungkin membayar kerugian dengan nilai miliaran. Tujuannya memang bukan ganti rugi dalam arti sebenarnya. Langkah tersebut dilakukan untuk memperlihatkan kekuasaan perusahaan dan mempermalukan buruh, mematahkan tuntutan buruh dan membalas tindakan buruh. Lebih jauh gugatan pengusaha terhadap buruh berarti mengesahkan tindakan buruk perusahaan, mengaburkan tujuan awal serikat dan menyibukan serikat buruh dengan perkara pengadilan.

Seperti diketahui, hukum dan pengadilan merupakan kemewahan bagian sebagai besar buruh. Gedung yang menjulang, pakaian rapih dan susunan kalimat yang teratur dan menganggap hakim sebagai sumber keadilan. Selain itu, mengajukan kasus ke pengadilan berarti menempatkan nilai-nilai keadilan dari ruang netral yaitu hukum dan pengadilan. Padahal hukum dan pengadilan berpihak dan keadilan harus direbut.

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane