MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Ketika Waktu Bercinta Dipisahkan Rezim Jam Kerja

SELEPAS HUJAN. Langit mulai menghitam. Sisa air menggenang di jalanan. Pohon dan daun seperti menggigil. Setelah menghabiskan secangkir teh dan beberapa gorengan di warung kopi, saya menyalakan kembali sepeda motor. Mengendarainya dari pusaran Kota Bogor menuju pinggiran Bogor.

Jalanan sepi. Tumben sekali saya tidak melihat kemacetan yang kadang membuat saya murka kepada kota ini. Pemandangan umum dalam pergantian hari adalah untaian kendaraan: sepeda motor, angkutan kota, mobil pribadi dan truk besar. Saling berebut ruas jalan. Menandai pergantian jam kerja dan pengiriman barang. Sepanjang jalan telinga saya dicekoki dengan suara lirik ‘Nasihat Yang Baik’ dari grup band Melancholic Bitch.

Saya khusu’ memegang stang sepeda motor. Dari jarak lima meter saya melihat dua muda-mudi berboncengan mesra di atas sepeda motor. Dari balik jaketnya tampak keduanya menggunakan seragam kerja. Seolah tidak peduli dengan sorotan mata di sekitar, mereka bercakap-cakap. Sesekali tertawa riang. Mengingatkan saya pada poster film Dilan. Di balik keceriaan tersebut terlihat sekilas raut wajah kelelahan.

Di zaman milenial hubungan perempuan dan laki-laki tampak lebih terbuka. Kemesraan di televisi, media sosial, bahkan di tempat umum tampaknya sudah dianggap lumrah oleh masyarakat. Kaum muda dari pelajar hingga para buruh muda. Jauh berbeda dengan zaman ibu dan bapak saya, yang menganggap hal tersebut bersifat tabu. Lagi pula di zaman bapak dan ibu saya pemilik sepeda motor dapat dihitung dengan jari.

Berboncengan dengan pasangan di atas sepeda motor memang pengalaman mengesankan: ketika helm beradu atau ketika berhenti karena lampu merah. Apalagi jika tiba-tiba di atas motor berantem, pasangan kita menggeser tempat duduknya ke belakang dan jalanan terasa sepi dan angker. Setidaknya, itulah yang dialami pula oleh beberapa kawan saya.

Kawan-kawan saya kelahiran 1990-an dan 2000-an. Beberapa dari mereka telah menjadi buruh. Mereka sangat menikmati proses mengantar dan menjemput pacarnya yang sama-sama bekerja. Entah di perusahaan yang sama atau berbeda. Jarak dan waktu mengantar-menjemput sangat berharga setelah seluruh energi dihabiskan untuk bekerja. Jarak dan waktu di atas sepeda motor itulah yang dapat melepaskan penat, lelah, kesal dan kadang kegembiraan. Inilah healing bagi kaum buruh. Mereka ini adalah buruh level operator dengan penghasilan alakadar upah minimum, bukan pemain trading yang mengisi waktu luang dengan membuat content media sosial

***

Ternyata saya sudah tiba di rumah. Setelah memarkir sepeda motor, saya rebahan. Beberapa menit kemudian teman saya, Rian, mengetuk pintu. Wajahnya murung. Ia baru saja menjemput dan mengantarkan pacarnya ke rumah orangtuanya.

Rian tidak pulang ke rumah orangtuanya. Malah mampir ke tempat tinggal saya. Tanpa basa-basi, Rian mengeluarkan sejumlah umpatan dan keluhan. Saya masih merebahkan badan. Rian menceritakan masa depan hubungan dengan pacarnya yang bernama Ayu.

Ayu bekerja sebagai kasir di minimarket di Kabupaten Bogor. Sedangkan Rian bekerja di pabrik manufaktur di kawasan industri Kabupaten Bogor. Keduanya memiliki waktu kerja yang mirip, yaitu 10 hingga 12 jam. Tapi waktu liburnya berbeda.

Menurut Rian, sudah tidak ada lagi waktu dan ruang untuk mereka benar-benar menghabiskan waktu berdua: menghabiskan waktu bersama, apalagi menua bersama. Karena ternyata waktu luangnya telah dirampas oleh jam kerja. Bukan lagi kota dan keyakinan yang memisahkan mereka tapi rezim pendisiplinan kerja.

Jika Ayu libur, Rian masuk kerja. Jika Rian libur, Ayu masuk kerja. Rian menghabiskan setiap malam minggu bersama kawan-kawannya, pacarnya masih bersiap-siap kerja. Kadang untuk dapat libur bersama harus memutar otak dan mencari celah waktu bersama. Untuk dapat memiliki waktu bersama seperti menjadi kriminal kecil yang sedang mencuri waktu.

Rian bekerja di pabrik. Manajemen menerapkan pola kerja tiga shift. Satu shift kerja harus melalui delapan jam per hari. Dalam seminggu diberi libur dua hari. Delapan jam kerja terhitung sejak buruh berada di pabrik. Namun jika dihitung total dari persiapan, perjalanan dan pulang, total yang dihabiskan 10 jam. Tentu saja manajemen tidak bersedia memerhitungkan waktu di luar pabrik. Mungkin dikira para buruh memiliki energi kuantum yang dapat menembus ruang dan waktu.

Di hari Sabtu, Rian kerap lembur. Rian menyebutnya lembur wajib, istilah yang disosialisasikan dari manajemen agar buruh tidak menolak lembur. Padahal sifat dasar lembur adalah sukarela sehingga tidak perlu ada embel-embel wajib. Jika ada lembur wajib mestinya ada lembur sunah atau makruh. Entahlah! Pastinya, dari istilah lembur wajib itu timbul konsekuensi; jika Rian tidak bersedia lembur akan mendapat hukuman dari atasan. Apalagi ikatan hubungan kerja Rian dengan pabrik hanyalah kontrak. Rian berkesimpulan: agar kontraknya diperpanjang, bahkan berharap diangkat menjadi buruh tetap ia harus mematuhi peraturan perusahaan. Terlebih lagi, ia masuk bekerja karena jasa dari pamannya. Orangtua Rian merasa berhutang budi kepada pamannya. Sehingga perlu mengungkapkan rasa terima kasih dalam bentuk sejumlah uang. Rian tidak mau mempermalukan dan mengecewakan keluarga jika diputus kontrak karena tidak patuh aturan perusahaan.

Rian panjang lebar bercerita. Kata Rian, untuk menikmati waktu berdua bersama pasangannya ia harus memanfaatkan sebaik mungkin prosesi mengantar dan menjemput Ayu. Waktu sempit itulah yang ia manfaatkan untuk berinteraksi langsung dengan pasangannya.

Berkebalikan dengan Rian, Ayu hampir setiap bekerja, bahkan weekend pun masih harus bekerja. Dalam waktu tiga bulan Ayu akan mendapat jatah libur weekend sekali atau dua kali. Di hari libur nasional, Idul Fitri, Idul Adha, Hari Buruh, Ayu bekerja seperti biasa. Karena di waktu itulah konsumen berbelanja. Jika sekali waktu temannya tidak masuk kerja, Ayu harus siap-siap menempuh longshift alias perpanjangan jam kerja otomatis.

Bekerja di hari libur memang diperhitungkan lembur. Sayangnya, buruh lain pun sering memanfaatkan hari libur tersebut untuk tidak masuk kerja. Sehingga berlibur di hari libur nasional hanya dapat dilakukan dengan bergantian. Model libur bergantian memang telah menjadi kebijakan manajemen. Barangkali agar perusahaan tidak terlalu banyak mengeluarkan budget membayar upah lembur. Tapi justru di masa libur tersebut pelayanan terhadap konsumen meningkat dua kali lipat. Sehingga pekerjaan serba sibuk. Manajemen malas merekrut buruh baru di waktu libur. Mungkin takut rugi.

Ketika libur, Ayu mengisi waktunya untuk memulihkan semua energi yang telah terkuras dengan beristirahat: tidur sepuasnya dan bermalas-malasan. Ia tidak dapat bertemu dengan kekasihnya karena waktu liburnya yang berbeda.

Rian bercerita. Sekali waktu Ayu menangis dengan sangat dalam di atas sepeda motor. Sementara Rian tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika itu Ayu merasa lelah dengan pekerjaannya. Ayu harus bekerja dari siang hingga malam. Ketika tiba waktu pulang, manajemen memerintahkan perpanjangan satu jam kerja tanpa diperhitungkan lembur. Biasanya disebut dengan ‘jam loyalitas’. Bentuk pekerjaannya berupa membereskan dan membersihkan. Katanya, tempat kerja harus tampak bersih dan rapih karena akan ada kunjungan dari pusat. Sekali lagi harus saya tekankan, buruh-buruh level bawah ini bukan berasal dari keluarga kaya dengan harta warisan melimpah. Jadi tidak perlu mengeluarkan kalimat intimidatif: kenapa gak keluar dan cari pekerjaan lain yang sesuai passion?!

Manajemen di tempat kerja Ayu menyebut kelebihan jam kerja tanpa upah dengan ‘jam loyalitas’. Secara harfiah loyalitas adalah kepatuhan, kesetiaan dan pengabdian. Loyalitas biasanya melekat dalam kerja sosial atau peribadahan yang memiliki nilai-nilai suci. Bukan mengeruk tenaga manusia untuk kekayaan perusahaan. Dalam sejarah manusia ‘loyalitas’ merupakan praktik khas perbudakan atau penjajahan.

Istilah ‘jam loyalitas’ diperkenalkan dan disosialisasi oleh manajemen melalui pertemuan-pertemuan formal, seperti briefing atau pelatihan. Kemudian diserap dan dilazimkan oleh para buruh sebagai bukti ‘kecintaan’ terhadap perusahaan.

Setiap bulan upah Ayu terpotong. Di tempat kerja Ayu ada yang disebut dengan sistem nilai selisih barang (NSB). Sistem ini diterapkan oleh pihak perusahaan dengan cara menghitung ketersediaan barang fisik, pasokan awal barang dikurangi jumlah toleransi kehilangan barang. Biasanya akan dilakukan stock opname. Jika hasil akhir stock opname ditemukan adanya selisih perhitungan barang, atau tidak sesuai dengan batas toleransi kehilangan maka seluruh buruh bertanggung jawab untuk menggantinya. Cara mengganti kehilangan barang dengan membayar dari upah yang diterima setiap bulan. Asumsi dasar perhitungan NSB bahwa barang pasti akan hilang. Sehingga setiap melakukan stock opname merupakan horror, karena pasti terjadi kehilangan barang, buruh harus menggantinya, upah dipotong dan setiap bulan hutang bertambah.

Jangan dikira bahwa kasir-kasir minimarket tidak memiliki target pekerjaan. Buruh kasir minimarket memiliki target PSM (promo spesial mingguan). Jika barang promo tidak laku maka para buruh-lah yang membeli barang-barang tersebut.

Para buruh ritel umumnya bertugas ganda. Perhatikan saja jika melayani konsumen para kasir tersebut akan berperan sebagai sales perusahaan: ‘Ada kartu member-nya, Kak?!’, ‘Isi pulsanya, Kak?!’, ‘Sekalian tebus murahnya, Kak?!’ Dalam logika dasar ekonomi pekerjaan kasir dan penawaran barang biasanya dikerjakan oleh orang yang berbeda. Karena dikerjakan oleh orang yang berbeda maka pengupahannya pun terpisah. Istilahnya spesialisasi pekerjaan demi mencapai kuantitas sebanyak mungkin. Tapi teori tersebut tampaknya banyak ditinggalkan di bidang ritel, seperti Ayu. Ayu sebagai kasir, penjual pulsa dan sales promotion. Dengan upah satu orang.

Sehari-hari, Ayu bekerja berhadapan dengan mesin kasir dan konsumen. Inilah situasi rentan. Meski outfit Ayu itu-itu aja, Ayu seringkali menerima perlakuan yang merendahkan: konsumen kerap memandangi bagian tubuh, ungkapan menggoda, rayuan hingga meminta nomor telepon. Tidak ada mekanisme pengaduan demi melindungi para buruh agar terbebas dari pelecehan seksual. Perusahaan pun lebih puas mengeluarkan budget membeli kamera CCTV atau cermin untuk mengawasi barang agar tidak hilang dan buruhnya bekerja dengan baik. Lagi pula dalam setiap pelatihan para buruh minimarket dituntut selalu ramah kepada pembeli, karena ‘pembeli adalah raja’. Padahal, Ayu bukan hamba sahaya dari raja.

Ketika pandemi Covid-19 melanda dan kebijakan lockdown diberlakukan, perusahaan ritel menggondol keuntungan berlipat. Pasalnya, hampir setiap orang berbelanja di minimarket ketimbang di pasar tradisional yang dianggap lebih berisiko. Lihat saja informasi di media massa. Sembilan bulan pertama 2021, laba Alfamart melambung 73,4 persen menjadi Rp1,13 triliun dibandingkan periode tahun sebelumnya. Emiten Alfamart, AMRT, pun melonjak 12,1 persen dari Rp56,4 triliun menjadi Rp63 triliun per September 2021. Semua keberhasilan lompatan keuntungan tersebut bukan sekadar hoki dari pandemi, tapi melalui proses perampasan waktu buruh. Tentu saja dari ‘jam loyalitas’, dari pemotongan upah nilai selisih barang dan ketidaktersediaan alat perlindungan kerja.

***

Mendengar cerita Rian dan Ayu memori saya terurai. Saya teringat ketika menjadi buruh magang kemudian buruh harian lepas di salah satu pabrik pembuat suku cadang mobil ternama di Tangerang. Begitu berharga waktu istirahat dan bersosialisasi, di kala itu. Setiap detik waktu saya diabadikan untuk melayani mesin produksi. Hampir setiap hari mendapat doktrin, “Kalau kamu kerja keras pasti sukses. Jika perusahaan maju maka buruh akan sejahtera”. Nyatanya, buruh bekerja keras, pemilik pabrik kaya raya. Pemilik pabrik menikmati setiap detik waktu dengan istirahat, bercengkrama dan healing kemana-mana. Sementara para buruh tak mampu lagi bercengkrama dan bercinta.