MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Buruh dan Kampung Halaman

Ilustrasi PLTU Batang ( LIPS/Document

Nama saya Raga Wicaksono. Berasal dari Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Saya anak pertama dari empat bersaudara. Saat usia saya 18 tahun, tepatnya setelah lulus dari Sekolah Teknik Menengah (STM), saya memutuskan untuk bekerja.


Keinginan saya sebenarnya bukan bekerja, melainkan melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah sebagaimana teman-teman se-tongkrongan saya di sekolah. Karena ekonomi keluarga tak seberuntung teman-teman saya, akhirnya saya memutuskan untuk bekerja. Dengan harapan, bisa meringankan beban kedua orangtua yang hanya bekerja sebagai petani palawija dari sepetak tanah warisan kakek.

Setelah berani memutuskan untuk bekerja, saya dihadapkan lagi dengan pilihan yang serba sulit. Apakah saya memilih bekerja di kampung atau bekerja merantau ke kota industri seperti Jakarta, Tangerang atau Bekasi.Sebetulnya saya bisa bekerja di Purbalingga. Di bengkel motor tempat saya praktik kerja sewaktu sekolah STM.

Pemilik bengkel sempat menawarkan kepada saya bekerja di sana. Namun pertimbangan saya waktu itu: upah bekerja di Purbalingga jauh lebih kecil dibandingkan dengan upah di kota industri. Apalagi usaha kecil semacam bengkel, biasanya belum bisa membayar upah sesuai upah minimum Purbalingga.

Pilihan lainnya menjadi petani, sebagaimana orangtua saya. Namun sawah yang kami punya kecil dan sudah digarap oleh orangtua. Apalagi saat itu penghasilan dari petani lagi tak baik. Gagal panen, harga anjlok, pupuk mahal, serta cuaca tak menentu membuat orangtua saya sering mengeluh dan tak menyarankan saya untuk bekerja sebagai petani.

Pilihan yang memungkinkan adalah merantau dan bekerja di pabrik. Sebagaimana banyak tetangga dan orang kampung saya bekerja di sana sebagai buruh pabrik. Hampir setiap keluarga di kampung saya, ada anggota keluarganya yang bekerja di wilayah industri di Jabodetabek. Yang paling berat bagi saya jika harus merantau adalah harus hidup jauh dari keluarga dan sanak famili. Apakah saya bisa?!

Setelah meminta pertimbangan kepada orangtua dan beberapa saudara yang pernah merantau, akhirnya saya memutuskan untuk merantau ke Bekasi. Kebetulan, di sana ada saudara yang sudah lama bekerja. Setidaknya saya bisa menumpang tinggal di rumahnya sementara sampai mendapatkan pekerjaan.
Dengan berbekal nomor telepon saudara dan uang secukupnya dari orangtua, saya berangkat ke Bekasi menggunakan bus malam. Saat itu adalah pengalaman pertama saya pergi ke luar Purbalingga sendirian. Untuk mengadu nasib. Perasaan sedih bercampur senang dan was-was membuat saya susah tidur selama di perjalanan.

Setiba di Bekasi, saya langsung mencari alamat kontrakan rumah saudara yang kebetulan tak jauh dari kawasan industri. Saya bertemu dengan saudara saya di sepetak rumah kontrakan. Pertemuan itu hanya sekitar 15 menit. Dia langsung bergegas ke pabrik dengan terburu-buru. Kedatangan saya membuat dia agak terlambat berangkat kerja karena menunggu dan memastikan saya tiba di kontrakannya dengan selamat. Sebelum berangkat dia menyuruh saya beristirahat dan menunjukan beberapa pabrik yang membuka lowongan kerja.

Singkat cerita, beberapa hari di Bekasi, saya selalu berkeliling ke kawasan industri untuk melamar pekerjaan. Saudara saya tidak bisa menemani saya karena dia sendiri hampir tak punya waktu. Dari pagi hingga menjelang Magrib dia selalu berada di pabrik, bahkan di hari Minggu dia pun tetap masuk kerja. Lembur.

Dengan bermodal nekat saya mendatangi pabrik satu per satu untuk memasukan lamaran. Pemandangan yang tak pernah saya jumpai: gedung-gedung besar dan luas berjejer rapi, tertutup, minim jendela, berpagar tinggi dan tampak sepi dari luar, kecuali beberapa Satpam yang berjaga atau ketika jam pergi dan pulang kerja. Sementara di dalam gedung, riuh suara mesin pabrik seperti gemuruh yang berkepanjangan.

Setiap hari dalam waktu seminggu saya selalu pergi dengan membawa tas berisi surat lamaran yang sudah saya siapkan dari kampung. Semua surat lamaran habis dan sudah dimasukan ke pabrik yang saya datangi. Satu-satunya yang bisa saya lakukan setelah hampir semua pabrik saya datangi adalah berdoa dengan penuh harap. Semoga dari sekian lamaran yang saya masukan ada pabrik yang menerima saya.

Hampir tiga minggu, tak ada kabar satu pun panggilan dari perusahaan. Saat itu saya hampir putus asa dan serasa ingin memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halaman.

Sebetulnya saudara saya dan beberapa orang kenalan saya di Bekasi sudah memberitahukan bahwa di Bekasi rekrutmen tenaga kerja banyak yang menggunakan jasa ‘calo’. Dengan membayar antara Rp500 ribu hingga Rp3 juta. Namun karena saya tak punya uang, yang bisa dilakukan adalah datang dan melamar langsung ke pabrik. Meskipun kemungkinannya kecil diterima, tapi hanya itu yang bisa dilakukan. Kepalang sudah di rantau. Mungkin inilah apa yang disebut dengan mengadu nasib. Mengharap suatu keberuntungan di antara ketidakmungkinan yang tinggi.

Di tengah rasa keputusasaan dan harapan, pada 29 Agustus 2019, handphone saya berdering di pagi hari. Begitu bahagianya saya ketika telepon tersebut dari salah satu staff HRD perusahaan yang saya masukan lamaran. Dalam percakapan telepon dia menyuruh saya untuk datang interview ke pabrik pada hari itu juga. Selepas menutup telepon saya langsung bergegas ke pabrik.

Beberapa proses seleksi saya lalui dari test IQ, kesehatan hingga wawancara dan akhirnya saya diterima sebagai pekerja kontrak. Dalam surat kontrak yang saya tandatangani, periode kontrak saya satu tahun, dengan upah UMK, selebihnya kontrak berisi tentang kewajiban dan sanksi jika saya tidak memenuhi kewajiban. Dua hari setelah dinyatakan diterima dan penandatanganan kontrak saya pun mulai bekerja sebagai operator mesin finishing yang memproduksi kemasan.

Hari demi hari tak terasa sudah sebulan saya bekerja. Setelah menerima upah pertama, saya pun memutuskan untuk mencari kontrakan yang lebih dekat dengan pabrik. Harapan bisa mengirim uang ke orangtua di kampung dari upah pertama, ternyata belum kesampaian. Sebab separuh upah saya digunakan untuk menyewa kontrakan dan membeli beberapa peralatan dan kebutuhan kontrakan. Sisanya, saya gunakan untuk makan setiap hari. Saya baru bisa mengirimkan uang ke orangtua di kampung setelah empat bulan saya bekerja, itu pun pengeluaran makan saya harus dikurangi. Jika tidak begitu mungkin saya tak akan pernah bisa membantu keuangan keluarga di kampung.

Pada enam bulan pertama bekerja saya belum merasakan bosan dengan aktivitas kerja di pabrik. Namun lambat laun karena aktivitas kerja di pabrik yang semakin berat membuat saya merasa cepat lelah, jenuh, bosan, dan merasa tegang. Satu-satunya keinginan setelah jam kerja selesai dan keluar dari pintu gerbang pabrik adalah segera sampai ke kontrakan dan tidur. Dari yang saya rasakan, saya memahami betapa lelah menjadi seorang buruh. Sampai-sampai tak punya aktivitas lain selain kerja, lelah dan tidur.

Hiburan satu-satunya adalah bermain futsal bersama teman sekerja. Itu pun dilakukan pada malam Minggu dan jika tidak disuruh lembur oleh atasan. Hari libur, seperti Minggu menjadi waktu yang ditunggu-tunggu untuk saya dan sebagian teman saya agar bisa beristirahat dan bermain futsal. Sebenarnya menolak untuk lembur itu bagian dari hak saya. Tapi karena status saya sebagai pekerja kontrak, saya tidak berani menolak. Jika muncul keinginan untuk menolak saya selalu teringat klausul sanksi-sanksi yang terdapat dalam kontrak kerja saya. Ancaman yang paling menakutkan saat itu adalah kontrak saya diputus atau dipecat karena menolak perintah atasan.

Dari pengalaman itu saya jadi ingat saudara saya ketika saya masih tinggal di kontrakannya. Ia hampir tak punya waktu untuk menemani saya, meskipun hanya sekedar ngobrol santai di taman kota atau sekedar mancing di kolam pemancingan berbayar di belakang pabrik. Satu-satunya waktu yang bisa santai adalah ketika malam hari. Itu pun tidak lebih dari dua jam. Begitulah yang saya rasakan dan saya saksikan dari saudara saya. Bekerja terus-menerus tanpa henti.

Bahkan pada saat kasus virus Covid-19 sedang tinggi-tingginya saya tetap bekerja. Walaupun perusahaan menerapkan protokol kesehatan di pabrik, namun tetap saja perasaan cemas selalu menghantui saya ketika bekerja yang membuat saya bekerja menjadi tidak nyaman.

Pandemi Covid-19 berlangsung selama dua tahun. Saya pun bertahan bekerja dengan segala keterpaksaan. Dua tahun bukan waktu yang pendek. Tak terasa saya pun sudah menandatangani kontrak kerja dua kali. Setelah kontrak pertama selesai, perusahaan memperpanjang kontrak saya selama setahun lagi. Saya beruntung, beberapa teman saya, kontraknya tidak diperpanjang oleh perusahaan.

Selama pandemi Covid-19 sudah dua lebaran saya tak bisa pulang mudik, karena kebijakan pemerintah tentang pembatasan gerak atau PPKM. Tahun ini kasus Covid-19 mulai surut, pemerintah mulai melonggarkan kebijakan PPKM dengan membolehkan mudik lebaran. Betapa senang dan gembira saya mendengarnya. Sejak kepergian saya dari kampung untuk merantau akhirnya saya bisa pulang ke kampung bertemu keluarga dan sanak famili dalam suasana Idulfitri.

Saat di kampung, saya seperti menemukan kembali kedamaian, yang tidak pernah ditemui selama merantau di Bekasi. Di kota industri, setiap hari saya hanya mendengar suara deru mesin, menghirup udara kotor, polusi udara dan minum air yang mungkin sudah terpapar zat kimia dari limbah pabrik. Sedangkan di kampung kelahiran, saya bisa memandang hijaunya sawah dan indahnya bukit dari belakang rumah, menghirup udara yang sejuk, dan minum air yang jernih dari sumbernya, serta dapat memancing ikan  secara gratis di sungai yang melintasi kampung saya. Kemewahan kampung ini membuat saya merasa ingin memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai buruh pabrik, menetap di kampung dan melanjutkan pekerjaan mulia sebagai petani.