MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pandemi ‘No Work No Pay’: Dua Tahun Covid-19 dan Setahun Cipta Kerja

Meramaikan Serikat dengan Diskusi, Melawan Fleksibilisasi

Per 2021, angka pengangguran melonjak dari 4,9 persen menjadi 7 persen dan pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 4 persen, pejabat negara dan para ekonom khawatir Indonesia mengalami krisis seperti 2008, bahkan mendekati krisis Asia 1997-1998.

Tentu saja krisis karena Covid-19 memiliki karakter berbeda dengan krisis sebelumnya. Meski diselesaikan dengan cara yang sama: perluasan program neoliberalisme.

Krisis sebelumnya memukul sisi penawaran akibat penumpukan berlebih dari kapital. Krisis tersebut diselesikan dengan cara membuka ruang akumulasi baru melalui program penyesuaian struktural (SAP/Structural Adjusment Programme) berupa deregulasi perbankan, liberalisasi dan privatisasi. Dari konteks tersebut, virus korona yang mewabah di berbagai negara menggoncang perekonomian, di mana sirkulasi dan distribusi barang seolah berhenti. Sistem kesehatan yang telah diprivatisasi terlambat mengambil keputusan penanganan virus.

Pemilik kapital kehilangan kesempatan menggandakan keuntungan, karena orang-orang berhenti berbelanja dan tidak bekerja. Lebih tidak menguntungkan karena jumlah ‘calon konsumen’ meninggal dunia merangkak naik. Pemilik kapital menempuh jalan cepat memindahkan kapital ke sistem digital dan sistem kesehatan. Negara dipaksa untuk segera menangani virus korona dengan membiarkan sistem kesehatan dikuasai para pemilik kapital. Setelah itu negara merasa perlu mengampanyekan hidup sehat, mengalokasikan anggaran triliunan untuk mengimpor vaksin dan mewajibkan vaksin kepada setiap warga negara.

Awal Januari, pemerintah mengimpor dosis vaksin Covid-19. Vaksin terbesar diimpor dari China (Sinovac), dari Amerika Serikat dan Kanada (Novavax), dari multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI), dan dari Inggris (AstraZeneca), Jerman dan Amerika Serikat (Pfizer BioNTech). Pemerintah merealokasi anggaran vaksinasi Covid-19 sebesar Rp 54,44 triliun dari APBN.

Tanpa mengoreksi sistem kesehatan, negara menyerahkan problem dasar kesehatan ke mekanisme pasar. Rakyat sedang diseret di industri kesehatan. Sulit memahami kebaikhatian negara menyediakan vaksin untuk mencegah serangan virus korona, sementara membiarkan jutaan buruh bekerja dalam kondisi terancama nyawa dan hidup di pemukiman padat dengan sanitasi yang buruk. Lagi pula, tingkat kematian akibat kecelakaan kerja, kematian ibu hamil dan melahirkan merupakan persoalan yang menahun. Sementara anggaran kesehatan dan pendidikan selalu di urutan terendah ketimbang pertahanan keamanan.

Pada akhirnya kesulitan mendapatkan konsumen segera diakhir. Para pemilik kapital besar beralih ke jualan online sambil tidak berhenti mempromosikan dan menawarkan diskon penjualan barang. Para penjual barang beralih ke toko-toko daring yang digerakan oleh para buruh-pengemudi Ojek Online (Ojol). Tak heran jika di masa Covid-19, aplikator semacam Amazon, Grab, Gojek, Shopee, meraup untung berlipat.

***

Sepanjang 2020-2021 dengan alasan terdampak Covid-19, jutaan buruh dipecat atau diliburkan tanpa upah; atau dengan sedikit upah. Buruh yang bekerja upahnya dipangkas dengan alasan jam kerja dikurangi. Argumen serikat buruh agar buruh yang dirumahkan atau mengalami gilir-kerja mendapat upah penuh, dipatahkan pengusaha. Pengusaha berkilah Covid-19 merupakan Bencana Nasional yang tidak dapat dihindari, sebagaimana Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dengan alasan itu pula para pengusaha berdalih: no work no pay alias tidak bekerja tidak mendapat upah.

No work no pay merupakan doktrin kuno yang tumbuh subur di zaman pemilikan budak, di masa revolusi industri dan berakhir dengan diakuinya prinsip dan hak mendasar di tempat kerja oleh Organisasi Perburuhan Internasional, pada 1919. Di Indonesia, doktrin tersebut dilanggengkan di zaman penjajahan. Kemudian berakhir dengan diakuinya usia minimum kerja, hak cuti haid, hak menolak bekerja di tempat berbahaya bagi perempuan, hak berunding dan hak berserikat serta larangan kerja paksa melalui Undang-Undang Kerdja Nomor 12 Tahun 1948.

Paradigma UU Kerdja adalah pengakuan: relasi buruh dan pengusaha tidak seimbang. Buruh lemah, pengusaha memiliki segalanya. Prinsip hak dasar buruh mengakui hak-hak melekat pada buruh saat terjadi relasi pekerjaan antara buruh dan pengusaha. Dari relasi timpang tersebut, negara menjamin, melindungi dan memajukan hak dasar buruh.

Dengan segala pembatasannya, doktrin no work no pay muncul dengan klausul ‘Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan’ dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Peraturan yang dikeluarkan zaman Soeharto untuk menarik investasi asing. Prinsip tersebut diangkat derajatnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Dalam UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan prinsip no work no pay diperluas dengan mengatur hubungan kerja, jenis-jenis upah dan kelonggaran-kelonggaran bagi pengusaha. Gejala-gejalanya dapat ditelusuri dengan diperkenalkannya upah kesepakatan, upah perdesaan, upah padat karya, upah per jam, dan penghapusan upah sektoral. Pada 2015 diperkenalkan pembatasan kenaikan upah minimum tidak lebih dari 8 persen. Teranyar, pembatasan kenaikan upah minimum tidak lebih dari 1 persen.

Doktrin no work no pay hanya mengakui pekerjaan selesai dengan sempurna. Jika pekerjaan selesai tapi terdapat kesalahan maka tidak di anggap sebagai tindakan ‘bekerja’. Kemudian proses perbaikan yang memakan waktu dan mengeluarkan tenaga digolongan sebagai satu pekerjaan yang sama. Doktrin no work no pay tidak mengenal konsep ‘kelebihan jam kerja’ sebagai jam lembur. Di pabrik garmen maupun tekstil, cara kerja no work no pay biasanya ditemukan dalam bentuk ‘jam skorsing’, ‘menyelesaikan target kerja’, ‘jam toleransi’, dan istilah-istilah teknis lain; dapat pula ditemukan dalam sistem kerja borongan, kerja rumahan, komisi, ritase, dan sistem poin untuk Ojek Online.

Doktrin no work no pay pun tidak memberikan toleransi terhadap hambatan-hambatan dalam pekerjaan, seperti ‘menolak bekerja di area berbahaya’, ‘tidak bekerja karena tidak ada pekerjaan’, ‘tidak bekerja karena tidak diizinkan oleh manajemen’, ‘tidak bekerja karena sakit atau perlu istirahat’. Jadi prinsip no work no pay menganulir prinsip hak dasar buruh ‘timbul ketika terjadi ikatan hubungan kerja’.

***

Di tengah berbagai kesulitan, tentu saja terdapat hal-hal baru yang membutuhkan pengamatan lebih dalam.

Pertama, aksi massa pelajar yang terdiri dari mahasiswa dan siswa sekolah menengah di berbagai kota pada minggu ketiga September 2019. Mereka membawa tujuh tuntutan, di antaranya pencabutan revisi UU KPK dan penundaan RKUHP. Pejabat negara dan pengusaha menyebutnya sebagai angkatan kerja baru dan bonus demografi. Generasi milenial ini sedang berhadapan dengan rezim no work no pay, sebagai generasi buruh kontrak.

Generasi baru dalam pasar kerja tersebut memiliki cara berbeda dalam belajar dan merespons masalah termasuk memandang berorganisasi. Lagi pula, di berbagai wilayah, buruh muda tidak terlalu lebih akrab dengan serikat buruh, yang mengaku diri sebagai organisasi profesional dan memajukan hubungan industrial yang harmonis. 

Kedua, mengemukanya isu-isu kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan. Isu ini semakin mendesak dipikirkan dalam gerakan sosial, terutama gerakan buruh. Dalam lima tahun terakhir, riset-riset tentang kekerasan dan pelecehan seksual di pabrik begitu melimpah. Namun, isu perempuan kerap dianggap sebagai ‘hanya persoalan perempuan’. Tentu saja tidak cukup sekadar menempatkan perempuan dalam departemen khusus, jika karakter dan program serikat buruh tidak ramah perempuan.

Ketiga, dari seluruh perbincangan tentang wabah Covid-19 dan krisis kesehatan, terdapat satu ‘pasukan’ yang luput dari perbincangan: hak para petugas kesehatan.

Petugas kesehatan medis maupun nonmedis di fasilitas kesehatan maupun rumah sakit: dari sopir ambulans, cleaning servis, perawat hingga dokter berisiko terinfeksi lebih tinggi dibanding masyakat umum. Ketika kasus infeksi virus korona meledak di periode Juni hingga Agustus 2021, beban pekerjaan dan tingkat risiko terinfeksi meningkat berlipat. Per 2 September, tercatat sebanyak 1.977 tenaga kesehatan yang meregang nyawa akibat serangan korona. Angka kematian yang tidak dapat dianggap remeh.

Studi Adrianna Bella, Dian Kusuma dan Gita Kusnadi tentang dampak wabah Covid-19 terhadap tenaga kesehatan yang dilakukan 9 April-1 Juli 2020 di delapan rumah sakit rujukan pelayanan Covid-19 di Jabodetabek menemukan bahwa rumah sakit-sakit tidak menyediakan tes PCR bagi pekerjanya. Penelitian tersebut juga mengindikasikan bahwa rumah sakit-rumah sakit tidak memberikan pengetahuan yang cukup, peralatan dan kesejahteraan yang memadai bagi para pekerja kesehatan. Alhasil, para pekerja kesehatan menjadi tumpuan masyarakat namun tidak mendapat perlindungan.

Keempat, penting memikirkan kembali diskusi lama mengenai buruh sebagai kelas, bukan semata ‘orang yang bekerja di perusahaan’. Nyatanya persoalan buruh merentang dari tempat kerja hingga berhadapan dengan harga air dan fasilitas kesehatan yang buruk. Selain itu, saat ini jangka waktu bekerja semakin pendek dan buruh semakin mudah pindah tempat kerja. Ungkapan, “Gak apa-apa harga naik asal upah naik”, “Yang penting buruh mendapat perlindungan jaminan kecelakaan”, semakin terdengar kuno dan bukan jalan menyelesaikan problem perburuhan. Barangkali berguna memikirkan kembali bentuk organisasi dan pengorganisasian yang dapat melampaui nama perusahaan.

Kelima, sementara pemerintah bersusah payah merealokasi anggaran negara untuk membantu dunia usaha, Kemnaker menyebut terdapat 29,4 juta orang terdampak pandemi Covid-19. Jumlah itu termasuk buruh yang dipecat, dipecat dengan pesangon lebih kecil dari ketentuan, dirumahkan tanpa upah, pengurangan jam kerja dengan pemotongan upah. Angka korban massal tersebut dimungkinkan karena terjadi pembiaran oleh negara. Alasan-alasan pengusaha telah cukup luas dibeberkan di media massa umum dan tidak perlu diperdalam lagi.

Di berbagai tempat kebijakan-kebijakan yang mengorbankan jutaan buruh tersebut ditempuh tanpa kesepakatan dengan serikat buruh. Di tempat lain serikat buruh turut menyepakati tindakan pengusaha. Namun, tidak diketahui dengan pasti, sejauhmana kesepakatan dengan pengusaha menempuh pendiskusian mendalam dengan anggota-anggota serikat buruh. Sementara ini, para buruh mengatakan bahwa mereka hanya menerima sosialisasi hasil keputusan, bahkan terdapat buruh yang sama sekali tidak mengetahui keputusan yang menyangkut dirinya tersebut.


1 Sumber utama tulisan ini adalah pengamatan dan serangkaian wawancara tidak terstruktur dengan para aktivis perburuhan, hasil-hasil penelitian lembaga lain yang berkenaan dengan wabah Covid-19 terhadap isu perburuhan, kliping berita media massa. Argumen dalam tulisan ini diperkuat dengan diskusi akhir tahun dengan tajuk: Refleksi Akhir Tahun: Adaptasi Penindasan Baru vs Adaptasi Perlawanan Baru, yang diselenggarakan pada 27, 28, 29 Desember 2021. Penulis berhutang budi dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh narasumber dan partisipan yang mengungkapkan berbagai persoalan dunia perburuhan.

[2] Sebagai bagian dari peneguhan hubungan kerja pengemudi Ojol dan aplikator merupakan hubungan perburuhan dan menolak menyosialisasikan istilah ‘mitra’, saya menambahkan istilah ‘buruh’ di depan kata pengemudi. Istilah Ojol berlaku pula untuk para pengirim barang di semua layanan aplikasi. Untuk argumen lebih lanjut mengenai keharusan menggunakan istilah buruh bagi pengemudi Ojol dapat dilihat di sini.

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane