MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

‘Grebek Rumah Sakit’: Merebut Hak Atas Kesehatan[1]


Pengantar

Empur Purnama Sari, buruh perempuan di Sukabumi Jawa Barat ditagih Rp 6,4 juta setelah rawat inap sehari di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Syamsudin Sukabumi. Kata pihak rumah sakit, Empur cukup bayar Rp 5.147.671 karena sisanya ditanggung BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Empur melunasinya.

Karena terdaftar sebagai peserta asuransi swasta, Empur mengajukan klaim pengeluaran kesehatannya. Ternyata asuransi swasta menolak. Pihak asuransi mengatakan bahwa seluruh tagihan sudah ditanggung BPJS. Empur kaget dan bingung bercampur marah. Artinya, Empur membayar dua kali.

Empur melaporkan kejadian di atas ke pengurus serikat buruh. Serikat buruh bergerak cepat. Mereka mengumpulkan bukti, membuat kronologi kejadian dan menyusun langkah-langkah advokasi.

Pengurus serikat buruh mengajukan somasi ke RSUD Syamsudin dengan dugaan pemalsuan pembukuan. Bersama masyarakat sipil lainnya, serikat buruh melakukan audiensi dan demonstrasi di kantor BPJS, di DPRD Sukabumi dan melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Mereka menuntut RSUD mendapatkan sanksi pidana karena melakukan penipuan dengan modus dobel klaim. Sementara RSUD Syamsudin menyebut bahwa kasus tersebut merupakan kesalahan teknis administratif dan bersedia mengembalikan uang Empur. Begitulah.

Kisah lain dialami Acem, buruh perempuan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat. September 2016, anak kedua Acem, Abizar, mengalami gangguan anus. Bayi berumur tiga hari tersebut tak berhenti menangis. Perutnya mengembung. Kotoran dan angin dari perutnya tidak keluar.

Abizar segera dibawa ke RSUD Kabupaten Bekasi. Dokter RSUD menyarankan agar Abizar segera dioperasi. Untuk dioperasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sementara Abizar belum terdaftar sebagai peserta BPJS. Malangnya, hari tersebut libur. Kantor BPJS tutup. Kesulitan Acem bertumpuk. Acem baru mengetahui bahwa bayi mesti didaftarkan ke BPJS sejak dalam kandungan.

Melalui bantuan teman kerjanya, Acem dihubungkan ke serikat buruh. Serikat buruh mengonsolidasikan anggota dan jaringan serikat buruh serta menyebarkan informasi tentang Abizar melalui aplikasi pesan Whatsapp.

Acem ditemani serikat buruh mendatangi RSUD Bekasi, sore hari. Pengurus serikat buruh sudah berunding dengan manajemen rumah sakit. Awalnya pihak rumah sakit mengatakan bahwa kamar penuh. Kemudian berdalih tidak ada dokter. Beberapa kali serikat buruh menggebrak meja. Setelah berunding alot, akhirnya RSUD Bekasi bersedia menerima dan menangani Abizar tanpa dipungut biaya.

Di tempat lain, kasus-kasus serupa bermunculan. Tanpa mendapat pertolongan dan berakhir pilu. Sebut saja tiga kasus pada periode 2017.[2] Ada kasus Reny Wahyuni yang membutuhkan operasi caesar untuk kehamilannya. Tujuh rumah sakit yang ia temui di Kota Bekasi menolak dengan berbagai alasan. Rumah sakit ke delapan menerima Reny. Namun, bayi Reny tidak tertolong; meninggal setelah dilahirkan.

Di Kota Tangerang, Meisya Rahayu, bayi berusia 15 bulan meninggal setelah mengalami gangguan pernafasan akut. Empat rumah sakit menolak merawat Meisya dengan alasan tidak memiliki peralatan dan kamar penuh. Orangtua Meisya adalah buruh harian lepas, yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Begitu pula yang dialami Tiara Debora. Tiara Debora bayi berumur 4 bulan gagal ditangani dan meninggal setelah mengalami gangguan pernafasan. Pihak rumah sakit di Kalideres Kota Tangerang menolak melayani perawatan karena orangtua Debora tidak mampu membayar uang muka.

***

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial resmi beroperasi pada 2014. Seiring dengan hal tersebut, kasus-kasus yang berkaitan dengan BPJS bermunculan. Di antaranya peserta yang ditolak rumah sakit atau dimintai tagihan dengan alasan penyakitnya yang tidak ditanggung oleh BPJS.

Di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) muncul istilah ‘Grebek atau Gruduk Rumah Sakit’ sebagai respons terhadap pelaksanaan BPJS. Grebek Rumah Sakit adalah inisiatif dari anggota atau mantan anggota serikat buruh untuk mengadvokasi layanan kesehatan di rumah sakit.

Tulisan ini akan mendiskusi tiga bagian. Pertama, tentang masalah-masalah pelaksanaan BPJS. Kedua, mendiskusikan aktor-aktor pengorganisasian advokasi hak atas kesehatan. Bagian akhir akan merefleksikan hak atas kesehatan dalam konteks liberalisasi kesehatan.

Daftar Dulu, Dilayani Kemudian: Masalah-masalah Layanan Kesehatan

BPJS Kesehatan mulai beroperasi Januari 2014 dengan mengintegrasikan program asuransi kesehatan PT Askes (Asuransi Kesehatan), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dari PT Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) dan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat).

Tiga program lainnya dari Jamsostek, yaitu Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dialihkan dan diintegrasikan ke BPJS Ketenagakerjaan.

Sebelum 2014, layanan kesehatan dikelola secara terpisah.. PT Askes hanya melayani pemeliharaan kesehatan untuk pegawai negeri sipil. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan pekerja formal di perusahaan swasta ditangani oleh PT Jamsostek. Untuk warga tidak mampu, pemerintah pusat dan pemerindah daerah mengeluarkan program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) dan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah).

BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi pada 2015. BPJS Ketenagakerjaan menambah satu program lagi yaitu Jaminan Pensiun. Rencananya, pada 2029, PT Taspen (Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri)- lembaga yang mengelola tabungan dan pensiun pegawai negeri- dan PT Asabri (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)-lembaga yang mengelola asuransi kesehatan dan tabungan TNI/Polri serta para pegawai di Kementerian Pertahanan, akan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.

Sumber: Sucipto Kuncoro, Perbedaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Tersedia:
http://www.pasiensehat.com/2015/07/perbedaan-bpjs-kesehatan-dan-bpjs.html, diakses pada 20 Juli 2018

BPJS mendaku sebagai layanan kesehatan berbadan hukum publik yang tidak mencari keuntungan dan tidak membeda-bedakan pelayanan berdasar profesi pekerjaan. Para pendukung BPJS pun mendaku bahwa semua orang dilayani setara oleh BPJS.

BPJS Ketenagakerjaan menawarkan empat program dan berlaku untuk pekerja formal, pekerja mandiri, konstruksi dan migran. BPJS Kesehatan memberikan pelayanan berdasarkan tiga jenis kepesertaan. Yaitu peserta penerima upah, peserta bukan penerima upah atau pekerja mandiri, dan peserta penerima bantuan iuran.

BPJS Kesehatan menyaratkan jenis layanan kesehatan berjenjang. Setiap pemeriksaan kesehatan harus melalui fasilitas kesehatan terendah (Puskesmas dan Klinik) dan rujukan ke rumah sakit. Dalam kondisi darurat jenjang layanan kesehatan tersebut tidak berlaku. Syarat lainnya, layanan kesehatan dapat diberikan bagi fasilitas kesehatan dan rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS.  

Setahun pertama BPJS Kesehatan beroperasi, berbagai persoalan mengemuka. Persoalan pelaksanaan BPJS merentang dari pendaftaran pasien, jenis tanggung yang diberikan kepada pasien, hingga kapasitas lembaga dan tenaga medis untuk memberikan layanan kesehatan.

Masalah-masalah BPJS

Korban

Masalah

Pekerja

Perusahaan tidak mendaftarkan pekerja sebagai peserta BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan

Perusahaan memungut iuran dari pekerja tapi tidak disetorkan ke BPJS Kesehatan

Perusahaan menonaktifkan kepesertan pekerja dari BPJS Ketenagakerjaan ketika perusahaan memutus hubungan kerja padahal pemutusan hubungan kerja belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat

Perusahaan meminta pekerja mendaftar sebagai peserta mandiri di BPJS Kesehatan sehingga pekerja membayar sendiri iuran BPJS.

Pelayanan fasilitas kesehatan berjenjang menyulitkan pekerja mengakses layanan kesehatan setiap waktu dan setiap tempat. 

Umum

Pengelola BPJS Kesehatan mengeluh kekurangan dana karena hampir seluruh perawatan kesehatan dan kecelakaan dialokasikan dari BPJS Kesehatan. Sementara para pekerja ditarik iurannya untuk membiayai BPJS Ketenagkerjaan untuk program kecelakaan tidak terpakai.

Dua tahun pertama beroperasi, calon peserta BPJS Kesehatan mengalami kesulitan mendaftarkan diri karena harus mengantri lebih lama. 

Dobel bayar. Peserta BPJS Kesehatan tetap dipungut bayaran oleh rumah sakit dengan alasan tidak seluruh perawatan ditanggung BPJS. Rumah Sakit pun meminta reimburse dari BPJS.

Pihak rumah sakit tidak menerima pasien BPJS Kesehatan dengan alasan; kamar penuh, alat medis tidak tersedia, tidak ada dokter, rujukan dari fasilitas kesehatan tidak memadai.

Rumah sakit lebih mengutamakan pasien berbayar daripada pasien peserta BPJS Kesehatan.

Pada saat sakit belum terdaftar sebagai peserta, bahkan tidak memiliki syarat-syarat dasar pendaftaran seperti Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga sebagai syarat kepesertaan BPJS. 

Fasilitas kesehatan tingkat pertama atau rumah sakit pun tidak mengeluarkan surat rujukan untuk perawatan pasien lebih lanjut. Sementara pasien memerlukan perawatan lebih lanjut dari rumah sakit spesialis. 

Pasien BPJS Kesehatan diminta bayaran lagi dengan alasan membeli obat yang tidak ditanggung oleh BPJS atau membayar kamar di kelas lain dengan alasan kamar kepesertaan BPJS penuh. 

Pelayanan BPJS Kesehatan Kesehatan hanya menjangkau rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS. Rumah sakit-rumah sakit mitra BPJS memiliki tenaga medis dan peralatan memadai untuk merawat pasien. 

Pasien dan keluarganya mencari sendiri rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS dan dapat menangani penyakit tertentu. 

Sistem denda kepada peserta karena menunggak bayaran memperlambat layanan kesehatan. 

Sistem INA CBGs (Indonesia Case Based Groups) -yaitu sistem pembayaran paket berdasarkan perawatan dan diagnosis penyakit pasien-membatasi dokter melakukan tindakan medis.

 

Kepesertaan, pelayanan dan jumlah iuran BPJS berubah-ubah. Negara berambisi untuk mem-BPJSkan seluruh warga dan iuran BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan mengalami kenaikan. Sementara, model pelayanan terhadap pasien semakin diperketat dengan mempertimbangkan pembayaran iuran dan pembayaran denda keterlambatan membayar iuran. 

 

Iuran BPJS mengalami kenaikan sementara daftar penyakit yang ditanggung BPJS terus berkurang

Dari Grebek Rumah Sakit Menjadi Mem-BPJSkan Warga

Sehari setelah UU BPJS (Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) disahkan, pada 28 Oktober 2011. Para aktivis serikat buruh yang tergabung dalam KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial) mendeklarasikan BPJS Watch. BPJS Watch dimaksudkan mengawasi proses transformasi layanan kesehatan berjalan sesuai mandat undang-undang.

KAJS merupakan aliansi luas yang melibatkan serikat-serikat buruh dan masyarakat sipil lainnya, yang dibentuk pada Maret 2010. Dengan mengombinasikan pendekatan litigasi dan nonlitigasi, KAJS mendesak negara menyediakan jaminan sosial yang menyeluruh dengan mengesahkan Rancangan UU BPJS.[3] KAJS menilai bahwa Indonesia membutuhkan sistem jaminan sosial yang menyeluruh dan tanpa diskriminasi. Keterlibatan serikat buruh dalam isu nonindustrial, apalagi dengan pendekatan yang beragam merupakan perkembangan terbaru. Umumnya serikat buruh, apalagi dibesarkan semasa rezim Soeharto, kerap membatasi diri seputar undang-undang ketenagakerjaan.

Para aktivis KAJS menduga bahwa transformasi jaminan sosial menjadi BPJS tidak akan mudah. Beberapa indikasinya diperlihatkan dengan keengganan pemerintah mengesahkan RUU BPJS, kesulitan menentukan bentuk kelembagaan BPJS, dan jumlah dana yang cukup besar yang dimiliki oleh PT Askes, PT Jamsostek, PT Asabri dan PT Taspen.[4] Apalagi perubahan-perubahan turut mengubah badan hukum sebelumnya dari perseroan menjadi badan hukum publik nirlaba.

Setelah dideklarasikan, BPJS Watch mengujicobakan pemantauan di Bekasi Raya Jawa Barat dan Surabaya Jawa Timur. Pemilihan dua tempat tersebut berdasar pertimbangan keberadaan serikat buruh anggota BPJS Watch yang lebih terkonsolidasi ketimbang wilayah lain.

Menurut Amir Mahfuz, kasus yang pertama diadvokasi adalah pasien di Rumah Sakit Amanda.

Waktu itu salah seorang pasien kena biaya Rp 10 juta dari rumah sakit, kemudian kita advokasi dan berhasil: tidak perlu membayar. Advokasi ini awalnya cuma beberapa orang saja, lama kelamaan berkembang. Banyak orang yang terlibat.”[5]

Meski dideklarasikan akhir 2011, kiprah advokasi kesehatan mulai mengemuka di periode 2014 ketika BPJS Kesehatan mulai beroperasi. Di awal 2012 dan akhir 2013, perhatian serikat buruh di Bekasi Raya tersita pada kenaikan upah minimum 2012, perlawanan terhadap buruh kontrak dan outsourcing serta pelaksanaan Mogok Nasional I dan II. Di periode tersebut, BPJS Kesehatan pun tengah dipersiapkan dialihkan, sementara BPJS Watch lebih banyak melakukan kegiatan penguatan jaringan dan sosialisasi tentang bentuk baru jaminan sosial. 

Awalnya kita pakai jalur kayak buruh, pake gruduk. Di 2011-2013, ada grebek pabrik. Di tahun 2014 ada gruduk rumah sakit. Jadi yang sakit satu orang, yang nongkrongin bisa 25 orang.”[6]

Kasus-kasus yang berkaitan dengan layanan BPJS biasanya beredar melalui media sosial, terutama Facebook dan Whatsapp. Ada pula keluarga pasien yang melapor melalui anggota ke serikat buruh tingkat pabrik kemudian diadvokasi oleh para pengurus serikat buruh tingkat cabang. Serikat buruh tingkat cabang menyebar-ulang informasi melalui media sosial kepada relawan kesehatan.

Para relawan kesehatan datang beramai-ramai ke rumah sakit. Kemudian membagi diri. Sebagian dari relawan menjemput dan menemani pasien ke rumah sakit. Relawan kesehatan lainnya menemui dan bernegosiasi dengan manajemen rumah sakit. Sisanya, sejumlah relawan ‘bergerombol’ di parkiran atau di ruang pendaftaran rumah sakit. Jika negosiasi tidak kunjung berhasil ‘para gerombolan’ relawan ini akan menggebrak meja administrasi rumah sakit dan membuat kegaduhan.

Dulu, kalau sakit langsung dibawa ke rumah sakit. Mau punya BPJS atau tidak. Kita paksa (rumah sakit menerima pasien).”[7]

Kasus-kasus yang ditangani umumnya berkaitan dengan hak pasien mendapatkan perawatan, pelayanan yang memadai dan pemastian bahwa pasien tidak dipungut biaya. Ada kasus dobel bayar atau pasien diminta membayar sebagian biaya perawatan, relawan akan memastikan uang dikembalikan utuh dari rumah sakit ke pasien. Kasus dianggap selesai setelah pasien mendapatkan layanan kesehatan.

Awalnya, memang sekadar mengadvokasi. Selesai urusan!”[8]

Advokasi para relawan berlaku untuk semua pasien; pekerja maupun nonpekerja, peserta ataupun nonpeserta BPJS. Para relawan bekerja dengan menerobos birokrasi serikat buruh maupun birokrasi negara. Dalam metode Grebek Rumah Sakit, para relawan tampak tidak memiliki tujuan apapun selain membela hak pasien di hadapan rumah sakit.

Mengendalikan ‘Grebek Rumah Sakit’

Dalam perkembangannya, cara kerja relawan kesehatan berubah seiring dengan perubahan teknis pelayanan BPJS Kesehatan. Di antara perubahan peraturan BPJS Kesehatan adalah kenaikan iuran BPJS Kesehatan, layanan kesehatan rumah sakit disesuaikan dengan masa aktif kepesertaan. Selain itu, perubahan cara kerja para relawan pun berkaitan dengan jangkauan dan kebutuhan menangani kasus yang semakin banyak. Para relawan menyimpulkan bahwa cara kerja Grebek Rumah Sakit tidak efektif. 

Setelah berjalannya waktu memang berhasil, tapi tidak efisien. Karena rumah sakit juga belajar, BPJS dan peraturannya.”[9]

Awal-awal memang banyak yang terlibat tapi karena saking banyaknya kasus teman-teman ada yang capek. Lama-kelamaan banyak yang mengeluh karena capek dengan model Grebek Rumah Sakit.” [10]

Unsur utama grebek rumah sakit berkurang. Tidak ada lagi ‘gerombolan’ relawan di rumah sakit. Para aktivis relawan menyebutkan bahwa rumah sakit pun dapat diajak kerjasama.

Begitu pasien balik, kasus yang sama muncul dari keluarganya juga. Yang lain tidak mengerti. Akhirnya, telepon lagi. Kita kerja lagi. Itu gak efisien. Akhirnya kita minta perangkat desanya, RT/RW kita libatkan untuk mengurus administrasinya. Biar mereka juga tahu.”[11]

Secara umum terjadi perubahan advokasi. Para relawan kesehatan bekerja menggunakan jalur birokrasi serikat buruh atau birokrasi negara. Pelibatan serikat buruh tingkat pabrik maupun RT/RW di tingkat desa menjadi prosedur para relawan melakukan advokasi. Jika pasien belum terdaftar sebagai peserta maka didaftarkan terlebih dahulu. Jika peserta menunggak bayaran, tunggakan dibayar terlebih dahulu.

Ada juga contoh kasus pasien tidak memiliki BPJS dan daerahnya tidak mau mengeluarkan rekomendasi. Maka sakitnya “dimundurkan.”[12]

Dalam konteks yang lebih luas perubahan tersebut dipengaruhi oleh Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden 2014. Perbedaan dukungan Calon Presiden dan Wakil Presiden turut memengaruhi kerja-kerja aktor dalam BPJS Watch. Saat Pilpres, KSPI sebagai salah satu tulang punggung BPJS Watch menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sementara aktor lain yang berada dalam KAJS menyatakan dukungan kepada Joko Widodo-Jusuf Kalla. Perbedaan pilihan dukungan tersebut kemudian dipertajam dengan terbentuknya JamkesWatch. JamkesWatch dideklarasikan sebagai organisasi sayap KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia).

Di periode “Grebek Rumah Sakit” setiap relawan dapat bertindak tanpa batas wilayah dan lintas nama organisasi. Karena terdapat rebutan pengaruh untuk mendorong peserta BPJS dalam kontestan Pipres, hal tersebut berpengaruh terhadap kerja-kerja advokasi kesehatan. Selain itu, pembagian kerja yang dilembagakan dalam wilayah koordinasi kemudian mengalami penyempitan tugas per wilayah. Satu wilayah tertentu pada akhirnya tidak dapat lagi berperan di wilayah lain.

Salah satu unsur kekuatan “Grebek Rumah Sakit” adalah kemampuan menggunakan jaringan politik di BPJS, anggota dewan maupun partai politik. Dalam beberapa kasus, sumber daya politik tersebut sering dipergunakan untuk melemahkan manajemen rumah sakit. Tampaknya, para relawan gagal menyiasati bahwa sumber daya politik yang dipergunakan membutuhkan dukungan suara Pemilu.

Rupanya pelemahan yang paling berpengaruh adalah persoalan ‘menghidupi’ para relawan. Mereka terdiri dari terdiri dari para pengurus dan anggota serikat buruh serta mantan aktivis buruh. Mereka sekadar bekerja untuk mengadvokasi pasien untuk mendapatkan layanan rumah sakit, tetapi tidak mendapatkan kepastian untuk menghidupi kehidupan keluarganya.

Selain bersedia mengorbankan waktu, juga mengorbankan tenaga, pikiran bahkan materi. Karena tidak ada uangnya. Namanya juga relawan.”[13]

Kalau tidak punya jiwa sosial agak susah (jadi relawan). Kebanyakan kita yang modalin.”[14]

Setelah BPJS Watch dan JamkesWatch, muncul pula Relawan Rieke Dyah Pitaloka (RDP). Relawan RDP terdiri dari individu-individu yang memberikan dukungan kepada RDP sebagai politisi PDI-Perjuangan. Relawan RDP menyebut bahwa metode yang dipergunakan merupakan metode yang ‘elegan’. Relawan RDP tidak memiliki struktur kepengurusan yang jelas. Jumlahnya sekitar 300 orang yang tersebar di Bekasi, Karawang, dan Purwakarta.

Sementara BPJS Watch lebih banyak mengomentari kebijakan BPJS atau kesehatan tingkat nasional yang menyimpang dari peraturan perundangan. Relawan JamkesWatch menyebut langkah advokasinya sebagai SKA (sosialisasi, konsultasi dan advokasi). Sebagai sayap organisasi KSPI, relawan JamkesWatch teradministrasikan dan struktur kepengurusan dari atas sampai bawah. Jumlah relawan JamkesWatch Bekasi Raya sebanyak 211 orang. Dibagi menjadi tiga wilayah: utara, tengah dan selatan. Tiap wilayah dipimpin oleh seorang koordinator.

Di mana ada KSPI, di situ ada JamkesWatch. Kemungkinan ada 15 sampai 17 provinsi.” [15]

Untuk menambah jumlah relawan, dikenal pendidikan langsung. Relawan diuji coba untuk melakukan advokasi. Di JamkesWatch, calon relawan diajukan per wilayah yang direkomendasikan koordinator wilayah. Kemudian mendapatkan SK KTA (Surat Keterangan Kartu Tanda Anggota). Kebutuhan lain pengadministrasian relawan juga berkenaan dengan identitas relawan.

“Misalnya banyak kasus yang mengatasnamakan relawan untuk kepentingan pribadi.”

Relawan JamkesWatch maupun RDP menilai ‘grebek rumah sakit’ tidak lagi diperlukan. Kasus-kasus kesehatan dapat diselesaikan melalui komunikasi langsung dengan pihak rumah sakit maupun pemerintah daerah. Mereka memanfaatkan aplikasi Whatsapp untuk membuat grup khusus dengan rumah sakit, BPJS dan Pemerintah Daerah.

Apa saja langkah-langkah serta penangan pendampinganya?[16]

  1. Analisa kasus (data pasien, riwayat kesehatan dan pengobatan pasien)
  2. Memberikan informasi tentang hak dan kewajiban pasien
  3. Apabilan pasien adalah pekerja, pendampingan oleh relawan wajib melibatkan pengurus PUK (Pimpinan Unit Kerja) atau Pemberi Kerja/HRD dimana pasien bekerja.
  4. Apabila pasien adalah masyarakat umum wajib melibatkan RT/RW, di mana pasien berdomisili.
  5. Memastikan pasien dilayani dengan baik di fasilitas kesehatan
  6. Memantau perkembangan kesehatan dan pelayanan medis yang diterima oleh pasien fasilitas kesehatan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Meski mengalami perubahan cara kerja, basis advokasi kesehatan yang dilakukan oleh Relawan RDP maupun JamkesWatch berdasarkan pelaporan kasus. Upaya-upaya untuk mendekatkan diri dengan lapisan masyarakat luas adalah mengajak masyarakat menjadi peserta BPJS.

Kita datang ke rumah-rumah. Kadang datang ke RT/RW, kalau ada masyarakat gak mampu, tolong didaftar.”[17]

BPJS Watch, Relawan RDP dan JamkesWatch merupakan identitas lembaga. Bagaimana hubungan relawan dengan pasien?

Ada sebagian kecil keluarga korban yang berminat dan terlibat menjadi relawan, tapi kebanyakan hanya sampai selesai kasus saja. Kadang untuk mengucapkan permisi atau ucapan terima kasih pun tidak.”[18]

Juli 2018, Direktur Eksekutif Dewan Pimpinan Nasional JamkesWatch Iswan Abdullah menginstruksikan pengurus dan relawan JamkesWatch untuk mengajak masyarakat mendukung dan memilih calon legislatif dan calon presiden yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh KSPI pada pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2019. Secara teoretik, perintah wajib berlaku di organisasi-organisasi yang bersifat kesatuan (unitaris). Lagi pula, pengabdian relawan adalah kerja-kerja kemanusiaan; kerja tanpa pamrih. Ikatan antara relawan dengan pasien adalah menyelesaikan kasus. Hubungan relawan dengan organisasi yang menaunginya pun sebatas relawan. Jika kasus tidak ditempatkan dalam konteks media pendidikan dan pengorganisasian, akan sulit bagi organisasi untuk mendorong kesadaran dan praktik politik lebih maju.

Penutup

Saat itu, Abizar, bayi Acem yang dirawat di RSUD Kabupaten Bekasi tidak dioperasi karena harus menunggu usianya cukup. Menjelang setahun, Abizar mesti segera dioperasi. Ia pun sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Acem masih kebingungan; bagaimana caranya mendapatkan informasi dan teknis pelaksanaan operasi anaknya. Melalui teman kerjanya, Acem mendapat bantuan. Acem dihubungkan dengan sebuah komunitas yang menangani korban-korban ODHA (orang dengan HIV/AIDS), yaitu KDS (Komunitas Dukungan Sebaya).[19] KDS menempatkan sejumlah petugas di RSUD. Melalui petugas KDS itulah, Abizar mendapat jadwal operasi dan dokter yang akan menanganinya.

Sementara itu, kasus Empur Purnama Sari dihentikan. Kepolisian menyebutkan bahwa tidak cukup bukti untuk melanjutkan penyelidikan kasus. Tuntutan aliansi serikat buruh agar pengelola rumah sakit diproses melalui hukum pidana tidak terlaksana.

***

Penelitian ini menggarisbawahi dua hal. Pertama, isu kesehatan apalagi berhubungan dengan masyarakat umum merupakan hal yang baru bagi serikat buruh. Melalui isu kesehatan serikat buruh dapat terhubungan dengan kelompok marjinal lainnya.

Secara keseluruhan memang terdapat perkembangan metode kerja relawan yang disesuaikan dengan jumlah relawan. Informan-informan dalam penelitian ini menyebutkan bahwa salah satu sumber kesemerawutan layanan kesehatan adalah rumah sakit yang tidak mematuhi aturan dan regulasi kesehatan yang tidak utuh. Tampaknya, selain memperluas wilayah dan menambah keanggotaan relawan, penting untuk memikirkan menugaskan para relawan di rumah sakit-rumah sakit.

Kedua, advokasi kesehatan berhadapan dengan birokrasi dan superioritas tenaga medis rumah sakit yang komersil.

Sejak 2014, melalui BPJS, sistem layanan kesehatan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Berbeda dengan sistem layanan sosial BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang diawali dengan narasi inefisiensi manajemen, korupsi dan layanan yang buruk; perubahan layanan kesehatan diawali dengan diskursus mengenai layanan kesehatan yang bersifat universal dan gratis.

Di melalui media massa dan papan iklan, pemerintah tak henti-hentinya mengajak masyarakat agar menjadi peserta BPJS. Di masa mendatang, pemerintah mewajibkan seluruh lapisan masyarakat menjadi peserta BPJS Kesehatan.  Selain mem-BPJSkan warga, barangkali akan lebih bermanfaat membekali pula bahwa kesehatan merupakan hak dasar yang tidak dibatasi oleh kepesertaan dan iuran.


[1] Versi cetak tulisan ini diterbitkan oleh AMRC (Asia Monitor Resource Centre), 2020.

[2] Salim, Hanz Jimenez. 3 Kisah Pilu Bayi Meninggal Setelah Ditolak Rumah Sakit, 11 September 2017. Tersedia: https://www.liputan6.com/news/read/3090761/3-kisah-pilu-bayi-meninggal-setelah-ditolak-rumah-sakit, diakses pada 20 Desember 2018.

[3]     Lihat, Surya Tjandra. Sistem Jaminan Sosial Nasional: Langkah Besar Gerakan Buruh Meraih Kesejahteraan dan Keadilan Sosial, dalam, Kebangkitan Gerakan Buruh: Refleksi Era Reformasi. Editor: Jafar Suryomenggolo. Tangerang Selatan. Marjin Kiri. 2014.

[4]     Perdebatan mengenai bentuk kelembagaan jaminan sosial dapat dilihat dalam, Jurnal Kajian Perburuhan Sedane. Volume 11, No. 1, 2011.

[5]     Wawancara dengan Amir Mahfuz Deputi Sekjen Dewan Pengurus Nasional JamkesWatch, Amir Mahfuz dan Pengurus Bidang IV Jaminan Sosial di KC FSPMI Bekasi, Supriadi.

[6]     Wawancara dengan Relawan Rieke Dyah Pitaloka, Iswanto. 25 Agustus 2017.

[7]     Wawancara Iswanto, ibid.

[8]     Wawancara Iswanto, Ibid.

[9]     Wawancara Iswanto, Ibid.

[10]     Wawancara Amir dan Supriadi, Ibid.

[11]     Wawancara Iswanto, Ibid.

[12]     Wawancara Iswanto, Ibid.

[13]     Wawancara Amir dan Supriadi, Ibid.

[14]     Wawancara Iswanto, Ibid.

[15]     Wawancara dengan Korwil Relawan JamkesWatch Batam Suprapto, 16 November 2017

[16]     Supriadi-erte dan Tim. Buku Saku Relawan JamkesWatch. Bekasi. SPAI FSPMI Kab./Kota Bekasi. 2017

[17]     Wawancara dengan Suprapto, Ibid.

[18]     Wawancara dengan Amir Mahfuz dan Supriadi. Ibid.

[19]     Informasi mengenai peran dan fungsi KDS dapat dilihat di sini: Swasti Sempulur, Memperkuat Peran Kelompok Dukungan Sebaya bagi ODHA. Oktober 2016. Tersedia online:  http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/artikel/artikel-tematik/1567-memperkuat-peran-kelompok-dukungan-sebaya-bagi-odha, diakses pada 19 Juli 2018