Dari 12 pabrik, seluruhnya telah berdiri serikat buruh; 7 pabrik telah memiliki PKB (Perjanjian Kerja Bersama), 5 pabrik lainnya masih menggunakan PP (Peraturan Perusahaan). Dari seluruh PKB, lima pabrik tidak memiliki kebijakan khusus yang melarang kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja.
Secara umum, perusahaan mencantumkan tentang larangan melakukan kekerasan dan pelecehan seksual dalam PKB atau PP sebagai bentuk kepatuhan teradap kode etik pemilik merek atau karena mendapat tekanan dari serikat buruh tingkat pabrik. PKB dan PP tersebut kemudian disebarluaskan kepada para pekerja. Dalam peraturan PKB dan PP tercantum mengenai mekanisme pengaduan dan penyelesaian masalah yang merujuk pada peraturan perundangan di tingkat nasional. Mekanisme penyelesaian kasus bersifat berjenjang dari bipartit, mediasi hingga pengadilan hubungan industrial, yang diperantarai oleh serikat buruh. Ada pula pabrik yang menyediakan call center atau kotak saran yang dikelola oleh manajemen pabrik atau bidang complaint yang mewakili brand di pabrik.
Seluruh pabrik dalam penelitian ini telah berdiri serikat buruh. Dari total responden sebanyak 141 orang, sebanyak 85,82 persen merupakan anggota serikat buruh, termasuk di dalamnya 12 pengurus serikat buruh dan sisanya bukan anggota serikat. Sebanyak 82,27 persen responden perempuan dan 17,73 persen laki-laki.
Dari total responden, sebanyak 91,49 persen masih bekerja, 2,84 persen atau 4 orang telah dipecat, 4,96 persen atau 7 orang dalam proses pemecatan atau dirumahkan. Dari total responden yang bekerja 69,50 persen bekerja sebagai operator. Menyusul supervisor sebanyak 4,26 persen, staff manajemen 3,55 persen.
Secara hubungan kerja, sebanyak 90,78 persen berstatus tetap. 63,8 persen kontrak dan 1,42 persen dengan status lainnya. Status lainnya berarti harian atau borongan.
Rata-rata responden berusia 29 tahun, dengan usia tertua 52 tahun dan termuda 18 tahun. Pabrik-pabrik di wilayah lama mempekerjakan buruh berusia 27 tahun sampai 46 tahun. Sementara pabrik baru rata-rata mempekerjakan buruh berusia muda antara 21 sampai 24 tahun. Artinya, di wilayah baru perusahaan merekrut buruh yang lebih muda.
Sebanyak 60,28 persen atau 85 orang berasal dari daerah yang sama dengan lokasi pabrik. Sebanyak 39,01 persen berasal dari daerah luar kota dan kabupaten. Kebanyakan pabrik yang beroperasi di wilayah lama mempekerjakan buruh berasal dari luar daerah, bahkan luar provinsi. Sedangkan pabrik-pabrik di wilayah baru mempekerjakan buruh dari wilayah sekitar pabrik beroperasi, masih dalam kabupaten dan provinsi yang sama.
Sebanyak 85,11 persen responden menyebut melamar langsung ke tempat kerja, ada pula yang melamar melalui Pemerintah Lokal/Kepala Desa/Karang Taruna/Pejabat Pemerintahan (9,33 persen), membayar (3,55 persen) dan melamar melalui yayasan (0,71 persen).
Sebanyak 62,41 persen responden telah atau pernah menikah dan 34,75 persen belum menikah. Dari total responden yang sudah menikah, sebanyak 25,53 persen memiliki satu anak, 24,82 persen memiliki dua anak, 4,96 persen memiliki tiga anak, 1,42 persen memiliki empat anak dan 11,35 persen tidak memiliki anak.
Namun, kebudayaan di Pulau Jawa, orang yang telah bekerja kerap memiliki tanggung jawab lebih besar. Orang yang telah bekerja tidak sekadar menanggung keluarga inti, ia juga menanggung saudara lainnya, baik kepada adik atau orangtua yang telah lanjut usia. Sebanyak 28,37 persen memiliki tanggungan lebih dari 4 orang, 26,95 persen memiliki tanggungan sebanyak 3 orang, 24,11 persen menanggung 2 orang, dan 12,06 persen memiliki satu tanggungan.
Rata-rata responden bekerja shift per minggu. dengan jam kerja per harinya 7 atau 8 jam kerja. Namun harus mencapai target pekerjaan di setiap line setiap hari dalam satuan pieces, lusin atau boks. Jumlah target produksi di setiap pabrik bervariasi dari 10 pieces hingga 960 pieces. Sebanyak 65,25 persen menyebutkan bahwa mereka tidak mendapat bonus ketika menyelesaikan target pekerjaan, hanya 14,89 persen menyebut mendapat bonus ketika mencapai target pekerjaan. Secara tersebar dan konsisten para responden menyebutkan bahwa target produksi cenderung naik setiap bulan bahkan setiap minggu. Kecenderungan tersebut kerap beriringan dengan perubahan desain produksi yang memaksa perubahan cara kerja.
Temuan Praktik Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender
Tiga Jenis dan Bentuk Kekerasan dan Pelecehan
Dari 141 responden sebanyak 86 persen memberikan keterangan mengenai pengalaman dan kesaksian kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Rata-rata buruh mengalami tiga jenis kekerasan, yaitu kekerasan fisik, lisan dan jenis kekerasan lainnya (39 persen), kekerasan fisik dan lisan (19 persen), Kekerasan lisan (13 persen), kekerasan lisan dan kekerasan lainnya (7 persen). Dari sini menunjukkan bahwa dari satu peristiwa kekerasan dapat mengalalmi atau menyaksikan tiga bentuk kekerasan.
Grafik 1. Tiga Bentuk Kekerasan dan Pelecehan terhadap Perempuan
Jenis kekerasan paling banyak adalah kekerasan lisan sebanyak 78 persen dari total. Kekerasan lisan dalam bentuk diteriaki, dipanggil kasar, menghinakan atau diancam, kencan, dirayu, dikirim pesan bernada seksual melalui media sosial atau telepon genggam. Diikuti oleh kekerasan fisik sebanyak 52 persen dalam bentuk dipukul, ditendang, dijambak, dilempar, ditunjuk dengan jari. Kemudian sebanyak 32 persen jenis kekerasan lainnya berupa disentuh, dipeluk, diintip, ditepuk pantat dan dijepret/ditarik tali BH. Sisanya menjawab kekerasan lainnya dalam bentuk penghukuman: hukuman fisik (berbaris, berjemur), penambahan target produksi atau jam kerja dan menahan cuti melahirkan dan haid.
Perluasan dan Peningkatan Kekerasan dan Pelecehan
Di wilayah lama, bentuk kekerasan paling menonjol adalah kekerasan fisik, kekerasan lisan dan kekerasan lainnya (37,50 persen). Begitu pula di wilayah baru dengan bentuk kekerasan fisik, lisan dan kekerasan lainnya (42,22 persen). Jenis-jenis kekerasan di wilayah baru memiliki kesamaan dengan wilayah lama dan cenderung lebih tinggi.
Bentuk-bentuk kekerasan dan pelecehan yang bersifat fisik dan lisan di industri baru
memiliki kesamaan di industri lama. Manajemen menggunakan mekanisme kekerasan yang sama di industri baru, seperti dilakukan di industri lama. Mekanisme tersebut berkaitan dengan kepentingan mempertahankan jumlah dan kualitas produksi agar tetap sama bahkan lebih baik dari wilayah lama.
Selama pandemi Covid-19 para responden tetap bekerja tanpa perlindungan memadai, mengalami gilir kerja dengan pengurangan upah dan tunjangan, atau dirumahkan. Sebanyak 51,16 persen menyebut bekerja normal saat Covid-19, hanya 12 persen buruh mengatakan biaya tes reaksi ditanggung perusahaan, 79 persen mengatakan bahwa perusahaan menyedia sarana protokol kesehatan, hanya 31 persen mengatakan bahwa perusahaan memberikan multivitamin dan tambahan gizi selama bekerja.
Seandainya buruh tidak bekerja bukan karena melindungi kesehatan buruh tapi karena pemesanan barang menurun atau mendapat teguran pemerintah. Tindakan pengusaha ketika penurunan order dari buyer berupa pengurangan jam kerja dengan upah dibayar 50 persen dari UMK dan pemotongan tunjangan kehadiran dan cuti tahunan, dirumahkan dengan pembayaran upah yang dicicil, pemutusan kontrak (26 persen) dan 33 persen buruh yang putus kontrak tidak dibayar sisa kontraknya, dipecat (14 persen) dengan kompensasi tidak sesuai aturan (20 persen), dirumahkan (45 persen) dengan 62 persen upahnya tidak dibayar penuh dengan 33 persen THR tidak tepat waktu. Respons-respons tersebut tidak dimusyawarahkan dengan serikat buruh atau buruh (11 persen), bahkan 20 persen mengatakan tidak tahu-menahu tentang kebijakan tersebut.
Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender Bersifat Struktural
Memperhatikan waktu, tempat dan pelaku kekerasan dan pelecehan berbasis gender berkaitan dengan kepentingan mempertahankan ‘relasi kuasa’ yang tidak seimbang dan akumulasi keuntungan.
Sebanyak 81 persen menyebut waktu kekerasan dan pelecehan dengan 50 persen menyebutkan bahwa peristiwa kekerasan terjadi pada saat jam kerja, 9 persen menyebut kekerasan saat masuk kerja, 8 persen menyebut saat target terpenuhi. Jenis-jenis dan bentuk kekerasan tersebut dilakukan agar memenuhi target. Jika target tidak terpenuhi akan mendapat ganjaran kekerasan lagi, berupa ancaman penambahan target produksi, ancaman pemecatan dan mutasi. Jika target tercapai pun tidak diberikan bonus. Sebanyak 73 persen menyebut bahwa lokasi kekerasan terjadi di area kerja, 4 persen terjadi di area kerja dan area parkir.
Di wilayah lama kekerasan lebih banyak terjadi di area kerja (67,71 persen), kemudian terjadi di area kerja dan di lapangan parkir (5,21 persen). Sementara di wilayah baru tempat terjadinya kekerasan di area kerja lebih tinggi (84,44 persen).
Bentuk dan jenis kekerasan di wilayah lama maupun baru terjadi pada saat jam kerja. Masing-masing 41,67 persen dan 68 persen. Urutan selanjutnya waktu kekerasan di wilayah lama terjadi pada saat masuk kerja (13,54 persen). Sedangkan di wilayah lama pada saat target tidak terpenuhi.
Dengan melihat perbandingan tersebut dapat ditafsirkan; jika di wilayah lama buruh mengalami kekerasan secara terus menerus agar mematuhi disiplin target produksi, sementara di wilayah baru buruh mengalami kekerasan agar dapat mencapai target produksi. Hal tersebut menjelaskan angka jenis kekerasan lisan di wilayah baru lebih tinggi dibanding wilayah lama.
Grafik 2. Waktu Kekerasan dan Pelecehan terhadap Perempuan
Grafik 3. Lokasi Kekerasan dan Pelecehan terhadap Perempuan
Responden mengungkapkan rata-rata kekerasan dilakukan oleh supervisor (29 persen), teman kerja (12 persen), Atasan Langsung (10 persen), personalia dan petugas keamanan (6 persen). Penelitian ini pun mengungkapkan bahwa pelaku kekerasan dapat dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Begitu pula penyintas kekerasan dan pelecehan dapat dialami oleh perempuan atau laki-laki.
Grafik 4. Pelaku Kekerasan dan Pelecehan terhadap Perempuan
Perlawanan terhadap Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender
Ketika peristiwa kekerasan menimpa buruh, sebanyak 43 persen bersikap diam, bahkan cenderung tidak memberikan jawaban sebanyak 40 persen. Namun terdapat buruh yang melawan (12 persen). Rupa-rupa perlawanan diperlihatkan dengan membalas teriakan, pura-pura bernyanyi dan melapor ke serikat buruh. Rata-rata yang dilaporkan adalah tindakan kekerasan fisik dan lisan. Perkembangan laporan terkadang tidak ada penyelesaian; atau jika diselesaikan dengan cara musyawarah dan persoalan dianggap selesai; atau pelaku mendapat sanksi. Sanksi terhadap pelaku 58 persen. Sebanyak 18 persen responden merasa tidak mengetahui sanksi terhadap pelaku kekerasan, 10 persen pelaku mendapat sanksi berupa dikeluarkan dari pekerjaan.
Ketika buruh mendapat kekerasan atau pelecehan bersikap diam. Sebanyak 16 persen menyatakan tidak melapor atau melawan karena merasa takut. Jenis-jenis ketakutannya karena berhubungan dengan pekerjaan atau karena yang dihadapi adalah Atasannya.
Kemudian, sebanyak 9 persen menganggap tindakan kekerasan sebagai kejadian wajar, percuma melakukan perlawanan, atau dipersepsikan ‘bercanda’. Diam sebagai bagian dari mekanisme mempertahankan pekerjaan. Namun tindakan kekerasan dan pelecehan berbasis gender akan menjadi bahan obrolan sesama penyintas di satu lini produksi.
Ketidakefektifan Peraturan Pencegahan Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender di Tempat Kerja
Kode etik para pemilik merek semuanya menyaratkan para pemasok melarang tindakan kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja dan mematuhi hukum nasional. Dalam kode etik pun dinyatakan bahwa para pemasok harus menghormati dan melindungi hak dan martabat para buruh (Lampiran Kode Etik Pemilik Merek).
Under Armour, Adidas, Converse, Reeboks, TNF (FV), Eastpak, Nike, GAP, Polo Lauren, Volcom, Champion, Asics, New Balance, OshKosh, Carter’s, ZARA (Inditex), Uniqlo (Fast Retailing), Timberland, Tommy Hilfiger (PVH), Calvin Klein (PVH), Kohl’s, O’Neill memiliki kode etik yang diumumkan melalui laman website dalam bahasa Inggris.
Merek-merek seperti GAP, Adidas dan Nike, menyediakan kode etik berbahasa Indonesia. Kode etik tersebut ditempel di papan pengumuman di pabrik. Merek lainnya, seperti Polo dan TNF, tidak menerjemahkan kode etiknya apalagi menempelkan kode etiknya di pabrik pemasok. Untuk memantau pelaksanaan kode etik tersebut disediakan kotak pengaduan, hotline pengaduan, bidang complaint yang mewakili merek tertentu.
Dari 12 pabrik, 7 pabrik memiliki PKB (Perjanjian Kerja Bersama), 5 pabrik menggunakan PP (Peraturan Perusahaan). Dari seluruh PKB, lima pabrik tidak memiliki kebijakan khusus yang melarang kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja.
Perusahaan yang mencantumkan tentang larangan melakukan kekerasan dan pelecehan seksual dalam PKB atau peraturan perusahaan di antaranya: PT Ricky Putra Globalindo, PT Kahoindah Citragarment I, PT Pungkook One Indonesia Grobogan, PT Taitat Putra Rejeki. PKB dan PP tersebut kemudian disebarluaskan kepada para pekerja.
Rata-rata isi PKB dan PP mendefinisikan pencegahan dan larangan kekerasan berbasis gender beserta jenis sanksinya. Namun, tidak menyediakan mekanisme pengaduan yang memadai, seperti jaminan keamanan, kerahasiaan dan rehabilitasi bagi pelapor. Secara rinci tergambar bahwa definisi pencegahan kekerasan dan pelecehan berbasis gender merujuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KHUP), yang lebih banyak mendisiplinkan buruh ketimbang menjamin keamanan bekerja.
Simpulan
Pertama: Di wilayah lama maupun baru, perusahaan-perusahaan pemasok pakaian jadi merek internasional memiliki karakter yang sama, yakni bergantung pada bahan baku internasional dan jenis produksi yang berdasarkan order dan kualitas barang internasional. Hal ini ditambah dengan pembagian kerja dalam rantai pasok yang semakin spesifik. Maka, terdapat kesamaan cara bekerja yakni menuntut pemenuhan target dengan menghindari sekecil mungkin kegagalan produksi. Karakter industri ini menyaratkan pengawasan yang ketat yang bersifat harian. Karena itu, untuk mencapai target dan kualitas produksi, terjadi kekerasan dan pelecehan harian yang dialami buruh-buruh di tingkat operator. Para pelaku kekerasan dan pelecehan adalah supervisor dan atasan dalam struktur produksi atau menempati posisi lebih tinggi dalam struktur sosial, yang diwakili oleh jenis kelamin laki-laki.
Situasi patriarki, kekuasaan manajemen dan ‘nuansa serikat buruh’ tidak ramah perempuan mendorong perempuan ‘lebih banyak diam’ menghadapi kekerasan dan pelecehan. Pilihan diam merupakan jalan terbaik agar terhindar dari peningkatan bentuk kekerasan lainnya.
Kedua: Di wilayah baru dan di masa pandemi Covid-19 terjadi peningkatan kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Jenis dan bentuk kekerasan dan pelecehan terhadap buruh perempuan di wilayah baru memiliki kesamaan dengan di industri lama, bahkan cenderung lebih tinggi. Terdapat kecenderungan peningkatan jenis dan bentuk kekerasan di wilayah industri baru karena menjaga pemenuhan target produksi seperti pencapaian target produksi di wilayah industri lama. Sebagai gambaran jika di wilayah lama buruh dapat mencapai target produksi 3000 pieces kaos per hari maka buruh di wilayah baru akan dipaksa mencapai target yang sama.
Ketika terjadi pandemi Covid-19, kekerasan terhadap buruh mengalami peningkatan kekerasan dalam bentuk pemotongan upah, pemotongan cuti, kompensasi yang tidak dibayar dan tunjangan hari raya yang dicicil. Karena industri garmen mayoritas perempuan maka korban utama kebijakan Covid-19 menyengsarakan perempuan.
Ketiga: Kekerasan dan pelecehan berbasis gender terjadi di ruang spesifik. Peraturan pencegahan kekerasan dan pelecehan berbasis gender di tempat kerja berupa CoC, PKB, PP plang ‘kawasan bebas pelecehan seksual’ tidak dapat mengurangi tingkat kekerasan karena gagal ‘melindungi keamanan dan menguatkan penyintas’ alih-alih mengalami kepincangan konseptual dan praktis.
Secara teknis peraturan pencegahan kekerasan di tempat kerja menghadapkan penyintas dengan pelaku: “Korban melapor kepada atasan, atasannya adalah pelaku kekerasan”. Praktik kekerasan terjadi di ruang yang sangat spesifik, yaitu di bagian tertentu lini produksi. Lebih jauh, upaya-upaya pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual tidak melibatkan buruh operator sebagai pihak yang sehari-hari menghadapi bentuk-bentuk kekerasan dan pelecehan.
Rekomendasi
Pertama: Membentuk dan memperkuat lingkaran perempuan di tingkat lini produksi dan di tempat tinggal. Penelitian ini memperlihatkan penyintas kekerasan dan pelecehan menggunakan mekanisme harian untuk melawan kekerasan dan pelecehan yang berbasis gender. Kejadian-kejadian kekerasan dan pelecehan menjadi bahan obrolan di tempat kerja di area kerja dan di tempat tinggal. Karena itu, perlu membentuk lingkar belajar perempuan di tingkat lini produksi.
Penelitian ini memperlihatkan meski terdapat peraturan yang melarang kekerasan dan pelecehan berbasis gender, tapi praktik kekerasan berbasis gender tetap tinggi. Hal ini menandai perlunya peningkatan kapasitas serikat buruh untuk merespons isu-isu kekerasan di tingkat lini produksi. Selain itu, perumusan masalah kekerasan dan pelecehan berbasis gender perlu melibatkan anggota perempuan lebih luas. Agar masalah tersebut tidak sekadar dipahami oleh pengurus. Beberapa opsi yang dapat ditempuh adalah memperkuat peer group perempuan di lini produksi, memperbanyak media yang dapat menghubungkan perempuan dengan serikat buruh, termasuk kemungkinan mengadukan kekerasan dan pelecehan seksual berbasis gender dengan anonim, membentuk tim investigasi kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Kedua: Menyusun strategi ‘serikat buruh ramah perempuan’. Satu kemajuan penting dalam penelitian ini adalah adanya pasal-pasal larangan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Penelitian ini menemukan bahwa para buruh perempuan memiliki kesadaran untuk mengadukan persoalan ke pengurus serikat buruh. Artinya, para buruh menaruh harapan bahwa serikat buruh dapat menyelesaikan persoalan. Selama penelitian ini berlangsung, 90 persen pengurus serikat buruh adalah laki-laki. Serikat buruh pun tidak memiliki program khusus untuk memperkuat kesadaran perempuan.
Ketiga: Penguatan perspektif tentang kekerasan dan pelecehan terhadap buruh perempuan bagi serikat buruh tingkat pabrik. Terdapat kesan kuat bahwa para pengurus serikat buruh menganggap peristiwa kekerasan dan pelecehan sebagai peristiwa personal yang tidak memiliki kaitan dengan kepentingan akumulasi keuntungan dan menegakan supremasi patriarki. Sehingga peristiwa kekerasan dianggap sebagai hal yang wajar dari sistem produksi di tempat kerja atau diselesaikan secara personal jika dianggap sebagai ‘sudah keterlaluan’. Para pemimpin serikat buruh mendefinisikan ‘keterlaluan’ jika terdapat tindakan fisik berupa pemukulan. Sedangkan kekerasan dan pelecehan yang berbentuk pelemparan bahan baku, dibentak dan dirayu, sebagai bagian dari sistem kerja di pabrik pakaian jadi.
Keempat: Pelibatan anggota dalam penyusunan klausul pencegahan kekerasan dan pelecehan dalam PKB. Klausul pencegahan kekerasan dan pelecehan berbasis gender dalam PKB dirumuskan melalui proses yang tidak melibatkan anggota atau buruh secara umum. Hal ini diperlihatkan ketiadaan mekanisme pengaduan yang komprehensif. Peraturan tingkat perusahaan mendefinisikan pengertian dan bentuk kekerasan dengan lengkap tapi tidak disertai dengan mekanisme pengaduan, sosialisasi dan pendidikan. Ada pula peraturan tingkat perusahaan yang disertai dengan mekanisme pengaduan, sosialiasi dan pendidikan tapi mendefinisikan kekerasan secara parsial, bahkan memaknai kekerasan sebagai peristiwa individual. Para buruh sekadar mendapat sosialisasi dari PKB anti-BGVH, bahkan tidak mengetahui detil pasal tersebut.
Secara tersebar, responden pun mengungkapkan pemaknaan kekerasan berbasis gender merujuk pada pasal-pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Penelitian ini memperlihatkan bahwa peraturan pencegahan kekerasan berbasis gender memunculkan kembali Pasal Kesalahan Berat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Hal tersebut merupakan kesalahan fatal. Pasal Kesalahan Berat merupakan pasal yang telah dicabut kekuatan hukumnya atas permintaan serikat buruh tingkat nasional ke Mahkamah Konstitusi, pada 2005. ‘Pasal Kesalahan Berat’ karena melanggar prinsip pembuktian, asas praduga tak bersalah dan kesamaan hak di depan hukum.[14] Pasal Kesalahan Berat merupakan mekanisme pendisiplinan manajemen terhadap buruh agar dapat memecat tanpa melalui proses pengadilan. Pada akhirnya, pencegahan kekerasan dan pelecehan berbasis gender membutuhan norma hukum yang umum, yaitu ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Agar terdapat pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengatasi kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
[14] Rusti Margareth Sibuea, S.H. Problematika Ketentuan PHK karena Kesalahan Berat. Hukum Online. Tersedia: https://www.hukumonline.com/klinik/a/problematika-ketentuan-phk-karena-kesalahan-berat-lt5deddfb425d37, diakses pada 3 Mei 2022.