MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Wadas dan Fikih Ruang Hidup


مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

“Barang siapa mengambil sejengkal saja tanah dengan zalim maka akan dikalungkan kepadanya tanah tersebut sebanyak tujuh lapis bumi di hari kiamat.”

(Hadis Riwayat Muslim)

Imam Nawawi, salah satu mujtahid tarjih di mazhab syafi’i, menjelaskan dalam al-Minhaj: Fi Syarh Shahih Muslim. Hadis tentang larangan mengambil tanah di atas menegaskan keharaman mencuri, merampas dan ancaman hukuman berat bagi pelakunya. Penetapan ancaman di ‘hari akhir’ menandai bahwa tindakan tersebut merupakan dosa besar dan terkutuk.

Dalam diskursus fikih pun akan ditemui batas-batas negara memperlakukan hak rakyat. Misalnya, seperti yang dikembangkan oleh Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqhu Al-Islam Wa Adillatuhu, negara hanya boleh mencampuri urusan sosial dan ekonomi rakyat dengan syarat untuk melindungi dan memajukan hak rakyat.

***

Memasuki minggu kedua Februari 2022, konflik di Desa Wadas meledak. Sekitar 60 warga Desa Wadas ditangkap aparat gabungan TNI dan Polri. Saat mereka menolak pengukuran tanah dan tanaman yang dilakukan oleh petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Pertanian. Lebih jauh warga menolak penambangan material untuk proyek pembangunan Bendungan Bener.

Antara 8-9 Februari 2022 media massa mainstream menyajikan berita, kronologi kejadian di Desa Wadas. Media sosial berikut story-story-nya diramaikan dengan foto dan video penggelandangan warga oleh aparat negara dan poster dukungan penolakan penambangan di desa Wadas.

Akhirnya, semua orang diingatkan dengan sebuah rencana besar negara. Negara sedang membuat Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo seluas 592,08 hektare. Rencana rakasasa tersebut dinamai Proyek Strategis Nasional (PSN). Desa Wadas adalah salah satu wilayah yang menjadi penunjang penyedia material proyek dimaksud.

Bendungan Bener merupakan satu dari 48 proyek pembangunan infrastruktur yang bersifat strategis secara nasional menurut Negara. Lainnya, sebanyak 201, berupa proyek kawasan industri terpadu, food estate, dan jalan tol.

Bendungan Bener dipegang oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Total investasinya mencapai Rp2,06 triliun yang bersumber dari APBN dan APBD. Penggarap proyek Bendungan Bener adalah PT Waskita Karya (persero) Tbk, PT Pembangunan Perumahan (persero) Tbk, dan PT Brantas Abipraya (persero). Rencana konstruksi proyek bendungan dimulai 2018 dan direncanakan selesai pada 2023.

Untuk mendukung pembangunan tersebut, dibutuhkan material yang harus ditambang dari lahan seluas 153,64 hektare di desa Wadas. Dengan perincian 145 hektar sebagai penambangan dan 8,64 hektare sebagai akses masuk lokasi tambang. Pembebasan lahan tersebut akan mengusir 1800 jiwa penduduk Desa Wadas.

Luas lahan dan jumlah penduduk bukan sekadar angka. Karena di ruang hidup tersebut, rakyat Wadas merencanakan dan mempertahankan hidup dengan mandiri. Mereka menanam aren, kelapa, kakao, cengkeh, kopi dan durian. Dari bambu, rakyat dapat membuat besek. Besek merupakan keranjang makanan untuk menyimpan dan membawa makanan. Bagi orang-orang yang hidup di kawasan industri, besek adalah percontohan dari tempat makanan yang unik, higienis dan ramah lingkungan.

Mengetahui Desa Wadas akan menjadi penunjang pembangunan bendungan yang menghancurkan ruang hidup mereka, rakyat Wadas menolak dan mengorganisasikan diri. Tepatnya, ketika dimulai pengeboran tanah sedalam 50 dan 75 meter, pada tahun 2015. Meski ditolak rakyat, aparat negara terus berupaya memaksakan kehendaknya dengan berbagai cara.

April 2021, ketika pemilik proyek hendak memasang patok trase dan bidang tanah, rakyat menutup akses jalan, rakyat tak mau kompromi soal ruang hidup mereka. Akibatnya, duabelas orang ditangkap dengan tuduhan sebagai provokator.

Sejak itu, aparat kepolisian dengan membawa senjata lengkap getol melakukan patroli di Desa Wadas.

***

Warga di Wadas telah melakukan langkah yang tepat. Karena sulit memastikan bahwa bendungan akan memiliki manfaat bagi masyarakat.  

Berkaca pada pembangunan waduk Jatiluhur di Purwakarta dan Jatigede di Sumedang.

Waduk Jatiluhur dibangun kontraktor asal Prancis Compagnie française d’entreprise, pada 1957. Waduk ini menenggelamkan 5.002 orang dari empat belas desa. Dijanjikan untuk menyediakan persediaan air di Jawa Barat.

Begitu pula dengan waduk Jatigede seluas 4.983 hektare, pada 2015. Jatigede menenggelamkan duapuluh desa dari empat kecamatan di Kabupaten Sumedang. Dijanjikan waduk Jatigede akan mengairi areal persawahan di Kabupaten Majalengka, Indramayu hingga Cirebon. Juga menyediakan pembangkit listrik tenaga air untuk menerangi Jawa-Bali.

Seperti di Jatiluhur, rakyat Jatigede kehilangan ruang hidupnya. Tidak lagi memilik lahan bertani dan tempat bermain. Janji mengairi sawah pun tidak ada. Karena lahan-lahan pertanian telah berubah jadi pabrik, sementara tarif dasar listrik terus mengalami kenaikan sesuai kehendak pasar.

Doktrin yang selalu digadang-gadang, ‘akan memberikan manfaat’ bagi masyarakat dan ‘membuka lapangan kerja’. Nyatanya, penikmat utama pasokan air tersebut adalah para pemilik pabrik. Dari pasokan pabrik tersebut, jumlah kekayaan para pemilik pabrik meroket. Sementara rakyat kesulitan mendapat pekerjaan. Sekalinya bekerja sekadar buruh kontrak. Ketika bekerja pun dibentak dan dihardik dengan upah sekadar buat makan tiga minggu. Sisanya, rakyat hanya kebagian air sungai tercemar, banjir tahunan, menjadi juru parkir, mengadu nasib sebagai Ojol atau bercita-cita jadi Youtuber.

Barangkali karena alasan itulah orang-orang Sunda memiliki umpatan dari kata waduk. Waduk adalah umpatan kasar yang berarti kotoran manusia atau perkataan bohong yang tidak perlu dipercaya.

***

Kesadaran penolakan warga Wadas berdasar. Di Wadas terdapat hutan lindung yang memasok oksigen dan menjaga ekosistem. Terdapat kawasan pertanian di mana rakyat dapat mempertahankan hidup. Tidak hanya itu. Terdapat duapuluh tujuh mata air, yang menopang kebutuhan sehari-hari seperti wudu, mandi, mencuci dan memasak. Tentu saja rakyat Wadas tidak rela berkah alam tersebut dirampas untuk proyek ambisius para pengumpul kekayaan.

Mereka tidak rela menjadi masyarakat yang bergantung pada uang, seperti di Jakarta, Bekasi, Bandung, dan daerah-daerah lain yang telah berubah menjadi kawasan industri. Karena untuk menikmati air bersih dan makan sesuap nasi saja harus pontang-panting bekerja selama lebih dari delapan jam di pabrik.  

Seandainya, penambangan di Wadas dan bendungan Bener terjadi, mereka tidak akan menyaksikan lagi kesejukan udara dan air jernih yang mengalir.

Rakyat Wadas sedang menempuh jalan yang tepat. Sebagaimana kata Imam Ghazali dalam al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, tugas mendesak manusia terdiri dari: (1) hifzuddin berartimemelihara agama termasuk di dalamnya memelihara ekosistem alam; (2) hifzunafs alias memelihara diri atau kehormatan, termasuk menjaga kehidupan; (3) hifzulaql atau memelihara akal sehat; (4) hifzulmal atawa memelihara sumber-sumber penghidupan termasuk hak atas pekerjaan yang layak; (5) hifzunasl yang berarti menjaga generasi. Seperti ungkapan populer yang dinisbatkan kepada Sayyidina Ali, “Kebaikan yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi.”