MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pandemi ‘No Work No Pay’: Dua Tahun Covid-19 dan Setahun Cipta Kerja

Wabah Korona, Virus Ciptaker, dan Percepatan Eksploitasi

PT Sulindafin mengaku rugi. Konon, perusahaan mengalami kerugian sejak 2015. Direksi PT Sulindafin memutuskan menutup pabrik pada 28 November 2019. Sebanyak 1085 buruh dipecat dengan tawaran pesangon sebesar 70 persen dari satu kali ketentuan dari Pasal 156 UUK Nomor 13 Tahun 2003. Pembayaran pesangon dicicil tiga kali.

Sebelumnya, pada Mei 2019, PT Sulindamills Bekasi tutup. Sulindamills dan Sulindafin, ditambah Shintatex adalah usaha di sektor tekstil milik Shinta Indah Group. Ada juga anak usaha di bidang asuransi, keuangan dan trading, yaitu PT Shinta Inserve, PT Shinta Forex, PT Shinta Korintama dan PT Shinta Indahjaya.

Sebanyak 245 menolak dipecat. Pasalnya, pengabdian buruh telah mencapai belasan tahun, bahkan ada yang bekerja lebih dari 25 tahun. Statusnya pun sebagai buruh tetap. Usia mereka tidak mungkin dibutuhkan oleh pabrik lain.

Dengan mempelajari modus ‘tutup operasi; kemudian buka kembali dengan merekrut buruh harian lepas di Sulindamills Bekasi dan tempat-tempat lain, para buruh menduga akan mengalami hal yang sama. Artinya, perusahaan pura-pura tutup untuk mengubah pola hubungan kerja dari tetap menjadi kontrak dan harian lepas, sekaligus mengurangi sejumlah hak yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Lagi pula, perusahaan pun membuka pabrik baru di Indramayu, pada Januari 2019.

Proses penolakan berlangsung. Situasi ini menjelang dan berlangsung di masa Covid-19. Selain demonstrasi di halaman perusahaan dan kantor pemerintahan, buruh membuat tenda depan perusahaan. Meski belum ada pengakhiran hubungan kerja secara resmi dari pengadilan, manajemen telah menghentikan pembayaran upah, tidak membayar THR, menonaktifkan kepesertaaan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan dan melarang buruh memasuki area perusahaan. Imbasnya, buruh dan keluarga buruh terlunta-lunta, bahkan tiga orang keluarga buruh meninggal dunia karena tidak memiliki biaya pengobatan.

Dugaan serikat buruh terbukti. Pada Januari 2020 perusahaan beroperasi dengan merekrut buruh baru dengan hubungan kerja harian lepas. Manajemen berkilah, pemekerjaan buruh menghabiskan stok barang di gudang.

Akhirnya kasus diajukan ke PHI Serang Banten. Kepada majelis hakim PHI buruh menuntut agar alasan PHK dinyatakan tidak sah, perusahaan pun mesti membayar kekurangan upah sejak perusahaan menyatakan pemecatan pada Desember 2019 dan membayar THR 2020.

PHI mengeluarkan putusan 4 November 2020. Kurang dari sebulan setelah pengesahan UU Cipta Kerja, pada 14 Oktober. Majelis Hakim memutuskan bahwa kasus Sulindafin versus buruh dengan kategori efisiensi. Buruh pun dinyatakan putus hubungan kerja. Perusahaan wajib membayar sisa upah proses dari Desember 2019-Mei 2020, pembayaran THR, membayar kompensasi PHK 1 kali dari ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.

Merasa tidak diperlakukan adil oleh PHI Serang, buruh melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan MA keluar pada 20 April 2021 dengan hasil yang lebih menyakitkan. MA menyatakan: putus hubungan kerja buruh dan Sulindafin, buruh tidak berhak THR dan upah proses.

Setelah memerhatikan halaman-halaman Putusan kasus, ternyata MA memutuskan kasus Sulindafin dengan merujuk pada Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Padahal kasus buruh Sulindafin terjadi sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Pasal 81 poin 53 UU Ciptaker menghapus pasal 164 UU Ketenagakerjaan yang mengatur pemberian uang pesangon apabila terjadi PHK akibat perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa (force majeur).

***

Sejak dirancang kemudian diajukan ke badan legislasi, RUU Cipta Kerja mendapat penolakan besar-besar dari berbagai kalangan. Kalangan akademisi hukum mengkritik proses pembuatan maupun model Omnibus Law tidak dikenal dalam peraturan perundangan di tanah air. Gerakan tani, lingkungan, pelajar, dan perempuan menilai substansi RUU Cipta Kerja akan merampas ruang hidup rakyat dan memberikan banyak kelonggaran kepada investor.

Serikat buruh menganalisis, Bab Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law Cipta Kerja merampas hak atas pekerjaan, pendapat layak dan mencopot kepastian kerja. Seperti dapat dilihat dalam pasal-pasalnya, UU Cipta Kerja memperpanjang jam lembur per minggu, tidak mengakui waktu istirahat secara penuh, hubungan kerja fleksibel semakin longgar dan jumlah kompensasi diturunkan. Seperti diketahui, jumlah kompensasi dalam peraturan perundangan diperbesar dengan tujuan agar pengusaha tidak sembarangan melakukan pemecatan. Tapi dalam UU Cipta Kerja alasan PHK dipermudah dan nilai pesangon dikurangi. Artinya, UU Cipta Kerja membuat buruh semakin mudah dipecat.

Di tengah berbagai kritik dan penetapan PSBB, ternyata DPR RI membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja, pada 14 Oktober 2020.

Setelah disahkan, UU Cipta Kerja telah memiliki 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres). Peraturan pelaksana akan terus bertambah sesuai amanat UU Cipta Kerja. Dengan demikian, seluruh kebijakan negara di tangan eksekutif dan tidak lagi memerlukan konsultasi dengan DPR.

Empat di antara aturan PP tersebut merupakan aturan pelaksana Bab Ketenagakerjaan. Yaitu, PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (PP TKA), PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK), PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (PP JKP).

PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang TKA (Tenaga Kerja Asing). Pengawasan terhadap TKA semakin longgar. Sebelumnya TKA harus mendapat izin diganti dengan pengesahan dalam bentuk rencana penggunaan TKA (RPTKA).

PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT-PHK. Dalam aturan ini batas kontrak menjadi lima tahun tapi periode perjanjiannya tidak ditetapkan. Artinya, status buruh secara legal menjadi kontrak seumur hidup. Padahal diaturan sebelumnya, buruh kontrak dibatasi dua kali kontrak. Aturan ini pun, sebenarnya, banyak dilanggar.

Dalam peraturan tersebut pun tidak mengatur tentang pembatasan jenis kegiatan yang bisa dialihdayakan. Sehingga semua pekerjaan dapat dialihdayakan. Padahal di aturan sebelumnya telah diatur tentang sifat dan jenis pekerjaan.

PP Nomor 35 Tahun 2021 tidak lagi menyebut tentang jangka waktu istirahat panjang. Artinya, peraturan perundangan tidak lagi mengakui tentang istirahat panjang yang dapat memberikan kelonggaran kepada buruh mengistirahatkan badannya.

Dalam perkara alasan PHK dan jumlah kompensasi PP 35 makin tidak manusiawi. Alasan-alasan untuk memecat buruh semakin mudah, seperti mencegah kerugian, force majeur, perusahaan memiliki tanggungan hutang.

Setali dengan PP 35 adalah PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Dua aturan pelaksana tersebut memberikan keleluasaan kepada pengusaha memecat buruh sekehendaknya. Jika filosofi pembatasan alasan PHK dengan nilai kompensasi tertentu untuk mencegah pemecatan sewenang-wenang maka PP 35 dan PP 47 mempermudah memecat buruh.

Peraturan yang menghebohkan gerakan buruh adalah PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Semangat utama pasal-pasal pengupahan adalah tidak bekerja tidak dibayar alias no work no pay dan fleksibilisasi upah. Fleksibilisasi upah dalam UU Cipta Kerja maupun PP 36 diwujudkan dengan menghilangkan upah sektoral, pengenalan upah kesepakatan, upah satuan waktu, upah usaha mikro, dan kelonggaran-kelonggaran pengupahan lainnya yang diberikan kepada pengusaha.

Perbandingan UU 13/2003 dan UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan

Informasi yang beredar dari serikat buruh tingkat pabrik. Setelah UU Cipta Kerja disahkan, manajemen pabrik dengan agresif akan mengubah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) agar sesuai dengan UU Cipta Kerja. Di tempat lain, direksi perusahaan mengeluarkan internal memo kepada manajemen agar segera mengubah peraturan perusahaan atau PKB untuk disesuaikan dengan semangat UU Cipta Kerja. Di Kabupaten Tangerang, sebuah pabrik memecat buruhnya dan diminta mendaftar ke agen outsourcing sebagai buruh kontrak.

Per November 2021, MK mengabulkan uji materi terhadap UU Cipta Kerja. MK menegaskan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil dan inkonstitusionalitas bersyarat. MK pun memerintahkan agar pemerintah melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Seperti diterangkan di laman MKRI, pengabulan uji materi tersebut merupakan satu dari dua belas pengajuan uji materi terhadap UU Cipta Kerja, yang diajukan oleh Migrant Care, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau dan Muchtar Said.

Di hari yang sama, MK menolak sebelas nomor perkara lainnya dengan alasan UU Cipta Kerja telah diputus inskonsitusional bersyarat sehingga kehilangan obyek permohonan. Dengan nomor perkara berbeda-beda, serikat buruh dan organisasi lainnya mempermasalah beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja. Begitu banyak organisasi menguji formil dan materi UU Cipta Kerja, sebagai bentuk ketidaksetujuan. Artinya, UU Cipta Kerja entah dibuat untuk siapa.

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane