Fatimah, Gadis desa merindu kota, Meninggalkan sawah, sapi, dan ternak ayam.
Fatimah sulung memikul harap, Bagi 3 adik yang sekolah dasar, Di pundaknyalah, Orangtua bersimpuh, Agar hidup terus merangkak.
Di kota, Fatimah menyusuri pabrik demi pabrik, Berbekal amplop cokelat lamaran kerja. Namun Fatimah belum beruntung, Satpam di pabrik-pabrik itu bilang, Tidak ada lowongan pekerjaan, Yang ada adalah PHK karyawan.
Fatimah tak patah arang, Kakinya terus melangkah, Menyusuri ruko hingga perumahan, Menawarkan tenaga untuk bisa dijual, Fatimah apes, Satpam di ruko itu bilang, Tidur sama aku dulu, Baru ku kasih pekerjaan.
Fatimah berlari terseok, Tubuhnya lunglai, Tersungkur di trotoar, Ia berteriak, Kota kejam.
Jakarta, 14 Juni 2022
(Rara Sahasika)
***
Bukan Kekasih
Bukan kekasih tapi selalu di pikiran;
Kabar darinya menjadi penantian; Kadang 1 bulan, 3 bulan, bahkan harian; Hati ini penuh harap untuk ada keberlangsungan; ada kepastian.
Keberadaannya menjadi kabar buruk, Keberlanjutan hubungan menjadi impian; Ia tidak pandai memberi kemewahan, apalagi kenyamanan.
Ia selalu menjadi desas desus; Pembicaraannya tentangnya tak pernah usai; Tidak mengenal daluwarsa; Ia adalah Fleksibilitas Tenaga Kerja.
Aku buruhAku tak hina, tapi dihinakanAku buruhDiserang kehormatannya Aku buruh Aku berteriak, tapi tak ada yang mendengarAku buruhDilecehkan, diintimidasi, dan diperlakukan tak adil Aku buruh Tak punya kuasaSuaraku tak didengar Laporanku, keluhanku, protesku diabaikanCemoohan untukku jadi makanan sehari-hariku Wahai sang penguasaAku buruh yang tak henti bersuaraMasihkah kalian tak mendengar?Masihkah kalian tak melihat? Wahai sang penguasaAku buruh perempuankau anggap […]
Manusia berencana tapi Allah yang menentukan. Tadinya kalau aku sudah mulai kerja Apip mau dititipkan di rumah orang tuaku. Jarak rumah orangtua dan mertuaku tidak terlalu jauh. Waktu itu, akhir cuti melahirkanku adalah 20 Juli. Tapi tanggal 12 Juli 2012 aku mendengar kabar kalau buruh di tempatku bekerja demo. Aku mendengar kabar ini dari Yuli […]
Syawal tahun 1999. Di pernikahan Bi Nupus, adik bungsu ibuku. Aku saat itu menjadi pagar ayu sedang asyik melihat penampilan salah seorang biduan. Dia asyik bernyanyi sambil goyang Kopi Dangdut. Tiba-tiba di depanku sudah berdiri seorang laki-laki dengan kemeja kotak-kotak dipadukan dengan celana jeans biru. Kira-kira tingginya 170 sentimeter. Sawo matang. Hidungnya lumayan mancung. Matanya […]