MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Ekspansi Bisnis Pasangan Murdaya dan Perampasan Lahan Melalui Plasma

Lelaki paruh baya. Dengan kaos singlet dan celana pendek tengah jongkok. Dua telapak kakinya menjinjit dialasi dengan sandal jepit. Golok yang terikat sabuk di pinggang menyentuh batas tanah dan jalan umum. Jalanan lebar yang cukup dilewati satu truk. Tak jauh dari jalan, sebuah rumah beratap seng dengan dinding kayu. Sementara tangan kiri memegang tiang penyangga kain yang terbuat dari kayu yang tampak lapuk, tangan kanan lelaki itu memegang koas cat. Ototnya yang dibalut kulit kecoklatan meregang. Dengan setengah payah ia menulis huruf demi huruf di sehelai kain putih ukuran 60 cm x 50 cm. “CUKUP KAMI YG DI BOHONGI PT. HIP POLA REFIT AMANAH JANGAN TERJADI DI BUMI BUOL LAGI. KEMBALIKAN TANAH KAMI”. ‘Pola Refit’ merupakan istilah harian para petani dari ‘revitalisasi perkebunan’, yang digalakan oleh Kementerian Pertanian sejak 2007.

Tidak jauh dari tempat tersebut, empat remaja tanggung memegang spanduk ukuran 5 meter x 9 cm di halaman rumah. Dengan jenis huruf tebal warna hijau, merah dan hitam, tertulis: “Selamat Datang di Desa Winangun Masyarakat Kehilangan Tanah 15 Tahun Tanah Kami Diplasmakan oleh PT HIP: Tapi Kami Tidak Mendapatkan Hasilnya Justru Hutang yang Kami Terima Milyaran Rupiah. Kembalikan Tanah Kami.”

Dua kejadian di atas berlangsung pada Kamis 7 Juli 2022. Warga di Desa Winangun Kecamatan Bukal Kabupaten Buol memasang spanduk dan poster di halaman rumah, di pinggir jalan dan di atas jalan. Sebagian besar spanduk ditulis tangan. Mereka sedang protes terhadap PT Hartati Inti Plantation (HIP) dan Pemerintah.

Dari siaran pers yang beredar, aksi massa pasang spanduk dan poster dilakukan oleh sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Tani Amanah di Kecamatan Bukal Kabupaten Buol. Melalui spanduk dan poster para petani menuntut PT Hardaya Inti Plantation (HIP) mengembalikan tanah yang telah dirampas melalui skema plasma. Juga, menuntut pemerintah bertanggung jawab karena telah mengundang dan memberi izin PT HIP beroperasi di Buol. Melalui skema plasma, para petani dijanjikan mendapatkan keuntungan oleh perusahaan. Nyatanya, setelah menjalin kerjasama plasma belasan tahun para petani ketiban hutang miliaran rupiah.

Tidak ada informasi bagaimana protes massal pemasangan spanduk berakhir.

Berbeda dengan protes melalui spanduk dan poster. Pada Agustus 2021, sejumlah petani dari Desa Maniala dan Desa Balau Kecamatan Tiloan Kabupaten Buol Sulawesi Tengah menduduki kebun sawit yang sedang dikerjasamakan dengan PT HIP. Para petani tersebut mengaku sebagai pengurus sah Koperasi Tani Awal Baru. Mereka menolak petani lain yang memutuskan kerjasama dengan PT HIP. Kabarnya, terdapat sejumlah petani memutuskan kerjasama dengan PT HIP. Setelah itu, para petani memanen dan menjual sendiri tanda buah sawit. Tidak ke PT HIP.

Kejadian tersebut berakhir dengan penangkapan dua orang petani, pada November 2021. Kedua petani itu bernama Abdullah Rahman (46) dari Desa Kodalagon, Kecamatan Bokat, dan Fransiskus Saferius (41) dari Kelurahan Kali, Kecamatan Biau, pada November 2021. Keduanya dituduh mencuri buah sawit. Keduanya adalah pengurus Koperasi Amanah yang dipilih anggota.

Sementara itu, sejumlah massa yang menamakan diri APBKS (Aliansi Pekerja Buruh Kelapa Sawit) Buol PT HIP menggeruduk kantor Bupati Buol, pada Desember 2021. Mereka memprotes pernyataan bupati yang menyebut PT HIP merugikan masyarakat Buol. Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi publik Kebun Sawit Plasma: Fakta, Masalah dan Solusinya, yang diselenggarakan oleh Bupati Buol dan The Institute Ecosoc Rights di Lantai II kantor Bupati Buol, pada 3 Desember 2021.

PT Hardaya Inti Plantations merupakan perusahaan pengolahan buah kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Kernel. Hasil pengolahan tersebut dikirim ke Musimas Group dan PT Wilmar. Dari Wilmar dan Musimas Group produk dijual ke Amerika Serikat dan Eropa. Untuk sampai di PT Wilmar hasil pengolahan TBS dikirim menggunakan truk melalui jalan-jalan desa hingga tiba di pelabuhan Leok Buol.

Sebanyak 3000 orang bekerja di PT HIP. Mereka bekerja di pabrik pengolahan dan di bagian perkebunan. Pada Februari 2022, manajemen menandatangani PKB (Perjanjian Kerja Bersama) dengan tiga serikat buruh PT HIP. Ketiga serikat buruh tersebut adalah SPH (Serikat Pekerja Hardaya) SPSI, SPPS (Serikat Pekerja Perkebunan Sawit) dan Serikat Pekerja Peduli Karyawan Hardaya). Seperti umumnya, isi PKB mencantumkan tentang sistem pengupahan dan hak serta kewajiban perusahaan.

Tidak diketahui dengan pasti bagaimana pemenuhan hak buruh PT HIP. Diskusi yang diselenggarakan TPOLS (Transnational Palm Oil Labour Solidarity), pada 14 Agustus 2022 tentang keadaan buruh sawit memberikan gambaran. Buruh sawit mengalami kondisi kerja yang buruk. Jika upah sesuai upah minimum tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Harga kebutuhan pokok di perkebunan apalagi di luar Pulau Jawa lebih mahal. Rata-rata buruh kebun sawit bekerja dari jam 5 pagi dan selesai pukul 6.30 sore. Jam kerja lebih dari delapan jam karena harus mencapai target harian. Target kerja harian tersebut merupakan dasar dari sistem pengupahan yang berdasarkan satu hasil. Ketika musim panen, jam kerja lebih panjang karena harus bekerja di hari libur tanpa perhitungan lembur. Buruh perempuan kebun sawit bekerja lebih mengerikan. Mereka berinteraksi dengan jenis obat-obatan yang merusak kesehatan reproduksi dan tidak dapat mengakses hak cuti haid. Jarak yang terlalu jauh ke dinas tenaga kerja makin menyulitkan buruh mengadukan persoalan di perkebunan. Kadang dinas tenaga kerja beralasan kekurangan anggaran dan petugas untuk melakukan pengawasan di perkebunan.

Dengan alasan terdampak Covid-19, PT HIP merumahkan 960 orang dari 3000 buruh. Sebanyak 960 buruh dirumahkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan dengan alasan terdampak Covid-19. Para buruh menuntut upah April dan Mei 2020, pembayaran upah selama dirumahkan dan pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan. Kemudian, buruh kembali direkrut sekitar 568 orang. Perumahan buruh tersebut memicu protes. Informasi yang beredar, buruh yang tidak direkrut tidak mendapatkan kompensasi apapun.

PT HIP, perusahaan pengolahan kelapa sawit, merupakan satu dari 60 anak perusahaan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM). Dua perusahaan tersebut dimiliki pasangan Hartati Murdaya dan Murdaya Poo. PT HIP mendapat hak guna usaha seluas 20 ribu hektare di Buol sejak 1993. Dengan hak tersebut, PT HIP membabat hutan, perkebunan dan persawahan yang dikelola masyarakat adat. Kemudian diubah menjadi kebun sawit. Sejak 2000, lahan garapannya diperluas melalui izin usaha perkebunan dan model plasma. Sejak beroperasi, PT HIP menimbulkan sejumlah persoalan: dari perampasan lahan, pembelian harga TBS (tanda buah sawit) dari petani yang terlalu murah hingga perusakan lingkungan. Di tengah berbagai protes, PT HIP melenggang mendapat izin HGU baru. Sedangkan sesama petani atau petani dengan buruh PT HIP nyaris bentrok.

Hartati Murdaya dan Murdaya Poo dilahirkan dari keluarga kaya raya. Membangun bisnis di zaman Soeharto. Kini lini bisnisnya merentang dari perkebunan hingga pertokoan. Keduanya tersohor di dunia bisnis dan politik. Dengan kekayaan 1,1 miliar dolar AS Murdaya Poo dinobatkan sebagai 50 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes 2022. Dengan kekayaan 4,8 miliar dolar AS, Hartati Murdaya dinobatkan sebagai tujuh perempuan terkaya di Indonesia, versi Globe Asia 2018. Ketika reformasi bergulir, dengan gesit keduanya memasuki gelanggang politik. Murdaya Poo menjadi orang penting di PDI P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan Hartati Murdaya menjadi petinggi di Partai Demokrat.  Dengan luas lahan yang melampaui sistem administrasi negara, jaringan pemilik perkebunan yang tersambung ke pejabat negara dan sejumlah fasilitas umum yang didirikan di dalam kebun, kekuasaan perkebunan kadang mirip kekuasaan negara. Pemilik perkebunan dapat mengerahkan aparat negara dan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat untuk melindungi proses penciptaan keuntungan.

***

Mendapat lahan gratis dan dana segar

Koperasi Tani Awal Baru dan Amanah merupakan dua dari tujuh koperasi yang menjalin kerjasama plasma dengan PT HIP. Koperasi lainnya adalah Koperasi Bersama, Koperasi Idaman, Koperasi Plaza, Koperasi Bukit Piyonoto dan Koperasi Fisabilillah. Koperasi-koperasi tersebut menjalin kemitraan dengan PT HIP dengan model revitalisasi perkebunan atau sering disebut dengan sistem pengelolaan satu atap.

Revitalisasi perkebunan merupakan program pemerintah yang dikembangkan sejak 2007. Revitalisasi perkebunan merupakan kelanjutan dari program Perkebunan Inti Rakyat (PIR), yang diluncurkan pada 1978. PIR merupakan program Bank Dunia melalui proyek pinjaman utang Nucleus Estate and Small Holders (NES) I–VII. Melalui proyek tersebut, negara menyediakan lahan untuk perkebunan negara dan swasta, menerbitkan izin dan menyediakan tenaga kerja murah untuk mendorong ekspor massal sawit, kakao, karet dan teh. Karena gagal memobilisasi tenaga kerja lokal, Soeharto mendatangkan penduduk dari provinsi lain: transmigrasi. Muncul-lah program PIR Trans (Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi). Program PIR dan PIR Trans menempatkan perkebunan negara dan swasta sebagai inti. Kebun inti berfungsi untuk menanam hingga mengolah hasil kebun, termasuk menerima hasil kebun dari petani sekitar perkebunan, yang disebut plasma. Petani sekitar perkebunan diberi dukungan oleh kebun inti untuk mengelola kebun. Setelah itu, muncul program KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota). Ketiga program tersebut, petani plasma relatif memiliki keleluasaan mengelola lahan. Tentu saja jenis dan pola penanaman ditentukan oleh perusahaan.

Konsep revitalisasi perkebunan nyaris tidak berbeda dengan pola PIR, bahkan lebih buruk. Dalam konsep PIR petani dianggap perlu dilatih untuk meningkatkan keterampilan pengelolaan lahan. Dalam konsep revitalisasi seluruh lahan petani diserahkan ke perusahaan inti. Petani dianggap tidak memilik kemampuan manajemen dan teknik dalam pengelolaan lahan. Melalui program revitalisasi, pemerintah menyediakan dana kredit investasi dan subsidi bunga bagi petani sawit, karet dan kakao untuk melakukan peremajaan, perluasan dan rehabilitasi lahan. Untuk mengakses permodalan, petani harus memiliki sertifikat tanah, memiliki kelompok atau koperasi dan penjamin. Sertifikat diserahkan ke koperasi. Perusahaan inti sebagai penjamin. Lahan dan pinjaman modal tersebut diserahkan kepada perusahaan inti. Perusahaan inti menggunakan modal tersebut untuk mengelola lahan petani dari pembibitan hingga panen. Para petani tinggal menunggu pembagian dari hasil pengolahan lahan berupa uang. Jadi, para petani tidak memiliki peran untuk mengolah lahan.

 Menurut laporan BBC Indonesia, setelah 2007 pola revitalisasi perkebunan atau satu atap menjadi pola umum perkebunan sawit di berbagai provinsi. Lahan-lahan diserahkan ke perusahaan besar untuk diplasmakan. Perusahaan merekrut tenaga baru untuk merawat, menanam dan memanen kebun plasma. Pada saat pengelolaan perkebunan itulah pinjaman ke bank bertambah. Perusahaan pun tidak menjelaskan bagaimana penggunaan uang pinjaman atas nama para petani tersebut. Pola revitalisasi perkebunan telah memperkuat praktik perampasan lahan, ketimpangan kepemilikan lahan dan peluang korupsi dalam penerbitan izin perkebunan.

Di Kabupaten Buol para petani menyerahkan lahan kepada PT HIP melalui koperasi. Perusahaan diberikan kewenangan untuk membabat, mengolah, merawat, memanen dan menjual buah sawit, termasuk merekrut tenaga kerja. Karena mengelola lahan mahal dan sulit apalagi menjual hasilnya, akhirnya para petani tergiur dengan plasma model revitalisasi. Model revitalisasi memberikan kemudahan mengolah lahan dengan hasil yang menjanjikan.  Catatan investigasi Ecosoc Rights (2022) menyebutkan, pola kerjasama petani dan koperasi di Kabupaten Buol dengan PT HIP mengandung masalah dan menimbulkan konflik serius. Sistem kemitraan tersebut tidak transparan dan cenderungan manipulatif. Selama kerjasama berlangsung para petani tidak mendapatkan hasil seperti yang dijanjikan, bahkan hanya menerima informasi bertambahnya jumlah utang dalam jumlah miliaran. Pada akhirnya, para petani merasa tertipu dengan sistem plasma.

Koperasi Petani Plaza. Anggotanya sekitar 200 orang. Saat ini, koperasi berhutang ke bank Rp113 miliar. Anggota yang tergabung dalam Koperasi Plaza merupakan sebagian dari para petani yang diserobot lahannya oleh PT HIP pada 1993. Mereka yang tergabung dalam FTB (Forum Tani Buol).

Sejak 1997 para petani yang tergabung dalam FTB (Forum Petani Buol) menuntut pengembalian lahan. Perlawanan mereda setelah perusahaan berjanji mengembalikan lahan. Pada 2000, dari ribuan lahan yang dirampas, petani hanya diberi 400 hektare.

Perusahaan cerdik. Seluas 400 hektare lahan kaum tani dijadikan plasma. Mulanya, dengan pola KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota). Sejak 2007, pola KKPA diubah menjadi revitalisasi perkebunan. Sebenarnya, saat penyerahan lahan tersebut, perusahaan pun berjanji akan mengembalikan lahan seluas 15 ribu hektare. Tapi secara bertahap. Tentu saja, sekadar janji. Jika ditagih bisa berjanji lagi.

Tampaknya, praktik plasma di Koperasi Plaza menjadi daya tarik petani lain di lingkungan Buol. Koperasi Plaza, yang mulanya memiliki hutang Rp11 miliar mampu melunasi hutangnya dari periode 2000-2015. Setelah hutang lunas, para anggota koperasi menerima hasil panen sebesar Rp8 juta hingga Rp9 juta per bulan. Di periode ini, para petani di kecamatan lain pun sudah memplasmakan lahannya. Persoalan di Koperasi Plaza muncul pada 2017. Para pengurus Koperasi Plaza tidak lagi mendapati perusahaan memupuk lahan plasma mereka. Tidak ada lagi pembagian uang hasil panen. Malahan para petani diberikan informasi bahwa koperasi memiliki hutang sebesar Rp300 miliar. Anggota koperasi mempertanyakan asal-usul utang tersebut. Ketimbang memberikan jawaban yang lengkap, perusahaan menurunkan jumlah hutang dari Rp300 miliar menjadi Rp113 miliar.

Koperasi Amanah terletak di Desa Winangun Kecamatan Bukal. Dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Buol. Total lahan yang diserahkan 1.123 hektare pada 2008. PT HIP menyampaikan, koperasi Amanah berhutang ke bank Rp25 miliar dan ke perusahaan Rp16 miliar. Utang ke perusahaan, katanya, sebagai biaya tambahan dari perusahaan untuk biaya pembangunan kebun. Anggota Koperasi Amanah tidak mengetahui bagaimana utang tersebut berlipat. Karena tidak ada mekanisme transparansi.

Anggota Koperasi Amanah merupakan para petani transmigran dari Jawa, NTT, NTB dan Bali. Rata-rata mereka menyerahkan lahan pengembangan (lahan dua) dan lahan pribadi. Masing-masing dua hektrare per kepala keluarga. Koperasi mengajukan pinjaman ke Bank Mandiri Cabang Makassar. Uang pinjaman diterima oleh perusahaan untuk mengolah lahan. Salah satu anggota Koperasi Amanah mengingat kalimat yang diungkapkan perwakilan PT HIP ketika mengajak menyerahkan lahan, “Kalau kita punya satu hektar sudah cukup untuk makan. Kalau punya dua hektar bisa menyekolahkan anak-anak dan bisa membeli mobil. Kalau lebih dari itu sudah bisa lebih dari sejahtera.” Sebelum diplasmakan, lahan tersebut telah ditanami durian, kakao dan cengkeh. Dengan iming-iming akan mengganti biaya tanam dan akan dipekerjakan di perkebunan plasma, perwakilan perusahaan berhasil membujuk para petani menyerahkan lahan untuk ditanami sawit. Para petani pun membabat dan menanami lahan mereka dengan sawit. Setelah dibabat dan ditanami sawit, ternyata perusahaan merekrut tenaga kerja baru. Juga, tidak ada ganti rugi dari tanaman sebelumnya. Setelah panen sawit pun para petani tidak mendapat hasil seperti yang dijanjikan. 

Koperasi Awal Baru terletak di Desa Tongon Kecamatan Momunu. Total lahan yang diplasmakan seluas 1.050 hektare pada 2009. Pada 2011 lahan mulai ditanami sawit.

Sebelum diplasmakan, lahan ditanami kelapa, cengkeh, buah, dan lainnya. Para petani Koperasi Awal Baru menyerahkan lahan dalam jumlah yang berbeda. Seperti dialami Koperasi Amanah, penyerahan lahan-lahan anggota Koperasi Awal Baru pun dibumbui janji kesejahteraan.

Koperasi Awal Baru merupakan koperasi yang paling rumit. Koperasi ini memiliki tujuh surat keputusan (SK) bupati dengan isi berbeda. Salah satu SK-nya menyebutkan jumlah anggota koperasi sebanyak 1512 orang. SK lain menyebut 959 anggota; dan ada yang menyebut 750 anggota. Terdapat satu kelompok petani memilik 117 hektare lahan, tapi tidak diketahui letaknya. Ada anggota koperasi tapi tidak memiliki lahan, bahkan terdapat anggota yang berasal dari luar Kabupaten Buol. Warga dijanjikan akan mendapatkan sertifikat lahan, namun sampai sekarang sertifikat belum diterima.

Awal 2021, para anggota koperasi mulai membenahi keanggotaan termasuk memilih kepengurusan baru. Hasil pendataan menyebutkan mayoritas lahan sekitar satu sampai dua hektare. Meskipun terdapat beberapa anggota yang memiliki lahan antara 10 hingga 36 hektre. Karena model kerjasama merugikan, pengurus baru koperasi memutuskan kerjasama dengan PT HIP.

Karena upaya dialog tidak mendapat respons dari PT HIP, akhirnya para anggota koperasi memblokir lahan mereka dari perusahaan. Aksi massa pemblokiran terjadi dua kali, pada Mei dan September 2021. Para petani pun memanen buah sawit sendiri. Karena aktivitas tersebut, enam pengurus koperasi ditangkap polisi dengan tuduhan mencuri buah sawit. Perusahaan pun memobilisasi warga lain untuk menghadang para anggota koperasi.

Koperasi Bersama terletak di Desa Rantemaranu Kecamatan Bukal. Lahan pertanian diubah menjadi kebun sawit sejak 2011. Saat ini, koperasi disebut berhutang ke bank sebesar Rp80 miliar. Anggota koperasi merupakan para petani warga lokal dan transmigran dari Bali, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Koperasi Bukit Piyonoto di Desa Jatimulya, Kecamatan Kiloan. Luas kebun plasma 1.212 hektare. Namun hanya 800-900 hektare yang ditanami sawit. Saat ini hutang koperasi Rp110 miliar.  Penanaman sawit dimulai pada 2011.

Terdapat masalah serius antara petani plasma dan koperasi dengan perusahaan PT HIP. Warga merasa dirugikan dengan sistem kemitraan yang tidak memberikan hasil. Bahkan warga merasa diperdaya oleh PT HIP yang menjanjikan kesejahteraan. Kemitraan plasma dijalankan dengan skema revitalisasi perkebunan di mana kebun plasma dikelola perusahaan dengan sistem satu atap. Namun perusahaan mengelola kebun plasma secara tidak transparan, tidak sesuai dengan  perjanjian kemitraan dan merugikan petani. Petani juga tidak mengetahui berapa produksi, biaya yang dikeluarkan, dan utang koperasi. Ada koperasi yang utangnya sudah lunas namun tiba-tiba muncul utang baru sejumlah ratusan miliar tanpa kejelasan untuk apa utang baru tersebut.

***

Perampasan dengan Kekerasan

PADA 1993, PT HIP berinvestasi di Buol. Tepatnya, di Kecamatan Momunu dan Bokat. Mereka mengantongi izin perkebunan seluas 70 hektare dan HGU (Hak Guna Usaha) seluas 22.780 hektare. Kala itu, Buol merupakan bagian dari Kabupaten Tolitoli. Di periode ini, Soeharto tengah gencar mendorong program transmigrasi dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat ke wilayah-wilayah pembukaan perkebunan. Program transmigrasi seturut dengan program pelepasan HGU, peningkatan ekspor hasil pertanian dan PIR Trans.

Pada 1993-1995 PT Hardaya Inti Plantation (HIP) membabat hutan, kebun dan pertanian ulayat Hulu Unone, Hulu Biau dan Hulu Umbadudu yakni sekitar Buol Kecamatan Biau, Momunu, Bokat, Bunobugu dan Paleleh. Dengan menggunakan buldoser dan eskavator kebun kelapa, sagu, kakao, kopi, langsat, durian, nangka, padi, jagung, kacang-kacangan dan pisang diratakan dengan tanah. Hutan adat dan lahan pertanian milik 6500 keluarga dihancurkan. Masyarakat tidak hanya kehilangan sumber mata pencaharian dan udara bersih, juga kehilangan sabua, sebuahtempat istirahat kerja, tempat bermalam ketika bekerja di malam hari dan tempat penyimpanan hasil pertanian dan perkebunan. Sabua diruntuhkan dan ada pula yang dibakar. Pembabatan hutan dikawal ketat oleh tentara, kepolisian dan para pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tolitoli. Tidak dibiarkan lama. Selesai pembabatan, PT HIP pun melakukan pembibitan dan penanaman sawit. Sawah, kebun dan hutan diubah menjadi perkebunan sawit.

Masyarakat tidak dapat berbuat banyak. Dengan hati getir dan memendam kemarahan, masyarakat hanya menyaksikan sejumlah pekerja dijaga tentara menebangi pohon dan membabat hutan. Aparat gabungan tentara dan polisi pun disebar dan ditempatkan dilokasi-lokasi strategis untuk mencegah datangnya protes massa.

Ada yang mencoba mempertahankan lahan. Mereka dipukul, diseret, ditangkap dan dimasukan sel tahanan Polsek Momunu. Sapariah Saturi dalam Mongabay (16/10/2012) menceritakan. Para petani yang mempertahankan tanahnya mengalami kekerasan.  Kadir Jaapar, warga Desa Panimbul, Kecamatan Momunu, rumahnya dibakar dan lahannya dirampas. Material untuk pembuatan rumah yang terdiri dari kayu balak, papan dan baloti disita tentara. Sedangkan Radoman Sanggul, padinya yang sedang menguning diratakan dengan tanah. Ia tidak diberikan kesempatan memanen. Sabua Datu Kuntuamas, ditembaki dan dibakar. Sedangkan Jaapar Said tidak ingin melepaskan kebun kopi, kakao durian dan nangkanya. Ia malah ditangkap dan dipenjara selama tiga hari.

Setelah perkebunan sawit beroperasi, lahan-lahan di sekitar PT HIP menjadi tidak produktif. Setidaknya, seluas 70 ribu hektare lahan persawahan dan perkebunan di Bukal dan Mommunu tidak dapat ditanami lagi. Sekitar 10.167 pohon kelapa masyarakat di Bengkudu, 2.663 pohon kelapa di Desa Kodolagon dan 1.567 pohon di desa Biau mati dan tidak lagi memberikan pendapatan kepada masyarat. Data ini belum termasuk di desa-desa lain yang jumlahnya masih mencapai ribuan pohon. Sepuluh tahun kemudian, desa-desa tersebut kerap dilanda banjir bandang.

Praktik perampasan lahan dan perluasan lahan PT HIP di Kabupaten Buol mencerminkan buruknya tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Demikian dikatakan dalam laporan bertajuk Shadow Report: Kemana Arah Implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 Berjalan? (2019), yang diterbitkan oleh delapan belas organisasi masyarakat sipil. Laporan tersebut memperlihatkan izin usaha perkebunan (IUP), hak guna usaha (HGU) dan perizinan yang tumpang tindih telah menghancurkan ruang hidup rakyat. Hal yang sama terjadi dalam proses pelepasan lahan untuk PT HIP.

Pertama, PT CCM (Central Cipta Murdaya) mendapat izin usaha perkebunan (IUP) seluas 75.090 hektare, pada 1993. IUP tersebut dioperasikan oleh PT HIP. Sejak 1993, PT HIP membabat, membibit dan menanami lahan dengan sawit. Sedangkan legalitas PT HIP baru keluar pada 1996, sebagai anak usaha PT CCM. Kemudian mendapat ISPO dengan sertifikat BSI-ISPO 611530. ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang di dalamnya terdiri dari Kementerian Perekonomian dan Kementerian Pertanian. Dengan ISPO, PT HIP memiliki predikat sebagai perusahaan kelapa sawit ramah lingkungan, layak secara ekonomi dan sosial. Berarti lahan dibabat oleh perusahaan bodong. Dengan praktik perampasan lahan di atas, ISPO PT HIP semestinya dipertimbangkan.

Kedua, sejak pembabatan lahan, PT HIP mengolah kebun sawit. Sedangkan hak guna usaha (HGU) baru dikeluarkan pada 1998. Luasnya 22.780,866 hektare. Artinya, pengolahan kebun dilakukan tanpa HGU. Menurut peraturan perundangan, izin usaha perkebunan mestinya disertai dengan HGU. Berarti praktik pengolahan lahan oleh PT HIP dilakukan secara ilegal.

Ketiga, dari HGU seluas 22,780.866 hektare ternyata hanya digunakan 14 ribu hingga 15 ribu hektare. Tapi, perusahaan tetap mencaplok dan meminta perluasan HGU. HGU yang diajukan seluas 5.020.11 hektare di Kokobuka. Lahan tersebut merupakan lahan transmigran. Lahan tersebut telah dibabat sebelum pengajuan HGU. Sadar mencaplok lahan secara ilegal, PT HIP mengajukan HGU baru. Tapi peraturan perundangan melarang korporasi memiliki HGU lebih dari 25 hektare. Akhirnya pengajuan HGU baru diajukan oleh PT CCM dengan menggunakan perusahaan baru, yaitu PT Sebuku Inti Plantations.

Poin di atas, mengantarkan pada cerita suap Bupati Buol Amran Batapilu oleh pimpinan PT HIP Hartati Murdaya, pada 2012. Hartati dan Amran akhirnya dicokok KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan diganjar denda dan penjara. Tapi HGU tetap dikeluarkan oleh pemerintah.

Tidak puas dengan lahan kelolanya, PT HIP membuat kemitraan dengan para petani. Tercatat sebanyak tujuh koperasi membangun kemitraan plasma. Total luas lahannya mencapai 4.980 hektre. Dari jumlah tersebut, seluas 4000 hektare telah menghasilan tandan buah sawit segar (TBS) yang dijual ke perusahaan. Selain dengan koperasi, PT HIP pun mengembangkan jenis kemitraan dengan 4.318 petani plasma mandiri. Lahannya sekitar 3.800 hektare. Kemitraan dengan petani plasma mandiri dilakukan dengan memberikan bantuan pinjaman bibit dan melakukan pembinaaan hingga menghasilkan sawit. Seluruh kerumitan aspek legalitas di atas dapat diabaikan. Dapat pula ditafsirkan sebagai daya jangkau kekuasaan para pemilik perusahaan mengendalikan kebijakan negara. PT HIP mengembangkan bisnis dengan curang. Riset The Insitute Ecosoc Rights (2022) tentang dampak Undang-Undang Cipta Kerja terhadap tata kelola hutan di Kabupaten Buol dan Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah, memperlihatkan dengan jernih perampasan lahan di Kabupaten Buol. Metode pertama perampasan dilakukan melalui kekerasan. Korbannya adalah masyarakat adat. Diikuti dengan perampasan dengan dalih kemitraan. Korbannya adalah masyarakat lokal dan transmigran.

***

Dari Minyak Goreng hingga Sepatu Olahraga

“MURDAYA POO, Dari Tukang Koran ke Jajaran Orang Terkaya di RI,” demikian tulis media daring milik Chaerul Tandjung di bawah payung CT Corporation, CNBC Indonesia pada 8 Maret 2019. Isi artikel menceritakan sejumlah kesuksesan mendadak Murdaya Poo. Murdaya Poo menguasai berbagai jenis perusahaan. Sama sekali tidak membahas tentang repotnya menjadi penjual koran.

Artikel ‘Murdaya Poo dari Penjual Koran’, direproduksi oleh media daring lainnya. Dengan isi sama dan penanggalan yang berbeda. Di antaranya oleh media daring milik Chaerul Tandjung lainnya, CNN Indonesia; oleh media Djarum dan Go-jek, Kumparan; oleh media milik Hary Tanoesoedibjo Okezone dan beberapa media daring lokal.

Penelusuran Majalah SWA menyebutkan debut bisnis keluarga Murdaya Widyamarta Poo dan Siti Hartati Tjakra Murdaya di kisaran 1969. Setahun setelah pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) Nomor 6. Bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki koneksi ke pejabat dan jaringan internasional, UU PMDN menguntungkan. Undang-undang tersebut mengamanatkan agar perusahaan asing bekerjasama dengan pengusaha dalam negeri. Pengusaha dalam negeri pun memiliki kesempatan menguasai 51 persen saham perusahaan asing dan pembebasan segala jenis pajak.

Kekuatan bisnis Murdaya Poo terletak di industri kelistrikan, perkebunan dan koneksi dengan pejabat penting di sekitar Soeharto. Koneksi dengan pejabat negara memungkinkan dua pengusaha tersebut mendapat proyek-proyek besar. Saat ini, keduanya menguasai 60 perusahaan yang merentang dari usaha teknologi informasi, property, kontruksi, sumber daya alam, alat berat, ritel, hingga manufaktur sepatu.

Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) menjelaskan. Hartati Murdaya nama lengkapnya Siti Hartati Cakra Murdaya. Nama lahirnya adalah Chow Li Ing. Sedangkan suaminya Murdaya Widyawimarta Poo dengan nama lahir Poo Tjie Goan. Di lingkaran pengusaha, Hartati kerap dipanggil Nyonya Poo Tjie Goan. Hartati Murdaya dan Murdaya Poo berasal dari keluarga pengusaha kayu. Keduanya menjadi orang kaya sejak lahir.

Hartati dan Murdaya menikah pada 1971. Keduanya mendirikan PT Kentjana Sakti Indonesia dan PT Berca Indonesia. PT Berca berubah menjadi PT CCM (Central Cakra Murdaya Group), pada 1973. Dua unit usaha tersebut berperan sebagai pemasok proyek-proyek PLN, seperti gas turbin, peralatan transmisi dan peralatan pembangkit listrik. Mayoritas sistem kelistrikan gedung-gedung di Jl. M.H. Thamrin,  Jakarta Pusat, dipasok oleh dua usaha tersebut. Pasangan Murdaya pun berperan sebagai pemegang lisensi distributor genset merek Cumming dari Amerika.

Di periode 1997-1998, pasangan Murdaya mendirikan PT Intraca Hutani Lestari dan PT Dwihutani Fitribakti Sulteng, dua unit usaha yang berpatungan dengan Inhutani I untuk mengelola dan memasok bahan baku hutan tanaman industri; PT Harfit International dan PT Intracawood Manufacturing, merupakan dua pabrik perkayuan di Jakarta dan di Kalimantan Timur; PT Yamatake Berca Indonesia dan PT Berca Schindler Lifts, dua unit usaha jasa kontruksi; PT Berca Indonesia dan PT Allsport 78, yang bergerak di bidang sepatu olahraga; dan PT Packard Finance Indonesia, sebuah usaha pembiayaan bersama PT Asjaya Muktigraha dan Hewlett-Packard World Trade Incorporation.

Selain itu, sejak 1980, PT CCM pun merupakan representatif ASEA Brown Boveri, perusahaan multinasional yang berbisnis di bidang teknologi otomasi, robotik dan peralatan listrik berat. Berkat jaringan tersebut PT CCM pun mampu masuk ke sektor pembangkit tenaga listrik dan jaringan transmisi. Beberapa proyek yang pernah dikerjakan antara lain: PLTU Belawan-Medan; PLTA Mrica; PLTU Gresik; PLTU Paiton; dan PLTGU Tanjung Priok. Pada 1992 memegang proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga gas dan uap Tanjungpriok.

Selain pengembangan usaha di bidang kelistrikan, CCM juga mendirikan beberapa unit usaha pendukung. Sebut saja PT Balfour Beatty Sakti dan PT Tarmac Sakti Indonesia (jasa konstruksi); PT Hume Sakti Indonesia dan Beton Megah Perkasa Setia (tiang pancang beton); PT Interpower Electric dan PT Asea Brown Boveri Sakti (motor listrik); PT Fuji Dharma Electric dan PT Mecoindo (KWH meter pemasok PLN); PT ABB Transmission dan Distribution (transformer); PT BICC Berca Cables dan PT Sicamindo (kabel serat optik dan listrik); dan PT KSI-Suzhou Insulator Indonesia (insulator).

Kerajaan bisnis CCM juga ditopang oleh beberapa bidang bisnis lainnya. Seperti PT Altrak yang menjadi agen tunggal peralatan berat dan mesin diesel. Lalu, PT Sarana Aircon Utama selaku agen tunggal AC merek Carrier, serta PT Berca Hadyaperkasa sebagai distributor tunggal printer dan komputer Hewlett-Packard.

Ketika manufaktur alas kaki Amerika Serikat dan Eropa beralih dari Asia Timur ke Asia Tenggara, pasangan Murdaya cepat mengambil peluang. Pasangan Murdaya mengantongi lisensi sebagai pemasok Nike melalui PT Hardaya Aneka Shoes Industry (Hasi) dan PT Nagasakti Paramashoes Industry. Keduanya di Tangerang. PT Berca Sportindo dan Berca Indosports sebagai distributor sepatu Nike, Umbro dan League. Ia pun mendirikan Kawasan Industry Balaraja Tangerang, 300 hektare, pada 1990. PT Indosports Jaya pemegang ritel produk fesyen merek Benetton, Sisley, Aerosoles, Geox dan And1. Produk sepatu dan fesyen dioperasikan bawah grup BRG (Berca Retail Group). BRG mengontrol lebih dari 40 gerai dengan dagangan merek-merek terkemuka. BRG di bawah kontrol CCM.

Akhir 1999, perusahaan-perusahaan raksasa sempoyongan dan menyelamatkan diri dengan meminta kebaikhatian negara. Bisnis pasangan Murdaya moncer. Pondok Indah miliki oleh Liem Sioe Liong, dilepas. Pasangan Murdaya segera menangkap bisnis menggiurkan tersebut. Pada 2002 PT Metropolitan Kentjana, pengelola Pondok Indah dan properti lain, segera dibeli. Harganya Rp600 miliar. Pada 2004 membeli PT Jakarta International Trade Fair sebesar 120 dolar Amerika. Melalui Metropolitan Kentjana Murdaya menguasai bisnis perumahan, pusat perbelanjaan, perhotelan, apartemen dan perkantoran, yang tersebar di Jakarta dan Batam. Melalui PT Jakarta International Trade Fair (JITF) menyisihkan 13,8 persen sahamnya untuk Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Melalui PT Jakarta Land, perusahaan patungan PT CCM dan Hongkong Land, Hartati menggelontorkan Rp3 triliun untuk membangun World Trade Centre (WTC) II di Jakarta.

Ketika reformasi bergulir, pasangan suami-istri tersebut dengan sigap menangkap peluang. Keduanya memasuki panggung politik dan mendirikan sejumlah organisasi sosial. Murdaya Poo menjadi orang penting di PDI P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Sedangkan Hartati merapat ke Partai Demokrat. Hartati Bersama Candra Setiawan (anggota Komnasham 2002-2007), Sulastomo, Dr John Paringih, I Nyoman, mendirikan Badan Interaksi Sosial Masyarakat (Bisma); Ketua Umum DPP Ketua Umum DPP WALUBI (Perwakilan Umat Buddha Indonesia) 1998 sampai sekarang, Penggagas dan Dewan Kehormatan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia 1999 samlai sekarang, Pendiri Yayasan Kepedulian Sosial Paramita, Dewan Pertimbangan Presiden 1997 hingga 1999, Anggota MPR RI Fraksi Utusan Golongan 1999 hingga 2004, dan Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) 2010 hingga 2012. Pada 1994, Hartati membentuk Keluarga Cendikiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dan tercatat sebagai dewan penyantun bidang pendanaan dan nasehat. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Abdurrachman Wahid pada 1999.

George Junus Aditjondro dalam Gurita Cikeas (2010) menyebutkan, Hartati Murdaya merupakan nasabah besar Bank Century. Sebelum bank tersebut diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Hartati menyimpan dana sebesar Rp321 miliar. Hartati pun penyokong dana kampanye Partai Demokrat dalam pemenangan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pada 2004. Dalam Pak Beye dan Kerabatnya (2010), Wisnu Nugroho menceritakan bahwa relasi Hartati dengan Soesilo Bambang Yudhoyono terbangun sejak 2001.

Dalam Wajah DPR dan DPR 2009-2014: Latar Belakang Pendidikan dan Karier (2010), Tim Litbang Kompas menyebutkan bahwa Murdyaa Poo, pada 2004, terpilih sebagai anggota DPR RI dari PDI-P, pendiri Institut Kewarganegaraan Indonesia dan Dewan Penasihat Lembaga Indonesia China. Ia juga adalah Anggota Dewan Pembina Kadin, Anggota badan Pembina dan Kepengurusan Yayasan Indonesia Forum, Anggota Dewan Kehormatan Perwakilan Umat Buddha Indonesia-Walubi, Pemilik Rumah Sakit Yayasan Paramita dan Ketua Bidang Sumber Daya dan Dana DPP PDIP 2005-2010 dari wilayah Banten. Murdaya Poo pun sebagai pemimpin Golf Course Owners Association.

***

Sawit Datang, Banjir Bandang

Data Dinas Perkebunan Sulteng menyebutkan luas lahan sawit Sulteng sekitar 713.217 hektare, yang terbagi untuk 54 perusahaan sawit. Dari jumlah tersebut sebanyak 36 perusahaan telah mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) dan 18 masih dalam bentuk izin lokasi (Inlok). Sebanyak 12 perusahaan telah menanam dan sebagian besar telah berproduksi Dari banyaknya perusahaan sawit tersebut, belum pernah ditemukan investasi perkebunan sawit yang tidak menimbulkan konflik seperti pencaplokan tanah, kriminalisasi, serta tidak adanya jaminan perlindungan harga tandan buah segar (TBS). Demikian diungkapkan dalam Shadow Report: Kemana Arah Implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 Berjalan? (2019).

Dari luas lahan perkebunan di Sulteng, pemegang HGU terbesar adalah PT HIP, yang beroperasi di Kabupaten Buol. Dengan luasan HGU lebih dari 20 hektare. Diikuti perusahaan milik Murad Husain, PT Kurnia Luwuk Sejati di Kabupaten Banggai seluas 16.009 hektare.

Per 2018, luas perkebunan sawit di Buol mencapai 61.688 hektare atau 15,26 persen dari areal Kabupaten Buol seluas 404.357 hektare. Dari jumlah luasan lahan tersebut sebanyak 39.247 hektare merupakan perusahaan sawit swasta, 28.756 hektare lahan plasma dan 3.884 hektare lahan petani mandiri. Penelitian Sawit Watch (2019) menyebutkan, perkebunan sawit akan diperluas hingga 125 ribu hektare. Total luas tersebut akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan sawit baru, yaitu PT Sonokeling Buana yang telah melakukan pembibitan dan pembukaan lahan seluas 19.500 hektare, PT Wiliam Planteser Sejati dan PT Luwuk Agro yang baru mengajukan proposal. Adapun PT Hadji Kalla Group dan PT Buana Makmur Lestari dalam tahap perencanaan dan penjajakan wilayah.

Kabupaten Buol merupakan satu dari enam kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang rentan terhadap bencana banjir, tanah longsor dan rawan bencana. Sebagaimana dikuatkan oleh kajian Tim Kementerian ATR/BPN. Keberadaan dan perluasan perkebunan sawit kian memperparah pemerosotan daya dukung alam. Menurut Wakil Bupati Buol Abdullah Batalipu, sejak 2015, banjir hampir terjadi setiap tahun di beberapa desa di Kecamatan Mommunu dan Bokat. Apalagi jika musim penghujan. Menurutnya, bencana banjir karena konversi lahan hutan yang tidak terkendali. Peristiwa banjir terjadi pada Maret, Mei dan Juli 2022.  Pada Maret, sebanyak 1012 orang di Kecamatan Biau terdampak banjir. Banjir kembali menggenangi sebanyak 3.570 warga di Desa Pinamula Momunu, pada Mei. Banjir setinggi 100 meter merendam 38 kepala keluarga di Desa Bokat 4 dan Desa Bongo di Kecamatan Bokat.

Yayasan Madani menyebutkan, wilayah hulu dari pemukiman warga yang kerap tergenang banjir karena tempat tinggal warga dikepung kebun sawit dan penanaman sawit kurang dari seratus meter dari sempadan sungai. Begitu pula, air sungai yang kerap digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tercemar oleh limbah pupuk sawit.

***

***

Di tengah pemburukan alam, para petani melakukan perlawanan. Mereka membangun organisasi, menjalin kerjasama dengan buruh di pabrik pengolahan sawit dan berdemonstrasi. Para petani maupun buruh memang rawan dimanipulasi oleh perusahan, seperti demonstasi buruh PT HIP ke Bupati Buol. Beberapa di antara demonstran mendapat ancaman pemecatan jika tidak ikut berdemonstrasi atau dikenai pemotongan upah. Namun, seperti diperlihatkan di awal tulisan ini, perlawanan terus berlangsung dan mendapat dukungan luas dari gerakan lain.[]